ALL CATEGORY

Islam Tidak Boleh Dikalahkan, Ayo Lawan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (26/05). Setelah berpuasa sebulan penuh, kini umat Islam menunaikan misi lanjutan. Misi tersebut sebagai bukti suksesnya melasanakan ibadah selama Ramadhan. Sebagai Mu'min, ia mengemban dua amanah, yaitu amanah ibadah dan amanah khilafah. Amanah ibadah telah dijalankan melalui ketaatan 'maghdhah' nya. Amanah khilafah adalah bekerja mengelola dan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya. Menyatakan tidak kepada korupsi, suap, zalim, licik, tamak, curang dan maling. Semua itu harus dilawan. Apapun resikonya. "Qum Fa anzir"--Bangun dan beri peringatan. Tugas mulia adalah bangun dan membangunkan manusia. Agar selalu sadar bahwa manusia itu berada dalam kelalaian dan terjebak di kehidupan remang-remang ataupun hitam. Dalam kegiatan budaya, ekonomi, politik maupun agama. Peringatan adalah cahaya. "Wa Robbaka fakabbir"--Besarkan asma Allah. Hanya Allah SWT yang besar. Yang selain Allah, kecil semua. Tidak ada persoalan besar dan berat dalam pandangan Allah. Kita hanya diuji untuk menghadapinya. Solusi ada pada-Nya. Agama harus dibesarkan. Syari'at-Nya mesti dimuliakan. Menghina atau meminggirkan agama akan berakibat pada kemurkaan Allah. Kehidupan yang sulit dan sangat pahit. "Wa tsiyaabaka fathohhir"--Pakaian bersihkan. Pakaian itu performance. Dalam bahasa agama adalah akhlak. Akhlak yang mulia. Pakaian sendiri dan pakaian orang lain yang harus dibersihkan. Membangun peradaban yang bersih dan mulia. Buang kultur korupsi, suap, zalim, licik, tamak dan lainnya. Pada masyarakat yang berbudaya, curang maling, korupsi, suap, zallim, tamak dan licik adalah masyarakat yang berpakaian kotor, jorok, dan compang-camping. "Wa rujza fahjur"-- Hapuskan dosa Hati suci menjadi modal akhlak yang bagus. Dzikrullah dan istighfar untuk jalan penyucian diri. Dengan hati yang suci, terbina tatanan yang beradab. Beda hati dan amal menyebabkan diri dan pemimpin berwatak tukang bohong, munafik, dan riya. Citra yang palsu dengan blusukan. "Wala tamnun tastaktsir"-- Jangan pragmatis. Dalam perjuangan memang perlu kalkulasi. Tetapi hitungan matematika tidak menjamin kemenangan. Dalam sejarah, jumlah yang kecil bisa menghancurkan yang banyak. Ada keberanian, tawakkal, serta pertolongan Allah. Pragmatisme dan hedonisme sering menjadi musuh agama. Akarnya materialisme. Hidup adalah keyakinan bukan semata hitungan. "Walirobbika fashbir"-- Hanya kepada Allah bersabar. Pelajaran shaum itu shabar. Kesabaran adalah kekuatan. Menghadapi tantangan terhadap agama, baik yang mengganggu, merusak, maupun yang hendak menghancurkan, umat Islam harus menggalang kekuatan dan shabar melakukan perlawanan. Insya Allah kemenangan akan didapat. Semangat juang adalah untuk merebut kemenangan tersebut "hayya 'alal falaah". Tindak lanjut shaum ramadhan tentu saja langkah konkrit. Bukan menunggu datangnya ramadhan lagi. Karena kita tidak tahu akan usia yang sampai atau tidak ramadhan mendatang. "Faidza faraghta fanshob". Jika sudah lewat satu tahap, maka masukilah tahap berikutnya. Setelah lewat ajang pembinaan dan perkaderan selama ramadhan, kini saatnya kita berada di lapang perjuangan yang sebenarnya. Misi agama adalah memenangkan pertarungan, "liyudzhirohu 'alad dieni kullihi". Memenangkan budaya, dan memenangkan peradaban. Satu catatan, agama Islam ini tidak boleh dikalahkan, dipinggirkan, atau dinistakan oleh budaya dan peradaban korupsi, suap, zalim, licik, tamak, curang dan maling. Ayo bela, muliakan dan menangkan! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (9): Toleran Sepanjang Tidak Diusik

Saya sempat menegur keras Ketua RW tempat kami tinggal. Saya anggap tidak toleran karena mengedarkan surat yang mengajak warga mengadakan kerja bakti saat libur Natal. Kalau hari Ahad/Minggu, tidak masalah karena sudah rutin merah. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - EFFY menganggap saya seperti saudara. Demikian juga saya. Istri saya dan dia cukup akrab, meski baru bertemu yang ketiga kali. Saya merasakan Effy benar-benar menyambut kami seperti saudara. Kami di bawa ke kantor suaminya, Eko yang membuka praktik sebagai pengacara di Kota Kediri. Satu malam pertama kami harus menginap di rumahnya. Padahal, kami sudah biasa menginap di pondok bersama orangtua santri. Harap maklum, penginapan di pondok itu bukan hotel, tetapi ruang kelas yang dikhususkan bagi orangtua yang berkunjung untuk menginap. Ya, seperti maktab saat saya naik haji tahun 1999, satu ruang bisa 15 sampai 20 orang. Bedanya, di Tanah Suci ada kasur cukup bagus dan menggunakan AC. Sedangkan di pesantren, kami biasa menggunakan kasur bekas santri yang sudah lulus dan penyegar udara alami. Banyak orangtua yang memilih menginap di pesantren, ketimbang di hotel, walaupun orangtua santri orang-orang mampu. Mereka memilih menginap di pondok agar lebih dekat dengan anak karena jarang ketemu. Tentu juga agar saling kenal satu sama lain, terutama orangtua santri dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua dan daerah lain di Indonesia. Bahkan, orangtua santri yang datang dari Malaysia pun ada yang memilih menginap di wisro (wisma rohani) - sebutan kami terhadap penginapan di pesantren. Effy yang menjemput kami pun ikut ke pesantren. Selesai mengantarkan anak ke pesantren (karena datang juga ke Stasiun Kereta Api Kediri bersama temannya dari Malaysia), kami kembali ke ke rumah Effy (rumah khusus menginap tamu-tamunya). Effy mengantarkan kami sampai ke lantai dua. Dia juga menjelaskan arah kiblat kalau mau shalat. Ya, begitulah indahnya persaudaraan, meski berbeda agama dan berbeda ras. Selama di mobil yang saya setir ke pesantren dan balik ke pusat Kota Kediri, saya bertanya banyak hal, termasuk kalau mau ke Jombang naik bis dari mana. Maklum, selain mengunjungi anak, saya yang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Kabar Banten, di Serang (anak usaha Pikiran Rakyat Bandung) mengemban tugas meliput Muktamar NU ke-33 di Jombang. Effy sudah menjelaskan kalau mau menggunakan bis bisa naik dari simpang tiga menuju pondok atau dari terminal. Dan saya sudah siap naik bis keesokan harinya, setelah mengantarkan istri ke pesantren. Akan tetapi, pagi-pagi Effy mengabari mau mengantarkan saya dan istri ke pondok. Benar, pagi selesai sarapan kami sudah siap berangkat bersama suaminya. Selesai mengantarkan istri , saya ikut mobil Effy yang dikemusikan suaminya. Maksud saya menumpang sampai ke simpang tiga, tempat mengentikan bis jurusan Jombang. Sesampai simpang tiga mobil belok ke kanan dan tidak berhenti. Ketika saya bilang berhenti di mana, dijawab mau mengantarkan saya ke tempat memberhentikan bus yang menuju ke Jombang di depan. Jadi tidak perlu ke terminal atau loket busnya. Beberapa kali saya tanya tempat menunggu bis, selalu dijawab Effy dan suaminya, Eko, nanti ada yang lebih dekat. Setelah cukup lama dalam perjalanan, mobil tidak berhenti juga. Akhirnya Effy baru mengatakan mau mengantarkan saya sampai Jombang. Katanya, sekalian ada urusan suaminya. Saya diantarkan sampai ke Alun-Alun Kota Jombang, tempat Muktamar NU ke-33. Sebenarnya, ada rasa kurang enak, karena saya baru pertama kali bertemu dengan suami Effy. Dalam pikiran saya, kalau saya tidak toleran dan selama ini tetap menjalin perdahabatan dengan Effy, mana mungkin suaminya seperti itu (sampai mengantarkan ke Jombang). Masih selama di Kediri. Effy juga mengajak saya berkunjung ke Pondok Pesantren Lirboyo. Bagi saya, hal itu merupakan kesempatan emas bisa berkunjung ke sebuah pesantren yang didirikan dan diasuh Kiai Langitan. Saya sudah lama berkeinginan mengunjungi pesantren yang diasuh Kiai Langitan. Selain mengunjungi Pesantren Lirboyo, Effy juga menawarkan memgunjungitempat wisata Katolik. Bagi saya tidak masalah. Toh waktu ke Roma, Italia juga saya berwisata ke Vatikan (saat meliput pertemuan Organisasi Pangan Dunia/FAO), dan masuk ke area Varikan saat kunjungan kenegaraan Presiden Abdurrahman Wahid (Gu Dur). Pun juga saya berwisata ke pagoda terbesar di Yangon, Ibukota Myanmar sebelum pindah, saat saya dan rombongan melakukan studi banding tentang kehutanan (terutaka kayu jati) dan gajah. Saya katakan Effy menawarkan, karena ia khawatir saya tidak mau. Akan tetapi, saya langsung mengiyakannya. Maka jadilah kami berkunjung ke tempa itu. Kami meluncur ke obyek wisata umat Katolik yang ditempuh sekitar 15 menit dari pusat kota. Sesampai di sana, kami turun. Setelah melihat-lihat, dan mendengarkan sedikit penjelasan, kami pun berfoto, layaknya berfoto di tempat wisata lainnya sebagai kenang-kenangan. Setelah menyelesaikan kunjungan di Kediri, kami lanjut berwisata ke sebuah candi dilanjut ziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Kemudian dilanjutkan ke arena Muktamar NU di Jombang dan ziarah ke makam pendiri NU, KH Hasyim Asy'.ari. Effy tetap ikut walau berada di acara agama Islam. Saat di arena muktamar, tentu ia menyesuaikan pakaian. Saya yang harus melakukan liputan penutupan muktamar meninggalkan istri saya dan Effy berkeliling melihat-lihat arena muktamar, termasuk stand pameran yang masih buka. Itulah indahnya toleransi, lekatnya persahabatan. Andaikan saya dan umat Islam apalagi FPI tidak toleran, sudah dipastikan negara ini akan kacau. Andaikan umat Islam yang mayoritas tidak toleran, saya tidak bisa membayangkan nasib saudara-saudaraku yang minoritas yang hidup bersampingan di tengah pemukiman mayoritas. Umat minoritas aman-aman saja. Tak ada yang mengusik, sepanjang umat Islam yang mayoritas tidak diusik. Seperti perumpamaan lebah di tulisan saya sebelumnya. Saya juga mencoba toleran di lingkungan saya tinggal.Beduk keliling yang ditabuh anak-anak untuk membangunkan sahur saat bulan Ramadhan kami hentikan melalui rapat pengurus sewaktu saya menjadi Ketuan Dewan Kemakmuran Masjid Masjid Al Muhajirin, Perumahan Buana Permai, Kota Tangerang. Alasan dihentikan ada tiga. Pertama, tidak semua penduduk perumahan beragama Islam. Saya tahu jumlahnya sangat sedikit, mungkin tidak sampai 10 persen dari 300 kepala keluarga yang ada. Tapi, saya harus bersikap toleran kepada mereka, karena kalau beduk yang dibawa anak-anak lewat di depan rumahnya, bisa mengganggu yang lagi istirahat tidur. Mereka (nonmuslim) tidak akan berani protes. Kedua, sudah banyak alarm, baik si HP, di jam tangan maupun jam dinding. Ketiga, ada orang yang sedang sakit dan kurang enak badan. Keputusan rapat DKM itu ditentang segelintir orang, dan sampai ada yang membawa-bawa Wali Songo. "Wali Songo juga pake bedug keliling," demikian kalimat yang sampai ke saya. Saya jelaskan, Wali Songo tidak meminta jemaahnya membawa beduk keliling untuk membangunkan sahur. Sebab, semua bedug di tempat Wali Songo itu besar-besar. Bagaimana mau dibawa keliling? Alagi bedug yang ada di masjid/makam Sunan Gunung Muria yang ada di gunung. Mau ziarah ke sana saja kita hanya bisa sampai dengan menggunakan ojek, selain tangga semen yang panjang bagi yang kuat. Oh ya, saya juga sempat bersuara keras kepada seorang Ketua RW suatu waktu. Ceritanya, karena Ketua RW itu mengedarkan surat agar warga kerja bakti tanggal 25 Desember. Saya katakan, hargai agama Kristen yang merayakan Hari Natal. Sebab, Natal bagi agama Kristen merupakan perayaan agama, dan berbeda dengan hari Ahad/Minggu. BPIP tidak Pancasilais Dalam ajaran Islam ada hari Jum'at dan tidak masalah jika kebetulan tanggal merah diadakan kerja bakti. Jangan coba-coba mengajak kerjabakti saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Atau saat tanggal merah Maulid Nabi dan Isyra' dan Mi'raj Nabi Muhammad. Pasti ada yang protes. Contoh sudah ada. Ketika konser digelar pada peringatan malam Nuzulul Qur'an yang baru lewat, banyak yang protes atas konser yang digelar BadanPembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu. Apakah seperti itu yang dikatakan Pancasilais? Kok BPIP menjadi Badan Pengacau Ideologi Pancasila?Hasil protes umat Islam, pemenang lelang sepeda motor Joko Widodo, ternyata bukan pengusaha, tetapi seorang buruh tani di Jambi. Juga rencana konser Iwan Fals yang mau digelar pada malam takbiran. Umat Islam protes, dan Iwal Fals akhirnya menggeser konser itu ke hari lain, menjadi Selasa (26 Mei 2020/3 Syawal 1441 Hijiriyah) malam. Iwan Fals mendengar suara umat Islam. Ia memahami betapa malam takbir itu adalah sebuah peristiwa sakral yang mestinya diisi dengan takbir, tasbih, tahlil dan tahmid serta puja dan puji kepada Allah Ta'ala dan solawat kepada Nabi Muhammad. Ya, semua harus seperti itu. Sebab, melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati dan mata umat, akan membawa mudharat. Apalagi, umat berdoa dan dipimpin ulama, terutama ulama waro, bisa berdampak jauh. Sekali lagi, "Mulut ulama itu bisa menjadi madu dan bisa menjadi racun." (Habis)** Penulis, Wartawan Senior.

Perekonomian Indonesia Dibawah Bayang-Bayang Perubahan Dunia (Bagian Pertama)

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Senin (25/05). Pandemi Covid-19, sebagaimana yang dinyatakan kolumnis CNN, Nic Robertson dalam artikelnya, “ The Pandemic Could Reshape The World Order”(CNN,23/05/2020 ) bahwa Pandemi tidak hanya mengejutkan dunia dengan kecepatan penyebarannya, tapi juga mengakselerasikan perubahan dalam perimbangan kekuatan global. Demikian juga yang dituliskan kolumnis CNBC, Christina Farr dan Ari Levy, tentang dunia yang “ suddenly now we’re in the future” ( CNBC, 23/05/2020). Ketiba-tibaan ini tentunya menunjukkan betapa cepat akselerasi perubahan dunia terjadi ditengah Pandemi. Cara berkehidupan yang kita kenal, yang oleh proses globalisasi yang berlangsung dalam tiga dekade terakhir, yang bertumpu pada mobilitas interdependensi dan interaksi lintas batas, turut pula menjadi “ korban utama” pandemi Covid-19. Karena perubahan tektonik dalam cara berkehidupan itu pulalah yang turut mempengaruhi landskap perekonomian global. Tiba- tiba saja perekonomian dunia berhadapan dengan kenyataan yang sulit dihadapi dengan cara lama. Tercermin dari reaksi kebijakan ekonomi yang dikeluarkan berbagai negara. Tidak berhenti di situ. Sektor swasta juga mengalami tekanan berat. Membutuhkan respon yang tidak biasa dan seringkali baru. Perubahan landskap bisnis memaksa korporasi dan unit-unit usaha kecil dan menengah untuk melakukan inovasi cepat untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan bisnisnya. Dapat dikatakan bahwa wajah perekonomian dunia tidak akan sama lagi dengan sebelum pandemi Covid-19. Nic Robertson menyebut sebagai BC (Before Coronavirus) dan AC (After Coronavirus). Wajah baru perekonomian itulah yang mesti kita antisipasi, jika kita menghendaki perekonomian Indonesia sanggup keluar dari krisis dan mengambil manfaat dalam momentum perubahan besar yang terjadi. Penulis mencatat ada lima kenyataan baru yang akan mempengaruhi wajah perekonomian dunia, dan juga Indonesia. Kenyataan pertama, ekonomi berbasis teknologi akan memainkan peran sentral dalam perekonomian baru. Kompetisi inovasi pada teknologi maju (baca: advance) dan perebutan sumber daya yang menopang perkembangan teknologi akan mewarnai kompetisi ekonomi global. Apa yang tadinya dianggap sebagai lompatan transisi (transitional leap) penerapan inovasi teknologi dalam praktek perekonomian harian, pada kenyataannya, disebabkan oleh efek disrupsi pandemi, tidak lagi sepenuhnya bersifat transisi. Maknanya, transisi yang dianggap sebagai ruang kesempatan bagi banyak negara untuk melakukan adaptasi menjadi hampir hilang. Sekurang-kurangnya, waktu untuk beradaptasi menjadi singkat, dan perekonomian akan dipaksa menerimanya sebagai kenyataan baru yang tidak bisa ditolak. Faktor- faktor yang selama ini mempengaruhi hubungan Penawaran dan Permintaan (Supply and Demand), dan pembentukan harga ekonomi turut pula terdampak. Biaya yang mempengaruhi produksi, distribusi dan biaya administratif seperti pajak dan tarif perdagangan dipaksa berubah. Adaptasi perubahan komponen tersebutlah yang akan menentukan tingkat kompetitif perekonomian suatu entitas bisnis dan juga perekonomian suatu negara. Kesemuanya itu adalah hasil dari paksaan perkembangan teknologi. Kenyataan Kedua, perubahan pada mata rantai penawaran global (global supply chain). Persaingan triumvirat perekonomian dunia Amerika Serikat, China dan Uni Eropa telah berbuah pada konflik perdagangan terbuka. Dan makin menguat dimasa Pandemi Covid-19. “T-Shirt Economy” istilah yang diperkenalkan oleh Ekonom Georgetown University, Pietra Rivoli (The Travels of A T-Shirt In The Global Economy, Wiley, 2009) yang menggambarkan mata rantai penawaran ekonomi global sepanjang gelombang globalisasi selama ini turut pula mengalami disrupsi dan segera pula akan terpaksa untuk beradaptasi. Relokasi dan konsolidasi pusat produksi akan berbuah pada makin pendeknya mata rantai penawaran (supply chain). Pandemi menyebabkan dunia usaha dan para pengambil kebijakan berpikir ulang dalam melihat sebaran mata rantai pasokan penawaran global. Makin ringkas nampaknya, akan makin dianggap aman dan kompetitif. Dan makin dekat dan makin tidak kompleks secara geopolitik juga akan dianggap sebagai pilihan rasional dalam menjaga kelangsungan sumber daya produksi. Kenyataan Ketiga, hutang menjadi sumber primer gerak ekonomi. Kapasitas fiskal negara-negara tergerus dan Bank Sentral mengambil peran yang lebih luas dan kuat dalam perekonomian. Hubungan Trivial ketiga hal itu, menjadikan perekonomian makin rentan terhadap shock (kejutan). Meminjam tesis Hyman Minsky, ekonomi modern yang pada dasarnya tidak stabil makin menjadi tidak stabil (Hyman Minsky, Stabilizing Unstable Economy, Mc Graw-Hill,2008 ). Tumpukan hutang yang sudah terus menanjak di era sebelum pandemi, makin menggunung di era pandemi. Dan akan terus menggunung paska pandemi. Laporan Statistik Hutang Eksternal (Exsternal Debt) World Bank menunjukkan akumulasi hutang eksternal dunia hingga tahun 2018 mencapai U$ 8 trilliun. Pandemi Covid-19 mengakselerasikan penumpukan hutang menjadi dua kali lipat, dengan tidak kurang dari U$ 8 trilliun tambahan baru di masa krisis ini. Didalam laporannya, perkembangan hutang ini menyebabkan negara-negara berpendapatan rendah (low income countries) dan yang berpendapatan menengah (middle income countries) menjadi semakin rentan terhadap setiap kejutan eksternal (World Bank, International Debt Statistics 2020). Sekarang, setelah berbagai Bank Sentral memompa perekonomian dengan menciptakan begitu banyak uang, ekonomi dunia pun pada gilirannya makin bergantung pada tindakan Bank Sentral. Batas kewenangan antara fiskal dan moneter menjadi bersilangan. Pada level yang lebih kritis, Bank Sentral telah berubah menjadi jangkar perekonomian dalam skala yang tidak punya preseden sejarah. Wallahu ‘alam. (Bersambung ke Bagian Kedua ) Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Indonesia Terserah Presiden Saja

By Dr. Margarito Kamis Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Ilham. Allahu Akbar Kabira, Walhamdulillahi Katsira, Wasubhanallahi Bukratau Wa’asila. Lailaha Illallah Wala Na’budu Illa Iyahu. Muhlisina Lahuddina, Walaokarihal Kafirun, Walau Karihal Munafikun, Walau Kahiral Musrikun. Lailaha Ilaha Illallahu Wahdah, Shadaqa Wahda, Wanasra Abdah, Wa A’zzazundah, Wahdamal Ahda Bawahdah. Lailaha Illallah Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Hamdu. Jakarta FNN – Senin (25/05). Pembaca FNN yang berbahagia. Selamat menggapai fitri dihari hebat ini. Sistem presidensial yang bekerja di tengah demokrasi, harus diakui memiliki keunikan. Perpaduan ketat dua sistem ini, sedari awal bukan menghasilkan, tetapi membuat presiden menjadi satu-satunya figur tak tertandingi. Ia tak tertandingi pada hampir semua aspek bernegara, suka atau tidak. Presiden-presiden hebat di negara demokrasi menggunakan semua atribut yang disediakan sistem, baik politik maupun hukum. Berbasis sistem, presiden, selalu bisa dan begitu kenyataannya, mengabaikan pendapat kritis yang menghendaki pemerintah harus begini dan begitu. Sejarah perpaduan dua sistem ini menunjukan presiden bisa menggunakan pendapat dari kelompoknya saja. Dan disisi lain, presiden bisa dan secara sadar mengabaikan pendapat dari kelompok lain, tentu bila memiliki bakat itu. Landscap sejarah itu sebegitu kayanya dibelahan dunia lain yang lebih dahulu mempraktikan dua sistem ini. Asumsi Pembuat UUD 1945 Presiden diasumskan oleh pembuat UUD 1945 sebelum diubah, merupakan pancaran kearifan, pengintegrasi, dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia. Asumsi ini khas Indonesia, integratif. Presiden berada dipusat seluruh soal bernegara. Semua soal berbangsa dan bernegara menjadi tanggung jawabnya, suka atau tidak. Sekedar mengelola? Tidak. Sebagai orang arif, pengintegrasi dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia, pekerjaan presiden harus mencerminkan parpaduan unsur otak dan hati. Presiden harus menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia diatas kepentingan apapun, termasuk investasi. Dalam UUD 1945 sebelum diubah, asumsi itu menghasilkan skema struktur kekuasaan dengan Presiden berada dipuncak kekuasan dibawah MPR. Asumsi ini bekerja dengan cara memberikan kekuasaan membuat UU kepada Presiden. Tidak itu saja, urusan penggajian, infrastruktur pengadilan juga diletakan dalam lingkungan kekuasaan Presiden. Sangat arif. kendati bekerja dengan asumsi presiden orang arif, para pembuat UUD 1945 tak berhenti di situ. Mereka, pembuat UUD 1945 menyediakan cara hebat mengendalikan dan mengontrol presiden. Apa cara itu? Sala satunya adalah menyediakan garis besar haluan daripada negara, GBHN. GBHN dirumuskan dan dibuat oleh MPR, lalu dimandatkan kepada Presiden untuk dilaksanakan. Presiden dengan demikian dipandu, dituntun oleh MPR, yang merupakan representasi seluruh bangsa Indonesia. Hebat betul kreasi para pembuat UUD 1945. Para pembuat UUD 1945 tidak menyediakan impeachment, sebagai cara yang bersifat represif, dengan menyediakan kemungkinan presiden diberhentikan dalam mengontrol presiden. Tidak. Para pembuat UUD 1945 menyediakan cara lai. Cara politik, yang menurut Profesor Ismail Suny, salah satu guru saya, memiliki sanksi. Cara itu adalah meminta pertanggung jawaban presiden atas kondisi bangsa. Dalam hal keterangan-keterangan presiden yang diberikan kepada MPR, tentu dalam sidang istimewa- apabila tidak diterima MPR, maka MPR dapat menjatuhkan sanksi. Sanksinya bisa berupa menarik mandatnya MPR. Lalu memberhentikan Presiden. Mengagumkan cara berpikir para pembuat UUD 1945. Presiden, menurut skema konstitusional ini, diberi atribut sebagai orang tertinggi di antara organ-orang yang sejajar di negara, tetapi tidak boleh aneh-aneh. Presiden harus, bersifat absolut. Dari waktu ke waktu beri kepastikan MPR bahwa ia selalu berada dalam track GBHN. Tidak bisa di luar itu. Presiden harus, dari waktu ke waktu, menampilkan eksistensi pemerintahannya sebaik-baiknya. Harus benar-benar menampilkan dirinya sebagai orang arif, pengintegrasi, bapak bangsa yang besar ini. Sayang, sejarah perjalanan bangsa hebat ini merekam sangat jelas patahan mematikan atas asumsi mengagumkan itu. MPR sepanjang tahun 1960 hingga tahun 1966 bekerja dibawah kendali Presiden. Kala itu Presidennya Bung Karno, pria pintar yang terkenal kokoh dengan pendirinnya ini. Apalagi sepanjang tahun-tahun itu, Bung Karno tidak lagi memiliki mitra tanding pikiran kritis yang produktif. Masyumi, partai Islam paling cemerlang urusan akuntabilitas dan responsibilitas, serta paling cerdas dan gigih melintas di atas Rule of Law, telah dipukul telak oleh Bung Karno. Masyumi telah dibubarkan Bung Karno awal tahun 1960. Tahun 1967 Bung Karno resmi kehilangan kekuasaanya. MPR melalui Sidang Istimewa memberhentikan dirinya dari Presiden. Berubahkah keadaan penyelengaraan negara? Paradoks hebat segera menandai perkembangan sesudahnya. Bangsa terlihat nyata tak mampu menjadikan sejarah sebagai guru terbaik. Betul bermunculan begitu banyak gagasan yang berinduk pada rule of law dan demokrasi kala itu. UUD 1945 dan Pancasila dimurnikan. Tata hubungan antar Lembaga Negara dibereskan. Gagasan hak asasi manusia segera naik ke permukaan. Seminar dimana-mana, dan draf TAP MPR tentang HAM berhasil disiapkan BP MPR. Hasilnya? Daniel Lev, Indonesianis dari Seatle University Amerika Serikat, sedari awal telah memperkirakannya. Indonesia, dalam identifikasinya tidak akan cukup dekat pada demokrasi. Mengapa? Masyumi, yang dalam identifikasi keilmuannya sebagai satu-satunya partai yang paling jelas berpegang dan mengamalkan gagasan rule of law, tidak diberi tempat untuk hidup kembali. Itu soal terbesarnya. Persis seperti Bung Karno, presiden baru juga tidak akan mendapat mitra tanding kritis. Terlepas dari soal itu, tanda-tanda awal negara ini hanya akan melanjutkan praktik mirip Bung Karno. Presiden tetap akan berada di puncak semua kekuataan politik dan organ negara. Ini terlihat sedari awal babak baru ini. Pada sidang MPR penetapan Pak Harto menjadi pejabat Presiden misalnya, Pak Harto tidak bersedia mengucapkan sumpah dihadapan Sidang MPR yang dimpimpin Pak Nasution. Sejak saat itu, sebenarnya masa-masa panjang sesuahnya telah ditentukan dan ditetapkan. Suka atau tidak, cukup jelas Indonesia sesudah itu. Indonesia memang bukan Pak Harto, tetapi Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh Presiden. MPR, dalam kenyataannya tidak lebih hanya sekadar tukang cap terlatih atas gagasan Presiden. Hingga sepuh kalipun, MPR masih tidak menemukan kreasi gemilang dengan paduan kearifan besar bangsa ini untuk mengakhiri kekuasaan Pak Harto. Aneh? Tidak. Itulah politik. Jalan GBHN Tumpukan sejarah itu, seperti terekam dalam perdebatan anggota Panitia Ad Hoc I dan III Badan Pekerja MPR. Yang benar-benar menginspirasi MPR hasil pemilu 1999. Apalagi gema demokrasi dan rule of law di jalanan begitu mengharu biru. Ini menjadi energy terbesar yang berhasil meyakinkan MPR. MPR pun bergerak cepat. Penuh gairah, entah terasa grasa-gurus atau tidak, memasuki UUD 1945, yang telah teridentiikasi sejumlah pemikir liberal sebagai UUD otoritarian. Tidak bisa diandalkan membawa Indonesia ke kamajuan. Hars diubah. Identifikasi falsifikasi ini ditelan bangsa Indonesia. UUD 1945 akhirnya memasuki fase harus diubah. Presidensialisme mau dimurnikan. Begitu gema awal pemikiran MPR tentang sistem Presidensial. Awalnya untuk hanya membatasi masa jabatan presiden, ternyata tak cukup untuk berhenti disitu. MPR bergerak jauh sekali, dan mengubah banyak hal. Terpukau tanpa bekal yang cukup atas gagasan presidensialisme dan praktiknya yang berabad-abad di Amerika, negeri penemu sistem ini. MPR merancang sistem Presidensial. Kekuasaan membentuk UU yang pada UUD 1945 sebelum diubah diletakan pada Presiden, diubah. Kekuasaan itu dialihkan ke DPR. Hebat? Tidak juga. Sama sekali tidak hebat. Mengapa? Presiden, menurut UUD 1945 yang baru diubah ini, diberi hak ikut bersama DPR membahas UU. Konsekuensinya, bila Presiden tidak mau ikut bahas UU, maka dengan siapa DPR membahas UU? MPR yang semula jadi lembaga tertinggi, dipreteli habis. Hanya disetarakan dengan Presiden. Tersipu dengan gagasan presidensialisme konyol khas Amerika. Tersipu pula dengan demokrasi tipu-tipu juga khas Amerika. MPR lalu meneksplorasi gagasan penyetaraan organ kekuasaan. Berhasil. MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan lainnya, semuanya, disetara. Atas nama kesetaraan, GBHN juga dihilangkan. Begitulah cara MPR memastikan negara ini bergerak maju di garis demokrasi dunia. Padahal demokrasi, dalam tampilan praktisnya di Amerika, justru membuat Presiden menjadi satu-satunya entitas kekuasaan, yang tak tertandingi dalam semua spektrumnya. Boleh saja presiden, dalam lalu lintas keilmuan klasik khas John Locke dan Montesqueu, dinyatakan sekadar pelaksana UU. Tetapi dalam praktinya di Amerika sekalipun, justru berbeda. Presiden, dengan semua atribut konstitusi, yang sebagian besar tak jelas, atau diambil di luar UUD, justru tampil sebagai pemberi defenisi, pengarah, perancang, penentu utama jalannya negara, siapapun presiden itu. Kenyataan ini yang menjadi katrakter kepresidenan Indonesia dalam tahun ke-20 pelaksanaan UUD 1945 yang liberal ini. Presiden, telah muncul menjadi pengarah utama, dan pendefenisi utama jalannya negara ini. Hampir semua aspek bernegara, terserah presiden. Apa katanya, itulah Indonesia. Kebijakan iuran BPJS yang dinilai ngawur. Perpu Corona yang ngaco. Rencana perpindahan ibu kota yang terus eksis. Konsistennya kebijakan TKA asal China. Penanganan corong yang cukup membingungkan. Semuanya sedang terjadi saat ini. Suka atau tidak, merupakan pantulan resmi sistem ini. Pembaca FNN yang budiman, dimana urusan rakyat dan dimana urusan korporasi dalam sistem ini? Sejarah mencatat korporasi selalu menjadi prioritas utama kebijakan negara. Karena mereka punya fulus yang tak terbatas. Dewa demokrasi itu korporasi dan uang, fulus, hepeng, pipi dalam bahasa Ternate. Demokrasi kaya dengan gerak tipu-tipu. Franklin Delano Rosevelt yang dihormati begitu banyak ilmuan tata negara dan politik sebagai Presiden, dalam kampanyenya memukau rakyat Amerika dengan gagasan anti bank. Padahal dia, dalam identifikasi terpercaya Anthony Saton pada buku “Wall Street and FDR” adalah orangnya Wall Street. Du Ponts dan Rockefeller adalah dua kontributor dana terbesar dalam rallynya FDR menuju kursi presiden 1933. Begitu Herbert Hover, yang semasa pemerintahannya depresi ekonomi besar 1929-1933 berawal, tahu Du Ponts dan Rockeffeler mengalihkan dukungan ke Franklin D. Rockeffeler, dia pun segera tahu bahwa dia akan kalah. Mengapa mereka mengalihkan dukungan? Herbert Hover, yang didukunhg pada kampanye presiden tahun 1928, ternyata keras kepala. Dia tidak mau melaksanakan Swope Plan. Plan ini dibuat oleh George Swope, presiden General Electric. Disisi lain, FDR malah bersedia melaksanakan plan ini. Benar, FDR merealisasikan plan pada pemerintahnnya dengan membuat National Industrial Recovery Act (NIRA). Pembaca FNN yang dimuliakan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bagaimana bangsa ini harus menemukan jalan besar untuk bisa bermartabat dimasa datang? Hidupkan lagi GBHN. Ubah lagi UUD 1945, yang saat ini sangat liberal ini. Tata ulang relasi fungsi antara Presiden dan MPR. Pastikan bahwa Indonesia tidak terserah pada presiden. Dalam tata ulang relasi MPR-Presiden, bangsa ini harus tahu cara kerja Wall Street. Tetapi bangsa ini harus faham sindrom Walter Rathenau, perencana ulung dari Jerman, dan Bernard Baruch, perencana ulung Amerika pada masa Wodrow Wilson Presiden. Perencanaan tertata, bila tak dikawal dengan baik, Menjadi sah bila korporasi ikut menanamkan kepentinganya mereka. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Rakyat Marah Karena Pemerintah Dianggap Plin-Plan

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (25/05). Plin-plan. Itulah kesan rakyat terhadap pemerintah terkait pelaksanaan PSBB. Berawal pada bulan januari lalu, pemerintahan Jokowi tidak percaya kalau covid-19 bakalan hijrah ke Indonesia. Coloteh sejumlah menteri bikin gemes. Salah prediksi membuat rapuh pertahanan. Saat covid-19 masuk dan menginveksi. Pemerintah pimpinan Jokowi lalu gagap. Sama sekali nggak siap. Lalu bingung dan panic menjadi pemandangan yang gampang disaksikan. Sementara nyawa terus berjatuhan. Satu-persatu mati, hingga puluhan, ratusan, bahkan ribuan sekarang. Setelah didesak untuk terapkan lockdown, bahasa yuridisnya karantina, akhirnya muncul yang namanya PSBB. Meski telat dan sangat alot. PSBB merupakan yang terobosan cerdas. Walaupun akan lebih efektif jika pemerintah pusat yang mengoperasikannya sendiri. Tak menyerahkan secara teknis kepada kebijakan pemerintah daerah. Ada kesan cuci tangan. Juga ingin aman. Lepas ada kekurangan sana sini, namun PSBB cukup berhasil kendalikan penyebaran covid-19. Beberapa daerah, termasuk Jakarta, tingkat penyebaran turun. Di Jakarta, penurunan sampai pada level 0,9 - 1,2 persen. Ini bukti PSBB terukur dampaknya. Tapi sayangnya, sejak Menteri Perhubungan membuka kembali "public transportation", covid-19 jadi mengamuk lagi. Angka penyebaran naik kembali. Ratusan per hari untuk Jakarta. Secara nasional, hampir menembus angka 1.000 per hari. Tampak di pasar, mall dan bandara, kerumunan manusia padat lagi. Berjubel manusia saling menularkan virus. Dua minggu terakhir, jalanan di Jakarta pun padat kembali. Hampir tak ada lagi bedanya dengan waktu sebelum adanya covid-19. Relaksasi PSBB yang diwacanakan Mahfud MD, Menkopolhukam ini, nampaknya berhasil. Rakyat merasa bebas dan merdeka kembali. Puncaknya, ketika pemerintah pusat membuat konser covid-19. Pakai hadiah Motor Gesit lagi. Hadiah atau lelang? Menurut M. Nuh, itu hadiah. Sayangnya, motor bertanda tangan presiden tak bisa dia miliki. Keburu ditangkap polisi. Prank! Sementara di sisi lain, shalat jum’atan, shalat taraweh berjama'ah dan shalat IDUL FITRI dilarang. Selama ini, umat Islam terlihat menerima saja. Taat aturan saja. Walaupun tetap satu dua kasus ada yang nggak juga disiplin. Namun masih dalam taraf wajar. Secara umum, umat Islam patuh saja. Aturan pemerintah dimengerti, dan dinilai dengan baik. Ini demi untuk menjaga kesehatan rakyat, dan upaya mengendalikan penyebaran covid-19. Semua ingin pandemi ini cepat bisa berakhir. Namun, ketika pasar, mall dan bandara berjubel manusia. Tidak ada protab tentang kesehatan, maka umat Islam mulai marah. "Apa-apaan ini. Kami disuruh tutup masjid, dan sholat berjamaah di rumah. Sementara pasar, mall, jalan raya dan bandara bebas manusia berinteraksi." "Ini bentuk nyata dari penghianatan". Begitulah kira-kira menurut Prof. Dr. Din Syamsudin dan Aa Gym. Merepresentasikan betapa geramnya Umat Islam. Tidak hanya Umat Islam, tetapi seluruh umat beragama merasa dikhianati. Kecewa, tentu saja. Dan kekecewaan tersebut, sebagian diekspresikan dalam bentuk kemarahan. Seorang kakek terlihat membongkar blokade jalan raya. Sejumlah polisi hanya diam menyaksikan ulah si kakek itu. "Hari Raya Idul Fitri adalah Hari Kebebasan, Hari Kesenangan. Ora carane kaya ngene. Iki jenenge kelakuan iblis, kelakuan setan", kata si kakek itu dalam video yang viral di medsos. Kabarnya, ada kepala desa yang digebukin warga karena melarang shalat IDUL FITRI. Kasus Habib Umar Sagaf Bangil Pasuruan Jawa Timur sempat jadi heboh. Sang Habib ini ribut sama petugas ketika ditegur karena tak mengikuti protab dalam berkendara mobil. Hingga adu fisik dengan Satpol PP. Lagi dengan di Jogja. Hampir semua ulama di Jogja sepakat untuk mengadakan shalat IDUL FITRI. Meskipun presiden melarangnya. Mereka tidak peduli. Bahkan beberapa hari sebelumnya, sebagian masyarakat Riau juga protes terhadap PSBB. Kenapa ini semua terjadi? Karena rakyat kecewa kepada pemerintah yang dianggap plin-plan dan tak konsisten dengan aturan PSBB yang dibuatnya sendiri. Apalagi, munculnya Perppu No 1 Tahun 2020 telah lebih dulu membuat curiga rakyat. Perppu corona yang telah diketuk DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020 ini dianggap oleh banyak pihak berpeluang memanfaatkan pandemi untuk korupsi. Ngeri! Sejumlah kasus kemarahan rakyat di sejumlah tempat boleh jadi hanya merupakan ekspresi kekecewaan mereka kepada pemerintah yang nggak konsisten. Kemarahan ini kemudian dilampiaskan kepada obyek yang mereka temui. Kepala desa, aparat kepolisian, pengurus masjid, dan apa saja yang mereka anggap menghalangi. Dalam ilmu psikologi, ini namanya "jumping out" . Melampiaskan kemarahan kepada pihak yang tidak semestinya. Dengan sejumlah kasus yang muncul di masyarakat, pemerintah mestinya mau melakukan introspeksi. Soal yang satu ini pemerintah sering abai. Egois dan nggak mau peduli. Merasa punya kekuasaan. Pejamkan mata dan tutup telinga. Apapun sikap yang akan diambil pemerintah, semua akan ada konsekuensi politiknya. Jika situasi tak mujur, ini berpotensi jadi trigger dan bisa sangat berbahaya buat penguasa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (8): Islam Ajarkan Saling Kenal

Tiga putra saya bebas berteman dengan siapa pun, agama apa pun dan dari suku apa pun. Hanya selalu saya ingatkan, jangan tinggalkan shalat dan jangan mau terpengaruh dan dipengaruhi ajaran agama manapun, selain ajaran Islam. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TOLERANSI perlu dirajut, sehingga bibit-bibit permusuhan bisa segera musnah. Toleransi sangat ditanamkan dalam ajaran Islam dan juga Pancasila. Tanpa toleransi, pertemanan, persahabatan akan tercabik-cabik. Bahkan bisa ke tingkat yang lebih luas. Tanpa toleransi, kerukunan di tingkat lingkungan akan hambar, toleransi di level negara akan merana. Membangun toleransi itu harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan dan seterusnya. Tanpa diawali dari diri dan keluarga sendiri, toleransi itu hanya sebuah basa-basi. Ya, saya ambil contoh persahabatan saya dengan Marsia Hutauruk yang sekarang sudah menjadi pendeta di Pulau Nias Sumatera Utara. Kami membangun persahabatan karena saling memahami posisi masing-masing. Bagi saya berteman dengan siapa pun, apa pun agama dan suku apa pun tidak masalah. Dalam hal agama Al-Qur'an mengajarkan saya, "Bagi kamu agama kamu, bagi saya agama saya."Al-Qur'an juga memerintahkan agar saling kenal-mengenal."Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujarat ayat 13). Saling kenal-mengenal itu adalah perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala melalui Al-Qur'an. Karena itu perintah dari Allah Yang Maha Kuasa, maka saya wajib melaksanakan dan mengamalkannya. Tentu, saling mengenal di sini bagi saya ada batasan yang tegas, yaitu agama lain jangan coba-coba mengusik aqidah saya dan keluarga. Jangan coba-coba mempengaruhi saya dengan berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sepanjang hal itu menyangkut pergaulan tidak masalah. Bukankan tiap hari umat Islam selalu berintegrasi atau berhubungan dengan agama lain dalam hal jual-beli atau bisnis? Tidak pernah ada masalah, dan selama ini semua berjalan bagaikan air mengalir. Itulah indahnya toleransi yang sudah dibangun secara turun-temurun di bumi Pancasila ini. Atas dasar perintah saling mengenal itu juga saya menanamkan kepada ketiga anak saya agar bergaul boleh dengan siapa saja, dari suku mana saja dan agama manapun. Tetapi, ingat, jangan meninggalkan shalat. Jika bergaul dengan agama lain, ketiga anak saya yang sejak TK sampai SMP selalu di sekolah Islam (kecuali anak ketiga yang lanjut ke Pondok Modern Gobtor dan kini kuliah di UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta) saya wanti-wanti agar jangan mau dipengaruhi ajaran agama lain, selain Islam. Karena perintah saling mengenal itu, saya juga tidak ambil pusing berteman dengan siapa pun. Sebagai wartawan yang sejak tahun 2000 hampir selalu pake peci ke lapangan, saya bergaul dengan berbagai narasumber, termasuk yang beragama Kristen, Budha dan Hindu. Malah salah seorang pengusaha beragama Katolik cukup fanatik (saya tahu dia penyandang dana sejumlah gereja dan sekolah Katolik), sering meledek janggut saya yang panjang. Suatu ketika saya agak kaget dibuatnya, karena mengatakan, "Makin panjang saja ini jenggot," katanya sambil memegang jenggot saya. Hal itu dilakukannya dalam beberapa kali saya bertemu dengannya. Kalau saya intoleran, sudah pasti marah. Tidak ada batas Saling mengenal tidak ada batas. Yang menjadi pembatasnya adalah ketakwaan. Karena dengan siapa pun kita berteman, yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Jadi jelas batasannya, ketakwaan. Karena perintah saling mengenal itu juga, selain dengan teman SMP, saya juga masih menjalin pertemanan dengan kawan semasa kuliah yang berbeda agama dengan saya. Saya berteman akrab dengan Effy namanya. Sebenarnya, semua teman semasa kuliah yang non-muslim pun masih berteman lewat WA grup dan sekali-sekali mengadakan pertemuan. Cuma kadang teman agama lain di grup itu seringkali menulis hoax (bohong) atas beberapa postingan saya. Ini terjadi hanya karena berbeda sudut pandang dalam membacanya. Atau mungkin hanya karena perbedaan pilihan politik. Effy yang sekarang tinggal di Kediri, Jawa Timur adalah salah satu teman kelompok diskusi saya. Ada Fatmawati (biasa dipanggil Gadis), sekarang di Banda Aceh, ada Sabri Piliang (Jakarta), Darmadji (Pekanbaru), M.Tarokoh (Tangerang), almarhum Achmad Furqon, Sri Handayani (Australia). Ada cerita menarik dari Effy. Ketika saya kabari anak saya nomor 3, Sultan Ucok Sulainan Dongoran sekolah di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Effy meminta saya agar mampir ke Kediri. Akan tetapi, sampai tiga tahun anak di Ponorogo, saya tidak sempat memenuhi permintaannya itu. Padahal, saya sudah menjawab, "Insya Allah akan mampir." Alhamdulillah, tahun ke-4, anak saya ditugaskan ke Gontor 3 Kediri. Saya pun mengabari Effy tentang itu. Effy yang mendapatkan kabar itu langsung mengatakan, harus mampir ke rumahnya. "Awas ya, Hon, kalau ke Kediri gak mampir, " begitu kalimat yang masih saya ingat. Saya menjanjikan akan mampir. Alhamdulillah, janji itu terwujud pada awal Agustus 2015. Saya ke Kediri bersama istri dan anak kedua. Saya ke Kediri sekalian meliput Muktamar Nahdhlatul Ulama ke-33, di Jombang. Jarak Kediri dan Jombang cukup dekat dengan menggunakan kereta api. Saya kabari Effy tentang rencana kedatangan saya. "Pokoknya ditunggu," katanya. Ketika pagi hari kami turun di Stasiun Kereta Api Kediri, ternyata Effy dan karyawan suaminya sudah menunggu. Mobil sudah siap membawa kami. Oh ya, karena kami masuk pagi hari, Effy membawa kami sarapan pagi di sebuah warong soto. Katanya, soto cukup terkenal di KotaKediri. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior

Kembali ke Fitrahnya Konstitusi Negara

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (25/05). Setelah "diacak-acak" oleh semangat demokratisasi, maka ternyata Konstitusi dikotori oleh perlilaku politik yang menunggangi. Mencuri kedaulatan rakyat untuk memperkuat pemerintahan. Sayangnya, profil Presiden yang terlihat lemah, sehingga Konstitusi yang dibuat dan dilahirkan dengan susah-payah oleh para pendisi bangsa, hanya barang menjadi mainan. Tafsir terhadap kebenaran berdasarkan konstitusi dibuat seenaknya saja oleh Presiden. Tujuanya, untuk membingkai pelanggaran dengan kepalsuan kekuasaan. Tragisnya, kesalahan yang dibuat oleh tersebut, mendapatkan pembenaran dari DPR. Contoh paling nyata, DPR membiarkan hilagnya hak budgeting terhadap APBN yang daimbil oleh pemerintah selama tiga tahun ke depan. Pemerintahan Jokowi tercatat paling parah dalam penghormatan terhadap Konstitusi. Dimulai dari kelicikan pelaksanaan Pemilu, pelanggaran HAM, hingga penyalahgunaan Perppu Corona. DPR mampu dikendalikan dengan sangat mudah. Mozaik dan konstelasinya bisa digeser geser. Kewenangan diubah menjadi kesewenang-wenangan. Kini saatnya kembali kepada fitrah Konstitusi, yakni “UUD 1945 yang asli”. UUD 1945 yang diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 yang belum tercemari oleh banyaknya kepentingan jangka pendek. New normal adalah ekuilibrium. UUD 1945 yang mengembalikan kedaulatan pada rakyat. Kedaulatan yang menempatkan wakil-wakilnya pada tempat yang terhormat. UUD 1945 yang menempatkan MPR sebagai memegang kekuasaan tertinggi negara. Presiden pun harus berada di bawah rakyat melalui MPR. Tujuannya, agar presiden tidak arogan, masa bodoh, atau hanya memperbesar kekuasaan dan kekayaan diri saja. Lima urgensi untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. Pertama, kembali pada filosofi berbagsa dan bernegara yang digariskan oleh "the founding fathers", baik mengenai konsepsi kedaulatan, negara hukum, fondasi perekonomian, dan sebagainya. Kedua, MPR kembali berwibawa dan menjadi lembaga yang disegani oleh Presiden. Sebab MPR yang dapat menentukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dampaknya, siapapun yang memerintah harus tunduk dan mengikuti arah yang digariskan oleh rakyat melalui MPR. Ketiga, melakukan penghematan biaya secara signifikan untuk pemilu Presiden/Wapres. Juga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya gesekan sosial di masyarakat akibat kompetisi terbuka yang bersifat transaksional. Selain itu, dapat menghindari jatuhnya korban yang besar dari Penyelenggara Pemilu, yang mendekati ribuan anak bangsa. Keempat, pengaturan tentang kebijakan strategis dapat kembali dituangkan dalam berbagai Ketetapan MPR. Tidak seperti sekarang, dimana soal "haluan ideology negara" dipaksakan menjadi konten RUU. Sangat mungkin terjadi salah kaprah, dan bisa menjadi sebab dari pembelokkan makna. Juga untuk menghindari penyeludupan edeologi komunis dan PKI. Kelima, sebagaimana Dekrit 5 Juli, yang menempelkan "Piagam Jakarta" menjadi kompromi ideologis. Maka akibatnya, kita tidak perlu lagi mundur-maju hnya untuk diskursus Pancasila dan UUD 1945. Implementasi sudah merupakan tuntutan yang prioritas, logis, dan konkrit. Kembali ke UUD 1945 adalah dasar bagi solusi memecahkan persoalan bangsa. Kembali ke UUD 1945 yang asli adalah kembali ke fitrah Konstitusi. Kembali untuk melururuskan arah dan kiblat perjuangan bangsa Indonesia. Sekaligus kembali menghormati kerja keras dari para pendiri bangsa. Kembali ke UUD 1945 adalah pilihan strategis untuk new normal politics setelah kondisi kini yang luar biasa carut-marut. Diombang-ambingkan oleh permainan kekuasaan yang sangat kasar dan bodoh. Menari-nari di tengah ketidakberdayaan dan penderitaan rakyat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (7): Berteman dengan Pendeta

Sebagai pendeta, banyak yang tidak menyukai Marsia, termasuk pendeta. Sebab, ia selalu berbicara apa adanya dan tidak memakan babi. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - KEMBALI ke FB saya yang diserang pendukung penjual lapo tuak itu, saya menantang mereka satu per satu untuk membuktikan bagaimana membangun dan menjalin toleransi itu. Saya menjelaskan, bagi saya menjual minuman keras itu haram dan melanggar aturan perundang-undangan. Penjualan tuak di bulan suci Ramadhan dan dijual di tengah mayoritas Islam, jelas menunjukkan sikap tidak toleran, dan bahkan sangat angkuh. Ketika ada seorang bertanya, "Apakah saya salah jika hanya sendiri atau satu keluarga di tengah kaum muslim kemudian minum tuak?" Saya jawab, kalau minumnya di dalam rumah dan tidak mabuk serta teriak-teriak keluar itu urusan Anda. Akan tetapi, tentu ada tatakrama lingkungan yang harus dijaga dan dipatuhi. Saya pun mengatakan, jjka saya seorang Muslim dan tinggal di tengah mayoritas Kristen dan tiap hari memutar kaset atau saya membaca Al-Qur'an keras, apakah Anda tidak terusik? Pertanyaan saya itu dijawab nyeleneh. "Itu perbandingan yang ngawur," begitu jawaban atas pertanyaan saya itu. Saya menceritakan tentang kawan saya semasa SMP yang Kristen dan sekarang menjadi pendeta di Pulau Nias, Sumatera Utara. Meski saya pake jenggot, peci putih, pakaian gamis, dan dia pendeta, komunikasi kami berjalan baik. Padahal, sejak tamat tahun 1979, kami tidak pernah ketemu secara fisik. Marsia Hutauruk nama teman saya itu. Jum'at, 8 Mei 2020 siang, saya menyapanya lewat WA. Kemudian dilanjutkan percakapan lewat telefon hampir satu jam. Kami membicarakan banyak hal, termasuk toleransi, tentang lapo tuak yang Deli Serdang, Sumut yang ditutup warga bersama FPI, dan tentu masa-masa SMP dulu, karena banyak yang mengatainya kafir. Ia menyebutkan, dari sekian banyak teman SMP yang sempat bertemu di media sosial, hanya saya yang masih komunikasi. Yang lain (saya tidak menulis namanya, meski Marsia menyebutnya), sudah hilang kontak. Ia heran kenapa teman-teman menghapus pertemanan. "Saya heran juga, sementara kamu yang pake jenggot dan peci putih tidak menghapus pertemanan dengan saya," katanya. Dia bercerita, meski sudah jadi pendeta, tidak masalah dengan agama Islam dan agama lain. Sebab, dia juga punya saudara dan famili yang masuk Islam atau mualaf, dan juga saudara yang sudah turun-temurun beragama Islam. Marsia bercerita, sebagai pendeta, banyak yang tidak menyukainya, termasuk tidak disukai sesama pendeta sendiri. Sebab, ia bicara apa adanya dan tidak pernah memikirkan penghasilan dari kegiatannya itu. Terlebih lagi kawan ini juga tidak makan babi dan menenggak minuman keras. "Kalau datang ke acara, ya nasik kotak isinya itu (babi). Padahal saya tidak memakanya. Haram bagi saya," katanya. Prihatin Kepada mereka yang memakannya saya katakan, "Itu harum bagi kamu, tapi haram bagi saya." Saling menghormati itu sangat penting. Ia juga prihatin dengan peristiwa penjualan tuak di saat umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Ketika saya posting berita penangkapan Geral Lundu Nainggolan karena menghina Nabi Muhammad dan Habib Bahar, ia pun mengatakan tidak boleh saling menghina. "Itu tdk boleh saling menghina & menjelekkan, apalagi situasi sekarang lagi menghadapi ujian berat covid 19. Ada-ada saja. Tidak punya hati nurani. Harus saling menghormati dan menghargai apalagi masalah agama. Bagaimana manusia seperti itu ya?" kata Marsia dalam pesan yang dikirim ke WA saja. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior

Bamsoet Kok yang Paling Sibuk Dalam "Konser Prank", Ada Apa?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Acara konser berbagi kasih bersama para seniman dan musisi yang digelar akhir pekan lalu, masih menyisakan sejumlah tanda tanya meskipun masalah lelang motor listrik sudah bisa diatasi. Pemenang lelang sudah dialihkan dari warga Jambi M. Nuh pada anaknya pengusaha media Hary Tanoe. Sejak acara konser digelar hingga pelaksanaan lelang susulan pada hari Jumat lalu, Bambang Soesatyo terlihat orang yang paling sibuk. Padahal, pelaksana kegiatan konser ini adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Lalu dalam acara tersebut Bambang Soesatyo kapasitasnya sebagai apa? Sebagai Ketua MPR-RI? Atau sebagai pengusaha karena dalam acara konser itu Bamsoet juga menggandeng Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani. Justru unsur pimpinan MPR-RI periode 2019-2024, tidak ada satu pun yang hadir di acara tersebut. Kecuali diantaranya hadir secara virtual. Dalam acara press conference sekaligus klarifikasinya, Bamsoet menyebut dirinya sebagai penanggungjawab acara konser tersebut. "Jujur saya tidak enak hati dengan Presiden Jokowi, karena saya yang meminta beliau. Beliau tidak tahu apa-apa. Untuk itu saya sebagai penanggung jawab, atas nama panitia mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden Jokowi sekaligus ucapan terima kasih yang luar biasa atas keikhlasannya memberikan bantuan motor listrik yang ditandatangi sendiri oleh beliau," kata Bamsoet ketika mengawali pernyataan klarifikasnya pada wartawan. Jika menyimak narasi dan diksi yang disampaikan Bamsoet, jelas dia bukan dalam kapasitas sebagai Ketua MPR-RI. Sebab dalam praktek ketatanegaraan, posisi Ketua MPR-RI sesungguhnya lebih tinggi dari Presiden. Sehingga dalam berbagai acara kenegaraan, Ketua MPR-RI lazimnya menyebut kata "saudara" kepada Presiden. Tajir melintir Nah kalau bukan sebagai Ketua MPR, masyarakat bisa saja menduga Bamsoet sedang menjadi EO atau penyelenggara kegiatan konser yang diadakan BPIP. Tapi masyarakat pun bisa bertanya lagi: Pantaskah seorang Bamsoet yang nota bene sebagai Ketua MPR merangkap sebagai EO ? Bagaimanapun jabatan dan pangkat itu tetap melekat pada diri seseorang. Nama Bamsoet tidak bisa dilepaskan dari jabatannya sebagai Ketua MPR-RI. Kok bisa sih dia menjadi EO? Bukankah Bamsoet sudah tajir melintir, dimana berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2018, harta kekayaan Ketua MPR-RI dari Fraksi Golkar ini sebesar Rp 98.019.420.429 (Rp 98 milyar lebih). Sebagian besar harta kekayaan Bamsoet berupa tanah dan bangunan yang bernilai Rp 71.217.095.000. Sementara itu, harta berupa alat transportasi dan mesin berjumlah Rp 18.560.000.000. Tercatat, ada 13 kendaraan yang ia miliki, seperti motor Harley Davidson, mobil Rollsroyce Phantom Sedan, dan lain-lain. Dengan kata lain, kalaupun Bamsoet mau membantu masyarakat yang terdampak atau menjadi korban dari wabah Covid19, maka dia pribadi sebenarnya bisa memberikan sumbangan langsung kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Cara lainnya, bisa saja Bamsoet menggelar acara lelang sendiri dengan misalnya melelang sebagian kendaraan mewahnya untuk disumbangkan bagi kepentingan penanganan wabah Covid19. Atau katakanlah dalam acara konser BPIP itu dia ingin berpartisipasi lebih, maka Bamsoet bisa saja ikut menawar motor listrik yang dilelang itu. Ini kok seperti sengaja dibuat drama yang akhirnya berujung pada tragedi. Karena kemudian menjadi bahan cemoohan masyarakat setelah lelang motor listrik tersebut berhasil di prank oleh M. Nuh, seorang buruh yang tinggal di Jambi. Celakanya, Bamsoet menuding komentar dari para netizen sebagai gorengan. Padahal, yang terjadi justru acara konser tersebut seperti sebuah dagelan politik yang tidak lucu. Tragedi konser BPIP justru menunjukkan kepada dunia bahwa para pemimpin di Indonesia ini tidak kompak dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. Kebijakan yang telah dibuat dalam menghadapi pencegahan penyebaran Covid19 kemudian dirubah sendiri oleh pemerintah. Belum lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan Pemda yang sangat buruk. Manajemen pemerintah yang menyedihkan ini kemudian ditambah dengan persoalan "Konser Prank" BPIP yang amburadul. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan para pemimpin di negeri ini. Dalam Konser BPIP tersebut bukan hanya telah terjadi acara lelang kaleng-kaleng alias tipu-tipu, tapi acara tersebut juga telah memberikan contoh yang jelek kepada masyarakat di tengah wabah Covid 19. Dimana pada akhir acara konser itu, Bamsoet bersama para seniman dan artis yang hadir berfoto bersama di atas panggung tanpa mengindahkan aturan soal Physical Distancing. Walaupun kemudian Bamsoet meminta maaf atas kejadian tersebut, namun masyarakat sudah terlanjur tidak simpatil dan kecewa dengan gelaran konser tersebut. Konser bertajuk resmi berbagi kasih ini akhirnya menjadi ambyar setelah terjadi keanehan dan kekacauan dalam acara lelang. Saya jadi penasaran, sebenarnya ada target politis apa yang hendak dicapai Bamsoet melalui konser tersebut? Kepentingan politik apa dibalik pelaksanaan Konser BPIP tersebut? Pertanyaan ini wajar diajukan karena Bamsoet adalah seorang politisi, sehingga setiap langkahnya tentu berdampak politis juga. Wallohualam Bhisawab. Penulis Wartawan Senior.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (6): Non Muslim Jangan Mengusik Umat Islam

Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda. Ini membuat musuh FPI dan umat Islam kewalahan. Mereka terus berusaja mencari kelemahanFPI. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - YA, jangan sekali-kali mengusik lebah di sarangnya. Lebah akan kompak mengejar dan menggigit dengan racunnya yang ganas siapa pun yang mengusiknya. Demikian juga Islam. Jangan sekali-sekali ada orang yang menghinanya. Jangan ada orang, kelompoķ dan golongan yang mencoba-coba melukai perasaan umatnya. Mereka akan kompak melakukan pembelaan baik secara fisik maupun non fisik. Penistaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama alias Ahoķ merupakan salah satu bukti betapa umat Islam tidak akan tidur ketika agamanya dilecehkan. "Jangan bangunkan macan dari tidurnya," demikian pepatah yang sering kita dengar. Pepatah ini pun ramai muncul ketika Ahok mengungkit Surat Al-Maidah ayat 51. Kenapa umat Islam marah kepada Ahok? Pertama, Ahok seorang kafir yang seenaknya mengutip ayat Al-Qur'an. Kedua, orang kafir tidak memiliki kapasitas untuk mengutip ayat Al-Qur'an demi ambisi politiknya. Ketiga, masyarakat Jakarta, khususnya umat Islam sudah muak dengan tingkah lakunya dalam mengurus Jakarta. Sebab, di awal ia mengurus Jakarta, sudah terang-terangan melarang penyembelihan hewan kurban di sekolah. Artinya, penyembelihannya tidak boleh dilihat anak-anak, karena menurutnya sadis. Padahal, penyembelihan yang disaksikan anak-anak itu merupakan pembelajaran bagi mereka tentang hewan kurban. Kemudian Ahok jugalah yang melarang penjualan hewan kurban di pinggir jalan. Alasannya, kotor. Padahal, cuma setahun sekali. Dia tidak melihat pedagang ikan basah di beberapa tempat di pinggir jalan yang tiap hari menjajalan dagangannya. Sudah pasti jorok dan bau setiap hari, sepanjang pedagang ikan berjualan. Umat Islam marah ke Ahok, bukan marah kepada pengikut Kristen apalagi orang Cina. Hanya saja, banyak pendukungnya yang Kristen dan agama lain, serta keturunan Cina, termasuk dari kalangan Islam yang juga membelanya secara mati-matian dan membabi-buta. Risiko perjuangan Pergerakan melawan Ahok dan kroninya berawal dari markas FPI Petamburan yang langsung dikomandoi Habib Rizieq. Tentu, pergerakan itu juga merupakan rangkaian dari kejelian seorang pejuang Islam, Buni Yani, yang menyebarkan pidato Ahok tentang Al-Maida ayat 51 itu. Buni Yani lah yang membangunkan umat Islam dari tidurnya. Risikonya, ya Buni Yani juga dipenjara. Semoga semua yang dilakukannya membawa keberkahan bagi umat Islam dan Buni Yani beserta keluarganya. Karena pergerakan berawal dari Markas FPI Petamburan, maka sangat wajar juga Ahok dan barisannya atau Ahoker membenci FPI. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, setiap waktu dan setiap saat mereka akan terus menyerang FPI dengan kata-kata intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, pendukung khilafah serta syariah dan berbagai macam kata-kata lainnya. Mereka tidak tahu dan tidak sadar betapa umat Islam, termasuk FPI sangat toleran, membela NKRI dan Pancasila. Bukti FPI sangat toleran bisa kita lihat ketika demo terjadi, ada pasangan Kristen yang melakukan perkawinan di gereja dekat Masjid Istiqlal. Malah Laskar Pembela Islam yang merupakan pejuang/pengamanan di FPI membukakan jalan kepada pasangan pengantin dan rombongannya. Jika FPI intoleran, sudah dipastikan agama lain itu tidak akan bisa menembus kerumunan massa hingga sampai ke gereja. Itulah hebatnya FPI. Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Ini membuat lawan FPI dan umat Islam semakin kewalahan. Mereka terus mencari kelemahan FPI. Maka, berbagai usaha memojokkan dan membubarkan FPI pun terus dilakukan. Kelakuan busuk terus dipertontonkan oleh kaum kafir dan munafik terhadap FPI yang tegas dalam mencegah kemungkaran.(Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior.