ALL CATEGORY

Skandal M Nuh Beli Gesits: Para Konglomerat Mempermalukan Jokowi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Bukan salah siapa-siapa. Bukan salah M Nuh. Bukan salah penyelenggara konser virtual Berbagi Kasih. Dan bukan juga salah panitia lelang. Yang salah dalam skandal M Nuh gagal membayar harga lelang sepedamotor Gesits dengan tanda tangan Presiden Jokowi itu adalah para konglomerat dan para pengusaha besar yang selama ini mengaku mendukung Jokowi. Ternyata, mereka semua hanya pura-pura mendukung Jokowi. Kalau mereka betul-betul setia pada Jokowi, sepedamotor Gesits yang ditawar M Nuh seharga 2.55 miliar itu bisa dengan mudah menjadi 255 (dua ratus lima piluh lima) miliar. Kalau para konglomerat itu ikut berpartisipasi, uang segitu untuk membayar sepedamotor legendaris milik Jokowi itu menjadi tak seberapa. Toh uang itu akan disumbangkan untuk upaya penanganan Covid-19. Tetapi, mereka itu tidak ada yang peduli dengan konser amal Berbagi Kasih yang diselenggarakan pada 17 Mei 2020 itu. Mereka memilih untuk mempermalukan Jokowi. Juga sangat mempermalukan konsorsium penyelenggara konser yang terdiri dari BPIP, MPR, dan BNPB itu. Sungguh tragis. Lelang sepedamotor legendaris yang ditandatangani Jokowi itu menjadi berantakan di tangan M Nuh yang mengaku sebagai pengusaha tambang. Ke mana saja orang-orang yang punya ‘duit tak berseri’ itu? Kenapa mereka biarkan M Nuh dengan tawaran hanya 2.55 miliar? Apa yang membuat mereka berat membayar 25 miliar atau 255 miliar? Apakah mereka tidak menganggap tanda tangan Jokowi sebagai barang yang berharga? Tidakkah mereka menganggap Jokowi sebagai presiden yang paling historis sejak Indonesia merdeka? Keterlaluan sekali mereka. Dari pengalaman buruk ini, Presiden Jokowi perlu memberikan ‘pelajaran’ kepada para konglomerat yang tega membiarkan lelang Gesits dipermalukan sampai kandas. Jokowi harus meninjau ulang ‘hubungan baik’-nya dengan para konglomerat itu. Pak Jokowi wajar mengeluarkan teguran keras kepada para konglomerat itu. Sebab, ada indikasi bahwa mereka selama ini berbohong mendukung Jokowi. Mereka semua menipu Jokowi.[] 22 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)

Tragedi Lelang Motor di Konser Yang Memalukan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (22/05). Kita semua tentu prihatin di ajang kegiatan konser amal Covid 19 Minggu malam (17/05). Terjadi peristiwa diluar dugaan. Pemenang lelang M. Nuh yang menjadi peserta dengan penawar tertinggi Rp. 2,55 miliar, ternyata hanya seorang pekerja buruh. Menurut pengakuan M. Nuh, dirinya tidak memiliki uang sebesar itu. Rupanya perbuatannya hanya iseng atau salah persepsi. Disangka tebak tebakan berhadiah. Sekarang, M. Nuh sang "pengusaha" terpaksa berurusan dengan Kepolisian Daerah Jambi. Memang konser amal "Berbagi Kasih Bersama Bimbo" ini sejak awal kontroversial. Pertama, dilaksanakan di penghujung bulan Ramadhan. Pada saat umat Islam sedang berburu "Lailatul Qadar". Kedua, kurang relevan dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Terlalu jauh kalau lembaga negara sekelas BPIP dan MPR ikut-ikutan sebagai penyelenggara atau sponsor kegiatan. Ketiga, diragukan konsistensi peserta konser dalam menerapkan protokol kesehatan penanganan Covid 19. Baik itu yang berkaitan dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), maupun soal menjaga jarak diantara yang hadir. Nuh yang dalam KTP-nya berprofesi sebagai Buruh Harian Lepas, telah sukses dan berhasil mengalahkan Gabriele Mowengkang yang menawar Rp. 2,5 miliar, Maruarar Sirait Rp. 2,2 miliar dan Warren Tanoe Soedibyo Rp. 1,550 miliar. "Jadi, pemenang lelang adalah pengusaha dari Jambi bernama M.Nuh" ujar pembawa acara Choky Sitohang. Ditambah dengan uang yang dari M. Nuh, maka pendapatan konser amal Covid 19 ini menjadi sebesar Rp. 4 miliar. Yang tentu saja masih tekor, sebab bila dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan konser, yang konon sebesar Rp. 6 milyar lebih. Tekornya Rp. 2 miliar . Bimbo dan para artis lain yang ikut di acara kon ser tersebut tidak mampu menarik donatur yang memadai. Padahal Presiden, Wapres, Ketua MPR, dan para pejabat tinggi negara juga ikut "menghadiri" acara tersebut. Kemana para taipan dan konglomerat ya? Tragi sekali. Konser amal "kenegaraan" hanya mendapat dana donasi Rp 4 miliar. Itupun yang Rp 2,55 miliar dari hasil "tipu tipu". Konser serupa pernah diadakan oleh Didi Kempot sebelum meninggal dunia. Didi Kempot ketika itu berhasil mengumpulkan sumbangan dari masyarakat sebesar Rp. 5,3 miliar. Padahal tanpa keterlibatan para petinggi negara seperti Presiden atau Ketua MPR. Sebenarnya untuk mengumpulakn dana seperti ini mudah saja. Tanpa dilakukan konser pun Presiden tinggal mengumpulkan para pengusaha besar. Termasuk "naga-naga sembilan". Presiden lalu menyampaikan maksud dan keperluan untuk mengumpulkan para taipan dan konglomerat tersebut. Sangat diyakini bakal dapat dana lebih dari Rp. 4 miliar. Tanpa perlu lelang motor listrik si "gesits" itu. Mestinya memang "gesit" tapi karena "gesits", ya motornya menjadi super gesit. Jadinya blusukan ke mana-mana itu "gesit". Hingga sampai ke Sungai Asam, Pasar Jambi, untuk menemui "pengusaha" M.Nuh. Tiga pelajaran penting yang jadi bahan renungan. Pertama, apapun argumennya melaksanakan konser "kenegaraan" di akhir-akhir malam Ramadhan telah menyinggung umat Islam. Orang lagi bertadarus Qur'a. Prasiden dan Ketua MPR malah bernyanyi nyanyi. Kedua, Pemerintah Jokowi mengevaluasi diri setelah menyiapkan "tipu-tipu" dengan Perppu Corona, kini kena "tipu-tipu" oleh M.Nuh. Ketiga, lembaga BPIP dan MPR harus mulai menata ulang akan fungsinya secara nyata yang benar-benar. Lagi ditunggu dan dibutuhkan rakyat. Bukan konser. Semoga bangsa ini tidak terlalu banyak mendapat sorotan dunia, karena pekerjaan yang dilakukan Presiden, MPR dan BPIP tidak relevan, dan tidak serius. Ada meme kritis dialog dua tokoh dunia. "tahu ngga apa yang dilakukan pejabat-pejabat Indonesia untuk mengatasi Corona ???"-- "Mereka ngapain mbak ?"--"Nyanyi bareng !"--"wkwkwk ambyar". Kasus M. Nuh cukup memalukan. Terjadi di konser yang terbilang "besar". Dibilang besar, karena dengan perhatian dan kepedulian yang besar dari para pembesar negara. Jika M. Nuh memang benar-benar polos. Mungkin saja dia sedang berprasangka baik kepada Pak Jokowi. Biasanya Pak Jokowi sering membagi hadiah sepeda. Karena ini di bulan Ramadhan, mungkin Pak Jokowi mau bersedekah dengan nilai yang lebih besar. Bukan lagi dengan sepeda, tetapi dengan motor listrik "gesits". M. Nuh lalu menebak harganya, dengan Rp 2,55 miliar tersebut. Eh, ternyata dia menang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (5): Islam Diusik, Umat Melawan

Perumpamaan umat Islam itu seperti lebah. Jika sarang lebah diganggu, lebahnya marah dan memgejar yang mengganggunya. Demikian juga Agama Islam, jika diusik sedikit saja, umatnya melawan. Oleh : Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TOLERANSI sangat ditanamkan secara dalam pada ajaran Islam. Sepanjang agama lain tidak mengganggu Islam dan pemeluknya, Islam mengajarkan agar hidup rukun dan berdampingan. Islam merupakan agama yang paling menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Sejak pertama kali hadir di muka bumi yang dibawa oleh para Rasul Allah, Islam telah mengajarkan nilai toleransi yang dikenal dengan konsep tasamuh yang salah satunya mengatur bagaimana hubungan dengan umat beragama lain. Rasulullah Saw juga hidup berdampingan dengan kaum kafir selama di Mekkah dan Madinah. Bahkan, ada riwayat tentang orang Yahudi yang buta yang selalu meludahi Nabi Muhammad Saw, setiap kali Nabi lewat dan menyuapinya dengan makanan. Si Yahudi buta tidak tahu bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah. Setiap kali menyuapi, Yahudi yang buta itu mencaci-maki Rasulullah dan kemudian meludahinya. Dia tidak tahu yang di depannya adalah orang yang dibencinya dan selalu dimaki-makinya. Yahudi yang buta itu baru tahu setelah Rasulullah wafat. Itu pun karena saat menyuapi makanan, sang Yahudi merasa berbeda.Yahudi buta bertanya siapa yang menyuapinya. Kok tidak seperti orang yang selama ini menyuapinya makan dengan tangan lembut. Orang yang ditanya pun menjelaskan bahwa yang menyuapinya selama ini sudah wafat. Orang tersebut adalah Nabi Muhammad Saw. Sang Yahudi menangis dan menyesal karena selama ini telah memaki-maki dan meludahinya. Padahal, orangnya baik dan tidak pernah membalas caci-makinya, apalagi balas meludahinya. Singkat cerita, penyesalan Yahudi yang buta itu ditebusnya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, menyatakan diri masuk Islam atau menjadi mualaf. Perumpamaan Islam itu seperti lebah. Mencari makan, lebah hinggap pada bunga dan menghisap sarinya. Bunga tidak rusak, lebah kenyang dan akhirnya menghasilkan madu. Ajaran Islam juga seperti itu. Islam mengajarkan kebaikan dan hasilnya tentu kebaikan. Lebah, kalau membuat sarang juga tidak merusak dahan, ranting dan bahkan pohon yang kerig sekali pun. Jadi, di mana pun berada, Islam itu tidak akan merusak sekitarnya. Justru sebaliknya, sekitarnyalah yang mencoba mengganggu dan merusak nilai-nIlai ajaran Islam. Lebah tidak merusak bunga yang sarinya dihisap menjadi madu. Lebah tidak mematahkan dahan dan ranting pohon yang menjadi sarangnya. Akan tetapi, jangan sekali-sekali mencoba mengusik lebah di sarangnya, apalagi saat di siang hari. Lebah akan marah dan bersatu mengeroyok siapa pun yang merusak sarangnya, termasuk pawang lebah. Hanya saja kalau pawang sudah tahu cara mengatasinya. Umat Islam Melawan Islam juga sama. Jangan sekali-sekali mengusik dan menyakitinya, apalagi melukainya. Umat Islam di manapun akan bangkit melawannya. Banyak contohnya. Ketika ada kartun yang menghina Rasulullah, umat Islam di seantero bumi bangkit berdemo mengutuknya. Ketika ada film "Fitna" yang juga menghina Rasulullah dan agama Islam, muslim di berbagai belahan dunia bangkit berdemo mengutuknya. Hasilnya, pembuat film itu akhirnya masuk Islam. Ketika Al-Qur'an mau dibakar dan diinjak-injak, umat Islam bangkit melakukan perlawanan. Ketika si Ahok menista Al-Qur'an, umat Islam di Indonesia bangkit, sehingga si penista agama Islam itu dipenjara. Begitulah umat Islam melakukan perlawanan terhadap setiap upaya menghina ajaran Islam. Perjuangan umat Islam, ada yang langsung membuahkan hasil. Ada juga yang perlahan berhasil. Yang jelas, perjuangan umat Islam yang dipimpin para ulama yang diiringi dengan do'a, apalagi doa qunud nazilah, pasti didengar dan dikabulkan Allah Yang Maha Kuasa dan Mendengar. Makanya, sering kita dengar kalimat, mulut ulama itu beracun. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior

Ramai-Ramai Membunuh Politisi

Oleh Hersubeno Arief Buta yang terburuk adalah buta politik— Berthold Brecht (1898 – 1956)— Jakarta, FNN - Andai saja saat ini dilakukan survei opini publik: Profesi apa yang paling dibenci di Indonesia? Bisa diduga politisi akan menempati salah satu yang teratas. Khususnya mereka yang kini duduk di kursi DPR. Silakan melongok ke berbagai media sosial. Bermacam-macam tagar muncul. Mulai dari #DPRbunuhdiri, #DPRbudakistana, sampai #Killthepolitician meramaikan dunia maya. Keriuhan di dunia maya itu menggambarkan frustrasi publik. Kemarahan di tengah tekanan pandemi dan dampaknya secara sosial dan ekonomi. Mereka perlu katarsis. Pelampiasan. Marah, frustrasi terhadap para politisi di tengah pandemi, bukan hanya monopoli rakyat di Indonesia. Di AS kebencian terhadap Presiden Trump dan para pendukungnya kian memuncak. Acakadutnya penanganan bencana Corona oleh pemerintah menjadikan Trump, bulan-bulanan kemarahan publik. Di Indonesia frustrasi dan kemarahan publik, selain karena kebijakan pemerintah yang tak jelas, buang badan. Juga didorong sikap DPR. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, DPR hanya membebek. Menyetujui, mendukung apapun yang dilakukan pemerintah. Padahal kebijakan itu dinilai merugikan masyarakat. Mengamputasi dan mengebiri fungsi DPR. DPR juga dicurigai bermain mata, berselingkuh dengan kepentingan para taipan, korporasi besar yang berpesta pora, memanfaatkan bencana.Mereka bergerak cepat. Diam-diam mengesahkan berbagai perundangan. RUU yang sebelumnya jelas-jelas ditolak publik. Mumpung publik lengah. Mumpung civil society sibuk dengan berbagai persoalan lain. Mumpung mahasiswa tidak bergerak. Mumpung media fokus ke bencana dan direpotkan oleh problem kehidupan sehari-hari. Semuanya dikebut. Ketok palu. Langsung diundangkan. Tak peduli tata tertib DPR dilanggar. UU itu bertentangan dengan konstitusi. Bertentangan dengan nalar publik! Yang penting order dari para bohir. Para cukong politik sudah dilaksanakan. Invoice, tagihan bisa dicairkan. Mari kita inventarisir berbagai perundang-undangan yang disahkan DPR di tengah bencana. Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Covid. Dari 9 fraksi, hanya PKS yang menentang. Disahkan secara aklamasi. Keberatan publik sudah banyak dibahas. UU ini dinilai lebih mementingkan menyelamatkan kepentingan korporasi dibanding kepentingan rakyat. UU Minerba disahkan. Hanya Demokrat yang tidak setuju. Posisi Demokrat bergantian dengan PKS yang ikut menyetujui. Padahal UU ini dinilai akan menyengsarakan rakyat di sekitar penambangan dan merusak lingkungan. Lagi-lagi UU ini juga hanya menguntungkan korporasi, pengusaha besar. Jika dirunut ke belakang, sangat banyak UU yang disahkan DPR, bertentangan dengan nalar publik. Salah satunya adalah revisi UU KPK yang dianggap menguntungkan dan berpihak kepada koruptor. Dikendalikan para cukong Tudingan bahwa partai politik (Parpol) sudah dikendalikan oleh para cukong, ini bukan asal ngomong. Bukan sekedar sikap curiga dan paranoid. Politisi Golkar yang kini menjadi Ketua MPR Bambang Soesatyo pernah menyampaikan bocoran. Untuk menguasai sebuah Parpol, biayanya sangat murah. Cukup dengan modal Rp 1 Triliun, posisi ketua umum bisa direbut. Setelah itu cukong politik tinggal order kepada sang Ketum. Mengamankan kebijakannya di DPR. Jika ada anggota dewan yang mbalelo, tinggal recall. Ada mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Betapa luar biasanya para taipan, cukong politik itu. Mereka inilah yang bekerjasama dengan penguasa, politisi, penegak hukum disebut sebagai kelompok oligarki! Mereka adalah sekelompok kecil elit yang mengendalikan kekuasaan, politik, dan ekonomi.Kamus Merriam-Webster mendifinisikan oligarki sebagai “kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri”. Di medsos saat ini sedang viral pernyataan pengamat politik senior Fachri Aly. Dia menyatakan politik Indonesia saat ini dikuasai oleh pengusaha. Disebutnya para kapitalis. Kekuatan modal, kata Fachri Aly, saat ini jauh membayang-bayangi dalam sistem demokrasi. Jauh lebih berbahaya dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, penguasa yang menciptakan kapitalis. Dan penguasa bisa mengontrol pengusaha. Sebaliknya pengusaha juga hormat kepada pengaturan penguasa. Di masa Soeharto pengusaha tunduk pada penguasa. “Tapi begitu kekuasaan Soeharto rontok, maka para kapitalis itu lah yang menguasai negara,” tegas Fachri. Pernyataan Fachri ini disampaikan dalam sebuah seminar tahun 2015. Namun nampaknya kembali diviralkan karena sangat tepat menggambarkan situasi saat ini. Berharap pada partai dan politisi baru Dengan situasi semacam itu apakah kita harus mengikuti anjuran netizen membunuh para politisi? #Killthepolitician? Membubarkan Parpol karena mereka sudah terbeli dan menjadi alat kepentingan para taipan? Tak ada yang bisa dipercaya? Kembali meminjam pernyataan Berthold Brecht yang dikutip diatas. “Buta paling buruk, adalah buta politik!” Lengkapnya penyair dan dramawan Jerman itu mengatakan: Buta paling buruk, adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik." Dalam negara demokratis, untuk menyampaikan aspirasi tersebut, maka saluran legalnya adalah parpol. Melalui Parpol kita boleh merebut kekuasaan secara legal dan konstitusional. Menentukan harga, dan menentukan siapa yang berkuasa. Jika semua orang baik menolak berpolitik karena dianggap kotor, maka parpol akan hanya diisi orang-orang jahat. Para politisi yang menggadaikan jabatannya menjadi hamba pengusaha. Dengan semangat semacam itu, kita perlu sambut hadirnya parpol baru. SK dari Kemenkumham Partai Gelora yang didirikan duet Anis Matta-Fahri baru saja terbit. Mereka menjadi salah parpol baru pertama yang resmi berbadan hukum. Tinggal mengikuti verifikasi dari KPU. Pendiri PAN Amien Rais juga akan segera mendirikan Parpol baru. Diperkirakan bakal terjadi bedol desa dari PAN. Sebelumnya juga sudah ada wacana menghidupkan kembali Partai Masyumi. Politisi Ahmad Yani menggagas Masyumi Reborn. Dilihat dari latar belakang pengurusnya, semua berakar dari gerakan Islam. Hanya Gelora tampaknya mencoba bergeser ke tengah. Islam-Nasionalis. Eksperimen politik Gelora ini cukup menarik. Mereka mencoba memadukan dan mengakhiri ketegangan politik Islam dan Nasionalis. Polarisasi semacam itu selalu mewarnai perjalanan politik bangsa sejak Indonesia berdiri. Banyak membuang energi bangsa. Partai sempalan PAN, bila dibaca dari statemen Amien Rais tampaknya akan bergerak lebih ke kanan. Lebih Islami. Menjadikan Al Quran sebagai acuan moralnya. Sementara Masyumi Reborn dari namanya punya niat membangkitkan kembali partai Islam yang sempat berjaya di masa lalu. Mudah-mudahan parpol baru ini bisa menjadi parpol alternatif bagi publik yang kecewa dan dikecewakan parpol yang ada saat ini. Bagaimana bila mereka juga ternyata mengecewakan? Silakan saja bila ingin kembali gemakan tagar #Killthepolitician. Bersikaplah santai, sambil mengingat kembali ucapan negarawan asal Inggris Winston Churcill. “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.” Nahhhhhhhh. End Penulis Wartawan Senior.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (4): Aksi FPI Menyatukan Umat Menggetarkan Musuh

FPI pengikut Imam Syafi’i yang konsisten dengan do’a qunud, niat usholli dalam setiap shalat, memperingati Maulud Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wasalam, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlilan, membaca Yaasin tiap malam Jum’at. Kalau tidak percaya, silahkan datang dan mengikuti pengajian rutin di Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN – KEMBALI ke saya yang “berperang” di FB gara-gara penutupan paķsa lapo tuak di Deli Serdang, Sumatera Utara, saya perlu menuliskan banyak hal. Tidak hanya ke saya dan umat Islam, mereka bahkan menuduh Kapolda Sumut Martuani Sormin yang terlalu cepat-cepat menyelesaikan persoalan dengan sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat Sumatera Utara. Penyelesaian persoalan di luar jalur hukum itu membuat mereka tidak respek atau simpati kepada Martuani Sormin yang juga Kristen. Saya mencoba menjelaskan betapa tokoh masyarakatmengutamakan kepentingan yang lebih luas. Pak Kapolda lebih mengutamakan penyelesaian di luar jalur hukum karena itu dibenarkan sepanjang yang bertikai mau (asalkan tidak sampai ada korban, terutama korban jiwa). Saya jelaskan seperti itu, mereka malah menuliskan kalimat, “Dasar alumni 212.” Saya pun menjawabnya dengan tegas bahwa saya peserta demo 2-12-2016 (atau terkenal 212). Setiap kali reuni pun saya ikut. Insya Allah, jika reuni digelar tiap tahun, saya akan hadir sepanjang saya sehat dan masih hidup. Demo yang dilakukan untuk memenjarakan Basuki Tjahya Purnama atau Ahok si penista Al-Qur’an dan agama Islam. Bahkan, demo sebelum 212 pun saya sudah ikut, yaitu demo 4-11-2016 atau demo 411 yang sempat memanas, karena massa peserta disusupi provokator. “Ya saya peserta dan alumni 212. Apa ada yang salah? Itulah demokrasi. Demontrasi atau unjuk rasa dijamin undang-undang. Coba Anda bikin juga demo tandingan seperti 212, tidak ada masalah,” tulis saya. Maka keluarlah kalimat peserta demo bayaran, nasi bungkus dan demo anarkis dari lawan saya berperang di FB. Saya jawab, yang membayar dan dibayar siapa? Yang suka rebutan nasi bungkus siapa? Yang anarkis siapa? Kalau demo bayaran dan rebutan nasi bungkus, itu sangat tidak masuk akal. Yang datang dari berbagai daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke. Ada yang menggunakan pesawat (peserta dari Sumatera Barat malah ada yang mencarter pesawat), naik kapal laut, naik kereta api, menggunakan bus, baik carter maupun sendiri-sendiri, mobil pribadi, sepeda motor dan naik sepeda. Bahkan, ada yang berjalan kaki (peserta dari Ciamis jalan kaki 2 hari 2 malam hingga sampai ke lapangan Monas). Siapa yang mau bayar peserta yang diakui Presiden Joko Widodo lebih dari tujuh juta orang itu. Ada yang memperkirakan lebih dari 13 juta orang. Perisriwa 212 jelas merupakan gambaran persatuan umat. Sebab, mereka datang dari berbagai organisasi Islam, meski kedatangannya secara pribadi. Mereka yang datang terdiri dari lintas mazab. Jelas menggetarkan musuh Islam. Siapa yang punya uang membayar peserta sebanyak itu? Mulai dari ongkos pergi dan pulang, biaya penginapan ( banyak peserta yang menginap di hotel berbintang- bahkan bintang 5). Ada yang menginap di rumah saudara, teman, di masjid dan juga markas panitia peserta. Bahkan, ada juga yang menginap di sekitar Monas, menggelar tikar atau koran, sekedar alas buat duduk dan tidur. Tentang rebutan nasi bungkus, cerita bohong dari mana lagi. Konsumsi, baik makanan dan minuman berlimpah dan berlebihan. Di pintu Timur Monas dekat Stasiun Gambir, saat acara sudah bubar, saya menemukan tiga truk (truk kapasitas 7 ton) bermuatan air mineral yang belum diturunkan. Menurut seorang sopir truk yang saya tanya, air mineral itu sumbangan dari seseorang yang tidak dia ketahui siapa namanya. Selain yang tiga truk itu, katanya, masih ada 2 truk lagi yang belum bisa masuk. Supir truk itu pun mengatakan bingung, air mineral dalam kemasan botol dan gelas itu diturunkan di mana. Perintahnya, diantarkan untuk keperluan peserta demo di Monas. Padahal, acara sudah selesai. Ya, saya sarankan agar diantarkan/diturunkan di pos-pos panitia saja biar aman. Nah kembali ke makanan, saya dan istri beserta teman-temannya juga membawa makan berupa roti dan air mineral dalam botol. Dua mobil minibus saya, dijadikan mengangkutnya, dengan melipat kursi paling belakang. Makanan dan minuman itu dibeli dari uang patungan emak-emak teman istri saya. Selain membeli makanan dan minuman, masih ada sejumlah uang dari urunan dan pribadi yang saya bawa dan mereka minta disampaikan ke FPI. Sempat saya katakan, disampaikan lewat yang lain saja. Akan tetapi, ada seorang Ibu yang tinggal di Belanda – melalui saudaranya yang tinggal di Tangerang – mengatakan hanya percaya pada FPI. Saya lupa berapa kali si Ibu yang tinggal di Belanda itu menyumbang kegiatan lewat FPI. Belum lagi sumbangan dari teman istri saya sewaktu mereka sama-sama di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1982-1985. Minuman yang kami bawa pun masih tersisa. Kamis malam 1-12-2016 sampai tengah malam saya masih di Markas FPI Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebagai wartawan yang ingin melihat dan mendengarkan sesuai fakta. Selain itu, saya juga membawa uang untuk disetorkan (saya tak mau sebut angkanya). Tetapi, nolnya 6. Dan malam itu entah sumbangan yang ke beberapa kali yang saya bawa ke Markas FPI. Saya nongkrong di Markas FPI sambil mengamati lalu-lalangnya manusia yang datang dari berbagai daerah, termasuk dari Kalimantan, Papua, Aceh dan daerah lainnya. Juga saya mengamati masuknya bantuan makanan, minuman dan bahkan mantel hujan. Mantel hujan yang merupakan sumbangan dari seorang mualaf itu diperkirakan senilai Rp 50 juta lebih. Ya, mantel itu secara simbolis diberikan kepada pimpinan rombongan peserta yang berjalan kaki dari Ciamis, Jawa Barat. Pemberian secara simbolis itu sebagai wujud apresiasi kepada peserta jalan kaki yang sepanjang perjalanan dari Ciamis sampai Jakarta sering diguyur hujan deras. Saya juga menyaksikan beberapa orang yang menyerahkan sumbangan, baik atas nama pribadi maupun organisasi dan kelompok. Saya juga sempat menyaksikan seorang pria menyerahkan uang Rp 10.000.000. Sang pria tersebut mengaku sekampung dengan Ahok. Akan tetapi, dia hanya mau disebutkan sumbangan dari hamba Allah. Menceraikan Istri Ada peristiwa yang sangat memilukan hati saya yang saya dengar dari pria itu. “Tadi siang, saya baru ceraikan istri saya karena kami berseberangan. Saya tidak suka Ahok meski sama-sama dari Bangka Belitung. Istri saya pendukung berat Ahok. Sudah saya nasihati berulangkali, tapi istri tidak mau. Ya, saya ceraikan talak satu,” katanya. Yang mendengarkan ceritanya itu pun bertakbir dan kemudian mendo’akan agar istrinya sadar mengikuti sang suami dan mereka rujuk kembali. Saya juga berbincang-bincang dengan petinggi FPI dan beberapa peserta yang datang dari daerah. Sekitar pukul 22.30 Habib Rizieq dan rombongan tiba di markas dan ĺangsung menuju rumahnya yang berlokasi di sana. Habib Rizieq dan rombongan baru pulang menyelesaikan rapat koordinasi pelaksanaan aksi demo 2-12-2016 di sebuah tempat. Rapat finalisasi, termasuk pembagian tugas shalat Jumat yang disepakati, khatibnya dari NU (pengikut Imam Syafi’i), imamnya boleh dari Muhammadiyah atau ormas Islam lain dengan cacatan, bacaan Surat Al-Faatihah harus didahului dengan bismillah yang dijaharkan. Informasi itu saya peroleh dari Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis, saat saya dan beberapa orang diajak makan malam di sebuah restoran nasi kebuli, tidak jauh dari Markas FPI."Kita atur seperti itu Bang, karena peserta dipekirakan banyak yang berasal dari pengikut Imam Syafe'i," kata Sobri Lubis. FPI adalah pengikut mazab Imam Syafe’i yang konsisten dengan doa qunut subuh, niat pake usholli pada setiap shalat, peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad Saw, peringatan Isyra dan Mi’raj, membaca surat Yaasin malam Jum’at, tahliĺan dan lainnya. Kalau tidak percaya datang saja ke pengajian rutin FPI yang dilakukan secara rutin setiap Ahad pertama tiap bulan dan pengajian setiap malam Rabu atau Selasa malam.(Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior.

Kompetensi dan Integritas, Tuntutan Untuk Dosen

By Dr. Elli Widia S.Pd. MM.Pd Badan dunia yang menangani pendidikan UNESCO menyerukan kepada bangsa-bangsa di dunia bahwa, jika ingin memperbaiki keadaan seluruh bangsa, maka haruslah dimulai dengan memajukan bidang pendidikan. Sebab pendidikan adalah kunci menuju perbaikan terhadap peradaban. Jakarta FNN - Kamis (21/05). Organisasi yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan UNESCO juga merumuskan, bahwa pendidikan adalah “learning how to think” (belajar bagaimana berpikir) dan “learning how to do” (belajar bagaimana melakukan). Pendidikan juga berarti “learning how to be” (belajar bagaimana menjadi), “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar), dan “learning how to live together” (belajar bagaimana hidup bersama). Dengan demikian, pendidikan sangat penting bagi kemajuan umat manusia. Tidak sekedar merupakan “transfer of knowledge” (transfer ilmu pengetahuan). Tujuan pendidikan sesungguhnya adalah menciptakan pribadi yang memiliki sikap dan kepribadian yang positif. Sikap dan kepribadian yang positif itu, antara lain bangga memiliki kompetensi, dan bangga berdisiplin. Juga tahan mental menghadapi kesulitan hidup, jujur dan dapat dipercaya (memiliki karakter dan integritas yang baik). Suka bekerjasama dalam tim, dan memiliki pola pikir yang rasional (pola pikir unggul). Selain itu, terbiasa bekerja keras, bertanggungjawab, dan mengutamakan kepedulian terhadap sesama. Mengutamakan diskusi daripada berdebat, taat pada aturan, menghormati hak-hak orang lain. Memiliki moral dan etika yang baik, dan mencintai pekerjaan dengan sepenuh hati. Dengan demikian, setiap aktivitas belajar-mengajar sejatinya tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada warga didik (warga belajar). Tetapi juga membimbing mereka melalui motivasi dan contoh keteladanan yang bermuara pada pembinaan sikap, maupun etika atau moral peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Yang menjadi sasaran pendidikan belum dapat diwujudkan secara penuh dan komprehensif. Keadaan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Jumlah penduduk yang besar. Kondisi geografis yang luas, serta belum maksimalnya peranserta seluruh komponen masyarakat di bidang pendidikan, menjadi kenyataan yang dapat memperlambat proses pembangunan pendidikan di Indonesia. Namun patut disyukuri bahwa berbagai upaya signifikan telah dilakukan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mempercepat pembangunan pendidikan nasional. Penetapan anggaran pendidikan sebesar 20 prosen dari APBN maupun APBD (Sesuai pasal 31 ayat 3 UUD 1945) menjadi indikator utama dimulainya percepatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Di sisi lain pembenahan kurikulum nasional dan penataan mutu tenaga pendidik yang simultan, diharapkan dapat membawa perubahan ke arah terciptanya manusia Indonesia yang berpendidikan. Juga bermoral, dan berdaya saing tinggi. Patut disyukuri pula, bahwa saat ini sudah banyak generasi muda di Indonesia yang berpendidikan tinggi. Mereka adalah bagian dari kalangan cerdik pandai (intelektual) yang nantinya diharapkan dapat turut menyelesaikan permasalahan bangsa. Kebangkitan Indonesia sejak masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda juga dimotori kalangan terdidik. Meraka para mahasiswa kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sekolah kedokteran pertama di Indonesia yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Presiden pertama RI Soekarno dan Tokoh Pendidikan Ki Hajar Dewantara juga pernah mengingatkan, bahwa satu-satunya cara untuk dapat mengubah nasib suatu bangsa (terutama dalam hal ini bangsa Indonesia) hanyalah melalui pendidikan. Dalam upaya memajukan pendidikan itu, sikap terbaik adalah para mahasiswa dituntut untuk terus berusaha menjadi insan yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Meraka memiliki integritas dan moral yang baik, karena bagaimana pun mereka adalah agen perubahan menuju perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan. Sementara itu hasrat untuk meraih pendidikan tertinggi (Ph.D) dan memiliki otoritas kepakaran (Profesorship) harus terus dipacu, yang melekat pada sistem penghargaan dan jenjang karier seorang akademisi. Dengan begitu, perguruan tinggi ke depan dapat melahirkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) unggul. Selanjutnya, integritas dan moral yang baik akan tercipta kalau para mahasiswa dan dosen idealnya dapat meneladani sifat-sifat kenabian. Misalnya, siddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas). Dengan begitu segenap sivitas akademika akan dapat mengimplementasikan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan baik. Tri Dharma yang mencakup pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Saat ini ada fenomena menarik dan menggembirakan di berbagai daerah, yakni kecenderungan semakin tingginya semangat belajar generasi muda. Termasuk banyaknya karyawan yang bekerja sambil kuliah. Apapun motivasinya, ini bagus. Mereka menuntut ilmu di sela-sela tugas kantor yang menumpuk. Mereka dituntut mengatur waktu dengan sebaik-baiknya. Karena dunia mahasiswa tidak jauh dari tugas “menumpuk” yang diberikan dosen. Belum selesai tugas dosen yang satu, muncul lagi tugas dosen yang lain, dan semua tugas harus dikerjakan sesuai deadline. Selain soal manajemen waktu, tantangan lain bagi mereka yang bekerja sambil kuliah adalah masalah keuangan. Meraka harus berbagi dengan keluarga serta anak-anaknya yang umumnya juga sedang belajar. Sementara itu nasib dan hari depan suatu perguruan tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan baik yang berada di kota maupun di daerah sepenuhnya berada di tangan sivitas akademikanya sendiri. Untuk itu, kemampuan para pengelola perguruan tinggi dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi berbagai kondisi lingkungannya akan sangat menentukan kemajuan perguruan tinggi yang bersangkutan. Kalangan sivitas akademika juga harus mengubah paradigma tentang perguruan tinggi. Selama ini hanya dianggap sebagai tempat mencari ilmu di ruangan perkuliahan. Harus berubah menjadi tempat berkarya dan pengejawantahan ilmu untuk memberikan manfaat atau nilai bagi lingkungannya. Perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di manapun diharapkan dapat mendorong kemajuan masyarakat sebagai salah satu perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selanjutnya, dalam upaya memajukan PTN maupun PTS perlu adanya otonomi yang lebih luas. Sementara itu tugas Rektorat adalah memberikan arahan, penguatan sistem dan budaya kerja. Juga memfasilitas fakultas dan program studi untuk berkembang dengan “stakeholders” (pemangku kepentingan) yang lebih luas. Sebagai contoh, Fakulats Ekonomi akan semakin lincah bergerak bila dapat memberi manfaat bagi industri dan asosiasinya melalui riset dan pengembangan yang difasilitasi Rektorat sebagai payung dan pengembang jejaring (networking). Salah satu wujud otonomi yang luas itu adalah kebebasan perguruan tinggi menyusun kurikulumnya sendiri dengan mempertimbangkan pasar di wilayah dimana perguruan tinggi tersebut berada. Tetapi perlu dicatat bahwa menurut Pasal 97 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan, kurikulum perguruan tinggi itu sendiri perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan berbasis kompetensi. Tidak dapat disangkal bahwa kunci kemajuan perguruan tinggi di mana pun akan lebih banyak ditentukan oleh manusianya sebagai sumberdaya utama, khususnya para dosen atau pengajarnya. Para dosen seyogyanya perlu terus belajar. Meskipun mereka telah mencapai gelar akademik tertinggi. Mereka harus merawat jejaring dengan lingkungan professional, yang dibekali akses informasi dan pengetahuan baru secara terus-menerus. Fasilitas belajar-mengajar yang dibutuhkan juga harus memadai. Termasuk ruangan untuk dosen, ruang laboratorium, dan sistem informasi (databasenya) dengan berbasis teknologi informasi. Lebih dari itu, jika direnungkan secara mendalam, jelas bahwa para dosen tidak cukup hanya perlu bekerja keras dan mempunyai kompetensi di bidangnya, tetapi yang lebih penting adalah harus memiliki integritas dan moral (akhlak) yang baik, sebab mereka adalah teladan bagi para mahasiswanya. Maka tepat apa yang pernah dikemukakan pemikir Islam terkemuka Imam Ghazali bahwa “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun (akhlak yang baik)”. Penulis adalah Guru SD Islam Nabilah dan Dosen Pascasarjana Universitas Batam.

Pasal 27 UU Corona Tak Menjamin Lepas Dari Pidana

By Dr. Margarito Kamis Jika kita berbicara tentang penguasa yang taat hukum atau rakyat yang dibatasi oleh hukum, kita seharusnya lebih memperhatikan kemampuan rakyat daripada penguasa. Jika kita mendiskusikan, mana yang boleh bebas dari ikatan-ikatan ini, kita akan melihat kesalahan rakyat lebih kecil dibandingkan dengan penguasa. Rakyat yang tidak bermoral dan tak beraturan dapat dengan mudah dibimbing kembali menuju jalan yang benar. (Niccolo Machiavelli, Filosof Italia) Jakarta FNN – Kamis (21/05). Ikhtiar, merupakan sikap terbaik. Sikap ini harus diletakan di atas timbangan setiap kali sebuah tindakan hendak dilakukan. Memperhitungkan risiko, jauh lebih baik dibandingkan mengabaikan risiko itu. Bukan mendapat untung besar, melainkan agar dikenal orang sebagai pelaksana keputusan yang hebat. Memancang ikhtiar itu sedari awal sebelum mengimplementasikan kebijakan pemberian bantuan likuiditas dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, jelas bagus. Itu karena dua hal. Pertama, kasus Bantuan Likuidotas Bank Indonesia (BLBI) dan Century belum benar-benar beres. Selalu ada kemungkinan dibuka, dilanjutkan penyidikannya oleh KPK. Kedua, uang yang digunakan dalam rangka implementasi kebijakan adalah uang negara. Jumlahnya tidak main-main. Kabarnya total uang untuk kepentingan ini lebih dari Rp. 600 trilyun. Jumlah ini lebih besar dari BLBI, dan ratusan kali lipat lebih besar dari Century. Pengetahuan KPK Dokumen-dokumen hukum otentik, khususnya putusan pengadilan, menyediakan fakta eksplosif. Fakta ini, setiap saat bisa meledak. Bila sekarang terlihat dingin sedingin es, itu lebih disebabkan angin politik sedang bertiup ke arah lain. Bila angin politik mengubah arah tiupannya, bisa barabe boss. Apakah perubahan arah angin politik bergantung pada peta dan formasi pemegang kekuasaan? Tidak selalu begitu. Tetapi saya tidak ingin menganalisis hal itu lebih jauh. Yang mau saya analisis lebih jauh sejauh ruang yang tersedia adalah, kemungkinan KPK dilibatkan dalam merancang skema teknis pelaksanaan bantuan likuiditas. Soalnya adalah mengapa kemungkinan KPK dilibatkan dalam perumusan skema teknis pelaksnaan kebijakan pemberian, khususnya bantuan likuditas, dipertimbangkan? Pertama, KPK pernah menyidik pelaksanaan BLBI. KPK juga telah menyidik kasus Century. Bukan saja disebabkan kasus ini – BLBI dan Century - belum tuntas, tetapi lebih dari itu. Penyidikan dua kasus itu cukup beralasan diambil dan dijadikan tesis KPK memiliki pengetahuan teknis tentang hal-ihwal teknis, yang bisa diandalkan untuk menghindarkan kesalahan pelaksanaan bantuan teknis likuiditas itu. Berbekal penyidikan yang dilakukan untuk BLBI dan Century, KPK dipastikan tahu kelemahan fundamental cara berpikir pejabat mengambil keputusan. KPK juga pasti tahu kelemahan kreasi pejabat dalam menutup kelemahan ketentuan yang dijadikan dasar pelaksanaan bantuan likuditas itu. Itu poin besar. Kedua, suka atau tidak, pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, saya sebut PP Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi, jauh dari memadai. Terdapat begitu banyak soal teknis yang tak terjawab dalam PP ini. Apa saja kelemahan itu? Dalam artikel yang lalu telah saya tunjukan secara sumir kelemahan PP ini. Apa parameter teknis ekonomi dan keuangan serta hukum tentang Bank-Bank Umum yang dikategorikan sebagai Bank Peserta dan Bank Pelaksana? Serba dak jelas dan kabur. Apakah “hanya” Bank Pelaksana yang dapat melakukan restrukturisasi kredit dan melakukan penambahan kredit? Apakah sebelum bank-bank atau korporasi-korporasi yang mau direkstukturisasi kredit atau ditambah modal usahanya tidak punya kredit pada Bank Peserta? Bila ada, apakah Bank Peserta juga bisa melakukan restrukturisasi kredit atau ekspansi kredit? Apa dasatrnya bila Bank Peserta melalukan restrukturisasi dan penambahan kresdit? Apa jaminannya? Siapa yang meneliti jaminannya? Kegelapan ini memang bisa ditembuas, bisa dikelola, tetapi seperti biasa dalam setiap kegelapan, selalu ada yang tak terdeteksi oleh mata elang. Mata KPK mungkin sehebat mata elang. Tetapi dalam kasus ini, mata KPK tak bakal mampu menembusnya. Mengapa? Tumpukan soal teknis yang harus dibereskan satu demi satu, dalam setiap kasus berbeda, adalah tantangan terbesarnya. Tak perlu mendahului, apalagi dengan nada skeptic. Tetapi begitu banyaknya persoalan teknis yang harus diurus satu demi satu itu, justru membatasi KPK sendiri. KPK tak mungkin menyediakan aparaturnya untuk dari hari ke hari bekerja bersama aparat eksekutif pelaksana kebijakan ini. Yang paling mungkin adalah KPK menyediakan panduan teknis, sebisa mungkin. Panduan-panduan itu, pasti merupakan implementasi fungsi pengawasan mereka. Tetapi apakah panduan-panduan itu sungguh menjawab kebutuhan tindakan yang diperlukan oleh pejabat pelaksana? Apakah panduan-panduan yang diberikan oleh KPK, sungguh-sungguh menjawab, sebut saja kebutuhan kriteria teknis. Misalnya “komponen apa dari kredit” yang hendak direkstrukturisasi? Apakah komponen waktu saja? Katakanlah bila komponen waktu dipertimbangkan, soalnya adalah bagaimana kriterianya? Soal lain, misalnya komponen bunga. Apakah yang dipertimbangkan atau ditentukan kriterianya adalah bunga kredit yang mau dikurangi, atau diperpanjang waktu pembayarannya? Apapun itu, soalnya adalah bagaimana kriteria-kriteria itu ditetapkan. Siapa yang membuat kriteria itu? OJK atau Bank pelaksana? Apakah kriteria-kriteria yang dibuat itu disupervisi, dianalisis dan sebisa mungkin diperbaiki oleh KPK sebelum digunakan oleh OJK atau Bank Pelaksana? Di luar itu, bagaimana penentuan besaran bantuan likuiditas kepada korporasi? Adakah kriterianya? OJK saja yang menentukannya? Apa kriterianya satu korporasi direstrukturisasi, dengan cara memberi perpanjangan waktu pelunasan kredit, atau pengurangan bunga? Mengapa korporasi tertentu diberi tambahan modal? Bagaimana menentukan besaran tambahan modalnya? OJK yang memutuskan dan membuat kriterianya? Ikutkah KPK dalam urusan seteknis ini? Cukupkah, sekali lagi, KPK hanya membuat panduan? Sedalam dan seadaptif apakah panduan yang disodorkan KPK? Apakah melibatkan KPK, dengan sendirinya menjadi alasan penghapus sifat melawan hukum, andai ada, dalam pelaksanaan kebijakan ini? Penyidikan Kemudian Hari Semuanya rumit. Betul-betul rumit. OJK dan Bank Pelaksana harus sangat hati-hati. Bagaimana dengan BI? Terlihat tak ikut menentukan dalam arti memutuskan korporasi mana yang harus direstukturisasi, berapa, bagaimana, kapan dan berapa lama? PP Nomor 23 Tahun 2020 ini memberikan kewenangan itu kepada OJK. Masalahnya apa BI bisa lepas tangan? BI memang tidak menempatkan dana bantuan likuiditas pada Bank Peserta. Betul itu. Tetapi bagaimana dengan kewenangan BI terhadap korporasi tertentu. Apakah hilang begitu saja? Padahal telah diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang saat ini telah ditingkatkan statusnya menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, yang saya sebut “UU Corona”. Disini soalnya. Mengapa jadi soal? Ketentuan dalam Perpu itu dapat dijadikan dasar oleh OJK untuk meminta pertimbangan BI ketika OJK hendak memutuskan satu atau dua korporasi diberi privilege sesuai Perpu. Pada titik ini BI, mau tidak mau harus memberikan pertimbangan. Ketika BI beri pertimbangan, itu menjadi poin tercipta jalinan hukum antara BI dengan OJK. Jalinan ini bernilai hokum, sebagai peleburan tanggung jawab bersama- antara BI dan OJK. Itu satu soal. Soal lainnya, kapan BI menempatkan dana bantuan likuiditas ke Bank Peserta? Siapa yang memutuskan? BI sendiri yang memutuskan? Kapan dana bantuan likuiditas ditempakan di Bank Peserta? Berapa besaran dana yang ditempatkan pada setiap Bank Peserta? Bagaimana angka-anga itu didapat? Berdasarkan penilaian sendiri dari BI atau rekomendasi dari OJK atau rekomendasi pemerintah? BI, tidak usah terkepung, apalagi terintimdasi dengan kasus BLBI, yang belum tuntas-tuntas hingga sekarang. Tidak perlu. Tetapi BI harus benar-benar hati-hati. Aturan mengenai soal ini harus betul-betul jelas. Tidak boleh teredia cela sekecil apapun. Kehat-hatian yang telah diambil sejauh ini, bagus. Sebisa mungkin tidak memuat kebijakan untuk menutupi kelemahan atau ketidakjelasan Perpu dan PP. Akankah BI memanggil KPK membantu mereka merumuskan aturan teknis? Bila ini ditempuh BI, tentu bagus. Bila dapat ditempuh, maka pastikan panduan yang dibicarakan bersama KPK, dan akan diformalkan menjadi aturan teknis itu, harus rigid. Semua argumen dalam perdebatan perumusan aturan itu harus direcord, dan dibuat berita acaranya. Siapa bicara apa, mengenai apa, dan argumen siapa yang dilembagakan dalam peraturan teknis, sebisa mungkin harus direcord. Mengapa harus direcord? Sekali lagi, tak usah terintimidasi oleh kasus BLBI dan Century. Tak usah. Bagaimanapun urusan ini terlalu dekat dengan penyidikan, penuntutun dan pemeriksaan pengadilan di kemudian hari. Hari-hari ini memperlihatkan dengan sangat terang adanya usaha yang dilakukan oleh MAKI dan beberapa organisasi masyarakat menantang pasal ini di MK. MK, hampir dapat dipastikan akan sejalan dengan pemohon. Mengapa? Tidak tersedia alasan hukum dan politik ekonomi yang cukup untuk mempertahankan pasal ini. Semua pejabat harus memastikan isi kepalanya dengan pikiran bahwa keterlibatan KPK, sekali lagi, tidak bakal menjadi dewa penolong hukum. Tidak ada hukum yang menyatakan nasihat KPK, menjadi hal yang membenarkan atau alasan pembenar atas, jika ada, penyimpangan hukum. Dzikir Diusia Senja Sayangilah hari esok. Pintar-pintarlah berenang di lautan yang penuh ikan buas, dan gelombang mematikan ini. Pandulah semua pikiran dan tindakan dengan perbanyak mengingat sesudah pension nanti. Buatlah hari-hari ketika semua kewenangan yang mewah lepas, berpisah untuk selamanya, indah seindah keluarga bercengkerama. Cintailah dengan cinta yang sebenar-benarnya untuk esok yang indah itu. Buatlah hari esok sesudah pensiun menjadi hari yang menyenangkan keluarga. Bergurau dengan istri yang mulai menua, dengan anak-anak yang luas pergaulannya, dan cucu-cucu yang lucu-lucu. Itu mesti diimpikan sedari sekarang. Jadikanlah hari esok hari yang hebat dengan tasbih. Jadikanlah hari itu hebat karena buah tasbih bergerak-gerak selaras nafas mengalun perlahan, manis dengan hati yang memelas kepada Dia Yang Haq. Lalu dalam nafas itu berbisik dzikir, ya khaiyu ya khaiyun hingga lelap mendekap. Pastikan itu. Jadi? Harus hati-hati betul. Jangan grusa-grusu. Sedikit saja terjadi kekeliruan, itu akan fatal. Pasal 27 Perpu tidak dapat menolong. Andai, sekali lagi andai, terjadi penyimpangan, maka kenyataan menyimpang itu justru menjadi alasan pembenar penegak hukum mengesampingkan pasal 27 itu. Kala kenyataan penyidikan oleh penegak hukum tiba, kala itu semua menjadi sulit. Pertolongan politik menjadi perkara mahal. Tak pasti dan memusingkan. Apa kenyataan menjelang pilpres kemarin tak cukuop jadi pelajaran. Orang-orang yang punya kekuasaan besar di dunia politik jatuh satu demi satu? Takutlah dan hati-hatilah. Jadikanlah itu panduan utama dalam balapan mengerikan ini. Hati-hati harus menjadi induk dalam memilih ketentuan hukum, ketika tindakan hendak diambil. Ingat, dan tulislah dengan huruf capital, tanggung jawab hukum adalah tanggung jawab individu, bukan institusi. Insya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Momentum Kebangkitan Nasional, Pastikan Posisi Anda Dimana?

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (20/05). Hari ini 20 Mei adalah saat mengingat berdirinya Boedi Oetomo, yang didirikan Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirphusodo dan mahasiwa STOVIA. Awal bergeraknya hanya di bidang pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Setelah hadir Dr. Douwes Dekker, Boedi Oetomo diberi stempel politik dan perjuangan "tanah air". Makanya 20 Mei adalah hari Kebangkitan Nasional. Jika saat ini masyarakat dan rakyat Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional untuk melawan penjajahan, maka tentu saja sangat relevan. Akan sangat aneh jika Pemerintah yang memperingati Kebangkitan Nasional. Menjadi tidak relevan. Sebab masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan rakyat Indonesia hari ini adalah berhadap-hadapan dengan Pemerintah, yang kebijakan nasionalnya justru tidak berpihak pada kaum "priboemi". Investasi asing yang lebih digalakkan. Cina dari khususnya. Buat apa ada BPIP dengan Dewan Pengarah terdiri dari para tokoh bergaji besar.Tak seimbang dengan kerja mereka. Apalagi kerjanya bikin konser amal. BPIP ko berubah menjadi organisiasi yang cuma mengorganisir kenser amal untuk mengumpulkan dana? Kecil dan rendah sekali lembaga sekelas BPIP, yang nama lengkapnya “Badan Pembinaan Ideologi Pancasila” itu BPIP harus mulai mengadakan penataran-penataran untuk membangun kembali jiwa dan rasa nasionalisme. Juga membangun keyakinan ideologi Pancasila. Seperta yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan BP7 di zaman Orde Baru dulu. BPIP bukan kerjanya mempopulerkan salam Pancasila, atau bikin konser amal segala. Yang harus ditatar pertama tentang Pancasila adalah Presiden dengan para Menteri. Jajaran ini yang sekarang mengalami krisis nasionalisme dan ideologi Pancasila. Jangan melebar kemana-mana dulu. Fokus saja tentang Pancasila di Istana dan lingkaran satunya dulu. Setelah itu, BPIP harus meluruskan anggota DPR. Mulai banyak yang di senayan yang menyimpang dari pemahaman soal Pancasila. Malah menjadi terbuka dan permisif pada ideologi komunis dan PKI. DPR yang punya simpati kepada ideology komunis dan PKI tidak sembunyi-sembunyi. Sudah sangat vulgar dan terbuka. Pancasila sekarang mulai terancam oleh cara berfikir yang mundur ke masanya Soekarno. Seperti kata Soekarno, “subur subur suburlah PKI”. Gotong Royong bukan semata-mata kerja sama, tetapi ideologi yang melawan Pancasila. Biasanya disebut “Ekasila”. Luar biasa fenomena politik kini bangsa hari ini. Delapan Fraksi DPR RI tidak anti PKI dan komunisme. Kebangkitan Nasional harus dibangun kembali. Tanggal 20 Mei tahun ini harus dijadikan momentum membangkitkan kembali nasionalisme berdasarkan Pancasila 18 Agustus 1945. Bukan “Trisila dan Ekasila”. Sebab saudaranya “Trisila dan Ekasila” adalah Nasakom. Ada komunis di dalamnya. Kaum terdidik harus menjadi penyambung lidah rakyat. Jangan biarkan penjajahan datang kembali menjajah negeri ini. Belanda memang sudah tidak ada. Tetapi "Belanda berkulit sawo matang dari ras Melayu" mewarisi cara memerintah yang berwatak kolonial. Ciri penjajah berkulit sawo matang dari ras melayu itu, bangga klau bisa memeras dan menyulitkan rakyat. Senang melihat rakyat menderita. Tidak senang melihat rakyat bahagia. Karena dalam perjuangan, selalu ada saja yang jadi pahlawan dan ada penghianat. Dimanakah posisi anda? Pastikan posisi anda. Itu penting. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

#IndonesiaTerserah, “Surakarta Sak Karep-Karepmu!”

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Foto Evi Rismawati, seorang tenaga kefarmasian di salah satu Puskesmas di Kota Surakarta, Jawa Tengah, membagikan fotonya yang memegang tulisan #Indonesia Terserah dalam akun media sosialnya yang sedang viral. Evi sangat menyayangkan kebijakan pemerintah. “Kecewa sama kebijakan pemerintah yang cenderung tumpang tindih. Yang 'A' bilang begini, yang 'B' bilang begini, jadi mereka nggak sinkron satu sama lain,” ujar Evi. “Itu kan menyulitkan kami yang [bekerja] di [pelayanan] kesehatan. Kalau misalnya ada apa-apa, pasien tambah, otomatis kami yang repot,” lanjutnya seperti dilansir BBCIndonesia.com. Sejumlah tenaga medis mengatakan kebijakan pemerintah 'tumpang tindih'. Salah satu kebijakan yang disorot Evi adalah terkait kebijakan larang mudik yang kontradiktif dengan pengecualian pergerakan masyarakat ke daerah lain. “Ada larangan mudik, terus tiba-tiba bandara dibuka. Itu otomatis bertolak belakang,” ungkapnya. “Ngapain bikin peraturan begitu, kalau akhirnya nggak bisa dijalankan dengan maksimal?” tegas Evi. Ia juga menyayangkan masih terlihatnya kerumuman di daerahnya. “Kalau ada insentif bagi tenaga kesehatan yang dibicarakan di TV, kami sama sekali belum menerima dan nggak menuntut itu. Yang penting kami [memberi] pelayanan seperti biasa,” kata Evi. “Tapi kami minta tolong masyarakat harus benar-benar sadar diri bagaimana harus menyikapi hal ini. Kalau nggak terpaksa keluar rumah, jangan keluar rumah,” pinta Evi. Rasa kecewa juga disampaikan Jumardi, perawat di sebuah fasilitas kesehatan di Samarinda, Kalimantan Timur, ikut mengunggah foto dirinya dengan APD dengan #Indonesiaterserah di media sosialnya. Jumardi kecewa ketika membaca berita bahwa pemerintah mengizinkan sekelompok orang kembali bekerja seperti biasa. “Pemerintah ingin menghambat atau memutus pandemi Covid-19, tapi justru malah membuat kebijakan yang membebaskan orang umur 45 tahun ke bawah beraktivitas seperti biasanya,” ujarnya. Ia khawatir hal itu akan meningkatkan jumlah kasus positif Covid-19. “Khawatirnya ketika penderita makin banyak, [kami] takut fasilitas kesehatan tidak cukup untuk menampung pasien Covid-19 dan tenaga kesehatan kewalahan dalam penanganannya,” lanjutnya. “Kami pakai APD tapi tetap was-was,” ungkap Jumardi. Itulah realita yang terjadi hari-hari ini yang menghinggapi para tenaga medis di lapangan. Mereka ini adalah “pasukan” yang ada di garda depan dalam “melawan” virus corona atau Covid-19.Mereka kecewa! Sejumlah tenaga medis di Indonesia menumpahkan kekesalan terhadap apa yang mereka sebut sebagai kebijakan pemerintah yang “berpotensi memperluas penyebaran Covid-19” dengan menggunakan #Indonesiaterserah di media sosial. Beberapa kebijakan yang disoroti tenaga medis diantaranya adalah pengecualian pergerakan masyarakat keluar kota hingga diperbolehkannya warga berusia di bawah 45 tahun di 11 sektor yang dibolehkan kembali bekerja di kantor. Di sisi lain, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Dokter Brian Sriprahastuti, menanggapi hal itu dengan menegaskan bahwa pemerintah tetap konsisten menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). “[Sesuai] prinsip PSBB, individu masih boleh beraktivitas tapi dibatasi, termasuk work from home (bekerja dari rumah) dengan pengecualian,” ujarnya dalam pesan tertulis pada BBC News Indonesia, Jumat (15/05/2020). Menurut Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo, pemerintah berharap tenaga kesehatan tidak menjadi kecewa. Doni mengatakan sejak awal pemerintah selalu meminta masyarakat untuk melakukan upaya-upaya untuk mengurangi penularan Covid-19 karena jika jumlah kasus meningkat, dokter dan perawat akan kerepotan. "Jangan kita biarkan dokter-dokter kita kelelahan. Jangan biarkan dokter kita kehabisan waktu dan tenaga. Mereka telah menghabiskan waktu, tenaga, bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan bangsa Indonesia. Oleh karenanya wajib kita lindungi,” tegas Doni. Menurut Kepala BNPB itu, Indonesia memiliki jumlah dokter yang sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni kurang dari 200.000 orang. Sementara, jumlah dokter paru-paru, hanya 1.976. “Kalau kita kehilangan dokter, ini adalah kerugian yang besar bagi bangsa kita,” tegas Doni (18/05/2020). Pakar kesehatan masyarakat Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Joko Mulyanto, turut membagikan satu foto tenaga kesehatan yang memegang kertas bertuliskan “Indonesia terserah, suka-suka kalian” di akun Twitter-nya, Kamis (14/05/2020). Joko mengatakan foto itu bukan miliknya, tapi beredar di salah satu grup WhatsApp tempat ia bergabung. Cuitan itu dibagikan lebih dari 11.000 orang dan disukai lebih dari 24.000 orang hingga Jumat (15/05/2020) sore. Ia terkejut foto itu dibagikan begitu banyak orang di media sosial. “Dalam pandangan saya, [foto] itu di-retweet dan di-like begitu banyaknya orang, berarti kegelisahan itu memang mungkin menjadi concern (perhatian) banyak orang di media sosial,” kata Joko. Pakar kesehatan masyarakat Universitas Jenderal Soedirman, Joko Mulyanto, mengatakan ungkapan para petugas medis di sosial media itu mencerminkan kekesalan karena sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini. Joko, yang juga suami seorang tenaga kesehatan yang bertugas menangani pasien Covid-19, mencontohkan kebijakan pembagian bantuan sosial (bansos) di sejumlah tempat yang pada akhirnya menarik kerumunan. Meski tujuannya baik, ia mengatakan pembuat kebijakan tidak memiliki pemahaman baik mengenai cara mencegah penularan Covid-19. “Hal-hal ini membuat [tenaga medis] jadi kesal,” ungkap Joko. Meskipun begitu, Joko mengatakan yakin petugas kesehatan tak akan mundur dari tugasnya. “Kalau teman-teman pasrah dan tidak melakukan apa-apa atau malah berbalik menjadi pasif, keadaannya malah akan lebih buruk,” ujarnya. Sebagai seorang pakar kesehatan masyarakat, Joko akan tetap memberi rekomendasi kepada pemerintah. “Ini ungkapan kekesalan, tapi kami nggak terus kemudian berhenti, nggak ingin melakukan apa-apa. Kami akan tetap kritis, tetap memberi rekomendasi,” tegasnya. Ungkapan kecewa atas kebijakan pemerintah dari para tenaga medis tersebut seharusnya jadi perhatian pemerintah. Karena, bagaimana pun mereka ada di garda terdepan dalam “perang” melawan Covid-19 yang sudah menjadi pandemi di Indonesia ini. Jangan biarkan para dokter dan tenaga medis lainnya berjuang sendirian. Pemerintah dan masyarakat harus mengikuti protokol kesehatan dalam menghadapi Covid-19. Presiden Joko Widodo dan para menteri harus “sejalan” dan seiring saat mengeluarkan kebijakan. Mudik dilarang, tapi transportasi diizinkan dengan syarat. Lha Covid-19 itu kan bisa naik ke dalam pesawat dan moda transportasi lainnya. Penulis Wartawan Senior.

Bahar dan Said, Dua Tempat Berkumpul Baru

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tanpa terasa, akan ada dua ‘icon’ baru di akar rumput. Keduanya akan menjadi ‘rallying point’ (tempat berkumpul) gerakan perlawanan yang alami (natural). Perlawanan yang natural akan melahirkan ‘rallying point’ yang natural juga. Bahar dan Said. Mereka ini sedang dalam penempaan alam. Akan menjadi simbol gerakan penegakan keadilan. Kebetulan sekali, keadilan itu sudah lama dipinggirkan. Oleh para penguasa zalim. Yang dikelilingi oleh tikus-tikus rakus yang sedang ganas memangsa bagaikan laparnya ‘homo homini lupus’. Rakyat sudah lama kehilangan ‘tempat berkumpul’ itu. Sekarang mulai disiapkan oleh kesewenangan. Sebagai ‘side effect’ dari kesewenangan itu. Konsekuensi logis. Begitulah alam bekerja. Patah Tumbuh, Hilang Berganti. Mati Satu, Tumbuh Seribu. Ini yang terjadi sejak para pendahulu Anda berjuang membebaskan bangsa dan negara ini dari para penjajah. Hari-hari ini, gerakan pembebasan muncul lagi. Juga natural. Karena rakyat sedang terjajah kembali. Dijajah oleh kaum sendiri. Penjajahan internal. Tentu ini jauh lebih berat dari perlawanan terhadap penjajahan eksternal. Penjajahan eksternal itu frontal sifatnya. Good causes vs evil forces. Yang haqq lawan yang bathil. Kata para jurnalis: jelas 5W1H-nya. Tidak abu-abu dari segi sosio-kultural. Sehingga, semboyan ‘kami dan kalian’-nya pun tidak meragukan. Kami di sini, kalian dari sana. Tidak begitu halnya dengan penjajah internal. Walaupun, kata orang, hanya berstatus sebagai ‘proxy’ saja. Yang berposisi ‘kalian’ dalam konteks penjajah-terjajah internal, adalah mereka yang sama dan sebangun dengan ‘kami’. Seayah-seibu secara fisik dan sosial-budaya. Itulah sebabnya, di dalam episod gerakan pembebasan kali ini, ‘kami’ tidak sedang berusaha mengusir dan menghancurkan ‘kalian’. Tidak etis. Yang tepat adalah ‘to neutralize’ (menetralkan). Menetralkan adalah ‘melumpuhkan’. Setelah kekuatan jahat itu lumpuh, Anda bisa melakukan langkah-langkah pemulihan kedaulatan rakyat. Plus penegakan keadilan. Terus, mana lebih kuat: penjajah internal atau gerakan perlawanan? Penjajah internal itu lahir dari proses rekayasa. Mereka tidak kokoh. Cuma memang ‘kekeuh’. Sedangkan gerakan perlawanan lahir dari proses seleksi alam. Kalau dipinjam terminologi medis, gerakan perlawanan itu memiliki ‘antibody asli’ yang terbentuk untuk menang. Bukan untuk kalah. Bahar dan Said adalah dua ‘rallying point’ yang natural. Mereka menyimpan banyak potensi. Bukan mereka yang memilih jalan gerakan perlawanan itu. Melainkan alamlah yang menggiring mereka ke arah itu. Sebaliknya, penjajah internal dipilihkan jalannya oleh proses fabrikasi yang di dalamnya berkumpul para designer dan programmer kepentingan kelompok kecil. Oligarki, kata orang. Mereka inilah yang menyutradarai penjajahan internal. Mereka hampir pasti berkolaborasi dengan kekuatan eksternal. Sesuatu yang rasional. Tapi, jangan lupa. Meskipun lahir dari proses fabrikasi, penjajah internal itu memiliki specs yang mampu memperdaya publik. Mereka memiliki ‘casing’ yang bagus. Banyak yang tergila-gila menjadi pengikut. Akibat ketidaktahuan mereka. Atau, akibat terlalu mudah membuang akal sehat. Jadi, silakan simak apakah Bahar dan Said akan terbentuk menjadi dua ‘rallying point’ yang baru. Lihat pula siapa-siapa yang akan terpilah mengikuti gerombolan penjajah internal. Dan siapa-siapa yang beruntung terhimpun ke dalam gelombang perlawanan natural.[] 20 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)