ALL CATEGORY
Bangsa Yang Dikepung Masalah
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (20/05). Apes,,, Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan negeri +62 saat ini. Keprihatinan terkait Pemilu 2019 yang memakan korban PPS meninggal 890-an belum usai, muncul kasus Jiwasraya dan Asabri sekitar Rp.40-an triliun. Lenyapnya uang nasabah Rp 40-an triliun di kedua BUMN tersebut semakin menggegerkan negeri ini. BPJS pun collaps. Naikkan iuran melalui Perpres No 82/2018, dibatalin Mahkamah Agung (MA). Naikkan lagi dengan perpres 64/2020, rakyat ramai-ramai menyerbu. Yudisial riview lagi. Apakah akan dibatalin lagi oleh MA, lalu dinaikkan lagi melalui Perpres yang baru, entah nomor berapa? Tata kelola pemerintahan kayak sirkus aja. Amatiran, asal-asal dan jauh dari mengerti permasalahan, Revisi UU KPK pun mendapat banyak kutukan dan cemohan di masyarakat. Apalagi ketika KPK tak bisa lagi menggeledah kantor PDIP. Harun Masiku (HM), mantan kader PDIP menghilang. KPK pun belum mampu menemukannya. Sampai sekarang entah dimana buronan ini berada. Emangnya Masiku masih hidup? Begitulah pertanyaan publik. Soal tangkap menangkap, kita percaya polisi sangat profesional. Kenapa sampai hari ini HM belum juga ketangkap? Apakah orangnya sudah mati? Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Soiman mensinyalir Harun Masiku telah meninggal dunia. Entah dibunuh atau bunuh diri atau meninggal karena sakit dan sebab lain. Sedang meratapi keadaan KPK, gelombang corona datang. Bak tamu tak diundang, corona telah memakan banyak korban. Lebih dari seribu penduduk mati. Itu yang tercatat. Artinya, mati setelah ada hasil test swebnya. Yang belum ada hasil testnya, gak tercatat. Jumlahnya? Bisa lebih besar. Perppu corona pun diterbitkan. Tapi, mendapat banyak kecaman. Sejumlah pakar hukum protes. Perppu corona dianggap memberi kesempatan terjadinya korupsi besar-besaran. Anggaran Rp. 405,1 triliun itu bukan uang kecil bro. Tapi, DPR menyetujui dan ketok palu. Perppu jadi UU. Itulah DPR kita. Belum lagi 209 pasal dalam UU Minerba yang cenderung abaikan Amdal, dan RUU Omnibus Law yang dianggap memojokkan nasib para buruh. Rakyat teriak. Tapi DPR nampak nggak dengar. Tutup telinga. Coba-coba kritik, buzzer bayaran segera bertindak. Rupanya, (oknum) DPR sudah berhasil belajar dari cara-cara pemerintah. Pelihara buzzer. Belom lagi gaduh masalah masuknya TKA Cina di Morowali, Sulawesi Tengah, Konawe Sulawesi Tenggara dan Weda Maluku Utara. Sebagian besar masuknya pakai Visa Kunjungan. Tapi sampainya di Indonesia, mereka bekerja di pabrik peleburan biji nikel (smelter). Baru-baru ini, muncul perpres No 60/2020. Tentang Tata Ruang kawasan Perkotaan Jabodetebek Mujur. Salah satunya memberi ijin pulau reklamasi (C, D, G dan N) untuk dibangun. Padahal, pulau G masih ada sengketa hukum. Belum ada putusan PK. Gubernur DKI lagi mau ajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA setelah gugatan di PTTUN ditolak. Inilah gambaran negeri +62 yang hampir setiap pekan dikagetkan, entah oleh kebijakan maupun peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Legal dari sisi hukum. Tapi, tak berarti sesuai pikiran dan harapan rakyat. Justru ada di persimpangan. Pemerintah dan DPR terlalu sering kerjasama untuk berseberangan dengan rakyat. Tapi, rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa teriak. Dadanya sesak. Inilah penyebab kegaduhan itu. Ditambah lagi pola komunikasi yang terkesan arogan dan sewenang-wenang. Malah terkadang ngawur dalam memilih diksi yang mau disampaikan ke masyarakat. Pagi tempe sore dele. Paginya mengajak rakyat berperang melawan penyebaran Corona. Penerapan PSBB , jaga jarak, keluar rumah pakai masker. Tapi sorenya mengajak rakyat untuk berdamai dengan Corona. Kengawuran tersebut malah didukung oleh "buzzer premium". Belum terlihat ada tanda-tanda Indonesia mampu keluar dari masalah. Anehnya, sebagian besar masalahitu diproduksi sendiri di dalam negeri. Masalah ketidakadilan hukum dan kegaduhan politik masih mendominasi pemberitaan di media massa. Lebih-lebih dari sisi ekonomi. pertumbuhan ekonomi hanya 0,2 persen. Sudah defisit 500 triliun. Sekitar 80-an persen perputaran negeri ini bergantung pada pajak. Tapi, pajak tak lagi bisa diandalkan. Ekonomi megap-megap membuat pusat pun kewalahan bayar hutang. Untuk membayar "Dana Bagi Hasil" atau DBH ke pemerintah daerah saja harus cari alasan sana-sini. Termasuk hutang ke Pemprov DKI. Alasan paling mendekati pas adalah, “belum selesai diaudit BPK”. Nah, BPK balikteriak, apa urusannya dengan kami? BPK ngamuk. Solusinya, sejumlah menteri serang Gubernur DKI. Kok nggak cakep mainnya. Yang tampak di permukaan dari bangsa ini justru semakin dikepung oleh masalah. Kenyataan ini memaksa sembilan tokoh oposisi tampil bicara. Mereka adalah Dr. Abdullah Hehamahua, Prof. Dr. Din Syamsudin, Emha Ainun Najib, Habib Rizieq, Dr. Refly Harun, Dr. Rizal Ramli, Rocky Gerung, K.H.Najih Maemoen dan M. Said Didu. Rakyat berharap kepada tokoh-tokoh agar bisa melahirkan koalisi kebangsaan. Melibatkan para tokoh yang punya perhatian serius untuk selamatkan bangsa ini. Tugasnya? Mengingatkan, menekan dan mendorong pemerintah untuk keluar dari kepungan masalah bangsa hari ini dengan cara yang tepat. Keluar dari masalah yang tanpa masalah. Bukan keluar dari malah, dengan cara menambah atau memproduksi banyak masalah baru. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (3): Dibenci, Makin Banyak yang Masuk Islam
Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Islampobia sangat menyakitkan umat Islam. Islampobia inilah antara lain yang dilawan FPI dan jajarannya. Mereka tidak segan melakukan perlawanan baik secara nyata maupun lewat kata-kata (unjukrasa dan dialog). ISLAMPOBIA. Itu awalnya terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Kenapa terjadi? Karena muslim di sana sangat minoritas. Islampobia telah melahirkan banyak hal yang menebarkan kebencian kepada Islam. Islampobia semakin kencang setelah peristiwa pengebomam WTC di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001 atau dikenal dengan sebutan peristiwa 11/9. Sejak peristiwa itu, kebencian terhadap agama Islam dan umatnya terus meningkat. Bahkan, tidak lama setelah peristiwa 11/9 itu, beberapa swalayan dan pompa bensin milik umat Islam di New York dan Washington DC menjadi korban pelampiasan kebencian itu. Ada swalayan yang disiram dengan darah babi dan berbagai macam bentuk lainnya. Secara terus-menerus kebencian terhadap agama Islam dan umatnya terus ditebarkan oleh penganut Yahudi, Kristen dan golongan ateis di berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat. Kebencian terhadap Islam bermacam-macam. Ada yang menghina Nabi Muhammad Sollollohu 'alaihi wasallam melalui karikatur, pendeta di Amerika Serikat yang membakar Al-Qur'an, melempari masjid dan memecahkan kacanya dan juga pelecehan kepada muslimah yang memakai jilbab. Akan tetapi, kebencian yang mereka tebarkan itu jelas semakin membuahkan hasil bagi umat Islam. Semakin mereka membenci semakin banyak orang yang mempelajari tentang Islam dan akhirnya masuk Islam atau menjadi mualaf. Saya sebutkan lima orang pembenci Islam di Amerika Serikat dan Eropa akhirnya masuk Islam. Sebelum masuk Islam, kelimanya percaya bahwa Islam adalah agama yang menebarkan kebencian di dunia. Pertama adalah Daniel Streich. Ia Anggota Partai Rakyat Swiss (SVP) dulunya pembenci Islam yang tenar. Daniel Streich sangat menentang keras pembangunan masjid di negaranya selama kurun 1990-an. Situs islamicbulettin.com melaporkan Streich penganut kristen taat. Dia dibesarkan dengan ajaran Kristiani dan semasa kecil pernah bercita-cita menjadi pastor. Namun ketika remaja niatnya berubah. Ia mulai gemar berpolitik dan tanpa ragu terjun langsung menjadi anggota partai ternama di Swiss. "Banyak perbedaan yang saya dapatkan ketika mempelajari Islam. Agama ini memberikan saya jawaban logis atas pertanyaan hidup penting dan tidak saya temukan di agama saya," katanya. Kedua, Arnoud Van Doorn.Arnoud Van Doorn adalah produser 'Fitna', sebuah film yang menghina Nabi Muhammad yang diluncurkan pada 2008. Secara mengejutkan, pegiat anti-Islam asal Belanda itu kemudian menjadi mualaf awal 2013. Ketiga, Yusuf Estes. Yusuf Estes adalah seorang mualaf asal Amerika Serikat. Sebelum masuk Islam, ia termasuk dalam orang-orang yang mengidap islamophobia.Estes lahir dari keluarga Kristen yang taat di Midwest, Amerika Serikat. Keluarganya secara turun-temurun membangun gereja dan sekolah Kristen. Keempat, Terry Holdbrooks Jr. Ia adalah angota polisi militer Amerika Serikatyang pernah menjadi penjaga penjara Guantanamo.Di penjara inilah militer AS menahan tokoh Al Qaidah dan Taliban yang dianggap paling berbahaya. Holdbrooks bertugas di tempat paling mengerikan di muka bumi ini sepanjang kurun 2002 hingga 2003.Nurani Holdbrooks terusik saat melihat para tawanan itu diperlakukan seperti binatang. Akan tetapi mereka masih tetap senyum. Melihat tahanan yang disiksa tetap tersenyum dan terus berdoa serta membaca Al-Qur'an membuatnya tertarik membaca Kitabullah itu."Al Quran adalah buku yang paling mudah dimengerti di dunia. Isinya simpel. Dia menjadi pembimbing untuk hidup," kata Holdbrooks.Sejak 2005, Holdbrooks berkomitmen masuk Islam. Kelima, Ibrahim Killington. Ia menganggap Muslim adalah penjahat penjahat kemanusian dan ingin ikut menerangi Islam pasca tragedi 11 September 2001. Namun, di tengah upaya untuk bergabung dengan tentara AS, dia malah mendapatkan hidayah dari sebuah siaran radio. Pikirannya pun tertarik untuk mempelajari Islam lebih jauh dari apa yang dipahaminya.Akhirnya hidayah turun dan ia pun menjadi mualaf. Masih banyak pembenci Islam yang akhirnya menjadi mualaf. Tidak hanya berasal dari kalangan rendah, tetapi juga dari kalangan berpendidikan, termasuk pastor dan pendeta. Bahkan, dua mantan Duta Besar Vatikan untuk Arab Saudi pun masuk Islam Penjualan Kitab Suci Al-Qur'an semakin laris karena yang bukan beragama Islam membeli, mempelajari dan mendalami kandungannya. Tentu, sebagai umat Islam, dari hati nurani pasti merasa islampobia itu sangat menyakitkan. Jangankan yang ibadahnya bagus, orang yang hanya ber-KTP Islam saja banyak yang marah dan merasa tertantang untuk melakukan perlawanan. Nah, lagi-lagi islampobia inilah yang antara lain yang berusaha dilawan FPI dan jajarannya. Mereka tidak segan melakukan perlawanan baik secara nyata maupun lewat kata-kata. Ketika berdialog dengan Pengurus Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), pada Rabu, 1 September 2010, Habib Rizieq tidak mau menutup-nutupi sikap organisasi yang dikomandoinya terhadap Pendeta Terry D.Jonnes dari Gereja Evangelis, di Dove Outreach World Trade Center, Gainesville, Florida, Amerika Serikat yang akan membakar mushaf Al-Qur'an waktu itu. Rizieq yang berapi-api menyampaikan pidatonya mengatakan, FPI menyerukan kepada umat Islam agar mencari, mengejar dan membunuh semua pelaku yang terlibat dalam pembakaran Al-Qur'an itu. Catat ya, yang dibunuh adalah pelaku pembakar Al-Qur'an. "Yang dibunuh adalah pelaku pembakar Al-Qur'an, karena darah mereka halal ditumpahkan. Dibunuh bukan karena dia Nasrani, bukan karena warga negara Amerika Serikat, tetapi karena dia melakukan penghinaan terhadap agama Islam," katanya. Dia menyerukan agar umat Islam tidak melakukan pembalasan sehina yang mereka lakukan (dengan membakar Injil). Membakar kitab suci Al-Qur'an adalah perbuatan yang sangat hina. Oleh karenanya, jangan lagi dibalas dengan perbuatan hina. Ulah Komunis Kok tahu pertemuan Rizieq dengan pengurus DGI dan KWI itu? Jelas tahu, karena saya mendapatkan tugas dari kantor untuk meliput pertemuan tersebut. (Tentang pertemuan itu, baca buku saya, Suka dan Duka 66 Tokoh Sukses. Ada satu judul, "Habib Rizieq, Pendeta Sering Sowan ke Markas FPI." Ya, banyak yang tidak memahami sepak-terjang Habib Rizieq dan FPI-nya dalam membela Islam dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, banyak juga dari kalangan Islam yang menentang apa yang mereka lakukan, hanya karena membaca, menonton dan mendengarkan sisi negatif yang ditampilkan oleh media. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang tadinya membenci dan bermusuhan denga Rizieq dan FPI-nya malah belakangan bergabung menjadi simpatisan. Sebut saja musisi Ahmad Dhani yang sempat "disemprot" FPI gara-gara kalifgrafi berlafaz Allah diinjak-injak saat manggung. Ada lagi Rahmawati Sukarnoputri dan Ratna Sarumpaet yang menuduh FPI intoleran dan anti Pancasila dan akhirnya sering bergabung dengan FPI. Padahal, FPI sama sekali tidak seperti yang dituduhkan selama ini. Mereka sangat toleran, Pancasilais dan bagi mereka Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dibela mati-matian. Sebab, komunislah yang ingin memecah-belah Indonesia. (Bersambung). ** Penulis, Wartawan Senior.
Pertamina Itu Rentenir, Draculla Atau Lintah Darat?
By Luqman Ibrahim Soemay Biaya beli impor dan angkut Bahan Bakar Minya (BBM) jenis Ron 88 premium, sampai ke pom bensin, sekitar Rp. 2.000 per liter. Dijual di dalam negeri Rp. 6.450 per liter. Sedangkan jenis Ron 92 Pertamax, sampai ke pom bensin biayanya Rp. 3.000 per liter. Dijual ke konsumen dengan harga Rp. 9.000 per liter. Untuk semua jenis BBM, rata-rata Pertamina peras rakyat yang lagi menderita akibat pandemi Corona Rp. 4.000 per liter. Jadi, selama tiga bulan terakhir, BUMN Pertamina telah peras rakyat sebanyak Rp 21 triliun. Jakarta FNN – Rabu (20/05). Sejak penurunan harga minyak mentah dunia Januari 2020 lalu, Pertamina merupakan salah satu perusahaan importir minyak yang paling agresif. Sejak bulan Maret, Pertamina sudah memfokuskan seluruh potensi dan kekuatannya untuk menjadi perusahaan pengimpor minyak jadi atau Bahan Bakar Minyak (BBM). Hasil dari mengimpor BBM jadi tersebut, bisa langsung dijual ke masayarat. Tidak lagi butuh biaya untuk pengolahan di kilang-kilang milik Pertamina. Sekarang, hampir semua kilang-kilang di dalam negeri tidak lagi berproduksi. Kilang-kilang Pertamina itu lagi diistirahatkan. Memanfaatkan momentum penurunan harga BBM internasional dan penerapan PSBB di berbagai daerah. Sebuah sumber menyebutkan, Pertamina di Indonesia minggu ini berencana untuk mengimpor lebih banyak minyak mentah dan bahan bakar besar-besaran. Pertamina menargetkan keuntungan sebesar dari harga impor BBM yang sangat murah sekarang. Namun dijual kepada masyarakat di dalam negeri dengan harga yang sangat, sangat, dan sangat mahal. Peras Rakyat Rp 4.450/Liter Sekarang ini, harga impor BBM jenis Ron 88 atau premium, ditambah dengan seluruh biaya-biaya sampai ke pom bensin itu, sekitar Rp. 2.000 per liter. Sementara Pertamina menjual kepada masyarakat dengan harga Rp. 6.450 per liter. Nah, silahkan hitung sendiri deh berapa keuntungan Pertamina? Berapa ratus persen kentungan yang didapat Pertamina dari menjual BBM jenis premium di harga Rp 6.450 per liter sekarang? Keuntungan yang didapat Pertamina dari menjual BBM jenis premium di dalam negeri dengan harga Rp. 6.450 per liter adalah 245%, atau setara dengan Rp. 4.450 per liter. Sangat besar keuntungan yang diambil Pertamina dari masyarakat. Tega amat sih memeras masyarakat yang lagi tertekan,,, Pertanyaannya, apakah Pertamina masih sebagai perusahaan milik negara atau BUMN yang tidak lagi diberi tugas Public Service Obligation (PSO) dari pemerintah? Sehingga Pertamina hanya mengejar keuntungan semata-mata? Tidak perduli dengan penderitaan yang sedang dialami rakyat akibat pandemi virus corona. Rakyat yang sudah mengalami tekanan hidup selama tiga bulan terakhir akibat pandemi virus jahannam corona. Seharusnya Pertamina tidak ikut-ikutan menekan rakyat yang sudah tertekan. Pertamina jangan sampai berubah menjadi perusahaan “rentenir atau tengkulak”. Sebab rentenir dan tengkulak kerjanya hanya menekan menekan dan menekan setiap orang yang lagi butuh duit. Sebagai BUMN, Pertamina jangan juga berubah menjadi perusahaan yang prakteknya seperti “draculla atau lintah darat”. Sebab “dracula dan lintah darat” itu, kerjanya hanya menghisap menghisap dan menghisap darah manusia sampai orangnya mati. Tidak perduli lagi apa kata orang. Yang penting dapat untung, untung, dan untung yang berlipat-lipat. Tujuan bisnis Pertamina nyata-nyata hanya untuk memeras konsumen. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tanpa mau perduli dengan penderitaan konsumen. Prilaku bisnis yang Pertamina lakukan sekarang ini, biasanya hanya ada di negera-negara kapitalis. Bukan di negara berpaham Pacasila, yang masih punya “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Manejemen Pertamina juga sepertinya tidak lagi punya perasaan empaty dan belas kasihan kepada penderitaan rakyat hari ini. “Makanya dalam dua terakhir ini, Maret – April 2020, Pertamina telah berhasil atau sukses memeras rakyat sebesar Rp. 13,75 triliun, “uajar Managing Director Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwar Batubara (FNN.co.id edisi 08 Mei 2020). Luar biasa butanya, tulinya dan budegnya mata, telinga manejemen Pertamina. Mungkin juga sudah mati rasa dari perasaan kemanusiaan. Apakah majemen Pertamina tidak mau tau, kalau saat ini seluruh masyarakat Indonesia mengalami tekanan hidup yang luar biasa. Bahkan ada yang menderita akibat pandemi virus laknat corona? Virusnya juga telah menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia? Menimbun Minyak di Laut Untuk negara-negara di kawasan Asean maupun Asia, Pertamina semakin memastikan posisinya sebagai perusahaan penjual BBM termahal di dalam negeri. Bahkan mungkin juga termahal di dunia. Untuk maksud tersebut, belum lama ini Petamina mengeluarkan tender untuk pembelian BBM sebanyak dua juta barel setiap bulan. Realisasi pelaksanaanya pada kuartal kedua nanti. Untuk menampung impor BBM yang besar itu, Pertamina menyewa tanker untuk menimbun minyak impor di luat. Pertamina menyimpan bahan bakar olahan di laut, karena berupaya mengambil untung yang besar dari jatuhnya harga minyak seperti bensin dan solar. Sementara ini Pertamina mencarter tiga tanker jarak jauh untuk menyimpan BBM. Lebih menguntungkan dibandingkan mengolah minyak mentah sendiri pada kilang-kilang Pertamina di dalam negeri. Ketiga kapal tangker itu, telah dipesan Pertamina sejak akhir April dan awal Mei lalu. Tangker ini akan digunakan untuk menumbun BBM siap jual dalam jumlah besar. Waktunya kontraknya minimal enam bulan, dengan opsi tambahan untuk digunakan sebagai penyimpanan mengambang. Berlabuhnya tangker tersebut di dekat Singapura atau Sungai Linggi Malaysia. “Pertamina juga meningkatkan kapasitas penyimpanan minyak mentah. Nantinya akan diproses sendiri oleh Pertamina, tergantung perkembangan situasi. Pertamina dapat mencari penyimpanan untuk alasan strategis. Mengambil keuntungan dari harga bensin dan solar yang rendah saat ini untuk persediaan masa depan, “kata Serena Huang, analis senior dari Perusahaan Analisis Vortexa Ltd. Pertamina juga lagi mencari kapal tangker lain berukuran besar untuk menyimpan minyak mentah. Kapal yang dibutuhkan itu memiliki kapasitas penyimpanan 500.000 barel. Untuk menyimpan minyak mentah dalam waktu yang lama. Tanker Aframax dengan kapasitas sekitar 650.000 barel, dibutuhkan Pertamina untuk penyimpanan terapung. Tangker Aframax ini mempunyai kemampuan untuk transfer antar-kapal (ke kapal lain), demikian yang dilaporkan Bloomberg. Hutang Baru Rp 45 Triliun Selain impor dari Singapura, Pertamina telah menambahkan Brunai sebagai pelabuhan muat potensial untuk kargo spotnya. Ini sebagai upaya lanjutan mendiversifikasi sumber impor bensinnya. Terakhir, Petrtamina memasukkan Brunai sebagai opsi pelabuhan dalam tender untuk paruh pertama tahun 2020. Langkah ini dilakukan, karena kilang Hengyi yang berbasis di Brunai 160.000 b/d telah meningkatkan operasi komersial sejak awal tahun. Pembeli bensin terbesar di kawasan itu mengeluarkan penawaran tender, yang ditutup 24 Maret 2020 lalu. Pembeli mencari BBM sebanyak 1,2 juta barel bensin Ron 92. Dibeli dalam empat paket terpisah, dengan berbagai ukuran, untuk periode April nanti. Demikian dokumen tender yang dilihat oleh Platts. Pertamina telah memutuskan untuk mengajukan penawaran kargo berdasarkan harga tetap. Langkah ini menyimpang dari praktik tradisional penawaran berdasarkan harga mengambang. Pada 19 Maret 2020 itu, Platts menilai bensin FOB Singapura Ron 92 berada pada level terendah selama 18 tahun terakhir, yaitu U$ 23,07 per barel. Harga terendah terakhir terjadi pada 22 Februari 2002, yaitu U$ 22,90 per barel. Meskipun sekarang harganya telah pulih ke U$ 28,26 per barel. Dengan demikian pertamina telah membeli BBM dengan harga yang sangat murah. Berkisar antara U$ 22.90 – 28,26 dollar per barel atau setara dengan Rp. 2.160 – 2.698 per liter. BBM tersebut dijual di jual di dalam negeri dengan harga yang cukup tinggi, dikarenakan adanya kebijakan tidak ada perubahan harga BBM sepanjang tahun 2020. Jika Ron 92 ke atas masih dijual di dalam negeri dengan harga Rp. 9000 per liter, maka setelah dikurangi biaya-biaya, Pertamina dapat memperoleh keuantungan sekitar Rp. 6.000 per liter atau 200% lebih. Sedngkan untuk BBM jenis yang lain, seperti Ron 88 88 (premium) pertamina telah mendapatkan harga yang jauh lebih rendah. Diperkirakan keutungan rata rata yang didapat Pertamina untuk semua jenis BBM sebesar Rp. 4.000 per liter. Platts melaporkan sebelumnya bahwa, untuk bulan April perusahaan milik negara diperkirakan akan mengimpor antara 10 - 11 juta barel bensin (1 barel = 159 liter). Dengan demikian, keuantungan bulanan yang diperoleh Pertamina semasa pandemi covid 19 setiap Rp. 7 triliun. Jadi, selama tiga bulan terakhir ini, Pertamina sudah meras rakyat Rp. 21 triliun. Untuk dapat membiayai impor BBM dan minyak mentah besar-besaran, Pertamina mengambil utang dalam jumlah yang cukup besar. “Pertamina berhasil mengumpulkan dana sebesar U$ 3 miliar dollar. Dana itu didapat dari menjual obligasi selama pandemi corono, “demikian dilaporkan Forbes. Obligasi U$ 3 miliar dollar itu setara dengan Rp. 45 trliun. Dana tersebut, rencannya dipakai Pertamina untuk menyewa kapal tangker penyimpanan BBM di laut. Selain itu, juga dipakai untuk penyewaan kapal tangker yang menyimpan minyak mentah impor. Penulis adalah Wartawan Senior
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (2): Minoritas Jangan Adu Domba Umat Islam
Di negara Pancasila ini, umat minoritas sangat dilindungi. Berbeda jika umat Islam menjadi minoritas di suatu negara atau wilayah. Coba Anda ingat perlakuan Budha teroris kepada umat Islam di Myanmar, perlakuan Hindu ekstrimis kepada umat Islam di India. Perlakuan komunis China kepada umat Islam di Ughiur. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN – TIDAK hanya Klenteng yang didatangi anggota FPI maupun Laskar Pembela Islam (LPI) guna melakukan penyemprotan disinfektan – yang dipercaya bisa mencegah dan bahkan mematikan covid-19. Akan tetapi, sejumlah gereja di beberapa tempat pun didatangi oleh anggora FPI. “Islam Garis Keras,” ini tidak segan masuk ke gereja, meski sebagian dari mereka memakai kopiah haji (putih) yang menjadi ciri khas FPI dan simpatisannya. Tentu anggota FPI yang melakukan penyemprotan menggunakan pakaian alat pelindung diri (APD). Bahkan, di Sumatera Utara, pengurus FPI juga membantu membangun rumah seorang Kristen. Rumah boru Ginting di daerah Kabupaten Karo. Nah, kalau FPI itu intoleran, mana mungkin hal itu terjadi. Kalau FPI itu intoleran, mana mungkin ada anggotanya mau masuk gereja dan klenteng. Kalau FPI itu sukanya memusuhi agama lain, mana mungkin juga orang gereja dan klenteng dengan terbuka dan penuh persaudaraan sebangsa dan setanah air mau menerima anggota FPI. Saya tidak bermaksud memuja-muji FPI. Akan tetapi, sebagai wartawan saya tahu sepak-terjangnya karena beberapa kali mendapatkan tugas dari kantor untuk meliput kegiatannya, termasuk wawancara khusus dengan Habib Rizieq Shihab, juga memberitakan kegiatan mereka menjadi relawan saat tsunami melanda Provinsi Aceh Darussalam. Habib Rizieq memimpin langsung anak buahnya di Aceh dan ia beserta petinggi FPI lainnya menginap selama satu bulan di tenda yang dibangun di areal Taman Makam Pahlawan Banda Aceh. Padahal, kalau mau jajaran FPI bisa saja menyewa rumah untuk petinggi FPI yang melakukan tugas kemanusiaan di Banda Aceh. Saya dan teman-teman yang ditugaskan meliput peristiwa tersebut juga menyewa satu kamar rumah sebagai tempat istirahat. Maklum, hotel di Kota Banda Aceh hancur dan kalaupun ada tidak ada yang mau nginap karena tingkat kerusakan yang tinggi. Jika terjadi gempa, dikhawatirkan rubuh. Tapi, bagi saya apa yang dilakukan FPI benar, karena kalaupun mereka bertindak, karena laporan mereka ke polisi biasanya tidak ditindaklanjuti.Misal, dalam kasus yang dulu galak dengan sweeping-nya terhadap tempat hiburan malam atau dugem (dunia gemerlap) di bulan suci Ramadhan. Itu dilakukan tidak lain karena aparat pemerintah berdiam diri terhadap pelaku usaha dunia hiburan yang melakukan pelanggaran jam waktu buka. Misal, sudah ada ketentuan waktu buka sampai pukul 12.00 dinihari, tapi ada yang masih buka sampai pukul 2.00 dan bahkan pukuk 3.00. Sudah dilaporkan ke aparat pemerintah, tapi didiamkan. Seolah ada kerjasama antara aparat pemerintah dengan pengelola dugem. Ya, mungkin karena ada oknum yang juga ikut menikmati setoran atau dalam bentuk apalah. Tegakkan Aturan Belakangan sweeping sudah jarang atau bahkan tidak pernah lagi dilakukan FPI. Hal itu bukan semata karena polisi mengancam akan menindak pelaku sweeping, tetapi karena penegakan hukum terhadap pengelola dugem juga semakin tegas. Habib Rizieq dan petinggi FP senang dengan tindakan tegas aparat pemerintah (baik polisi dan Satpol PP) yang semakin tegas terhadap pelaku pelanggaran. "Kalau aturan ditegakkan, tugas FPI selesai. FPI hanya mendorong penegakan hukum. Tentu selama ini ada risiko yang diterima, termasuk berhadapan dengan preman-preman yang melindungi tempat-tempat hiburan itu," kata Rizieq suatu ketika. Di Jakarta, misalnya, pengelola yang melakukan pelanggaran jam buka di bulan Ramadhan, langsung ditutup usahanya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan bahkan izin usahanya dicabut secara permanen oleh Gubernur DKI Jakarta. Hal yang sama juga terjadi di Kota Tangerang, Depok, Bekasi, Bogor, Bandung dan kota-kota lainnya yang mayoritas berpenduduk muslim. Kalau di kota yang muslimnya minoritas, seperti Pematang Siantar, Tarutung, Gunung Sitoli (Sumatera Utara), Manado (Sulut), Jayapura (Papua), misalnya, tidak ada masalah buka sampai pagi sekali pun. Termasuk di Bali yang mayoritas Hindu, tidak masalah buka sepanjang malam. Selama pemerintah setempat mengizinkannya. Makanya, “Jangan ajari saya dan umat Islam tentang toleransi.” Di Negara yang berdasarkan Pancasila ini, umat minoritas sangat-sangat dilindungi. Akan tetapi sebaliknya, jika umat Islam menjadi minoritas di suatu negara, hampir dipastikan Islam akan diinjak-injak, dibunuh, disiksa dan diperkosa. Ruang gerak mereka beribadah terbatas, karena selain aturan pemerintahnya juga karena banyak penduduknya yang rasis dan islampobia. Anda tidak percaya? Coba ingat kembali bagaimana umat Islam diperlakukan oleh umat Budha teroris di Myanmar. Coba baca dan ingat kembali perlakuan umat Hindu ekstrimis India kepada umat Islam. Coba ingat kembali perlakuan pemerintah komunis RR China kepada kaum muslim minoritas di Ughiur. Belum lagi perlakuan Amerika Serikat dan sekutunya yang memerangi umat Islam di Afghanistan atas nama melawan teroris. Memerangi Irak atas nama atau tuduhan membangun senjata nuklir dan senjata pemusnah massal (sampai sekarang tidak terbukti). Memerangi Libya dan lainnya. Dalihnya macam-macam, meski sebenarnya alasan yang kuat adalah tidak suka negara yang mayoritas Islam maju. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior
Benarkah Said Didu Menghina Luhut?
Oleh Mayasyak Johan Jakarta, FNN (19 Mei 2020) - Media tengah ramai memberitakan pemanggilan wartawan senior Hersubeno Arief sebagai saksi dalam kasus Muhammad Said Didu Vs Luhut B Panjaitan. Banyak yang bertanya, secara hukum apakah tayangan di channel Youtube tersebut merupakan produk jurnalistik? Dan apakah MSD telah melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik? Tayangan wawancara dengan MSD: LUHUT HANYA PIKIRKAN UANG, UANG, DAN UANG adalah produk jurnalistik karena merupakan hasil sebuah wawancara yang dilakukan seorang wartawan.Wawancara dilakukan oleh seorang wartawan senior dan bekerja di berbagai media yang kredibel. Majalah Editor, Harian Republika, Radio Trijaya FM, Metro TV, ANTV dan sekarang di FNN.Apakah Youtube bisa disebut sebagai produk Jurnalistik?Jawabannya itu adalah produk jurnalistik yang sekarang dikenal dengan nama Citizen Journalism (jurnalisme warga).Eksistensi citizen journalism saat ini sudah diakui di seluruh dunia, dan media mainstream mengadopsi dan memberi ruang.Banyak karya citizen journalism yang program khusus di media mainstream baik cetak, online, dan televisi.Sebagai contoh di kompas.com, Republika Online, dan tempo.co menyediakan ruang tersendiri. Trans TV menayangkan sebuah program yang diambil dari konten Youtube. Demikian juga beberapa stasiun tv lainnya.Secara hukum UU Pokok Pers benar belum mengadopsi citizen journalism dalam pasal-pasalnya, namun kita tidak bisa menutup mata, eksistensi bahkan pengaruhnya sudah diakui di seluruh dunia.Hukum memang selalu tertinggal dari realita dan perkembangan di tengah masyarakat. Sudah waktunya hukum mulai mengaturnya karena citizen journalism sudah tidak bisa dihindari lagi sebagai perkembangan dari dunia IT.Sebelumnya kita juga mengenal profesi freelance journalist (wartawan bebas/paruh waktu) yang eksistensinya diakui di seluruh dunia. Beberapa karya mereka mendapatkan penghargaan bergengsi dunia. Salah satu contohnya adalah karya Talal Abu Rahma berupa liputan penembakan di Jalur Gaza, Palestina yang ditayangkan Channel 2, Perancis dan CNN.Tayangan penembakan pasukan Israel terhadap seorang Bapak yang melindungi anaknya itu menggemparkan dunia. Talal mendapat penghargaan dari Martin Adler Prize pada 19 Nov 1999.Saat ini dunia jurnalistik tengah mengalami shifting. Tidak lagi berbasis kelembagaan, namun sudah mengarah kepada individu. Perkembangan itu tidak lagi bisa dibendung dengan hadirnya kanal Youtube dan situs video berbagi lainnya. Sudah menjadi sebuah keniscayaan.Mengenai judul tayangan, sebagai jurnalis Hersubeno menjalankan profesinya secara profesional. Luhut Hanya Pikirkan Uang, Uang dan Uang merupakan pernyataan dari Said Didu sebagaimana bisa disaksikan dalam tayangan.Jika Hersubeno mengubah atau bahkan menghilangkan pernyataan MSD sebagai narasumber, maka dia telah melakukan sensorship yang sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan pers.Hubungan antara MSD dengan Hersubeno Arief adalah hubungan profesional antara seorang jurnalis dan nara sumber yang dilindungi undang-undang.Apa yang diucapkan oleh MSD secara substansial, empirik dan psikologis bukan merupakan penghinaan, juga bukan kebencian atau ingin menyerang kepribadian seseorang, melainkan clear merupakan fakta dimana dalam mengambil keputusan LBP lebih mengedepankan pertimbangan ekonomi ketimbang pendekatan lingkungan atau kesehatan.Penilaian pendekatan itu yang dinarasikan dengan Uang dan Uang. Dengan kata lain istilah Uang dan Uang itu adalah kata lain yang lebih menekankan pendekatan ekonomi.Dalam berbagai keterangan pers yang diberikannya LBP selalu menunjukkan atau mengedepankan bahwa pertimbangan lebih mengutamakan pertimbangan riel ekonomi. Dan itu yang dibaca dengan Uang, Uang dan Uang oleh MSD.Sebagai jurnalis profesional yang lebih 30 tahun bekerja di berbagai media massa, Hersubeno menilai tidak ada nuansa kebencian dalam nada suara MSD. Hersubeno menilai bahwa ini adalah kata ganti dari sebuah pendekatan atas istilahnya agar lebih mudah dipahami publik.Karena itu sang pewawancara yaitu Hersubeno tidak melakukan self-cencorship, sebab ini menurut penilaian Hersubeno dan banyak orang ini adalah penilaian dari sudut yang berbeda secara scientifik.Tidak ada unsur menyebarkan kebencian apalagi menimbulkan keonaran dari pernyataan MSD karena itu merupakan penilaian terhadap kebijakan seorang pejabat publik yang berdampak luas terhadap masyarakat. Jadi harus dikritisi.Sebagai pejabat publik, Luhut harus siap dinilai bahkan dikritik publik. Menjadi aneh bila dia tidak mau dinilai, sementara dia menilai pernyataan MSD sebagai sebuah penghinaan dan pencemaran nama baik.Mudah-mudahan ada manfaatnya. Penulis adalah Advokat, Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI.
Kemuliaan Dan Kehinaan Karena Kekuasaan
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (19/05). Rosulullah SAW diperintahkan membaca dan memahami Al-Qur'an Surat Ali Imron 26. Begitu juga dengan kaum beriman yang biasa membaca Al-Qur'an. Ayat ini berhubungan dengan hakekat dari kekuasaan. Dimana manusia selalu berusaha, dan berlomba untuk mendapatkan kekuasasaan. Demi kemuliaan dirinya. Bunyi terjemah ayat tersebut adalah, "Katakanlah (Muhammad) Wahai Allah Pemilik Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". Ada empat hal kandungan utama ayat Al-Qur’an tersebut. Pertama, Allah adalah pemilik dari segala kekuasaan. Kedua, Allah yang memberikan dan mencabut kekuasaan. Ketiga, Allah yang memuliakan dan menghinakan pemegang kekuasaan. Keempat, segala kebajikan yang berhubungan dengan kekuasaan ditentukan oleh Allah SWT. Ketika orang berlomba dengan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, maka konten ayat ini menjadi penting. Mengingatkan bahwa kebaikan dan kemulian menurut kita itu belum tentu demikian adanya. Kemutlakan dari kemuliaan itu menurut Allah "tu'izzu man tasya".Begitu juga kehinaan "tudhilu man tasya". Keagamaan harus menjadi orientasi. Dahulu, pada masa Pemerintahan Soekarno sampai tahun 1955, masih bagus. Pemilu dengan sangat demokratis. Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 juga baik. Karena kembali ke UUD 1945 dengan penghargaan pada kekuatan politik keumatan. "Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945". Setelah itu, terjadi kediktatoran Presiden mulai tampak ke permukaan. Demokrasi Terpimpin, dan Nasakom. Tahun 1965 dalam HUT PKI Soekarno berpidato "Subur Subur Suburlah PKI". Akrab sekali Soekarno dengan PKI. Akhinya kemuliaan yang diperoleh, namun kehinaan yang didapat Soekarno. Masa Pemerintahan Soeharto sampai pembentukan ICMI, ada penghargaan kepada umat Islam. Andai Presiden berhenti saat itu mungkin ceritra kebaikan dominan. Namun para penjilat mendorong untuk terus berkuasa, sehingga tahun 1998 dijatuhkan dengan lebih sakit. Begitulah hukum kekuasaan. Saat lagi bagus-bagusnya, mestinya berhenti. Segera turun dari kekuasaan. Dikiranya berlama-lama di puncak kekuasaan itu membuat sang penguasa mulia di mata rakyatnya. Padahal yang terjadi, justri sebaliknya. Masa pemerintahan setelah Soeharto, "datar datar" saja. Kecuali masa pemerintahan Gus Dur, yang diturunkan rakyat. Karena mencoba membubarkan DPR. Itupun karena didorong-dorong oleh kekuatan "kiri" yang merasa nyaman dengan gayanta Gus Dur. Sekarang, masa pemerintahan Jokowi. rasanya tidak ada penghargaan terhadap kekuatan politik umat Islam. Malah dibilang, jangan campur agama dengan politik, deradikalisasi, dan intoleransi. Menghapus pelajaran perang dalam Islam adalah contoh sentimen yang negative itu. Semestinya Presiden Jokowi membaca tingkat kepercayaan yang rendah tersebut. Sebab Presiden telah menjadi bahan olok olokan. Pertanda penghargaan kepada Presiden sudah sangat rendah. Berdasarkan Tap MPR No VI tahun 2001 seharusnya sekarang waktunya untuk Jokowi mundur dari jabatan Presiden. Kalau mundur sekarang, mungkin nama baik masih bisa diselamatkan. Jika terus menjalankan kekuasaan secara kontroversial, seperti akrab dengan RRC, masuknya TKA Cina yang menyalahgunakan fasiltas visa kunjungan untuk bekerja di pabrik peleburan nikel. Begitu juga dengan rencana pindah ibukota, Perppu Otoriter, RUU Omnibus Law Cipta Kerja, dan korupsi yang juga merajalela. Maka bukan mustahil Jokowi bisa diturunkan secara konstitusional. Kembali ke ayat Al-Qur'an, Surat Ali Imron, ayat 26 di atas, maka jabatan-jabatan yang dipegang dan dipertahankan tersebut, belum tentu dapat memuliakan. Bahkan bisa jadi menghinakan kelak. Disinilah, pandangan hidup yang sekularis dan pragmatis telah banyak membuktikan kekeliruannya. Mengabaikan agama dan kekuatan agama di Indonesia, justru akan menuai badai yang bisa menyakitkan nantinya. Tak terkecuali Jokowi atau siapapun. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Soekarno Mencela Muktamar Alim-Ulama Tahun 1957 "Komunis Phobia"
By Prof. Dr. K.H. Buya Hamka Cerita dari almarhum BUYA HAMKA ini, telah dipublikasikan oleh Majalah Panjimas dari tahun 1967-1981, terbitan Pustaka Panjimas halaman 319. Dan telah dirilis kembali oleh Islam Media. Jakarta, FNN - Senin (18/05). Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh dengan tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur dalam menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya. Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden Soekarno bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia”. Dan itu adalah suatu perbuatan yang amoral. Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan. Terdiri dari Parpol dan Ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa syarat (reserve). Malanglah nasib Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, Bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden Soekarno. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh Alim-Ulama yang berkonferensi di Palembang itu. Disebabkan kurangnya publikasi atau tidak ada yang berani mendukung konferensi Alim-Ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencaci maki Alim-Ulama kita. Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali? Agar menyegarkan ingatan Umat Islam, dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke-IV yang berlangsung bulan Juli tahun 1966 lalu. Sebab Muktamar Alim-Ulama yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa : Ideologi-ajarant komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, dan kafirlah dia. Orang tersebut tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam. Tiada pusaka mempusakai, dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam. Bagi orang-rang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme seperti PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain dengan keyakinan dan kesadaran, mka sesatlah dia. Wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut. Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang tahun 1957 itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. Muhammad Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah, para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presiden Soekarno sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar). Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, Alim-Ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Akibatnya, K.H. Muhammad Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi tersebut, pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan, selama kurang lebih empat tahun. Dan banyak lagi Alim-Ulama yang terpaksa menderita di balik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi. Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda, bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua penderitaan itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Disamping itu, ada "ulama” lain, yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu. Bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom. Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita. Dalam indoktrinasi pidato-pidato Soekarno, Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Ulama yang dipandang kontra revolusi, yang telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dalam setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan. Namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat, karena anti Soekarno, dan anti komunis. Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis. Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia, sebelum Allah membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Alim-Ulama itu. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan ,dan bersyukur dalam kemenangan. Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme /Marxisme /Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”. Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang Alim-Ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para Alim-Ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Sebagai ulama, mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan. Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para Nabi. Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya. Seperti yang dialami Nabi Ibrahim A.S. yang dipanggang dalam api unggun yang besar dan bernyala-nyala, ataun seperti yang dialami Nabi Zakariya A.S. yang gugur karena digergaji dan lain-lain. Bgitulah para Nabi utusan Allah itu. Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu. Karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petik bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama yang lama. Namun hanya dari peristiwa sejarah yang lalu.
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (bagian 1): FPI Ormas yang Sangat Toleran
Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati, kapan dan dimana saja. Oleh : Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TULISAN ini saya buat setelah mengikuti peristiwa penggerebekan atau penutupan lapo tuak di Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara akhir April lalu. Penggerebekan dilakukan masyarakat bersama anggota Front Pembela Islam (FPI) setempat, karena laporan keresahan masyarakat atas lapo tuak yang buka di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam, ke kecamatan dan kepolisian setempat tidak direspon atau ditindaklanjuti Menurut berita yang saya baca di media resmi (bukan media sosial), penutupan paksa lapo (kedai) tuak itu dilakukan karena pemiliknya, seorang perempuan, tidak menggubris permohonan masyarakat sekitar lapo tuak yang mayoritas Muslim agar menutup usahanya, terutama di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam. Bahkan, ada suruhan dari pemilik lapo yang mendatangi pihak FPI, dan diduga menyodorkan sejumlah uang agar kegiatan di kedai itu tetap jalan. Jelas FPI menolak. Sejak kapan FPI mau disogok? Imam Besar Habib Rizieq saja yang dicoba disogok Rp 1 triliun agar membatalkan demo 212 menolak mentah-mentah. Wah, kalau mau disogok, FPI sudah menjadi ormas Islam yang kaya raya, tetapi sudah pasti dicaci-maki dan ditinggal anggota, pendukung dan simpatisannya. Sejak lama, banyak yang berusaha menyogok FPI. Usaha menyogok datang dari berbagai kegiatan bisnis haram, mulai dari importir minuman keras, importir video porno, bandar narkoba, bandar judi (sewaktu judi masih merajalela), sampai tukang sabung ayam. Nah, di media sosial, pihak yang membela pemilik lapo tuak juga menulis macam-macam, mencoba memojokkan dan mengadu-domba antara FPI dan umat Islam. Mereka dengan keangkuhannya menyebut, "Mana toleransi orang Islam. Mau cari makan saja tidak boleh." Ada lagi kalimat, "Saya tidak benci Islam, tapi saya benci FPI. Bubarkan FPI. FPI tidak punya izin." Yang lebih menyedihkan dan membuat emosi, ada tulisan di medsos yang kalimatnya, "Buka warung nasi dan kopi kok dilarang, padahal pintunya sudah ditutup kain, sehingga orang dari luar tidak dapat melihat (yang makan dan minum di dalam)." Padahal, pemilik lapo, Lamaria Manulang jelas mengakui menjual tuak (minuman yang terbuat dari air aren yang dicampur bahan tertentu, sehingga bisa memabukkan). Alasannya, karena ada supir angkot yang memintanya menjual barang haram bagi umat Islam itu. Katanya, tuak untuk obat corona virus diseade 2019 (Covid-19). Waduh hebat sekali ya. Aneh! Siapa sebenarnya sopir angkot itu? Apakah provokator atau hanya alasan yang dibuat-buat perempuan pemilik lapo? Atau sudah kongkalikong antara pemilik lapo dan sopir angkot. Sudah tahu tuak diharamkan umat Islam, kok masih berani menjualnya, terutama di bulan Ramadhan dan di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Facebook saya pun habis-habisan diserang pendukung penjual tuak itu. Dari nama-nama dan marganya, saya pastikan semua Nasrani atau Kristen. Makanya, saya sempat mengirim pesan ke WA Grup, "Saya lagi 'berperang' melawan kelompok B-3." Mereka menyerang dari berbagai penjuru. Mulai dari kata-kata menuding saya pendukung khilafah, pendukung FPI, alumni 212, tidak toleran, kok puasa tidak sabar dan macam-macam. Bahkan menuduh saya seorang radikal. Saya akan mulai dari uraian atas tuduhan mereka tidak toleran atau intoleran dari FPI, umat Islam dan saya. Saya selalu menjawab, betapa indahnya toleransi itu jika masing-masing memahami makna dan artinya. Saya juga sering menjawab, "Jangan ajari saya toleransi." Toleransi dalam pandangan saya memiliki makna yang luas dan dalam. Tidak hanya dalam beragama, tetapi toleransi itu juga menyangkut hubungan antar suku, ras dan golongan. Bahkan, toleransi itu bagi saya juga menyangkut hubungan keluarga, hubungan antar partai dan seterusnya. Sebab, jika makna toleransi itu hanya pada agama, artinya pemahamannya sangat dangkal dan sempit. Apalagi cuma toleransi antar umat beragama. Padahal, ada juga toleransi inter (sesama) umat beragama. Dalam Islam, toleransi sudah dipupuk antara pengikut Mazab Imam Hanafi, Mazab Imam Maliki, Mazab Imam Syafi'i dan Mazab Imam Hambali. Dalam praktik sehari-hari, toleransi antara muslim yang bergabung dalam Nahdhalatul 'Ulama atau NU sebagai pengikut Imam Syafi'i dan Muhammadiyah sebagai pengikut Imam Hambali terus dipupuk dan dibina. Di dalam keluarga saja, misalnya kita harus toleran, saling mengerti dan saling memahami. Jika tidak toleran (misal, suami seenaknya pada istri dan anak-anak), bisa dipastikan ikatan keluarga itu cepat bubar. "Bapaknya kejam, suka mukul, suka berkata kasar dan lain-lain," begitu saya beberapa kali merekam perbincangan dengan wanita yang bercerai dengan suaminya. "Jangan ajari saya toleransi," demikian kalimat yang hampir selalu saya tulis untuk menjawab serangan dari kaum radikal kafir Kristen ke Islam dan saya melalui FB. Kelompok yang menyerang saya menulis beragam kalimat yang sangat menyakitkan dan melukai umat Islam. Saya tahu, mereka memancing saya agar emosi. Akan tetapi, selalu saya jawab dengan kalimat yang logis dan masuk akal. Misalnya, ketika mereka menyebut pimpinan kadrun (kadal gurun, bagi kelompok 212), saya jawab apa adanya. "Pimpinan kadrun (maksudnya Habib Rizieq Shihab), kabur ke luar negeri. Tidak berani pulang. Takut ya dan kalimat lainnya," tulis salah seorang pemilik akun FB. Saya cuma menjelaskan, "Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati. Siap kapan dan di mana pun dibunuh. Akan tetapi, istri dan anak-anak (semua anaknya perempuan) takut dan trauma," jawab saya. Sama halnya saya dan Anda. Kalau cuma diancam dibunuh saya tidak takut, mungkin juga Anda. Tapi kalau sampai istri dan anak Anda diancam dibunuh dan diperkosa, Anda masih berpikir bagaimana menyelamatkan mereka. Lagi pula, cukup wajar dalam setiap pertikaian politik, seseorang yang berseberangan dengan pemerintah mengasingkan diri. Coba banya cerita Nelson Mandela, pemimpin oposisi Filipina, pemimpin oposisi Myanmar dan lain-lain yang mengasingkan diri demi perjuangan menegakkan kebenaran. Intoleran masuk klenteng Kok tidak lapor ke polisi? Percuma melaporkannya. Sebab, ruang zikir Habib Rizieq di Pesantren Mega Mendung, Puncak, Bogor Jawa Barat yang ditembaki orang tidak dikenal dan sudah dilaporkan, tidak ada kelanjutannya. Belum lagi saat Habib Rizieq ceramah di daerah Cawang, Jakarta, dua mobil penuh bensin (satu sudah terbakar) dan meluncur ke arah jamaah dan panggung) juga tidak ada kelanjutannya. Tentang kalimat mereka yang menulis , "Saya tidak benci Islam, tapi benci FPI apalagi izinnya tidak diperpanjang." Saya jawab bahwa berdasarkan undang-undang, tidak diperlukan perpanjangan izin sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan) apa pun, tidak hanya FPI. "Jika Anda benci FPI berarti benci Islam juga," tulis saya. Ketika mereka mengeluarkan video ada orang ceramah memakai peci putih, pake koko dan kain sarung menyebut FPI tidak perlu, saya pun mengirimkan video anggota FPI yang melakukan penyemprotan disinfektan di Klenteng, Petak 9, Jakarta. Kalau FPI tidak dibutuhkan dan intoleran, apakah pengelola klenteng akan membiarkan mereka masuk? (Bersambung).** Penulis, Wartawan Senior.
Penjara Setia Menunggu Pejabat Pemberi Likuiditas
By Dr. Margarito Kamis Hukum sudah bergerak lebih jauh dari itu, ia telah berkembang melawan tujuannya sendiri. Hukum sudah dipakai menghancurkan tujuannya sendiri,Ia telah dipakai memberangus keadilan yang seharusnya ia pelihara untuk membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya ia junjung tinggi. Hukum telah menempatkan kekuatan kolektif untuk memihak pihak yang keji yang ingin tanpa pengorbanan diri sama sekali, memanfaatkan kedirian kebebasan dan hak milik orang lain (Frederick Bastiat, Filosof Perancis). Jakarta FNN – Senin (18/05). Kebijakan penyelamatan ekonomi nasional, di dalamnya termasuk menyelematkan korporasi di bidang keuangan, baik maupun non bank, yang dipayungi Perppu Nomor 1 Tahun 2020, telah disahkan DPR menjadi undang-undang. Payung hukum tersebut, kini sedang memasuki babak teknis. Presiden dalam kerangka itu telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020. Ya Tuhan, ternyata judul PP ini lebih panjang dari judul Perppu. Sekadar meringankan ingatan saja. Saya ambil bagian paling awal judul dari PP Nomor 23 Tahun 2020 untuk menyebut PP ini. Saya sebut saja PP ini Tentang “Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional”. Disingkat “PPEN”. Sekali lagi, ini hanya sekadar untuk memudahkan. Bukan untuk mengubahnya. Karena nama PP hanya dapat diubah secara formal dengan PP juga. Presiden Bertanggung Jawab Secara umum, PP mengatur prinsip-prinsip teknis pelaksanaan program, yang tidak terlalu jauh jaraknya dari penjara ini. Disebut umum, karena tidak ditemukan aturan tentang cara menentukan korporasi diberi bantuan likuditas atau tidak. Termasuk berapa besaranya? Lalu kapan diberikan? Termasuk tidak ditemukan di dalamnya ketentuan tentang bagaimana asesmen terhadap derajat kesehatan asset korporasi. Apa kriteria korporasi yang layak mendapat bantuan atau pinjakan likuiditas? Sama-sekali tidak tergambar dalam PP ini. Ini yang sangat menarik. Mengapa menarik? Para pejabat, terutama yang disebut dalam Perpu, khususnya BI dan OJK, terlihat tak mau menanggung sendiri tanggung jawab atas pelaksanaan Perppu ini. Tanggung jawab yang saya maksudkan adalah tanggung jawab hukum. Ini cukup jelas. Kejelasan itu tergambar pada pasal 7 PP ini. Esensi pasal 7 PP ini adalah perumusan, penetapan dan strategi pelaksanaan kebijakan tidak bisa diputus sendiri atau bersama-sama hanya oleh BI dan OJK. Pasal ini memerintahkan dua Menko bidang ekonomi, Menteri, BI, OJK dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) secara bersama-sama merumuskan dan menetapkan strateginya. Tidak itu saja. Kebijakan yang telah dirumuskan oleh mereka, tidak bisa serta-merta dapat ditetapkan menjadi kebijakan pemerintah. Tidak itu. Dalam arti hukum administrasi negara, kebijakan itu harus diberi bentuk hukum untuk dijadikan dasar pelaksanaan. Caranya adalah teknis kebijakan yang telah dirumuskan, harus dibawa lagi ke rapat kabinet. Pada rapat kabinet inilah, Presiden dapat mengundang BI dan OJK. Bila rapat kabinet menyetujui kebijakan yang telah dirancang oleh tim yang disebut pada pasal 7 ayat (1) barulah kebijakan itu dapat dilaksanakan. Ini menarik. Apa yang menarik? Kebijakan itu sepenuhnya memiliki sifat hukum sebagai kebijakan pemerintah. Tanggung jawab atas kebijakan itu beralih dan dipiklul sepenuhnya oleh Presiden. Ini escap bagus buat para pejabat. Harus Diaudit BPK Apakah, dengan demikian pasal 7 PP ini menjadi jebakan kepada Presiden? Tidak bisa berspekulasi. Tetapi apapun itu, para pejabat yang hadir dalam rapat kabinet harus sungguh-sungguh professional. Sekali lagi harus professional. Jauhkan sejauh mungkin sindrom timbang rasa. Semua pengetahuan profesional harus digunakan, sembari mengombinasikannya dengan naluri professional. Argumen profesional dalam rapat kainet itu harus terekam, dicatat. Tujuannya, tentu bagi para pejabat itu adalah untuk memenej ombak yang mungkin datang jauh sesudah kebijakan itu diimplementasi. Apalagi, PP ini jelas tidak menggunakan asumsi pra audit. Yang digunakan adalah post audit oleh BPKP. Ini metode konfensional. Mau telah diaudit atau belum, atau apapun namanya oleh BPKP, hal itu tidak menghalangi BPK melakukan audit. Mau diapakan hasil audit BPK, itu urusan lain. Isu utamanya adalah BPK tak terhalang untuk mengaudit. BPK hanya perlu profesional dan menyatakan apa adanya atas hasil auditnya. Bayangan ketakutan para pejabat yang diserahi kewenangan eksekusi kebijakan ini secara teknis, terutama pemberian likuiditas, terlihat begitu kuat dalam PP ini. Itu terlihat pada pasal 7 ayat (5). Secara esensial ketentuan pasal ini mengatur rapat kabinet dapat menyertakan lembaga penegak hukum dan BPKP. Ini juga escap yang canggih. Cara ini untuk menghindarkan risiko ke person-person pelaksana kebijakan. Sekaligus merupakan cara menyebar tanggung jawab ke semua person yang hadir dalam rapat itu. Tetapi cara ini, dengan alasan tata negara yang bisa diberikan, tidak mengapus tanggung jawab Presiden. Escap ini justru melokalisir. Menempatkan Presiden di pusaran tanggung jawab. Akankah skema tanggung jawab ini berjalan sebagaimana adanya? Tunggu dulu. Ini kan hanya level perumusan dan penetapan kebijakan. Bukan pada pelaksanaan. Dititik inilah masalahnya. Sindrom Penjara Sindrom ini yang sebenarnya membayangi perancang PP ini, dengan cara dimunculkannya pasal 7 itu. Tetapi dilihat dari sudut hukum, masalahnya tidak sepenuhnya selesai hanya dengan menempatkan Presiden pada pusaran pembuatan kebijakan. Masalah sebenarnya pada tanggung jawab hukum – terletak pada pelaksanaan kebijakan. Beban dan penyebaran teknis tanggung jawab, ditentukan secara dominan pada level pelaksanaan kebijakan itu. Inilah yang harus ditimbang secara matang oleh para pejabat yang akan melaksanakan kebijakan secara teknis ini. Pejabat BI, OJK, LPS dan Menteri Keuangan, benar-benar harus cermat secara teknis. Mengapa? Dilihat dari sudut sifat hukum, maka masalahnya adalah apa bedanya Bank Peserta dan Bank Pelaksana? Apakah Bank Peserta itu bukan Bank Umum? Bila sama, mengapa yang satu dikategori Bank Peserta? Dan yang lain dalam status yang sama dikategori Bank Pelaksana? Mengapa bank dengan status hukum yang sama difungsikan secara berbeda? Bagaimana kriteria teknis dan hukumnya? Apakah pembedaan kategorisasi Bank sebagai Bank Peserta dan Bank Pelaksana didasarkan pada ketersediaan likuiditas bank-bank itu? Bila ya, maka soalnya bagaimana menjelaskan kemungkinan bank Bank Perserta mengalami masalah likuditas, sebagaimana diatur pasal 12 PP ini? Bagus, PP ini mengatur Bank Pelaksana yang memiliki program retsruksisai dengan segala variannya, diberi likuiditas oleh Bank Peserta. Ini terlihat logis. Tetapi masalahnya kebijakan restrukturisasi bank-bank pelaksana terhadap debitur dilakukan atas dasar apa? Apakah dilakukan atas dasar korporasi itu tidak bisa bayar kredit? Apakah korporasi itu tidak bisa ekspansi usaha? Apakah betul mereka bermasalah karena korona? Apakah rill perform korporasi sebelum korona, yang kreditnya direstrukturisasi atau ditambah kreditnya? Tidak perlu ditampilkan secara utuh dan dicek secara profesional seluruh aspeknya oleh Bank Pelaksana. Apakah status asetnya tidak perlu dicek secara detail? Andai mau diperbesar skala kreditnya, tentu oleh Bank Pelaksana, apakah jenis, skala dan prospek usaha korporasi yang hendak diberi tambahan kredit? Apakah tak perlu dicek secara detail? Siapa yang mengecek? Bank Pelaksana atau OJK? Apa yang terjadi bila Bank Pelaksana berkeras harus dicek, tetapi OJK berpendapat lain? Misalnya OJK berpendapat Perppu bukan PP, yang memberi kewenangan kepada mereka untuk memungkinkan korporasi tertentu tak mengumumkan informasi tertentu? Dapatkah terminologi informasi tertentu itu diinterpretasi meliputi asset, jenis usaha baru dan skalanya? Oleh karena telah ditentukan adanya Bank Peserta dan Bank Pelaksana, maka BI tidak menyediakan likuiditas. OJK disisi lain, apakah juga tidak berwenang terlibat dalam urusan penentu korporasi mana yang perlu dan layak direstrukturisasi kreditnya atau ditambahkan kreditnya? Hebat betul bila BI dan OJK tidak menganggap ini sebagai masalah yang memerlukan analisis cermat. Tetapi apapun itu, cukup hebat, sindrom penjara yang menerpa sejumlah orang di masa lalu dalam kasus BLBI dan Kasus Century. Dua kasus tersebut, telah menuntun dengan sempurna para perancang PP ini. Tuntunan itu bekerja dengan disediakannya sekoci lain. Sekoci itu bernama menyertakan PT Jaminan Kredit Indonesia dan PT Asuransi Kredit Indonesia. Tetapi sekoci ini terlihat tak tangguh. Mengapa? Besar kemungkinan mereka juga memerlukan tambahan likuiditas. Itu diatur dalam pasal 18 ayat (3). Siapa yang memutuskan pemberian likuiditas kepada mereka? BI atau OJK atau Menteri Keuangan atau Bank Pelaksana? Lalu, apa saja parameter teknisnya? Setelah Kekuasaan Berganti Pemerintah memang selalu kaya dengan argumen, terlepas dari kandungan validitasnya. Bermaksud mencegah sindrom likuiditas yang truble pada setiap pemberian bantuan likuditas dengan cara menyertakan Lembaga Penjamin Kredit, tetapi lembaga itu sendiri membutuhkan likuiditas. Inilah yang memperbesar jalan menuju tuntutan hukum. Pembaca FNN yang budiman, niat baik saja tidak cukup menjamin bagi pejabat pelaksana teknis maupun kebijakan. Juga tidak bakal menjadi senjata ampuh untuk menghindar dari sindrom tuntutan hukum nantinya. Untuk itu, lupakan apa yang disebut “mens rea” yang abal-abal itu. Jalan terbaik adalah kenalilah detil semua loophole teknis yang terskemakan dalam PP ini. Tutupilah, dengan cara bangun panduan hukum selengkap mungkin, sebelum jauh memasuki wilayah berbahaya ini. Itulah cara terbaik menjauh dari sindrom tuntutan hukum. Bisa berupa sindrom penjara. Tentu saja sindrom penjara itu tidak sekarang. Kemungkinan itu di masa datang, jauh setelah kebijakan ini sudah dinikmati oleh korporasi. Pemerintah yang berkuasa juga kemungkinan sudah berganti. Sudah sulit untuk memberikan perlindungan hukum dan sejenisnya. Cermati dan kenalilah dengan benar, nama-nama besar pembuat kebijakan likuiditas seperti Sahril Sabirin, Burhanudin Abdullah, Hendro Budianto dan Haru Supratomo. Mereka semua menikmati kamar dan dinding penjara, bukan pada eranya Soeharto dan Habibie berkuasa. Pada saat kebijakan likuiditas itu dibuat. Tetapi mereka bernasip kurang baik, setelah Soeharto dan Habibie tidak lagi berkuasa. Banyak pasal tentang dugaan pelanggaran hukum, yang mungkin sekarang belum terlihat dan terbaca. Karena telah berhasil ditutup dan dikunci dengan sangat rapi. Bahkan tidak ada celah sedikipun. Coba lihat Pasal 27 Perppu Corona. Para pembuat kebijakan teknis sekalipun, tidak dapat dituntut secara hukum, baik itu pidana, perdata maupun tata usaha negara. Setelah kekuasaan ini berganti. Bakal ada saja pasal-pasal tentang pelanggaran hukum dalam kebijakan pemberian likuiditas hari ini yang ditemukan oleh penguasa baru nantinya. Sayangnya, ketika pasal-pasal itu ditemukan, umur dan stamina dari yang menjabat sekarang, sudah tidak lagi mendukung untuk bisa bersyukur menikmati kehidupan di penjara. Semoga saja bermanfaat. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Usir TKA Cina
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (18/05). Spanduk terpampang di Pakanbaru Riau, "Usir TKA Cina dari Indonesia". Spanduk ini cukup menarik. Seolah-olah merepresentasi keterusikan perasaan masyarakat pribumi atas mengalirnya TKA dari Cina. Demikiann juga tekad masyarakat Konawe Sulawesi Tengga, yang menolak kehadiran 500 TKA asal Cina di daerahnya. Pemerintah Daerah mendukung, bahkan siap untuk memimpin gerakan penolakan. Secara terang-terangan Pemerintah Pusat membuka lebar pintu masuknya TKA Cina ke perusahaan yang ada di berbagai daerah. Selain Konawe, juga di Morowali Sulwesi Tengah Tengah dan Weda Maluku Utara. Tekanan berupa penolakan hanya sampai pada kebijakan penundaan. Menko Luhut bahkan telah menyatakan, Juni dan Juli nanti, 500 TKA Cina itu akan masuk lagi. Terkesan pak Menteri ini pasang badan untuk kedatangan pekerja dari Cina. Dalihnya, adalah mereka merupakan tenaga ahli yang dibutuhkan oleh perusahaan. Kekhawatiran dan keprihatinan atas banjirnya TKA Cina di tengah jutaan tenaga kerja lokal kita yang di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah membawa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bangkit dan angkat bicara. MUI prihatin dengan membanjirnya TKA Cina ke Indonesia. MUI seluruh Indonesia telah menyatakan sikap, untuk mengawasi dan mewaspadai kedatangan TKA Cina di seluruh daerah Indonesia. Meminta seluruh jajaran MUI agar melaporkan ke pihak berwenang bila mencurigai adanya TKA Cina yang datang. Apalagi jika sampai ditemukan penggunaan KTP palsu. Setingkat kata, para Ulama yang tergabung dalam MUI telah bereaksi atas kedatangan TKA Cina. Ini sinyal serius dan bahaya. Ada aspek keagamaan yang terancam atau terdampak. Mungkin juga aspek ideologi dan keamanan. Ada kekhawatiran tenaga kerja yang datang adalah penyusup. Badan tegap dan rambut cepak, khas penampilan tentara. Wajar saja para TKA Cina itu cukup menjadi alasan atas kecurigaan. Keadaan ini menyentak, dan menjadi perhatian khususnya bagi rakyat. Seharusnya juga menjadi perhatian Pemerintah. Ada lima hal yang perlu untuk mendapat penekanan. Pertama, perlu keterbukaan mengenai hubungan sebenarnya RI dengan RRC, apakah semata bisnis atau juga politis? Apa isi MOU atau Perjanjian yang telah dibuat, baik G to G maupun B to B. Semuanya harus dibuka ke publik. Presiden harus menggunakan mimbar kebesaran di Istana negara dan berpidato untuk masalah ini. Biar semua masyarakat mengetahui. Kedua, berapa sebenarnya target TKA Cina yang akan didatangkan ke Indonesia? Bagaimana proporsi dan hubungan kerja dengan tenaga local? Baik itu aspek penggajian maupun fasilitas lainnya? Ini juga harus dibuka ke publik. Biar semua masyarakat paham. Ketiga, filter atau acuan apa yang disiapkan Pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari masuknya TKA Cina ke Indonesia? Dalam rangka menghindari penyusupan oleh tentara Cina maupun penyebaran ideologi komunis. Ini juga harus disampaikan ke publik. Biar semua masyarakat bisa mengerti. Keempat, bagaimana jaminan sistem keamanan rahasia negara dengan kedekatan hubungan antar kedua negara? Adakah kewaspadaan terhadap para pengusaha taipan yang mungkin juga menjadi agen rahasia dari negara RRC ? Ini juga harus disampaikan ke publik. Biar semua masyarakat menyadarinya. Kelima, perlu pendataan akurat dari seluruh etnis yang ada di Indonesia (Jawa, Sunda, Minang dan lainnya) termasuk etnis Cina. Mengingat RRC atau PKC senantiasa menempatkan warga Cina diaspora menjadi bagian dari perjuangannya. Hal ini penting sekurangnya untuk strategi pembauran. Tanpa melanggar UU Kewarganegaraan tentunya. Persoalan penolakan bahkan "Usir TKA Cina" tidak boleh dianggap enteng atau diabaikan oleh Pemerintah. Ini harus dipandang sebagai keresahan yang harus terklarifikasi dan terpola bagi solusi aman dan menenangkan. Jangan tunggu sampai sudah men jadi masalah baru bergerak. Seperti pada awal-awal penanganan pandemi virus Covid-19 yang terkesan lambat dan anggap enteng. Ada kekhawatiran dari rakyat dan bangsa Indonesia bahwa setelah mengalami penjajahan Portugis, Belanda, Jepang, maka kini ancaman penjajahan itu datangnya Cina. Sama seperti yang terjadi pada Belanda dulu. Yang awalnya adalah sebatas pada hubungan bisnis dan urusan investasi semata. Tetapi ujungnya adalah aneksasi dan kolonialisasi. Adakah kerjasama maritim, investasi, dan hutang luar negeri saat ini merupakan road map menuju penjajahan? Pemerintah Jokowi mesti menjawab dengan bukti-bukti. Bukan dengan basa-basi atau janji-janji lagi. Rakyat semesta kini menuntut kebenaran dan kejujuran. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.