ALL CATEGORY

Mengapa Harus Takut Dengan Revolusi?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (22/10). Sekarang ini, kata “revolusi” menjadi sangat sensitif. Banyak yang takut mengucapkan atau menuliskannya. Takut dituduh melakukan makar. Padahal, “revolusi” ada di dalam sejarah perjuangan bangsa dan juga ada di dalam kosa kata bahasa Indonesia. Dari sudut pandang tertentu, bisa dipahami ketakutan terhadap kata “revolusi”. Sebab, kata ini bermakna “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata)”. Seperti inilah definisi “revolusi” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tetapi, apakah setiap kali orang mengucapkan atau menuliskan kata “revolusi”, langsung bisa disebut orang itu sedang merencanakan atau berbuat makar, dan karena itu harus dikenai pasal-pasal kejahatan? Tentu tidak. Sebab, kalau mengucapkan dan menuliskan “revolusi” bisa dianggap merencanakan atau melakukan makar, maka para penyusun KBBI pun bisa kena pasal pidana. Bagaimana dengan orang-orang yang berpikir tentang “revolusi”? Apakah mereka bisa disebut sedang merencanakan perbuatan makar? Jawabannya juga tidak. Mereka tidak sedang merencanakan revolusi. Berpikir tentang “revolusi” adalah kontemplasi seseorang tentang suasana seperti apa yang akan berkembang jika “revolusi” terjadi. Lantas, bagaimana dengan seseorang yang mendambakan “revolusi”? Untuk ini, tergantung revolusi apa yang ia inginkan. Kalau “revolusi teknologi komunikasi”, maka semua pihak harus mendukungnya supaya menjadi kenyataan. Juga “revolusi angkutan umum”. Kita semua memerlukan perubahan yang lebih radikal di bidang komunikasi dan transportasi publik. Lebih-lebih lagi “revolusi mental”. Kita semua jangan hanya sekadar mendambakan, melainkan juga harus ikut mengkampanyekannya. Cuma, sayangnya, “revolusi mental” yang dideklarasikan Pak Jokowi pada awal masa jabatan pertama beliau tidak pernah lagi dibicarakan. Sebab, “revolusi mental” adalah revolusi yang antara lain bertujuan membasmi budaya korupsi, oligarkis, dan destruksi sumber daya alam (SDA). Dengan “revolusi mental” diharapkan pelayanan umum menjadi kelas dunia. Jokowi menghadapi tembok raksasa yang menghadang “revolusi mental”. Akhirnya, beliau lupakan itu sekarang. Walhasil, korupsi, oligarkis, destruksi SDA, dan pelayanan buruk tak bisa dihapus. Malah berkembang semakin pesat. Sehingga, Jokowi dibuat tak berkutik. Bahkan, tidak hanya tak berkutik. Jokowi cenderung memperlihatkan pemahaman bahwa budaya ini “entertaining” dan “beneficial”. Menyenangkan dan menguntungkan. Seterusnya, bagaimana kalau seseorang mendambakan “revolusi”? Lagi-lagi, kalau sekadar mendambakan tentulah boleh-boleh saja. Mendambakan itu ‘kan cuma mengimpikan. Mengimpikan “revolusi kekuasaan” bukanlah perbuatan makar. Sebab, kembali lagi, semua itu hanya berupa angan-angan saja. Baru menjadi masalah kalau seseorang menyusun rencana dan mencoba mengeksekusi rencana itu. Begini. Revolusi itu banyak jenisnya. Revolusi kekuasaan hanya satu di antaranya. Memang benar, revolusi kekuasaan –yang bisa juga disebut sebagai revolusi untuk mengambil alih kekuasaan— akan menimbulkan perkelahian. Pertumpahan darah, tepatnya. Yang berkuasa pastilah akan memperthankan diri. Dan akan melakukan penumpasan jika ada pihak yang mencoba melancarkan revolusi itu. Sebaliknya, pihak yang melancarkan revolusi kekuasaan (disingkat saja menjadi “revolusi”) pasti akan berusaha sekerasnya untuk menggulingkan penguasa. Bagi mereka, sudah cukup alasan untuk mengambil alih kekuasaan. Satu hal, bahwa revolusi tidak akan terjadi kalau tidak ada “discontent” (perasaan tak senang) yang meluas dan akut terhadap pihak yang berkuasa. Ini biasanya disulut oleh kebijakan penguasa yang menyusahkan rakyat. Atau, para penguasa telah melampaui batas dalam kesewenangannya. Kezoliman semakin merajalela. Salah satu ciri khas revolusi ialah kemunculannya yang tidak bisa dibendung. Pasti akan ada saja jalan menuju ke situ. Dengan syarat bahwa semua ramuan (ingredients) menuju revolusi itu memang telah lengkap ada di tengah rakyat. Tidak banyak orang yang bisa bersembunyi atau melarikan diri dari revolusi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Horeee... Mendadak Menjadi Kadrun? Budaya Munafik

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (22/10), Dulu Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut para santri atau aktivis Islam sebagai Kadal Gurun (Kadrun). Subutan yang mengarah pada sisi kearab-araban, baik dari sisi pakaian maupun identitas lainnya. Asal yang ada arab-aranya, itu Kadrun. Memang musuh PKI adalah kekuatan agama. Karena bagi faham komunis, gerakan agama itu adalah candu. Sebagai gerakan tanpa moral, PKI menghalalkan segala cara. Semua yang berbau agama harus dihancurkan. Bagi PKI, kalau masih dirangkul, ya lebih baik. Termasuk ikut sholat, puasa dan haji. Sebutan Kadrun ternyata melembaga juga saat ini. Ejekan datang dari para pendukung Jokowi kepada elemen dan aktivis Islam. Nong Darol, Edi Kuntadi, Denny Siregar paling suka lempar perkadrunan ini. Begitu juga dengan FX Arief Poyuono dan Ade Armando. Meski balasan predikat juga bisa dikenakan untuk para doking, dan kodok Peking. Profil kemusliman, bahkan kearab-araban untuk sebutan Kadrun lucunya juga ternyata ditampilkan oleh Jokowi dan keluarganya. Langkah ini dalam upaya mencari dukungan suara umat Islam. Umat Islam ini kadang-kadang tidak disukai, tetapi juga sangat diperlukan suaranya. Makanya para pencari suara tersebut bisa saja "mendadak menjadi Kadrun". Saat Pilpres 2019 Jokowi sering tampil mengimami sholat di berbagai daerah. Lalu pemotretan fokus pada sudut penampilan. Kadang-kadang Mihrab harus dimundurkan satu shaff agar posisi yang tadinya diperuntukan untuk iman sholat tersebut, bisa ditempati oleh petugas pemotretan untuk mengambil gampar saat Pak Jokowi jadi imam sholat. Bahkan diantara Pak Jokowi menjadi imam sholat tersebut, ada yang dengan bersorban segala. Ada juga saat mengimami pemimpin negara asing di Kabul Afghanistan bersorban unik. Padahal sorban itu kan nyata-nyata pakainnya kaum “Kadrun”. Sekarang ini jarang sekali untuk menemukan lagi foto atau video pak Jokowi mengimami lagi. Memang "Kadrun" kadang dibutuhkan sesaat saja. Namun kalau sudah selesai maksud dan tujuan, maka langkah berikutnya para mendukung yang menghujat pakaian atau tampilan medel “Kadrun”. Begitu juga yang terjadi pada sang putra "milenial" Gibran yang berubah berpeci sarung bak seorang ustadz dalam tampilan Pilkada Solo. Cawalkot "sembilan puluh dua persen" ini pun "mendadak menjadi Kadrun". Diikuti mantu Bobby Nasution yang maju dalam Pilkada Medan viral bersorban putih dan berpenampilan seperti "pangeran Sentot Alibasyah". Tentu saja tidak ada yang salah untuk berpakaian muslim, berpenampilan ala ustadz, atau yang kearab-araban. Namun mendadak berpenampilan "sholeh" dalam rangka berburu suara dalam pilihan politik pasti menuai cibiran. Celaan Jokower bahwa aktivis muslim adalah "Kadrun" harus membenturkan diri Jokowi dan keluarganya yang "mendadak Kadrun" pula. Relasi Pemerintahan Jokowi dengan umat Islam dinilai bermasalah. Bukan saja dirasakan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Namun juga tak luput dari pengamatan cendekiawan asing. Greg Fealy di antaranya. Professor Australian National University (ANU) itu menyebut Pemerintahan Jokowi represif kepada umat Islam. Lewat tulisan di East Asia Forum 27 September 2020 Fealy menyatakan pemerintahan PDIP di bawah Jokowi itu menindas umat Islam. Penangkapan aktivis dan isu radikalisme diarahkan kepada umat Islam. Isu yang sengaja diangkat untuk tujuan memberangus. Jadi menggelikan dan menjengkelkan jika ulama dan aktivis umat Islam diteriaki sebagai Kadrun. Akan tetapi dalam praktek politiknya, mereka itu juga "mendadak menjadi Kadrun". Inilah krisis personalitas dalam proses politik. Split personality atau ambivalensi politik. Hancur moral bangsa akibat memberhalakan budaya munafik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Diberi Raport Merah, Jokowi Mesti Dievaluasi

byTony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (22/10). Tanggal 20 Oktober 2020, genap setahun pemerintahan Jokowi periode kedua. Publik menyoroti bagaimana kebijakan dan kinerjanya. Agak bersemangat mengingat cukup banyak isu yang acapkali menciptakan ketegangan. Setidaknya ada tiga hal untuk mengukur dan menilai secara obyektif kinerja Jokowi di periode kedua. Pertama, terkait program berkelanjutan dari periode pertama. Kedua, mengenai janji politik. Ketiga, seberapa besar tingkat kepuasan publik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Kalau ditanya, apa program berkelanjutan Jokowi? Jawabnya, ya infrastruktur. Jalan tol, bandara dan kereta cepat yang masih terus berlanjut. Bahkan mimpi untuk membangun "Ibu Kota Baru" di Provinsi Kalimantan Tengah. Harus diakui, pembangunan infrastruktur era Jokowi cukup gencar dan masif. Ini harus diapresiasi. Infrastruktur inilah yang diantaranya berjasa membuat Jokowi terpilih kembali untuk periode kedua. Kendati penuh kontroversi dan menyisakan sejumlah persoalan. Meski demikian, pembangunan infrastruktur Jokowi meninggalkan setidaknya empat catatan. Pertama, tidak sesuai target sebagaimana yang dituangkan dalam janji politiknya. Terutama soal tol laut. Kedua, pembangunan infrastruktur yang "ugal-ugalan" mengakibatkan tingginya hutang negara. Bahkan melebihi hutang gabungan era presiden-presiden sebelumnya. Ketiga, pembangunan infrastruktur tidak linier dengan pertumbuhan ekonomi. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di periode pertama hanya 5%. Jauh dari target yang dijanjikan yaitu 7%. Di periode kedua, ekonomi makin terpuruk, dihajar pula dengan pandemi corona. Terjadilah resesi. Dua kuartal minus. Keempat, pembangunan infrastruktur tidak punya efek terhadap peningkatan ekonomi, baik langsung atau tidak langsung. Apalagi yang berkaitan dengan program revolusi mental yang jadi tageline pemerintahan Jokowi. Mengenai janji Jokowi di periode kedua publik nampak apatis. Abai dan tak lagi memperhatikan apa saja janjinya. Mengingat puluhan janji di periode pertama sebagian besar meleset. Stop impor, bay back Indosat, sudahlah masih banyak lagi... lupakan saja. Dan Jokowi sendiri tak pernah memberi penjelasan terkait melesetnya janji-janji tersebut. Gampang lupa, karena bisa berubah pagi dan sore. Terlepas apapun penilaian publik terhadap janji Jokowi di periode pertama, janji di periode kedua tetap harus diingatkan. Janji itu road map. Orang luar bilangnya menifesto. Baik bagi kebijakan pemerintah, maupun jadi unsur penting bagi rakyat untuk mengukur dan menilai kinerja pemerintahan Jokowi Diantara janji itu adalah sinergi pemerintah daerah, penegakan sistem hukum bebas korupsi, pemberian rasa aman bagi setiap warga, dan masih banyak lagi. Ini jadi bagian dari misi Jokowi periode kedua. Melihat KPK terkapar, pencabutan kewenangan Pemerintah Daerah dalam UU Minerba, segala bentuk persekusi dan represi terhadap kebebasan berpendapat, membuat misi ini harus mendapatkan koreksi. Selanjutnya, apa opini publik terhadap kebijakan Jokowi? Survei Litbang Kompas terbaru mengungkap bahwa hanya 45,2% rakyat yang puas terhadap kinerja Jokowi. Ini nggak linier dengan jumlah pemilih Jokowi di Pilpres 2019. Survei ini telah memberi penilaian negatif untuk setahun kinerja Jokowi. Akankah ada survei tandingan yang bakal mencounter survei Litbang Kompas? Kita tunggu saja. Diaisi lain, buruh memberi kartu merah terhadap kinerja Jokowi. Bagaimana dengan mahasiswa dan pelajar? Bagaimana pula dengan Majelis Ulama Indonesia MUI dan ormas? Ini juga penting, agar bisa jadi catatan untuk kinerja pemerintah ke depan. Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan kinerja Jokowi bisa dilihat dari sejumlah persoalan. Diantaranya soal politik. Dikotomi pendukung non pendukung tidak selesai. Maaf, "Cebong-Kadrun" menjadi istilah yang terus dipelihara eksistensinya. Nggak bener! Tiga faktor yang menjadi sebab mengapa pendukung dan non-pendukung terus eksis. Pertama, perlakuan hukum yang berbeda terhadap pendukung dan pengkritik pemerintah. Borgol yang sedang ramai dibicarakan seolah menjadi simbol ketidakadilan itu. Kedua, influencer yang terus bekerja merawat keterbelahan sosial. Mengumandangkan istilah "Kadrun" untuk lawan politik dan pihak yang kritis terhadap pemerintah adalah sebuah ironi berbangsa. Setiap yang kritik pemerintah dianggap barisan yang sakit hati, atau politisi yang kecewa karena nggak dapat jatah di pemerintahan Jokowi. Stigma Islam ideologi, radikal dan khilafah semakin memperkeruh situasi. Ketiga, minimnya ruang dialog dengan pihak yang berbeda pendapat, dan dianggap berseberangan secara politik dengan pemerintah. Pemerintah dengan struktur pendukungnya seringkali membangun sikap dan narasi permusuhan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengen pemerintah. Bukan pendekatan dialogis yang dikedepankan. Kalau soal hukum, ada masalah serius di produk, pelaksanaan dan penegakan. Sejumlah undang-undang yang ditolak dan diprotes rakyat diketuk palu. Diantaranya ada UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU HIP dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Entah berapa banyak demonstran yang telah jadi korban. Semua UU tersebut mendapatkan penolakan masif dari masyarakat. Tetapi, tetap saja diundangkan. Terkecuali RUU HIP. Itupun belum dicabut dari Prolegnas. Pemerintah dan DPR budeg dan tuli. Kaya negara ini hanya punya pemerintah dan DPR. Sehingga suara rakyat harus dianggap tidak ada. Terakhur UU Ciptaker. Gelombang protes dan demo nggak berhenti. UU Ciptaker dianggap cacat formil dan materiil. Cacat formil, karena ada kesalahan prosedural. Tidak transparan, kurang sosialisasi, banyak anggota fraksi yang terlibat dalam sidang paripurna tidak mendapat materinya. Jumlah halamannya pun berubah-ubah. Cacat materiil, karena sejumlah pasal dianggap tumpang tindih. Dari aspek demokrasi, ada tindakan berlebihan aparat yang dianggap sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat. Ancaman administratif terhadap pelajar dan mahasiswa yang demo merupakan bentuk pembungkaman yang sepatutnya nggak perlu ada. Penyelenggara negara tidak faham konstitusi tentang kebebasan berpendapat yang diatur pasal 28 UUD 45. Belum juga terhadap pers. ILC rehat berulangkali. Ini dibaca publik sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Halo Bang Karni Ilyas. Apa kabar??? Ko ILC banyak banyak cuti??? Semoga Bang Karni, ILC dan TV One sehat-sehat saja, dan dilindungi Allah Subhanahu Wa’ala. Amin. Apalagi soal ekonomi. Selama dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus. Ini pertanda resesi ekonomi akan terjadi. Beban hutang begitu besar dan jatuh tempo bayar di bulan November nanti. Dimana devisa (cadangan uang negara) kabarnya sangat minim. Yang harus dibayar pada November nanti mendekati U$ 60 miliar. Jumlah itu hampit separuh dari devisa kita saat ini. Mengandalkan pinjaman luar negeri tak sepenuhnya bisa diandalkan disaat banyak negara mengalami masalah ekonomi. Jual SBN (Surat Berharga Negara) juga tak mudah. Kecuali jika Bank Indonesia yang membeli dengan sistem burden sharing (cetak uang). Sayangnya, undang-undang melarang BI membeli SBN di pasar primer. Ini PR sekaligus tantangan presiden di sisa empat tahun pemerintahannya. Jika ingin mendapatkan kembali opini positif dari rakyat, Jokowi sebagai kepala negara, harus berani melakukan perubahan. Apa yang harus dirubah? Ya, pikir sendiri. Kok nanya gue. Entar kalau gue kasih masukan, gue di....... dong. Ogah ah! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

UU Cilaka Itu Urusan Hutan, Tebang Pohon & Kavling Tanah?

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN - Kamis (22/10). Jika benar naskah yang disyahkan DPR dan selanjutnya dikirim ke Presiden adalah naskah 812 halaman, maka saya dapat menyimpulkan bahwa Undang-Undang cipta kerja adalah undang-undang tentang masuk hutan dan kuasai tanah. Pantas saja para pegiat lingkungan dan masalah pertanahan uring uringan. Seluruh organisasi sosial yang peduli masalah lingkungan hidup dunia sesak nafas mendengar Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bayangkan, dalam naskah Undang-Undang Cipta Kerja yang saya terima dari salah seorang anggota DPR-RI tersebut, terdapat 993 kata izin, yang merupakan kata paling banyak dalam Undang-Undang ini. Boleh jadi Undang-Undang ini adalah Undang-Undang tentang Perizinan dan Investasi. Namun yang mengagetkan, ternyata kata paling banyak setelah izin adalah kata hutan yakni terdapat 370 kata. Luar biasa ternyata. Ini Undang-Undang tentang izin masuk hutan. Lalu masuk hutan buat apa? Ternyata kata paling banyak lainnya selain hutan adalah tanah, yakni sebanyak 285 kata tanah. Sedikit lebih banyak dari kata laut dan air. Dengan demikian Undang-Undang ini masih seputar investasi hutan, tanah dan air. Jadi yang dimaksud dengan cipta kerja atau pekerjaan yang diciptakan tersebut ternyata pekerjaan di dalam hutan dan berurusan dengan tanah. Padahal dulu pada saat Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law pertama kali diwacanakan, saya sendiri menduga ini akan ada terobosan besar menyambut era Information and Communication Technology (ICT). Undang-Undang yang terkait dengan digitalisasi, fintech, era keterbukaan informasi, yang memerlukan dukungan Omnibus Law. Ternyata dugaan saya keliru, karena di dalam Undang-Undang ini hanya ada 11 kata tentang digital. Itupun maksudnya cuma mempublikasikan lewat digital. Mungkin aparat negara diminta sering-sering menggunakan facebook atau ngetwit. Sekarangpun masih banyak yang beranggapan bahwa Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja adalah dalam upaya menciptakan lapangan kerja. Tempat kerja untuk kaum milenial, angkatan kerja baru, anak anak muda, genersi Z dan lebih jauh generasi Alfha. Apakah lapangan kerja baru itu adalah masuk ke dalam hutan? Menggali tanah dan enanam pohon? Atau apa? Berhubung jaman berburu sudah berakhir, seiring dengan berakhirnya era homo soloensis, maka kuat keyakinan bahwa yang dimaksud cipta kerja itu bukan peberburuan di hutan. Undang-Undang ini tampaknya membawa kita kembali ke jaman kolonial dulu. Bukan jaman purbakala, yakni melaksanakan perintah VOC atau Londo untuk masuk hutan, dan tebang pohon. Sistem yang dipake mungkin sama dengan tanam paksa, atau mungkin rodi atau mungkin sedikit lebih liberal yakni sewa tanah. Namun yang pasti ini tenaga kerja baru masuk hutan dulu dan tebang pohon, lalu dapat gaji dari para cukong atau investor. Dalam Undang-Undang Omnibus Law ini ada 143 kata investasi. Wallahualam Bishawab. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Dr. Ahmad Yani SH. MH Sudah Benar

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jangan lupa bahwa orang yang berlaku tidak adil berarti dia tidak takwa. Selalu awaslah terhadap hal-hal yang perlu bagi pengurusan kerajaan. Setiap saat tetaplah berpikir seperti mukmin sejati dalam masalah-masalah yang anda hadapi dengan keluhuran yang sempurna, dan sederhana serta perasaan kasih sayang dan keadilan (Al-Ghazali 1058–1111). Jakarta FNN – Kamis (22/10). Awal malam yang dingin dan mengasyikan di Kantor Dr. Ahmad Yani SH. MH, mendadak berubah. Memanas dan menyentak, merobek akal sehat. Sebab di kantor yang tengah berlangsung pertemuan membicarakan Masyumi Reborn, mendadak kedatangan tamu tak biasa. Tak biasa, bukan karena jumlah yang datang itu bukan aktivis politik. Tetapi maksud kedatangannya tak bisa dientengkan. Itu sebabnya siapapun yang mengukir hidupnya dengan kesantunan dan keluhuran martabat, tak mungkin tak dirundung tanya atas keadaan aneh itu. Apa gerangan orang-orang ini malam-malam datang? Apa yang mau dicari? Untuk urusan sepenting apa? Pertanyaan seterusnya pasti berceceran dialam pikir setiap orang santun untuk merespon peristiwa tiba-tiba itu. Tetapi semua tanya itu segera jelas sesaat kemudian. Urusannya berinduk pada hukum, dan Dr. Ahmad Yani yang sedang dicari. Oke. Ngobrol atau Coba Tangkap? Apakah doktor ini pernah dipanggil secara resmi, tetapi tidak pernah mau penuhi panmggilan itu sehingga harus ditangkap? Polri melalui Kadiv Humasnya, punya pendapat sendiri. Tidak menangkap. Hanya komunikasi. Polri seperti dilansir RMol 20/10/2020 mengklaim, datangnya penyidik Bareskrim Polri ke kantor Ahmad Yani di Matraman, Jakarta Pusat pada Senin (19/10) malam sekadar komunikasi. “Enggak ada. Kita baru datang dengan komunikasi ngobrol-ngobrol saja. Jadi ngobrol-ngobrol yang bersangkutan bersedia sendiri untuk hari ini hadir ke Bareskrim,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono (RMol, 20/10/2020). Ngobrol-ngobrol soal apa? Sebab dari penuturan Kadiv Humas yang dilansir RMol 21/10/2020 kedatangan mereka malam itu untuk melakukan penyelidikan. Untuk kasus apa? Kasusnya berkaitan dengan adanya tindakan anarkis saat aksi menolak omnibus law UU Cipta Kerja tanggal 8 Oktober 2020 yang lalu. Menariknya, Dr. Ahmad Ahmad Yani memiliki cerita sendiri atas peristiwa itu. Saat dihubungi wartawan Republika.co.id pada Selasa (20/10) pagi, Ahmad Yani membenarkan upaya penangkapan atas dirinya, yang terjadi sekitar pukul 19.15 WIB. Iya benar seperti itu (ada percobaan penangkapan). Saya ada di kantor dan saya tanya apa dasarnya perbuatan melanggar hukum apa yang saya lakukan? kata Ahmad Yani pada Republika.co.id. Menurut Ahmad Yani, petugas kepolisian tak bisa menjelaskan apa alasan upaya penangkapan itu. Polisi yang datang, kata dia, hanya menjelaskan soal keterlibatan Ahmad Yani terkait narasi video Youtube yang disebut oleh aktivis KAMI, Dr. Anton Permana dalam pemeriksaan. Anton Permana sendiri sebelumnya telah ditangkap terlebih dahulu oleh polisi. Namun, penjelasan penyidik Bareskrim Polri ini tidak dapat diterima Ahmad Yani. Sebab, narasi yang dimaksud, menurutnya adalah sikap resmi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang telah disiarkan pada publik secara luas. (Republika. Co.id, 20/10/2020). Bagaimana ujung kasus ini? Berhenti hingga dititik senin malam yang lucu itu? Dilansir CNNIndonesia.com (21/10/2020) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri segera memanggil Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani untuk diperiksa. Namun, jadwal pasti pemeriksaan Ahma Yani belum diketahui. "Rencana akan dipanggil, kita tunggu pelaksanaannya," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono saat dikonfirmasi, Rabu (21/10). Ngobrol-ngobrol atau mau menangkap Ahmad Yani? Kalau sekadar ngobrol-ngobrol, mengapa maksud itu tidak disampaikan sedari awal kedatangan kepada Ahmad Yani? Mengapa video yang dimasalahkan itu, baru diperlihatkan kepada Yani setelah Yani bereaksi? Apakah mereka dibekali surat penangkapan? Bila ya, akan terasa konyol sekali. Bukankah kedatangan itu untuk sekadar ngobrol-ngobrol? Bagaimana nalarnya? Apakah percobaan penangkapan hanya karangan Dr. Ahmad Yani? Bila ya, untuk apa? Ahmad Yani yang mantan anggota Komisi Hukum DPR itu kan sangat terlatih berpikir khas Yuris, dan mengerti konsekuensi hukum bila mengarang cerita itu. Pertanyaan-pertanyaan kecil yang menggelikan itu, pasti dikemukakan siapapun yang mengikuti peristiwa itu. Soal-soal itu tidak memerlukan penalaran hukum yang ketat dan cermat. Cukup hanya dengan akal sehat saja, pertanyaan-pertanyaan itu bisa ditemukan. Sangat sederhana. Apakah pertanyaan atau masalah yang lahir dari penalaran akal sehat itu, mengandung konsekuensi hukum? Ah sudahlah. Nantilah. Perlukah menimbang secara serius “panggilan” kepada Dr. Ahmad Yani? Panggilan pertama, panggilan kedua atau panggilan ketiga? Ah nanti saja. Pasal 28D UUD 1945 Apakah disitu masalahnya? Jelas tidak. Masalahnya ya isi video Youtube, yang merupakan pernyataan resmi KAMI. Apakah isi video itu dapat dikualifikasi pidana? Bila ya, soalnya bagaimana penalarannya? Andai isi video itu berisi pernyataan dukungan terhadap demonstrasi buruh, apakah pernyataan dukungan itu memiliki sifat pidana? Kalau iya, tolong tunjukan dalam hukum mana, di muka bumi ini atau di planet mana, demonstrasi dapat dikualifikasi sebagai pidana? Mau menganalisis dengan menggunakan semua peralatan dan sarana interpretasi ilmu hukum atas hal sesepele itu? Untuk saat ini, itu pekerjaan sangat membuang-buang waktu. Suatu hari nanti mungkin analisis semacam itu diperlukan. Tetapi tidak untuk saat ini. Pembaca FNN yang budiman. Hari-hari ini akan jadi hari yang begitu hebat, bila sejenak saja Ahmad Yani, yang ahli hukum ini, menelusuri lembaran-lembaran hitam hukum rezim otoriter Orde Lama dan Orde baru dulu. Kisah keangkuhan dan kesombongan hukum khas rezim revolusioner itu, layak untuk diselami. Dipenjaranya Pak Sjafruddin Prawiranegara, dan lainnya, termasuk Buya Hamka dimasa rezim revolusi orde lama, manis untuk dikenali. Politik dan hukum revolusi bekrja dengan cara yang tak bisa diprediksi. Manis diawal, mencemaskan di tengah dan menjijikan di ujung. Begitu tipikalnya. Almarhum Pak Sjaf, Presiden Republik Persatuan Indonesia (PRI) yang diproklamasikan pada tanggal 1 Februari 1960 di Bonjol dan kawan-kawan di PRRI/Pemesta diberi amnesti dan abolisi. Amnesti dan abolisi itu diatur dalam 449 tahun 1961. Mereka dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Manis. Amnesti? Ini pengecohan. Pak Sjaf dan kawan-kawan malah ditahan. Mula-mula ditahan di Cipayung, sebelum akhirnya tahun 1962 dipindahkan ke Colo, desa kecil dekat Kudus, terletak di lereng gunung Muria. Pak Sjaf ditempatkan pada sebuah rumah peristirahatan milik satu perusahaan rokok. Tanggal 1 Mei 1963 kedaan bahaya perang dinyatakan berakhir. Mengira pencabutan keadaan bahaya perang menandai naiknya ufuk cerah dipagi hari, Pak Sjaf girang. Ternyata demokrasi terpimpin, yang membimbing revolusi, punya hukum sendiri. Pak Sjaf tak bisa segera menghirup udara bebas layaknya warga negara bebas. Tidak. Pak Sjaf malah mengalami nasib yang lebih buruk. Kalau sebelumnya ditahan dirumah peristirahatan, kali ini malah ditahan di Rumah Tahanan Militer ( RTM) Jakarta. Revolusi ini benar ditopang dengan hukum. Selain Penetapan Presiden (Pen. Pres) Nomor 3 Tahun 1962 juga Penpres Nomor 11 Tahun 1963. Pada penpres Nomor 3 Tahun 1962 diatur pemberian kuasa kepada Jaksa Agung atas petunjuk Presiden/Pimpinan Besar Revolusi menunjuk orang yang “dianggap membahayakan tujuan revolusi” ditahan di satu tempat tertentu sebagai tempat berdiam sementara. Pen. Pres buruk ini akhirnya dicabut, dan diganti dengan Pen. Pres yang lebih buruk, yakni Pen.Pres Nomor 11 Tahun 1963, tentang Pemberantasan Subversi. Dengan Pen. Pres inilah drama penahanan permanen Pak Sjaf berawal. Pak Sjaf dikeluarkan dari Culo, di Lereng Gunung Muria, untuk dipindahkan dan ditahan di RTM di Jalan Budi Utomo. Di RTM itu Pak Sjaf menjalani joroknya hukum revolusi. Terus berada di RTM hingga tanggal 17 Mei 1966 (Lihat Ajib Rosidi, 2011, hal 340-373). Pak Sjaf bebas setelah Presiden Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi itu kehilangan kekuasannya secara materil. Mengarang bebas kasus, tangkap dan penjara, begitulah hukum rezim revolusi Orde Lama itu memukul Buya Hamka. Kasusnya dikarang-karang, lalu Ulama ini ditangkap, ditahan dan diperlakukan kasar oleh Soegondo dan Muljo Kosoemo, dua penyidik dalam kasusnya, (Lihat Haidar Musyafa, 2018, hal 661-665). Bagaimana dengan Orde Baru? Yang dikenal umum dengan orde pembangunan itu? Sama dalam banyak aspek. UU Subversi tersebut, tetap saja dipertahankan dan Pak Harto untuk membimbing dan mengawal pelaksanaan pembangunan. Persis seperti Orde Lama, ada saja orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Orang-orang yang dikenal sebagai fungsionaris Petisi 50 adalah satu elemennya. Kawakan secara individual, mereka menerbitkan buku putih tentang Peristiwa Priok Desember 1984. Tetapi seperti Orde Lama, beberapa diantara mereka berakhir di penjara. Politik punya cara sendiri mengoreksi keangkuhan penguasa. Mirip Presiden Soekarno, Pak Harto, pria murah senyum ini, harus mundur dari kekuasaan yang telah lama digenggamnya. Demonstrasi berkepanjangan dan berdarah kalangan mahasiswa menjadi sebab terbesar pengunduran diri itu. Manis betul politik mengukir eksistensi pada waktu lain. Wakil Presiden Habibie, naik jadi Presiden menggantikan Pak harto. Pria kecil yang sangat rasional ini membelah keangkeran politik. Kebesaran akal sehat dan jiwa demokratisnya membawa pemerintahannya membebaskan semua tahanan politik. Berbeda pendapat ko dipenjara? Itulah hembusan jiwa demokratisnya. Habibie top marco top. Hal hebat itu, terluka bahkan tercampakan malam itu. Tetapi beruntung Dr. Ahmad Yani, yang ahli hukum ini, mempertanyakan hal-hal teknis kepada polisi yang mendatanginya. Sangat refleksif untuk sejumlah aspek. Demokrasi yang terbimbing dengan UUD 1945 dan KUHAP, membenarkannya. KUHAP yang secara partikular dapat dianalogikan sebagai Habes Corpus Act itu, jelas mengatur kaidah menemukan perbuatan pidana, pemanggilan, pemeriksaan, penahan, penangkapan, dan lainnya. Habes Corpus Act yang mengawali eksistensi dalam sistem hukum Inggris tahun 1679, pada masa raja Charles II. Ini sangat hebat. Habes Corpus Act punya tujuan mulia. Untuk mencegah kewewenang-wenangan penguasa, karena kesewenang-wenangan bukan hanya menandai keangkuhan yang bodoh. Tetapi menghina harkat dan martabat kemanusiaan yang berakal menjadi terhina-dina. Itulah yang mau dipromosikan Habes Corpus. Dr Ahmad Yani benar mengambil titik pijak pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal ini, khususnya ayat (1) berakikat sebagai petition of right. Aparatur hukum harus menjelaskan secara spesifik dan detail perbuatan apa yang dituduhkan kepada warga negara? Tanpa kecuali siapapun orangnya. Tidak boleh sewenang-wenang. Akhirnya, suka atau tidak Dr. Yani telah menghidupkan elemen esensial rule of law. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

KAMI Sangat Ditakuti Gerombolan Penista Moral

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (22/10). Gagasan perlunya ada koalisi masyarakat sipil (civil society) melalui kebersamaan tokoh-tokoh yang memiliki komitmen untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan teralisasi dengan Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamta Indonesia (KAMI) pada tanggal 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi Jakarta. Tiga orang tokoh bangsa didaulat untuk memimpin KAMI sebagai Presidium. Mereka adalah Profesor DR. Din Syamsuddin, Profesor DR. Rochmat Wahhab, dan Jenderal TNI (Purn.) Benaran Gatot Nurmantyo. Maksud saya Gatot bukanlah Jenderal Purnawirawan Kehormatan (Hor). Meskipun tampil dengan jati diri "tidak ada hubungan organisasional atau struktural" geliat keberadaan dan kehadiran KAMI di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota tetap terasa. Deklarasi dilakukan dimana-mana. Meskipun selalu saja ada gangguan dan hambatan dari arapat dan penguasa di daerah. Anjing menggonggong kafila terus saja berlalu. KAMI tetap saja deklarasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan kegigihan yang berbasis tawakkal kepada Allah, maka KAMI terus terbentuk di berbagai daerah. KAMI yang isinya adalah lintas faham, lintas eksponen, bahkan lintas agama. Karena punya cita-cita dan keinginginan yang sama, yaitu menyelamatkan bangsa dari kerterpurukan yang lebih dalam. Spirit menyelamatkan bangsa adalah aksi dialogis, aksi kritis, aksi memperkuat nilai-nilai moral ideologis. Gerakan moral hadir bukan untuk membuat rusuh atau merusak. Bukan pula gerakan yang merekayasa kerusuhan dan kerusakan. Sebab yang seperti itu adalah gerakan yang nir-moral. Fondasi berdirinya KAMI bukan untuk itu. Tidak juga yang seperti itu. Karena KAMI yang tampil sebagai kekuatan moral inilah yang kemudian sangat ditakuti oleh mereka yang tergabung dalam gerombolan penista moral. Baik itu gerombolan penista moral di bidang ekonomi maupun politik, dan sosial budaya. Ujung-ujunganya KAMI harus difitnah sebagai dalam kerusahan. Tidak sampai disitu saja. Gerombolan penista moral juga menyudutkan dan menuduh KAMI sebagai aktor atau dalang dibalik demonstrasi besar-besaran para buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat yang merata di seluruh tanah air belakangan ini. Demonstrasi yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). UU yang hanya untuk menguntungkan pengusaha, korporasi, dan konglomerasi busuk, licik, picik, tamak dan culas. Padahal tanpa difitnahpun sikap KAMI sama dengan para buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat yang menolak disahkannnya UU Cilaka. Akibatnya, beberap deklataror dan Komite Eksekutif KAMI ditangkap-tangkapin, dengan alasan yang sangat ecek-ecek dan picisan. Alasan yang dibuat-buat hanya untuk mengekang, menekan dan menakut-nakuti kekuatan civil society yang berbeda pendapat dengan penguasa dalam hal pengelolaan negara. Penangkapan yang sangat "bermuatan politis" terjadi. Sejumlah Deklarator dan Komite Eksekutif KAMI yang ditangkap adalah Dr. Syahganda Nainggolan, Muhammad Jumhur Hidayat, dan Dr. Anton Permana dan lain-lain. Begitu juga di Sumatera Utara 4 aktivis KAMI ditangkap. Sementara di Jawa Barat Posko Kesehatan KAMI diobrak-abrik. Simpatisan KAMI ada juga yang menjadi tersangka. KAMI Jawa Barat di framing mendanai demo. Hal yang tentu saja telah dibantah. Landasan hukum yang dipakai aparat kepolisian untuk menangkap-nangkapin aktivis KAMI adalah UU ITE. Murip dengan pola yang dipakai oleh penguasa Orde Lama dan Orde Baru yang menggunakan UU Suversif untuk menekan dan menakut-nakuti kelompok oposisi dan kekuatan sivl society yang tergabung dalam kelompok kerja “Petisi 50”. Siapa saja yang tampil mengkritik penguasa Orde Lama dan Orde Baru dianggap sebagai subversif. Makanya harus ditangkap, ditahan dan dipernjarakan. Tragisnya, ada ditahan bertahun-tahun tanpa diadili seperti Pak Buya Hamka dan Profesor Syafrudin Prawiranegara. KAMI kini adalah kekuatan baru yang menjadi sasaran pelumpuhan dari penguasa. Ini akibat dari suara kritis KAMI kepada Pemerintah. Penguasa juga menambah target pelumpuhan dari yang sudah lama seperti HTI dan FPI. KAMI itu fenomenal, karena disamping usianya baru dua bulan, juga merupakan koalisi dari banyak figur terbaik anak bangsa. Isinya para cendekiawan, purnawirawan, agamawan, maupun aktivis perjuangan yang cukup berpengaruh. Terhadap tekanan yang juga berbau fitnah, mungkin berdampak bagi KAMI yang secara opsional atau beberapa kemungkinan. Pertama, KAMI mungkin saja goyah dan menurun daya dukung publik akibat serangan pembusukan pihak tertentu. KAMI juga mungkin mengalami goncangan akibat turbulensi. Kedua, KAMI tetap bergerak, namun tidak berlari cepat. Dukungan publik kepada KAMI masih cukup besar. Ada sebagian yang awalnya mendukung terang-terangan menjadi diam-diam. Ketiga, KAMI semakin memiliki daya dukung yang lebih kuat. Tekanan-tekanan yang berbau fitnah atau penzaliman justru memberi hikmah, simpati dan penguatan support untuk tetap melakukan perlawanan moral kepada penguasa dalam mengkritisi tata kelola negara. KAMI tetap kritis dalam suasana apapun. Dari opsi atau kemungkinan yang dapat terjadi, potensi pengembangan KAMI jauh lebih dominan. KAMI tidak akan runtuh. KAMI insya Allah tidak akan kalah oleh fitnah. KAMI harus dan akan terus melangkah. Kedzaliman mungkin saja mampu berkacak pinggang untuk waktu sesaat. Tetapi tidak akan mampu sepanjang waktu. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Dilihat Sebagai Oposisi Terkuat, KAMI Akan Ditekan Terus

by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (21/10). Pada saat ini, praktis tidak ada lagi kekuatan yang bisa mengawasi dan mengimbangi penguasa. Semua sudah berada dalam genggaman mereka. Para penguasa telah mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik. Hampir semua parpol di DPR sudah berubah menjadi suruhan penguasa. Hanya PKS yang masih beroposisi. Sikap PKS yang tak sudi dikooptasi penguasa, membuat partai kecil ini menjadi bulan-bulanan penguasa dan para buzzer. Di tengah kondisi tanpa oposisi di parlemen, rupanya masih ada ratusan tokoh masyarakat dan bangsa yang terpanggil. Mereka merasa tergerakkan untuk menyelamatkan Indonesia. Para tokoh itu pun berkumpul dan sepakat membentuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia yang disingkat KAMI. Ada Prof Din Syamsuddih (mantan ketum PP Muhammdiyah), Jenderal Gatot Nurmantyo, Rochmat Wahab (ketua Komite Khittah NU 1926), Abdullah Hehamahua, Prof Refly Harun (pakar hukum tata negara), Dr Chusnul Mar’iyah, Ilham Bintang (wartawan kawakan), M Said Didu, dll. Bahkan, Rocky Gerung juga terpanggil untuk bergabung. Banyak lagi figur-figur berintegritas yang berhimpun di KAMI. Tidak hanya di Jakarta. Para tokoh daerah pun berduyun-duyun ikut. Mereka mendaklarasikan diri di banyak provinsi dan kabupaten-kota. Dalam waktu singkat, KAMI menjadi kekuatan moral yang membuat para penguasa gelisah. Mereka gelisah karena bakalan ada gerakan kuat yang akan mempersoalkan moral mereka. Kondisi amburadul dan penuh kezoliman di Indonesia saat ini berpunca dari masalah moral. Para penguasa secara berjemaah telah kehilangan moral. Atau bisa juga mereka beramai-ramai membuang asas moralitas. Tampaknya, para penguasa tidak menduga kemunculan gerakan moral KAMI yang ‘credible’ dan disambut luas di seluruh negeri. Seketika itu “alarm antimoral” di kalangan penguasa otomatis menyala. Seluruh jaringan kekuasaan yang kini bobrok itu, terbangun. Mereka merasa terancam. Kesewenangan dan kezoliman mereka tak bisa lagi sesuka hati. Ibarat jaringan penguasa telah ditulari virus ‘immorality’, KAMI hadir sebagai vaksin yang akan melumpuhkan jaringan tanpa moral itu. Tentu saja virus antimoral menolak kehadiran vaksin pemulihan moralitas. Dan virus antimoral itu sudah terlanjur sangat kuat. Tetapi, KAMI tidak akan mundur. Prof Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo telah dengan tegas mengatakan bahwa mereka akan jalan terus. Mereka beralasan, yang mereka lakukan adalah langkah-langkah yang sangat logis. Dan sangat diperlukan. Sebelum Indonesia terjerumus sangat dalam. Hari-hari ini, ada kekuataan besar yang ingin menghapuskan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian, ada upaya untuk mencelakakan rakyat dan negara lewat UU Omnibus Cilaka (Cipta Lapangan Kerja). Ada kesan, UU ini merupakan regulasi yang diinginkan oleh para cukong, para pemodal rakus. Para penguasa serentak mendukung UU Cilaka. KAMI melihat muslihat yang akan mencelakakan rakyat lewat UU ini. Para penguasa melihat KAMI akan menjadi rintangan besar. KAMI akan membangkitkan kesadaran rakyat. Akan membangunkan rakyat melawan kesewenangan dan kezoliman. Para penguasa telah mengkalkulasikan dampak gerakan moral KAMI. Para penguasa tampaknya merasa terancam. Sangat masuk akal bahwa pihak penguasa akan melakukan segara cara untuk menghadang atau bahkan mematikan KAMI. Fitnah adalah salah satu bentuk serangan terhadap perhimpunan yang berintegritas itu. KAMI dituduh menunggangi aksi demo yang menentang UU Omnibus Law Cilaka (Cita Lapangan Kerja). KAMI hendak dipojokkan dengan cara ini. Cara lainnya adalah melakukan “terapi kejut” (shock therapy). Bisa juga disebut intimidasi. Menangkap, menahan, dan kemudian mempertontonkan para aktivis senior KAMI dalam keadaan diborgol dan berompi oranye, merupakan cara untuk menakut-nakuti komunitas KAMI. Inilah cara yang sangat tercela. Para pelaku pidana yang jelas-jelas merugikan negara, malah lebih dihormati. Diperlakukan dengan baik. Barangkali, “terapi kejut” ini bertujuan untuk menciutkan perjuangan mulia mereka untuk menyelamatkan Indonesia. Padahal, itu semua miskalkulasi. Khalayak (publik) malahan bersimpati. Publik tahu ada banyak koruptor besar dan bandar-bandar narkoba yang diperlakukan dengan baik. Tapi, begitulah para penguasa melihat KAMI. Akan ditekan terus. Karena, mereka menganggap KAMI sebagai oposisi terkuat saat ini. Sedangkan KAMI hanya perhimpunan orang-orang yang melakukan gerakan moral. Mereka tidak melakukan perampokan kekayaan rakyat. Mereka bukan orang yang menggadaikan kedaulatan bangsa dan negara. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kebangsaan Kita di Ujung Tanduk

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Rabu (21/10). Persetujuan DPR RI atas UU Cipta Kerja (Cilaka) dalam sidang pleno 5 Oktober 2020 sudah diketok. Banyak kalangan menganggap keputusan itu dipaksakan. Menimbulkan ekses unjuk rasa hari-hari berikutnya. Melibatkan kalangan buruh, mahasiswa dan pelajar serta masyarakat. Berujung pada kerusuhan dan kerusakan. Ratusan provokator unjuk rasa anarkis ditindak. Sejumlah mahasiswa, pelajar dan tokoh aktivis diamankan polisi. Kebebasan berpendapat masyarakat sipil ikut-ikut “terborgol”. Adu argumentasi dan polemik terbuka di ruang publik antara pejabat negara dengan aktor non negara memanas. Bukan hanya sejumlah fasilitas umum mengalami kerusakan. Harmoni masyarakat dan diskursus publik juga menderita kerusakan. Sikon politik dilanda ketegangan. Mitigasi bencana pandemi tersendat. Masyarakat terbelah. Nasib demokrasi lalu dipertanyakan. Ada apa dengan demokrasi di Indonesia? Apakah telah terjadi evolusi proses pelemahan demokrasi? Sejumlah analisis ilmuan dan pakar politik dalam dan luar negeri menyebutkan demokrasi di dunia sedang mengalami kemunduran. Nancy Bermeo, ilmuwan politik Amerika menyebutkan telah terjadi “kemunduran demokrasi” atau sedang terjadi semacam erosi demokrasi (democratic erosion). Pada salah satu artikelnya “On Democratic Backsliding” (Kemunduran Demokrasi), Nancy berkata, bahwa bentuk kemunduran demokrasi yang mencolok, seperti yang klasik ”kudeta terbuka dan penipuan hari pemilihan”. Praktek ini telah menurun sejak akhir Perang Dingin. Tetapi, sementara itu bentuk kemunduran yang lebih halus dan "menjengkelkan" telah meningkat. Bentuk kemunduran yang terakhir, menurutnya, “melibatkan kelemahan lembaga-lembaga demokrasi dari dalam. Bentuk-bentuk halus ini sangat berbahaya ketika mereka dilegitimasi melalui institusi yang seharusnya melindungi nilai-nilai demokrasi,” ujarnya dalam artikel itu yang dipublikasi “Journal of Democracy - Johns Hopkins University Press (January 2016). Mengutip laporan Freedom House (2020), peneliti Burhanuddin Muhtadi (43) dalam tulisannya “Demokrasi Berakal Budi” (Kompas, 2020) menyebut, dunia sedang dilanda resesi demokrasi. Kini, peringkat demokrasi Indonesia terjerembab ke peringkat 64 dengan skor hanya 6,39. Artinya, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik itu, kita berada di dasar paling bawah kategori “flawed democracies” (negara demokrasi yang cacat). Menurut lembaga pemeringkat demokrasi terkemuka di dunia yang dikutipnya, “rapor merah Indonesia terletak pada kebebasan sipil dan kultur politik, terutama menguatnya intoleransi dan politik identitas”. Kenyataan ini semakin diperparah dengan penangkapan-penangkapan terhadap akvitis pro demokrasi yang berbeda pendapat dengan pemerintah seperti Syahganda Dr. Nainggolan, Muhammad Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana dan lain-lain. Berbicara tentang kemunduran demokrasi, jauh sebelum Muhtadi, telah lebih dahulu Aurel Croissant (professor ilmu politik Universitas Heidelberg, Jerman) bersama Larry Diamond (sosiolog politik Amerika) menulis “Introduction: Reflections on Democratic Backsliding in Asia” (Global Asia Maret 2020). Di seluruh dunia, kata mereka, demokrasi sedang menghadapi masa-masa sulit. Adapun tantangannya, diuraikan, terkait kualitas demokrasi sedang menurun di sejumlah negara demokrasi maju dan baru, dan laju kegagalan demokrasi semakin cepat. Pada saat yang sama, keterbukaan demokrasi sedang dibatalkan dalam sistem politik yang sebelumnya mengalami semacam liberalisasi politik, namun kini otokrasi kembali mengeras. “Kemerosotan pemerintahan demokrasi telah menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan. Juga menjadi perhatian para aktivis pro demokrasi, akademisi dan warga di seluruh dunia”. Persetujuan DPR RI atas UU Cipta Kerja dengan format Omnibus, yang dikampannyekan pemerintah, termasuk presiden Jokowi, bahwa sesungguhnya bertujuan menciptakan “pemerataan kenyamanan”. Namun pada kenyataanya meleset . Malah menimbulkan “pemerataan kemarahan” masyarakat yang direpresentasikan melalui kalangan buruh, mahasiswa dan bahkan pelajar. Ekses buruk penolakan publik terhadap UU Cipta Kerja memantik kembali “pembelahan” masyarakat. Menandai kemunduran demokrasi atau lahirnya “flawed democratic”. Mengapa elemen mahasiswa bangkit membangun “perlawanan” masif mengambil alih urusan protes kalangan buru? Benang merahnya ada. Karena mahasiswa dan pelajar itu adalah putra-putri kaum buruh. Kenyataan ini yang menjelaskan mengapa mereka sangat sensitif dan tidak bisa dipisahkan dari penderitaan dan perjuangan kaum buruh. Inilah mengapa mahasiswa dan pelajar itu lebih mudah tersentuh? Karena merteka merasakan adanya ancaman ketidakadilan yang tersimpan di dalam UU Cipta Kerja. Konsistensi perlawanan mahasiswa yang diperlihatkan dalam kasus penolakan UU Cipta Karya, dapat dibaca sebagai jawaban atas kekalahan mereka di dalam berbagai momentum unjuk rasa sebelumnya. Kasus jatuhnya korban dua orang mahasiswa yang tewas tertembak aparat pada unjuk rasa mahasiswa (26/09/2019) di Kendari, Sulawesi Tenggara karena menentang revisi UU KPK telah menorehkan luka pada mahasiswa maupun terhadap demokrasi itu sendiri. Kontroversial UU Cipta Kerja membuka ruang mahasiswa membangun integrasi konsolidasi nasional guna menjawab panggilan sejarah. Sebagai jaringan rantai pasok energi perjuangan masyarakat sipil (civil society) melawan ketidakadilan yang beririsan dengan pelemahan demokrasi. Gerakan mahasiswa yang spontan dan merata di seluruh Indonesia. Mereka tampil dengan gagak untuk menentang ketidakadilan. Mereka kini kembali memperkuat jaringan lapisan perjuangan masyarakat sipil untuk melindungi demokrasi dari upaya pelemahan sistemik negara. Indikasi pelemahan demokrasi secara pelan tapi pasti. Gejalanya mulai terlihat pada tahun terakhir dan awal pemerintahan kedua Jokowi. Merujuk pada kasus pemaksaan berlakunya revisi UU KPK. Kemudian disusul dengan beberapa UU berikutnya yang menihilkan partisipasi dan aspirasi publik. Menurut Marcus Mietzner Associate Professor di Australian National University, Australia, “Dalam kasus Indonesia, eksekutif juga menggunakan polarisasi ini untuk membenarkan tindakan yang semakin tidak liberal. Kombinasi, polarisasi dan peningkatan illiberalisme eksekutif telah mengurangi sumber daya aktivis masyarakat sipil Indonesia. Eksekutif Indonesia juga mempercepat kemunduran demokrasi negara dalam proses polarisasi dan tindakan yang tidak liberal tersebut” (Sources of Resistance to Democratic Decline : Indonesia Civil Society and Its Trials - Juli 2020). Situasi kenegaraan dan kebangsaan kita hari ini harus diakui sedang berada “di ujung tanduk”. Mahasiswa sebagai kekuatan perubahan dan elemen idealis, diyakini menyatukan dirinya pada politik kebangsaan. Bukan pada politik partisan. Mereka menentang ketidakadilan guna menghadirkan demokrasi yang mengalami distrosi. Harus ada jalan tengah menghentikan mata rantai kerusuhan. Semua pihak, terutama pemimpin eksekutif dan pemimpin legislatif, yang terpilih karena suara dari rakyat, agar ikhlas membungkukan badan sedikit saja. Mengulurkan tangan menyapa mahasiswa yang relatif adalah anak-anak mereka. Mahasiswa para calon pemimpin bangsa, sehingga diyakini bara ketegangan dapat diredupkan. Budaya saling menghargai, saling menghormati dan saling meninggikan sebagai cerminan peradaban tinggi ketimuran yang membanggakan semua yang namanya Indonesia.,wajib hukumnya mengemuka. Adalah tanggung jawab pemimpin untuk mencontohkannya. Dalam masyarakat modern yang berkeadaban, apalagi dalam konteks penggunaan hak masyarakat berpendapat, tentu saja budaya borgol dan water canon serta gas airmata tidak sepantasnya untuk selalu disuruh bicara. Ini untuk menghindari pertentangan yang berpotensi menyeret semua pihak ke dalam jebakan budaya primitif. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Alon Raih Doktor Hukum Dengan Cum Laude

by Kisman Latumakulita Semarang FNN – Selasa (20/10). Chairman Bening Institute Teuku Syahrul Ansari SH. MH. yang biasa disapa dengan “Alon” resmi menyandang gelar doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Dalam ujian virtual yang dipimpin Dekan Fakultas Hukum Undip Prof. Dr. Retno Saraswati, SH. M.Hum di Semarang pada Senin, 19 Oktober 2020, Alon yang juga Managing Partner pada TSA Advocates tersebut ditetapkan lulus dengan predikat “cum laude”. Promovendus Tengku Syahrul Ansari dinilai berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "Membangun Sistem Business Judgement Rule pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero dalam Hukum Ekonomi Indonesia". Disamping Dekan Fakultas Hukum Undip, tampil sebagai penguji (eksternal) adalah Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH. guru besar Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU). Penguji lainnya adalah Prof. Dr. F.X. Joko Priyono SH. M.Hum, Prof. Dr. Budi Santoso SH. MS., Dr. Darminto, SH., LLM., Dr. Yunanto, SH. M.Hum., dan Dr. Paramita Prananingratyas, SH., LLM. "Guna membangun bangsa lebih maju ke depan, Indonesia perlu memiliki BUMN yang mampu berkiprah di tingkat dunia. Untuk itu, bukan cuma di tataran jargon, namun BUMN sebagai korporasi perlu ditopang sebuah sistem yang disebut “Business Judgement Rule". Menurutnya, “Business Judgement Rule (BJR)" menentukan maju dan berkembangnya perusahaan BUMN. Dimulai dari holding atau perusahaan induk (parent company), anak perusahaan (subsidiary company), hingga "cucu" korporasi. Dengan “Business Judgement Rule", BUMN dapat memiliki daya saing tinggi, dan bakal maksimal menghadirkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Dalam disertasi setebal 667 halaman, Syahrul mengeksplorasi penelitian seputar pengelolaan keuangan BUMN sebelum dan sesudah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perlunya penerapan prinsip “Business Judgement Rule (BJR)". Selanjutnya, karena penerapan “Business Judgement Rule" berkaitan dengan berbagai peundangan-undangan, maka promovendus menyoroti harmonisasi peraturan yang ada. Syahrul berpendapat hukum ekonomi Indonesia sepatutnya membuka ruang penerapan Business Judgement Rule dalam keseharian operasional perusahaan BUMN. Hasil penelitian menunjukkan, ulas praktisi hukum itu, perlu dibangun sistem hukum korporasi yang menegaskan berlakunya prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang melandasi prinsip “Business Judgement Rule. Ditegaskannya bahwa hal itu dimaksudkan untuk menghindari banyaknya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam pengurusan BUMN. Termasuk di dalamnya pemegang saham negara, yakni Menteri Keuangan yang dikuasakan kepada Menteri Negara BUMN. "Sistem hukum perlu juga membentuk 'pengadil baru' pada sistem peradilan, dengan memberi peran hakim adhoc. Ini masukan atau rekomendasi penyempurnaan UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Keuangan Negara, dan berbagai UU lainnya yang berhubungan dengan kinerja organ di BUMN," tandas Syahrul. Secara umum pengguji menggali peluang prinsip “Business Judgement Rule” benar-benar diterapkan dalam sistem hukum ekonomi Indonesia pada masa mendatang. Karenanya, menurut Alon, Prof Bismar dan Prof Retno, serta penguji lainnya mendorong Alon terus mengembangkan kajiannya seputar “Business Judgement Rule”. Besar harapan Undip khususnya dan perguruan tinggi umumnya, rumusan ilmiah seputar “Business Judgement Rule”semakin komprehensif pada masa mendatang, sehingga menjadi sumbangan berarti bagi kemajuan BUMN di Indonesia. Atas dorongan Prof Bismar, Prof Retno, dan penguji lainnya, Alon menyatakan bersemangat untuk terus mengkaji persoalan hukum ekonomi yang mempengaruhi BUMN kita. Khususnya sekarang seputar tantangan penerapan prinsip Business Judgement Rule di BUMN Indonesia.. Usai resmi mengelar doktor, tampak berderet puluhan karangan bunga ucapan selamat di halaman rumah Chairman Bening Institute Alon di Jati Bening Residence, Kota Bekasi. Bening Institute adalah lembaga kajian hukum, ekonomi, dan politik yang telah menerbitkan sejumlah buku atas berbagai kegiatannya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Santri Sebagai Agen Perubahan

by Imam Shamsi Ali Makasar FNN – Selasa (20/10). Satu hal yang akan diingat oleh sejarah di negeri tercinta adalah bahwa di negeri ini ada satu hari yang diperingati sebagai Hari Santri. Konon ini menjadi bagian dari perjuangan teman-teman Nahdatul Ulama (NU), yang pada akhirnya diterima dan ditetapkan oleh pemerintah dengan sebuah Keputusan Presiden (Kepres). Usaha ditetapkannya Hari Santri ini mengingatkan saya bagaimana lika-liku perjuangan kami Komunitas Muslim di kota Bew York, yang memperjuangkan ditetapkannya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai Hari Libur di Kota New York. Perjuangan itu memakan waktu kurang lebih tujuh tahun. Hingga pada akhirnya ketika Bill de Blasio, terpilih menjadi Walikota New York kami berhasil meyakinkan beliau. Perjuangan kami cukup panjang. Sejak saat Michael Bloomberg sebagai Walikota, kami telah melakukan pendekatan itu. Setelah meloloskan resolusi dukungan DPRD New York, kami mendesak Walikota untuk menandatangani Resolusi itu untuk menjadi UU di Kota New York. Sayang hingga akhir tugasnya sebagai walikota New York, Michael Bloomberg gagal meresmikan Id sebagai hari libur Kota New York. Hingga ketika calon Walikota Bill de Blasio meminta dukungan pada pilkada ketika itu, kami mengikat dukungan itu dengan komitmen Walikota nantinya untuk meresmikan Id sebagai hari libur. Beliau setuju dan jadilah Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur di Kota New York. Benar tidaknya tentang proses penetapan Hari Santri ini sebagai bagian dari konsesi dukung mendukung ketika itu, pastinya kita tidak bisa lepas dari koneksi politik itu. Bagi saya itu sah-sah saja. Disitulah harusnya salah satu makna jihad di jalan politik. Ormas Islam memang harusnya menjadi bagian dari perjalanan atau proses itu. Memperjuangkan kepentingan Umat lewat proses politik tanpa berpolitik. Sebagai sanatri, saya sendiri tentunya bangga bahwa pada akhirnya santri mendapat pengakuan resmi negara. Saya katakan resmi karena sesungguhnya pengakuan bangsa ini kepada santri menjadi bagian dari kesyukuran dan paham sejarah negeri. Bahwa santri tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah panjang perjalanan besar bangsa ini. Santri Pilihan & Mutamayyiz Pada masa lalu, ada semacam persepsi yang terbangun seolah anak yang disekolahkan di pesantren itu adalah pembuangan. Artinya, hanya mereka yang tidak lolos masuk sekolah negeri Yang dimasukkan ke pesantren. Maka pesantren misalnya identik dengan anak-anak nakal seperti saya. Persepsi ini saya yakin dengan sendirinya telah bergeser atau tergeser. Ada realita bahwa ternyata santri itu memikiki potensi dan kapabilitas yang tidak kurang. Bahkan tidak mustahil santri bisa lebih dari tamatan sekolah-sekolah umum lainnya. Santri-santriyah itu memiliki azam (keinginan yang kuat) yang terbangun di atas kepribadian yang mandiri. Seseorang tidak akan bertahan dan berhasil di pesantren, kecuali dengan keinginan yang solid dan matang. Hal itu karena situasi pesantren yang menuntut (demanding) dalam segala hal. Santri dan santriyah juga selama di pesantren tidak saja belajar keilmuan (tholab al-ilm). Justeru yang mereka pelajari di pesantren itu adalah bagaimana hidup (life training atau latihan hidup). Mereka belajar hidup sebagai manusia yang independen, disiplin, dan tentunya dengan tatapan masa depan yang besar dan optimisme. Salah satu pesan kyai saya dulu di pondok, KH Abdul Djabbar Ashiry, di saat saya pamit ke luar negeri untuk sekolah adalah belajar hidup ini. Dalam bahasa Arab yang tertata rapih dan fasih beliau mengatakan, “nak, kamu itu di pesantren ini tidak saja telah menimbah Ilmu. Tetapi kamu telah belajar hidup. Dimana saja kamu berada, niscaya kamu siap untuk hidup”. Santri itu juga bermental baja. Dunia yang semakin kejam dengan persaingan yang semakin ketat hanya akan bisa ditaklukkan dengan mentalitas baja. Manusia yang bermental kerupuk akan hancur berkeping dilabrak pergerakan dan perubahan, serta ragam tantangannya yang semakin kompleks. Di pesantrenlah santri dan santriyah ditempa untuk berani. Percaya diri dan tidak minder (rendah diri). Mereka tumbuh tetap dalam ketawadhuan. Tetapi memiliki keberanian dan percaya diri yang tinggi untuk mengambil bagian dari perubahan dan tantangan hidup yang ada. Santri dan santriyah juga adalah sosok yang menggabungkan antara antara dua kekuatan dan modal hidup manusia besar dan hebat. Kedua kekuatan dan modal hidup itu adalah kekuatan intellectual (akal) dan kekuatan spiritual (hati). Dengan dua kekuatan ini, mereka menjadi manusia “Ulul albaab” yang siap menundukkan dunia dengan tantangannya. Disinilah kita lihat partisipasi dan keterlibatan para santri dan santriyah dalam segala lini kehidupan manusia. Baik itu pada tataran personal maupun publik. Mereka menjadi politisi, pebisnis, dan ragam profesi lainnya dengan kedua kekuatan tersebut. Kuat akal dan kuat hati. Maka mereka tidak mudah tertipu (karena berakal) dan juga (harusnya) terjaga dari menipu (karena punya hati). Tentu banyak keunikan atau keistimewaan santri dan santriyah itu. Tetapi satu hal yang tak kalah pentingnya adalah bahwa santri dan santriyah itu adalah agen-agen perubahan (al-amiruuna bil-ma’ruf wa an-naahuuna an-almunkar). Dengan modal dan kekuatan akal dan spiritualitas, yang didukung oleh mental baja tadi, mereka siap mengarungi bahtera kehidupan ini dengan segala dinamikanya. Ada satu hal yang terpenting dari semua itu. Bahwa santri-santriyah dengan segala perubahan dunia yang “deeply challenging” (penuh tantangan) tidak mengalami goncangan dan tidak pula terombang-ambing oleh goncangan kehidupan. Sebaliknya justeru santri dan santriyah menjadi “backbone” (tulang punggung) perubahan ke arah perubahan yang lebih baik (positive change). Karakter perubahan yang ada pada santri dan santriyah ini yang dikenal dalam agama sebagai karakter “amar ma’ruf nahi munkar”. Karenanya dalam dunai yang saat ini dikenal sebagai dunia global. Yang tantangannya semakin besar. Perubahan yang ada semakin cepat. Maka santri dan santriyah diharapkan selalu berada di garda terdepan untuk menjadi agen perubahan. bukan justeru obyek dan korban dari perubahan-perubahan yang terjadi. Selamat Hari Santri! Penulis adalah Alumni Pesantren Muhammadiyah Darul-Arqam Gombara.