ALL CATEGORY

Bernegara dengan Perpu

Undang-undang KPK perubahan, sejauh ini, sama-sekali tidak menghapuskan wewenang penyidikan oleh KPK. Izin penyadapan juga sama sekali tidak dapat dianalogkan sebagai telah penghapusan wewenang KPK untuk melakukan penyadapan. Tidak seperti itu. Dengan demikian, tidak tersedia alasan secara materil untuk Presiden penerbitan Perpu. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Konstitusi membekali Presiden dengan kewenangan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sifat kewenangan ini khas. Presiden dapat, dengan atau tanpa alasan yang ternalar menerbitkan Perpu. Betu-betul khas, karena rumus hukum tentang syarat sahnya penggunaan kewenangan ini sangat elastis. Dimensinya sangat jamak. Konstitusi memang menyodorkan syarat bagi diterbitkannya Perpu. Syaratnya adalah harus ada hal-ihwal kegentingan yang memaksa. Tetapi keadaan hukum macam apa yang dapat dikategori hal-ihwal kegentingan yang memaksa? Sampai disini serba tidak jelas. Tidak juga spesifik. Praktis syarat “hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu” sebagaimana dalam pasal 22 UUD 1945 tidak menunjuk satu atau serangkaian keadaan yang spesifik, faktual dan nyata. Keadaan atau hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu bisa bersifat imajiner, setidaknya potensial. Tidak mesti ada secara nyata. Yang penting presiden secara subyektif menganggap – bersifat hipotesis – hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu ada. Nyata-nyata ada atau tidak, itu tidak penting. Tetapi apapun itu, konstitusi mewajibkan Presiden harus menjelaskan level validitas “hal ihwal kegentingan yang memaksa” itu kepada DPR untuk mendapat cap persetujuan. Ini imperative sifatnya. Wajib dan mutlak adanya. Dititik ini manuver politik kedua belah pihak, Presiden dan DPR menemukan relefansinya. Ini bukan soal benar dan salah. Sama sekali bukan. Ini soal keterampilan menundukan, menggoda, membawa lawan ke sudut yang diinginkan. Cermat dan Jernih Penerbitan Perpu itu wewnang Presiden. Wewenang ini jelas diperlukan. Tetapi karena syarat materilnya tidak jelas, maka pada kesempatan lain wewenang ini, kalau tidak arif, tidak bijak, dapat digunakan untuk memperbesar wewenang. Bahkan bisa saja untuk meruntuhkan demokrasi. Itu sebabnya wewenang ini harus dikerangkakan. Setidaknya dipertalikan pada norma non hukum. Norma non hukum itu misalnya kearifan lebih dari sekadarnya. Norma non hukum itu diperlukan karena Presiden, terlepas dari siapapun orangnya. Menyandang nama presiden itu bukan semata-mata hanya karena dipilih. Entah siapa yang mendorongnya, dia dipilih karena dinilai memiliki kemampuan di atas rata-rata calon presiden yang tersedia. Itu sebabnya harus bisa memandu, mengarahkan, mengadaptasikan gagasan yang bekembang ditengah masyarakat dengan nilai-nilai hebat dalam bangsanya. Dalam kasus Perpu KPK. Kian hari kian digemakan oleh beberapa kelompok untuk segera diterbitkan oleh Presiden misalnya. Tidak bisa ditimbang dengan timbangan ya atau tidak. Dapat dimakzulkan atau tidak. Tidak bisa ditimbang dengan jalan fikiran menerbitkan Perpu pembatalan undang-undang KPK sama dengan pro rakyat, dan anti korupsi. Sebaliknya, Presiden tidak menerbitkan Perpu sama dengan pro kepada korupsi. Juga tidak. Pastinya tidak sesederhana itu. Presiden dalam konteks itu perlu memasuki soal-soal berikut. Pertama, yang harus ditimbang oleh Presiden adalah level rasionalitas dibalik suara-suara yang saling menyangkal itu. Level rasionalitas harus dikerangkakan ke dalam kepentingan bernegara secara sehat. Pada level ini Presiden harus tahu bahwa korupsi sedang menggurita di tubuh politik bangsa besar ini. Kemarin KPK menangkap Bupati Lampung Utara, dan beberapa orang dalam urusan suap menyuap. Keberhasilan penangkapan ini berkat penyadapan. Penyadapan kini menjadi salah satu instrumen paling ampuh dalam pertempuran melawan korupsi. Kedua, dalam konteks itu, Presiden perlu menentukan dengan jernih ujung hukum penyadapan. Misalnya, apakah pejabat yang tertangkap tangan menerima suap harus dipidana atau pada kesempatan pertama mengembalikan seluruh uang suap. Tidak sampai disitu saja. Pejabat tersebut serta-merta diberhentikan dari jabatan, dan wajib melakukan kerja sosial, tanpa harus dipidana. Ketiga, apa argumentasi demokrasi dibalik status KPK sebagai organ non pemerintah? Dan KPK berada diluar wewenang Presiden untuk mengaturnya? Presiden juga perlu tahu bahwa demokrasi tidak memungkinkannya. Mengurangi demokrasi demi pemberantasan korupsi, bukan tak bisa. Tetapi Presiden perlu memasuki sejarah pemberantasan korupsi lebih dalam. Sejarah menunjukan dengan ketepatan tak diragukan bahwa korupsi juga dipakai sebagai senjata untuk mematikan lawan politik. Tidak mungkin cara seperti ini dinilai sebagai cara yang masuk akal. Sebab ini sama dengan memperbesar skala korupsi. Dalam kenyataannya, tidak ada keadaan yang menunjukan telah terjadi kekosongan hukum dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Semua hukum pemberantasan korupsi positi berlaku. Organ pemberantasan korupsi seperti KPK, Polisi dan Jaksa tetap saja eksis. Undang-undang KPK perubahan, sejauh ini, sama-sekali tidak menghapuskan wewenang penyidikan oleh KPK. Izin penyadapan juga sama sekali tidak dapat dianalogkan sebagai telah penghapusan wewenang KPK untuk melakukan penyadapan. Tidak seperti itu. Dengan demikian, tidak tersedia alasan secara materil untuk Presiden penerbitan Perpu. Lebih dari semua itu, Presiden harus lebih jernih mengenal fenomena demontrasi. Demo kini terlihat mulai diandalkan sebagai sarana untuk menciptakan kondisi hal-ihwal kegentingan yang memaksa. Sebagai jalan yang sah menggerakan wewenang Presiden untuk penerbitan Perpu. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh DPRD, diterbitkan setelah Presiden didemo. Cukup ramai demonstrasi diberbagai daerah agar Gubernur, Bupati dan Walikota tetap dipilih secara lansung. Macam-macam argumennya ketika itu. Harus Peka Begitukah pemerintahan yang demokratis dan berdasar hukum dikelola Pak Presiden? Pasti bukan begitu. Malah tidak juga seperti itu. Fenomena demo sebagai mesin penyedia hal-ihwal kegentingan yang memaksa, justru bisa memukul mundur, bahkan menenggelamkan demokrasi. Memang suara Perpu KPK kali ini datang dari mahasiswa, dan beberapa kelompok di luar kekuasaan. Tetapi bagaimana bila, misalnya suatu saat Presiden memiliki gagasan tertentu. Tetapi pengoperasianya memerlukan legalisasi hokum. Sementara hukum yang diperlukan itu belum tersedia? Bagaimana pula bila, dengan cara yang rumit, seperti demo dipakai untuk menyediakan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Padahal terdapat target tersembunyi dibalik gagasan itu. Misalnya memperbesar, dalam arti menambah wewenang Presiden? Bahaya, tentu saja. Pendukung demokrasi, bila mungkin, dapat menyusuri lorong-lorong sejarah politik yang menyediakan begitu banyak fakta perubahan pemerintahan demokratis ke fasis. Adolf Hitler memasuki kekuasaan, yang kelak menghebohkan dunia. Tidak melalui kudeta. Hitler memasuki kekuasaan melalui pemilu. Kepopulerannya membawa dirinya memasuki kekuasaan. Tokoh-tokoh politik melihat dirinya sebagai alternatif pemecahan situasi pelik. Diam-diam tokoh-tokoh yang telah frustrasi terhadap keadaan faktual, membangun keyakinan bahwa situasi rumit seperti ini hanya dapat dipecahkan, dengan cara memunculkan seseorang yang memiliki popularitas sanagat tinggi. Hitler masuk kategori itu. Diam-diam mereka, para tokoh ini berharap jangka waktu dalam dua tiga bulan Hitler bisa dikendalikan. Hitler dapat dibawa ke sudut yang mereka rancang. Nyatanya tidak bisa. Hitler tidak bisa dikendalikan, dan dituntun ke rencana mereka. Apa yang terjadi sesudahnya? Jerman terjerembab ke dalam fasisme. Demokrasi jadi hancur berantakan. Demokrasi sama sekali bukan soal mayoritas. Demokrasi itu soal keadilan, soal membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan hukum yang beradab. Yang memiliki daya dorong membuat kekuasaan mengerti harkat dan martabat manusia. Tidak lebih dari itu. Demokrasi bukan soal suara nyaring, yang memekik telinga. Bukan. Bahaya betul bila demokrasi dipertalikan hanya pada suara nyaring. Venezuela jatuh ke krisis berkepanjangan yang semakin sulit menemukan jalan keluarnya hingga saat ini. Karena mempertalikan demokrasi hanya pada suara nyaring. Chaves dengan Chavistanya menelurkan referendum mengubah konstitusi. Berhasil. Konstitusi diubah. Chaves dengan konstitusi barunya itu memiliki kesempatan maju lagi sebagai calon presiden. Tetapi referendum itu teridentifikasi berjarak sangat jauh dari jujur. Seperti biasa hasilnya tetap diterima. Demokrasi mengharuskannya. Dan konstitusipun diubah. Chaves dapat mencalonkan diri lagi. Apa yang terjadi sesudahnya? Venezuela jatuh semakin dalam ke berbagai krisis hingga saat ini. Nicolas Maduro, penerus Chaves pun, masih terlilit dengan masalah, terutama ekonomi yang diwariskan Chaves. Apa point pentingnya? Sarana konstitusi dan demokrasi, selalu mungkin bisa dimanipulasi. Apalagi “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai dasar legal penerbitan Perpu sangat elastis. Demokrasi dan hukum bukan tanpa cacat, walau cacatnya tidak mudah untuk dikenali. Tetapi bukan tak bisa dikenali. Membangun negara berdasarkan suara nyaring ditengah masyarakat, dalam kasus-kasus di atas, jelas mengandung bahaya. Mayoritas berdasarkan suara-suara yangterekspos, tidak selamanya berbuah kebaikan. Venezuela tak sendirian dalam kasus ini. Chilie pada masa Alende misalnya, juga mengalami hal yang sama. Pemerintahan sosialisnya, dengan demokrasi relatifnya menemui kebangkrutan karena didemo sepanjang hari. Alende dituduh menyemai dan menyebarkan komunisme. Anak-anak yang lahir, menurut propaganda oposisi, akan dijauhkan dari agama. Ibu-ibu termakan propaganda itu. Sebagian rakyat lalu menandai pemerintahan Alende sebagai monster. Alende tidak boleh dibiarkan terus memerintah Chilie. Pemerintahannya harus diakhiri. Demonstrasi tak berkesudahan dipanggil untuk memasuki arena politik menantang Alende. Demonstrasi baru berakhir setelah Alende tertembak di Istana kepresidenan. Jenderal Pinochet, seorang militer, kabarnya mendapat lampu hijau dari Amerika. Entah menjadi komponen utama dalam oposisi itu atau tidak, namun Pinochet memasuki kekuasaan. Pinochet diangkat menjadi presiden menggantikan Alende. Demokrasi bangkrut, dan berakhir dengan pahit. DPR, saya cukup yakin sangat mengetahui betul bagaimana suara-suara nyaring yang menggema di pertengahan tahun 1959. Hasilnya adalah Dekrit Presiden. Suara-suara nyaring juga menggema pada tahun 1966. Hasilnya relatif sama. Indonesia pun terkapar didasar demokrasi. Kondisi seperti tahun 1959 dan 1966 itukah yang diimpikan bangsa saat ini? DPR tidak usah memanggil pemakzulan. Tetapi perlu membunyikan alarm lain. Tentu saja politis, agar Perpu tidak tersaji sebagai hal yang biasa. DPR juga harus mengasah kepekaannya. DPR harus dapat memberi kepastian bahwa Presiden tidak mengandalkan wewenang istimewasnya itu dalam mengelola negara. Toh UUD 1945 telah membekali Presiden dalam urusan mengatur negara. Misalnya, dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden. Betul wewenang ini diperlukan. Tetapi sesuai sifatnya, wewenang tersebut harus digunakan dan dikerangkakan pada keadaan yang sungguh-sungguh memerlukannya. Kedaan yang sungguh-sungguh memerlukan itu, dapat diukur berdasarkan praktik bernegara yang masuk akal. Pada kondisi yang masuk akal itulah Presiden perlu memecahkannya, dengan cara memasuki gudang wewenang istimewanya, yaitu dengan menerbitkan Perpu. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

UU Contempt of Court Tidak Hanya Melindungi Hakim

Jakarta, FNN - Para hakim saat ini sangat memerlukan lahirnya undang-undang tentang Contempt of Court. Walaupun demikian, kehadiran undang-undang tentang Contempt of Court bukan hanya bertujuan memberikan perlindungan kepada para hakim semata. Lebih dari itu, undang-undang ini juga dimaksudkan untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan dengan tegaknya keadilan. Karena keadilan adalah kebutuhan hidup masyarakat bangsa Kepala Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Dr. Hasbi Hasan menyampaikan hal tersebut dalam sesi sambutan Pembukaan Desiminasi Hasil Riset Tentang Contempt of Court oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung di Surabaya pada Kamis, (03/10). Kegiatan Desiminasi hasil riset Litbang Mahkamah Agung merupakan kerja sama antara Puslitbang Mahkamah Agung dengan Fakuktas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Desiminasi ini sebagai tindak lanjut dari penandatangan Memorandum of Understading (MoU) antara Puslitbang Mahkamah Agung dan Fakultas Hukum Unair sebelumnya. Kegiatan Desiminasi ini menghadirkan beberapa pakar sebagai narasumber. Mereka para pakar tersebut, baik yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung maupun Fakultas Hukum Unair. Para pakar menyampaikan berbagai pandangan dan gagasan tentang perlunya undang-undang tentang Contempt of Court Pada kesempatan tersebut Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, Guru Besar Fakultas Hukum Unair yang tampil sebagai narasumber. Beliau menegaskan bahwa sangat penting bagi pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Contempt of Court. “Walaupun demikian, draf RUU tentang Contemp of Court yang ada saat ini masih perlu beberapa perbaikan dan revisi. Sebelum disahkan menjadi undang-undang, sebaiknya diperbaiki lagi. Sebab masih terdapat rumusan pasal-pasal yang tidak konsisten antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lain, “ujar Didik Endro Purwoleksono Sementara itu Dr. Maraudin Naenggolan dan Dr. Andriani Nurdin yang merupakan narasumber internal dari Mahkamah Agung, pada kesempatan tersebut, lebih menekankan pentingnya undang-undang tentang Contempt of Court untuk menjaga keseimbangan hak dari para pihak. Sebab menyerang salah satu pihak dalam proses persidangan di pengadilan bukan saja bentuk pelanggaran. Namun juga sebagai bentuk menciderai rasa keadilan pihak lain. "Oleh karena itu, hadirnya undang-undang tentang Contempt of Court ini sebagai bentuk perlundungan yang seimbang bagi para pihak. Bukan saja untuk melindungi hakim, tetapi para pihak yang terlibat di persidangan. Selian hakim dan panitra, juga ada jaksa, dan terdakwa. Selain itu untuk melidungi penggugat maupun tergugat, serta para saksi. Selanjutnya, kedua narasumber ini lebih menekankan pada pengalaman mereka sebagai hakim. Baik Dr. Maraudin Naenggolan maupun Dr. Andriani Nurdin sering mengalami ancaman dari pihak-pihak yang merasa diri paling benar. Ancaman tersebut, baik dalam proses persidangan, maupun pada tahapan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Pembicara lainnya adalah Dr. Lilik Mulyadi yang merupakan koordinator tim riset dari Litbang Mahkamah Agung tentang Contempt of Court. Dia menyebutkan bahwa dari hasil riset yang dilakukan, hampir 85% responden menghendaki adanya undang-undang tentang Contempt of Court. Kehadiran dan keberadaan undang-undang ini sudah sangat mendesak untuk saat ini. Lebih lanjut Dr. Lilik Mulyadi menyebutkan bahwa, Berdasarkan pengalaman di negara-negara maju, undang-undang tentang Contempt of Court hadir sebagai bentuk perlindungan bagi terwujudnya independensi peradilan. Bahwa menjaga independensi peradilan adalah wujud dari penjagaan terhadap terwujudnya rasa keadilan. “Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia harus memiliki undang-undang tentang Contempt of Court. Kehadiran undang-undang tentang Contempt of Court tidak hanya melindungi institusi peradilan saja. Namun juga melindungi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan. Misalnya polisi, jaksa, hakim dan masyarakat pencari keadilan, “ujar Lilik Mulyadi. (Lohy)

Anjing Penggonggong Istana dan Pak Jenderal Moeldoko

Dua skandal terakhir, hasil karya para penggonggong ini, tentu saja menjadi bagian dari upaya membela Jokowi. Mereka sekaligus juga membusukkan lawan politiknya Jokowi. Sekali lagi, mereka tidak peduli walau harus menebar, memproduksi ujaran kebencian, hoax, dan fitnah. Kendati yang difitnah adalah anak-anak STM sekalipun! Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membuat pernyataan jujur dan mengejutkan. Dia bilang, istana tidak lagi memerlukan buzzer alias para penggonggong. Pada bagian lain, pensiunan jenderal bintang empat ini mengaku sudah menemui sejumlah buzzer. Karena menggonggong adalah perilaku anjing, jadi saya menyebut mereka, maaf, para anjing penggonggong berpengaruh. Disebut berpengaruh karena para binatang, eh manusia ini punya banyak follower di akun media social (medsos) masing-masing. Pada pertemuan tersebut, Moeldoko mengaku sudah meminta para buzzer Jokowi bersifat lebih dewasa. Mereka juga diminta tidak emosional ketika merespons sesuatu hal. Namun, katanya lagi, terkadang imbauan tadi sulit dipraktikkan karena sudah terpolarisasi sejak Pilpres lalu. Sampai di sini kita menghargai kejujuran Moeldoko soal para penggonggong. Namun aksi 'lempar handuk' ala Moeldoko terhadap sepak terbang para penggonggong Istana jelas menggelikan. Dia pikir rakyat NKRI terlalu dungu sehingga bisa dikibulin dan percaya dengan dalih yang dia sodorkan. Lain halnya jika mantan Panglima TNI ini bicara dengan anak-anak TK. Mungkin saja mereka dipercaya. Sulit Menampik Bukti Istana kian kerepotan menampik keberadaan dan polah para penggonggong. Terbitnya laporan penelitian karya Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford benar-benar membungkam Istana. Laporan seru itu membuat istana seperti kena sariawan. Bertajuk ' The Global Disinformation Order. 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation' atau ' Orde Disinformasi Global. Kira-kira Indonesianya begini “Informasi Global tentang Manipulasi Media Sosial Terorganisir 2019”. Sejatinya banyak pihak yang jauh-jauh hari sudah menduga kalau Istana memelihara banyak anjing penggonggong. Diduga jumlahnya bisa ratusan, bahkan mungkin juga ribuan. Masing masing dari mereka punya akun yang puluhan sampai ratusan. Ciri utama para penggonggong itu adalah, memuji-muji Jokowi setinggi langit. Jokowi seperti seorang dewa yang tanpa cela di mata mereka. Pada saat yang sama, mereka beramai-ramai membantai lawan politik Presiden dan atau pengeritiknya tanpa ampun. Untuk keperluan memenuhio syahwatnya itu, anjing-anjing penggonggong tidak segan-segan menebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax. Aksi tebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax mereka lakukan dengan sangat massif dan berkelanjutan. Sambung-menyambung, tak ada henti-hentinya. Mereka terus-menerus membantai lawan Jokoiwi itu sampai ada perintah berhenti dari komandan atau yang mereka sebut sebagai 'kakak pembina'. Itulah sebabnya banyak kalangan menilai anjing-anjing penggonggong tersebut sudah pada tingkatan merusak demokrasi. Dua teranyar para buzzer tadi adalah penyebaran hoax dan fitnah terhadap ambulans milik Pemprov DKI Jakarta. Mereka mengatakan ambulans milik Pemda DKI Jakarta membawa batu dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung MPR/DPR. Fitnah dan hoax lainnya adalah, tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM yang seolah-olah mereka dijanjikan bayaran pihak tertentu. Namun setelah ditelusuri, ternyata nomor-nomor telepon di grup itu diduga milik anggota Polri. Salah satu nomor telepon di grup WA itu punya tagihan bulanan hingga Rp 4 juta lebih. Ngomong-ngomong, anak STM mana yang punya tagihan telepon Rp 4 juta lebih sebulan, ya? Dua skandal terakhir, hasil karya para penggonggong ini, tentu saja menjadi bagian dari upaya membela Jokowi. Mereka sekaligus juga membusukkan lawan politiknya Jokowi. Sekali lagi, mereka tidak peduli walau harus menebar, memproduksi ujaran kebencian, hoax, dan fitnah. Kendati yang difitnah adalah anak-anak STM sekalipun! Tokoh nasional dan juga begawan ekonomi Rizal Ramli adalah satu diantara yang sangat terganggu dengan keberadaan para buzzer Istana ini. September tahun silam dia bahkan sudah mengingatkan agar Jokowi. Harapannya agar Jokowi menghentikan atau setidaknya menertibkan para buzzernya. Menurut RR, begitu Rizal Ramli biasa disapa, apa yang dilakukan para penggonggong benar-benar merusak demokrasi. Demokrasi yang seharusnya membuka ruang bagi perbedaan pendapat. Sayangnya, di tangan Jokowi dan para penggonggongnya, domokrasi berubah jadi merusak dan menghancurkan. Menyimpan Bangkai Tentu saja, Istana (terpaksa) bolak-balik membantah tudingan tadi. Bahkan dengan mimik tanpa dosa, Jokowi meminta rakyat Indonesia agar tidak membuat dan menyebar hoax. Dia juga mengimbau rakyat tidak termakan hoax yang beredar di dunia maya. Tidak sampai di situ, Polisi juga gencar meneriakkan buruknya hoax. Aparat berseragam cokelat yang sering dijuluki para demonstran dengan wercok alias wereng coklat ini, rajin menangkapi pegiat medsos yang dianggap menebar hoax dan atau ujaran kebencian. Katanya dalam rangka menegakkan hukan dan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, berkali-kali orang-orang yang dicokok Polisi adalah mereka yang kritis terhadap rezim berkuasa. Sementara para penggonggong yang justru terbukti jauh lebih aktif dan massif menebar hoax, fitnah, dan ujaran kebencian tetap aman sejahtera sentosa. Serapi-rapinya menutupi bangkai akhirnya akan tercium juga baunya. Begitu kata pepatah bijak orang tua-tua di kompong. Hal ini pula yang terjadi dengan fenomena anjing-anjing penggonggong Istana. Pernyataan Moeldoko bahwa Istana sudah tidak membutuhkan para buzzer adalah konfirmasi yang sangat sempurna atas sinyalemen dan kritik banyak pihak seputar para anjing penggonggong ini. Suka tidak suka, pernyataan Moeldoko mengkonfirmasi beberapa hal, antara lain: Pertama, selama ini Istana punya dan memelihara para anjing penggonggong. Kedua, selama ini Istana bisa dan biasa memfitnah serta menebar kebencian. Memfitnah dan memproduksi hoax lewat para anjing penggonggongnya rupanya merupakan hal biasa bagi Istana. Ketiga, selama ini Istana terbukti menjadi raja munafik negeri ini. Sibuk berteriak-teriak agar rakyat jangan ikut-ikutan menebar hoax dan fitnah di medsos. Ternyata justru Istana adalah produsen dan penyebar hoax yang paling sempurna. Keempat, selama ini Polisi berlagak budek dan picek kalau menyangkut para anjing penggonggong Istana. Walau mereka menebar fitnah dan hoax, walau sudah dilaporkan, tetap sama sekali tidak disentuh oleh hukum. Mereka seperti mendapatkan perlindungan. Penolakan polisi memproses laporan terhadap Denny Siregar yang menebar fitnah terhadap ambulans milik Pemprov DKI adalah contoh nyata. Semakin sempurna juga wercok menjadi bagian dari penjaga dan pelindung anjung penggonggong buzzur demi kekuasaan. Kelima, Permadi Arya, Denny Siregar, Eko Kunthadi, MoertadhoOne, Seword, dan masih banyak yang lain adalah sedikit contoh dari anjing-anjing penggonggong Istana yang kebal hokum. Mereka sangat kebal hukum di eranya rezim Jokowi. Keenam, pasal-pasal karet undang-undang ITE yang sangar dan sadis itu, menjadi omong kosong. Saat berhadapan dengan para anjing penggonggong Istana undang-undang ITE menjadi macan ompong. Undang-undang ITE hanya ajam ke oposan dan para pengritik rezim.. Ketujuh, Istana menganut prinsip habis manis sepah dibuang. Ucapan Moeldoko dengan sangat terang-benderang bisa dimaknai sebagai 'kini saatnya membuang para anjing penggonggong.' Kedelepan, anjing-anjing penggonggong kini (sebentar lagi) jadi pengangguran. Mereka tidak bisa makan karena uang gonggongan dihentikan. Kesembilan, ini pon yang tak kalah penting, yaitu rasain luh!!! Penulis adalah Wartawan Senior

Koalisi Jokowi-Prabowo Subianto dan Gagasan Negara Kuat!

Jika membaca pandangan dan hati nurani Presiden Joko Widodo maupun Jenderal Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa ini, sebenarnya mau menunjukkan ada optimisme dibalik tekanan liberal. Bahwa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik negara lain. Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Presiden Terpilih Joko Widodo dalam Visi Indoensia 2019-2024 menyatakan bahwa Indoneia menjadi negara terkuat di dunia. “Kita harus optimistis menatap masa depan. Kita juga harus percaya diri dan berani menghadapi tantangan kompetisi global. Kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia”. Visi negara kuat sebagaimana disampaikan dalam Visi Indonesia tersebut, sebenarnya telah diutarakan dalam berbagai kesempatan. Terutama ketika penyampaian visi misi calon Presiden Republik Indonesia, baik oleh Joko Widodo maupun Prabowo Subianto saat debat pertama 17 Januari 2019. Visi yang sama juga disampaikan lagi di debat ke empat 30 Maret 2019 dan pada berbagai kesempatan dengan berbagai penekanan. “Negara kuat jika alutsista maupun keamanan dalam negeri kuat. Pentingnya negara yang kuat. Negara kuat jika institusi atau lembaga negara kuat. Demikian pula harus ditunjang dengan pengelola negara yang professional, bersih dan berwibawa”. “Bangsa yang kuat, mandiri, berdaulat akan dihargai dan dihormati bangsa-bangsa lain termasuk dalam diplomasi”. “Negara yang kuat jika memiliki TNI yang kuat. Didukung dengan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alustista) yang kuat dan modern. Dampaknya kita akan disegani oleh bangsa lain”. “Keamanan dalam negeri terpelihara jika institusi Kepolisian Negara yang kuat”. “Rakyat mendapat keadilan dihadapan hukum, jika institusi Kepolisian terpercaya. Kepolisian yang bekerja secara independen, profesional, moderen, sejahtera”. Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) harus kenyang, sehat dan pintar. Akibatnya, aparat penegak hokum akan profesional, objektif dan imparsial dalam menegakan hukum”. Kalimat pajang tersebut di atas merupakan ringkasan dari sederet ungkapan ide, gagasan Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Niat besar mereka berdua untuk membawa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat. Indonesia yang akan menjadi pemenang, dan keluar dari negara yang terancam gagal (falls of nations). Fals of Nation (Negara Gagal)”. Buku karangan Daren Acemoglu seorang ilmuan Amerika keturunan Turki. Inti dari buku Negara Gagal tersebut berkesimpulan bahwa “Negara Gagal karena sumber daya alam dikuasai oleh sekelompok kecil oligarki. Sementara kebijakan politik dan hukum negara berorientasi untuk memperkuat kepentingan sekelompok kecil oligarki ekonomi dan politik tersebut”. Sehebat-hebatnya membangun untuk mengejar ketertinggalan negara lain, tetapi tetap saja menjadi negara miskin dan gagal. Kita perlu belajar, sebagaimana kesenjangan (gap) antara Amerika Serikat dengan Meksiko, Korea Utara dengan Korea Selatan, Jerman Barat dan Jerman Timur. Mexico, Korea Utara, dan Jerman Timur memiliki infrastruktur yang sama dengan Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jerman Barat. Namun label sebagai negara gagal tetap melekat di Meksiko, Korea Utara dan Jerman Timur sebelum reunifikasi. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada periode ke-2 (2019-2024) memperioritaskan pembangunan pada sumber daya manusia sudah sangat tepat. Memang benar, apapun yang dilakukan pemimpin bangsa ini tentu mempertimbangkan “kepentingan inti negara Indonesia” (core of national interest). Sesungguhnya negara yang maju dan berkembang berada pada penguatan hukum untuk mengatur ketertiban, keamanan dan rasa keadilan bagi rakyat”. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai lembaga penegak hukum yang berada beranda di depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) tentu menjadi pilar terpenting bagi negara ini. Jika membaca pandangan dan hati nurani Presiden Joko Widodo maupun Jenderal Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa ini, sebenarnya mau menunjukkan ada optimisme dibalik tekanan liberal. Bahwa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik negara lain. Akibatnya adalah negara makin tidak berwibawa. Disebabkan oleh perilaku kurang elok seperti kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela, memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan yang justru dilakukan oleh orang-orang yang melingkari istana. Semua ini dilakukan oleh pusat kekuasaan negara sejak jaman orde baru, dan berlangsung hingga saat ini. Visi Indonesia yang disampaikan oleh Joko Widodo sudah mulai membuka kran demokrasi untuk tidak akan menyandera pilar-pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamain dan keadilan. Upaya ke arah melalui instrumen demokrasi, yaitu partai politik, media massa, lembaga penegak hukum. Bangsa ini tidak boleh mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan landasan idil. Pada periode kedua nanti, pemerintahan mesti berkomitmen agar rakyat bisa artikulasikan keinginan, rintian, ratapan, penderitaan. Begitu juga dengan kebebasan ekspresi, pendapat, pikiran dan perasaan harus mendapat yang seluas-luasnya. Untuk menjaga kebebasan sipil terpelihara, maka pucuk pimpinan lembaga yang menangani bidang politik, hukum dan hak asasi manusia haruslah dipercayakan kepada orang yang professional, tetapi juga demokratis. Dirahapkan pada masa yang akan datang, pemimpin negara tentu bukan tipe pemimpin yang suka berdebat. Bukan pula tipe yang suka berwacana.Bangsa ini sangat beruntung, seandainya Prabowo dan Jokowi berkoalisi, maka dua pemimpin yang kuat menyatu untuk membangun bangsa dan negara. Kita berharap kedua pemimpin akan mampu membangun bangsa. Berbudaya literasi dengan tidak bermain kata-kata gimik atau bahkan menyerang pribadi lawan politik. Berdiam tidak berarti apatis terhadap Negara. Berdiam bisa saja sembari mengarahkan pemerintah berkerja sungguh-sungguh demi rakyat, bangsa dan negara. Harus dipahami bahwa situasi saat ini telah menyebabkan kerusakan fundamental. Juga soal integrasi sosial dan ancaman integrasi nasional. Dengan demikian, membangun kekuatan bersama untuk pemantapan integrasi sosial dan politik bukan penting, namun sangat dibutuhkan saat ini. Kebhinekaan bangsa dalam kurun waktu lima tahun lalu berada di titik nadir. Pondaasi dan bangunan sosial terancam pecah karena ketidakharmonisan dan fragmentasi antar horisontal juga vertikal. Rasisme, diskriminasi, dan kekerasan verbal yang didorong atas rasa kebencian suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Pendatang dan pribumi adalah kosa kata yang saban hari menghiasi media massa, media sosial, media maintream dan juga dalam komunikasi interpersonal. Sewaktu-waktu, pada pangung resmi, baik di media, seminar, dan berbagai tempat pemerintah seringkali menyampaikan bahwa kebinekaan Indonesia adalah suatu wahyu. Titah yang tertulis sebagai adagium persatuan dan kesatuan, kebinekaan bangsa sudah final dan mengikat du sanubari tiap orang. Menjamurnya beraneka etnik, ras, budaya harus diterima sebagai kondisi kekinian. Realitas bangsa, bahkan keanekaragaman adalah suatu niscaya. Semua terlindung dalam konstitusi negara dan landasan ideologi Pancasila. Itulah inti negara kuat karena fondasinya bersatu padu dalam beraneka. Negara harus memastikan bahwa rakyat tidak terlalu terjebak dalam sektarianisme. Eksklusivisme yang naïf, bahkan chauvinistik seakan-akan ada yang mengklaim sebagai pemilik negeri ini. Klaim diri sebagai pahlawan, nasionalis, bahkan bahkan personifikasi diri sebagai nasionalis. Sedangkan suku bangsa lain di nusantara, terutama kaum minoritas lain dianggap bukan pejuang dan pahlawan bagi bangsa ini. Monopoli kebenaran seperti harusnya sudah tidak ada lagi. Membangun bangsa dengan tanggung renteng untuk memantapkan bangsa yang kuat. Barangkali tidak lupa bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilakukan secara sporadis. Berjuang juga sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing. Hanyan saja tujuan perjuangan tetap sama, yaitu mengusir penjajah dari bumi Nusantara . Diponegoro tidak pernah memimpin perang dari Sabang sampai Merauke. Tetapi Diponegoto hanya wilayah Jawa Tengah. Laksamana Malahayati berjuang hanya di Aceh. Sisingamangaraja berjuang di Tanah Batak. Demikian pula pahlawan Patimura hanya di Maluku. Semua memiliki keinginan yang sama, yaitu Indonesia lepas dari belenggu penjajah. Presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto paham sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan semua orang. Kemerdekaan diraih karena adanya kontribusi juga oleh tujuh orang pahlawan keturunan Cina, yaitu Jhon Lie, Koen Hian yang menjadi anggota BPUPKI. Ada juga dari keturunan Arab, yaitu Rasyid Baswedan. Bahkan ada juga keturunan barat Belanda yang kita sebut penjajah seperti "Ijon Jambi" tokoh yang mendirikan Kopassus. Pahlawan besar beragama Katolik di Jawa Tengah tidak bisa diragukan lagi. Aada nama-nama besar seperti Jos Sudarso, Adi Sutjipto, Adi Marmo, Slamet Riyadi, I.J Kasimo. Kalau demikian, apakah kita harus menafikan nama dan peran mereka dalam eksistensi republik ini?. Tentu saja tidak, karena bangsa ini terikat dalam adagium unitarianisme, yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Cara pandang tentang kebangsaan ini tercermin pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Itulah ide, gagasan dan harapan Indonesia negara kuat. Negara kuat dalam pemeintahan Presiden Joko Widodo dan Maruf Amin 2019-2024 yang saya pahami dan analisis. Rakyat silahkan ikut memberi dukungan tanpa mengoreksi untuk mengisi ruang-ruang kosong yang tidak diisi Negara. Kita jangan lupa bahwa dunia sedang mengalami perubahan (progress). Bukan kemunduran (regress). Kita bisa berubah, jika ada hasrat untuk berubah (willingness to change). Penulis adalah Pemerhati Orang Kecil dan Kemanusiaan

Joe Paloh

Oleh Dahlan Iskan Jakarta, FNN - Tulisan ini tertunda terus. Setiap kali akan muncul di DI’s Way tergeser oleh kejadian baru. Tapi Joe Biden kini hot kembali. Ditambah salaman Srimulat-nya Megawati. Maka --meski beberapa orang sudah dapat bocorannya-- kisah ini sayang dilewatkan: Mereka berpasangan secara serasi. Dua periode. Delapan tahun. Namun, begitu tidak menjabat, keduanya tidak pernah berhubungan. Via WA sekali pun. Itulah Barack Obama dan Joe Biden. Presiden ke-44 Amerika dan wakilnya. Masing-masing hanya memendam dugaan: kenapa mereka tidak bisa saling bertemu. Di awal bulan ketujuh masa pensiunnya, Joe duduk-duduk di dalam rumahnya. Yang halaman belakangnya khas rumah orang kaya Amerika: luas sekali. Dengan hamparan rumput dan pepohonan. Itu malam hari. Di luar sudah gelap. Khususnya di halaman belakang itu. Tapi Joe masih bisa melihat ada sesuatu yang mencurigakan. Ada korek api menyala. Di halaman belakang itu. Agak di kejauhan. Di balik pepohonan sana. Di Amerika berlaku peraturan: setelah pensiun enam bulan mantan wapres tidak lagi mendapat pengawalan. Karena itu Joe harus lebih waspada. Pun malam itu. Joe curiga. Mengapa ada orang di halaman belakang. Ia bergegas ke kamar tidurnya. Membuka laci di sebelah ranjangnya: ada senjata dan pistol di situ. Juga tersimpan medali tertinggi yang pernah diterimanya. Penghargaan dari negara. Ia ambil pistol itu. Ia slempitkan di balik jasnya. Ia ajak serta anjingnya. Ke halaman belakang. Jalannya pelan. Langkahnya hati-hati. Saat membeli pistol itu Joe ditegur istrinya: untuk apa? Kan sudah punya senjata? Waktu itu Joe tidak bisa menjawab. Malam inilah jawabnya. Begitu melewati pintu belakang Joe merasa aneh. Mencium bau rokok. Yang aromanya seperti pernah ia cium. Ia pun melewati beberapa pohon. Sambil berlindung di baliknya. Aroma rokok yang sama kian kuat. Kian dekat ke pohon itu kian keras aroma rokoknya. Kian kenal pula aroma rokok apakah itu. Dan siapa yang biasa mengisap rokok seperti itu. Barack Obama. Joe pun terbatuk kecil. Lalu menegurkan suaranya ke arah aroma itu. "Kok sekarang merokok lagi?" "Kalau lagi rindu sahabatnya saja." "Kenapa mencurigakan begini?" Barack hanya membisikkan jawabannya. Sangat rahasia. Intinya malam itu Barack ingin membisikkan kabar duka yang mencurigakan: teman baik Joe baru saja meninggal. Ditabrak Amtrak. Kereta api jurusan Delaware-Washington DC. Yang misterius: Di meja kerja korban ditemukan peta. Menunjuk ke alamat Joe. Ini bisa krusial. Korban ditengarai bunuh diri. Atau fly oleh obat bius. Atau dibunuh jaringan perdagangan narkotik. Atau ada motif politik. Pokoknya ia mati tidak wajar. "Joe, hati-hatilah. Anda bisa dikait-kaitkan." Apalagi, si korban memang kenal baik dengan Joe. Meskipun pekerjaan sang korban hanya kondektur Amtrak. Itu karena Joe selalu naik Amtrak. Belasan tahun. Joe adalah pelanggan setia Amtrak. Yakni saat Joe jadi anggota DPR. Selama 15 tahun. Jurusannya pun tetap. Jamnya tetap. Dari rumahnya di Delaware ke gedung DPR di Washington DC. Satu jam perjalanan. Nyaris tiap hari. Siapa pun di stasiun Delaware kenal Joe. Apalagi kondektur. Kelak, setelah Joe jadi wapres, stasiun itu diberi nama ”Stasiun Amtrak Joe Biden”. Setelah perokok itu pergi, Joe bertekad ingin menyelidiki sendiri: mengapa kondektur itu tewas. Toh ia sudah tidak banyak kesibukan. Rasanya tidak mungkin bunuh diri. Orangnya baik. Dan lagi sudah hampir pensiun dari Amtrak. Joe ingin merasakan jadi seperti detektif swasta. Ingin membongkar misteri kematian kondektur itu. Barack membantu sepenuhnya. Termasuk paspampres yang masih melekat mendampinginya. Yang untuk mantan presiden tidak ada batasan enam bulan. Keduanya pun terlibat lika-liku penyelidikan. Sampai menyamar tidur di motel murahan. Juga sampai ngebut. Untuk mengejar motor besar yang mencurigakan. Joe yang pegang kemudi. Sampai tergelincir ke sawah. Barack yang mendampingi. Singkat cerita, Joe berhasil. Pembunuhan itu terbongkar. Satu jaringan perdagangan obat bius terungkap. Salah satunya tokoh polisi di Delaware. Yang amat ia percaya. Di akhir cerita terjadi tembak-tembakan. Barack sampai tiarap di atas aspal. Si polisi jahat menembak Joe. Yang ditembak pun roboh. Tubuhnya ambruk ke tubuh Barack. Wah, Joe tertembak. Barack melihat sendiri peluru mengenai dadanya. Pasti Joe tewas. Begitu pikir Barack. Ternyata Joe tidak apa-apa. Justru sang polisi yang roboh. Joe sempat menembaknya lebih cepat. Lho tadi kan peluru mengenai dadanya. Kenapa tidak berdarah? Joe merogoh saku atas di bajunya. Mengeluarkan tanda jasa tertinggi yang ia kantongi. Medali itu penyok. Kena peluru. Hollywood banget. Kisah itu memang fiksi. 100 persen fiksi. Ditulis dalam wujud sebuah novel. Judulnya: Hope Never Dies. Yang baru selesai saya baca seminggu sebelum menulis ini. Itulah sebuah novel laris di Amerika. Penulisnya Anda sudah tahu: Andrew Shaffer. Penulis cerita film Hollywood ”Fifty Shades of Grey” itu. Yang di Indonesia sangat terkenal filmnya. Shaffer juga menulis buku lainnya seperti ”Yoga-Philosophy for Every One, Bending Mind and Body”. Saya nyaris tidak bisa berhenti membaca novel ”Hope” itu. Tokoh-tokohnya begitu akrab di benak kita. Karakter tokohnya pun mencerminkan karakter Barack yang kita kenal. Dengan intelektualitasnya. Dengan flamboyannya. Dengan humor-humor tingkat tingginya. Demikian juga karakter Joe yang kita kenal. Terasa sekali tercermin di novel itu. Juga dengan keseniorannya. Dan humor tingkat tingginya. Tercermin juga betapa serasi pasangan itu. Betapa sudah seperti keluarga. Meski yang satu kulit putih dan satunya kulit hitam. Di akhir cerita baru diungkap: mengapa keduanya tidak saling kontak selama enam bulan terakhir. Kata Joe pada Obama: saya tidak berani kontak, saya khawatir mengganggu Anda. Joe melihat Barack begitu sibuk keliling dunia. Bersama tokoh-tokoh muda. Barangkali Barack tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang tua seperti dirinya. ”Umur saya kan sudah 76 tahun.” Sedang Barack mengatakan kepada Joe begini: ”Joe, saya kira Engkau sengaja menjauhi saya. Saya jadi sungkan mengontak Anda.” Kok menjauhi? ”Siapa tahu Engkau akan mencalonkan diri sebagai presiden. Yang harus menghindari bayang-bayang Barack.” Sekali lagi itu novel. Fiksi. Yang ternyata benar hanyalah: Joe akhirnya memang mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk Pilpres 2020. Melawan incumbent Donald Trump. Tua lawan tua. Tapi kan tidak ada lagi istilah orang tua sekarang ini. Sejak Mahathir Mohamad terpilih sebagai perdana menteri Malaysia. Di umurnya yang 93 tahun saat itu. Saya membayangkan: kalau hubungan Pak SBY dan Bu Mega dibuat novel pasti akan laris manis pula. Ditambah pemain baru: Surya Paloh.(dahlan iskan) https://www.disway.id/r/674/joe-paloh

Jokowi Dalam Top 500 Muslims, Ada Reaksi yang Lucu

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Presided Joko Widodo (Jokowi) kembali masuk dalam kelompok “The Muslim 500”. Sejenis ‘album’ (buku) tahunan yang diterbitkan Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) yang berkantor di Amman, ibu kota Yordania. Jokowi “ditempatkan” di nomor 13 untuk tahun 2020. Masuk Top 50. Yang sangat lucu adalah reaksi para pendukung Jokowi. Komentar mereka sangat memprihatinkan. Sangat ketara bahwa mereka ingin sekali mendapatkan amunisi baru untuk pencitraan Jokowi. Sekjen PPP Arsul Sani mengatakan Sabtu (5/10/2019) bahwa, “Posisi yang diraih ini sekaligus bisa menjadi jawaban bantahan bahwa beliau seorang yang anti-Islam atau tidak pro terhadap umat Islam." Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah juga berkomentar mirip. Dia mengatakan Sabtu (6/10/2019), keberadaan Jokowi di dalam daftar 50 tokoh Islam berpengaruh itu, “Membantah tuduhan sementara kalangan yang memfitnah Jokowi sebagai Presiden RI yang tidak peduli, bahkan dianggap memusuhi kepentingan umat Islam Indonesia." Kenapa saya sebut komentar-komentar itu lucu? Karena pemeringkatan para pemimpin politik, tokoh gerakan sosial, dan para ulama serta para da’i di negara-negara Islam itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan bagaimana orang-orang itu dipersepsikan di dalam negeri mereka. Artinya, ketika seseorang ditempatkan di Top 50, itu tidak terkait dengan “kesholihan” orang itu terhadap umat Islam. Jadi, klaim Arsul Sani dan Ahmad Basarah sama sekali tidak relevan. Siapa pun presiden Indonesia, presiden Tukri, raja Yordania, raja Moroko, atau raja Arab Saudi, hampir pasti mereka akan ditempatkan di sekitar angka-angka dua digit atau satu digit. Indonesia tak mungkinlah tak masuk 50 besar. Sebab, negara ini berpenduduk lebih 200 juta warga muslim. Tidak mungkin Indonesia tak masuk 50 besar. Apa pun alasannya. Presiden SBY juga masuk ke dalam ‘album’ RISSC ini. Muslim Top 500 atau Top 50 dimulai pada 2009. Di dalam album ini, RISSC menempatkan para tokoh dari negara-negara Islam dalam urutan yang mereka sebut “the Most Influential Muslims in the World” (Orang Islam yang Paling Berpengaruh di Dunia). Jokowi tahun ini, seperti tahun-tahun terdahulu, masuk ke dalam kelompok 50 teratas. Bersama Ketum PBNU Said Aqil Siradj (SAS). Untuk tahun 2020, Jokowi “ditempatkan” di nomor 13. Sedangkan SAS di urutan ke-19. Di tahun 2019, Jokowi “didudukkan” di urutan ke-16, sementara SAS di posisi 20. Pada 2018, Jokowi di posisi ke-16 dan SAS di urutan ke-22. Di Top 50 itu ada juga Mahathir Mohamad, Anwar Ibrahim, Imran Khan (PM Pakistan), dan Recep Tayyip Erdogan (Presiden Turki). Tahun 2019, Erdogan “diletakkan” di nomor 1, pada 2018 dia di urutan ke-5. Ada juga Ali Khamenei yang berposisi 2 (2020), 4 (2019, 2018, dan 2017). Di urutan 10 besar selalu ada Raja Salman dari Arab Saudi, Raja Abdullah dari Yordania, dan beberapa nama lain termasuk Raja Mohammed dari Maroko. Di dalam kelompok Top 500 atau Top 50 itu, para tokoh yang ditaruh di sana berasal dari berbagai latar belakang. Umumnya para pemimpin negara, para raja atau putra mahkota kerajaan, dan tokoh agama. Ada pemimpin ormas Islam, para da’i kondang, dlsb. Saya berusaha mencari informasi tentang metode yang digunakan oleh RISSC dalam memperingkatkan para tokoh dari dunia Islam itu. Sayang sekali tak berhasil saya dapatkan. Tapi, kalau dilihat mulusnya proses pemeringtakan ini, kecil kemungkinan dilakukan survei lapangan untuk menetapkan nomor urut para tokoh politik, tokoh agama, dan para da’i tsb. Sangat masuk akal bahwa pemeringkatan yang berubah-ubah itu dilakukan oleh tim internal RISSC. Seperti disebut di atas tadi, peringkat seseorang tidak ada hubungannya dengan capaian maupun popularitas dia di dalam urusan domestiknya. Artinya, kalau Jokowi ditempatkan di urutan ke-13, tidak serta-merta berarti dia membela kepentingan umat Islam. Terlalu jauh untuk dikaitkan dengan sikap politik presiden atau pejabat lainnya. Tampaknya, para pendukung terlalu cepat menyematkan sesuatu ke dada Jokowi ketika mereka masih membaca berita tentang Top 500 atau Top 50.[] 6 Oktober 2019

Tenang Bu Mega, Surya Paloh Juga Abaikan Pancasila

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Insiden Megawati (Ketum PDIP) tak menyalami Surya Paloh (Ketum Partai NasDem) di acara pelantikan anggota DPR-RI pada 1 Oktober 2019, ditanggapi cukup heboh. Terutama di media sosial. Peristiwa yang mempermalukan Paloh itu ditulis oleh beberapa pengamat sosial-politik. Penulis yang juga konsultan media dan politik, Hersubeno Arief, menggambarkan bahwa tindakan Bu Mega itu mencerminkan keseriusan perpecahan koalisi parpol pendukung Jokowi. Bung Hersubeno juga menyayangkan Bu Mega yang sengaja mempertontonkan kebencian pribadinya terhadap Paloh di depan publik. Dan tertangkap kamera pula sehingga virallah kejadian itu. Menurut Hersubeno, tidak menyalami Paloh itu menunjukkan Bu Mega adalah orang yang paling berkuasa di kubu Jokowi. Dalam arti, dia bisa sesuka hati. Mau menyalami atau tidak menyalami, tidak ada pengaruhnya terhadap kekuasaan dan kekuatan Bu Mega. Tapi, yang sangat menarik adalah analisis Narudin Joha. Penulis kondang yang selalu tajam ini mempertanyakan keberpancasilaan Bu Mega ketika dia tidak menyalami Surya Paloh di depan umum. Nasjo mempertanyakan nilai-nilai Pancasila di dalam diri Bu Mega. Nasjo menyayangkan sikap Megawati itu karena dia adalah ketua Dewan Pengarah BPIP, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Intinya, menurut Nasjo, sangatlah tak pantas Bu Mega tidak menyalami Paloh. Tulisan Nasjo itu menyiratkan kesimpulan bahwa Bu Mega tidak pancasilais. Tidak mengamalkan akhlak Pancasila. Gara-gara tidak menyalami Paloh. Begitu lebih-kurang pemahaman saya. Tetapi, saya berpendapat lain. Pendapat yang berbeda ini tidak berarti tak setuju dengan Nasjo. Setuju! Hanya saja, saya ingin mengatakan agar Bu Mega tenang saja. Kenapa tenang? Karena, mohon maaf, Surya Paloh itu pun belum tentu juga pancasilais. Apakah bisa Paloh dikatakan pancasilais ketika media yang ada di tangannya, yaitu MetroTV dan Media Indonesia, hari-hari memberitakan dan memuat editorial serta analisis yang tidak berkeadilan? Meraka membela apa saja yang dilakukan para penguasa yang semakin zalim sekarang ini. Lihat saja bagaimana sepak-terjang mereka selama proses pilpres 2019 berlangsung. Nah, apakah Paloh lebih berpancasila dibandingkan Bu Mega? Tunggu dulu. Sikap diam Paloh membiarkan sepak-terjang media yang berada di bawah kerajaan bisnisnya, sangat jelas bukan moral Pancasila. Dia bukanlah seorang pancasilais sejati. Dia tidak menunjukkan akhlak Pancasila. Saya berkeberatan dengan tulisan Nasjo yang seolah menilai hanya Bu Mega yang mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Padahal, Surya Paloh pun begitu. Bagaimana orang mau menyebut Paloh itu berpancasila ketika dia hari-hari hanya memikirkan cara agar bisnis dia semakin besar dan semakin banyak mencetak duit? Dari mana Anda bisa melihat dia pancasilais? Alangkah bagusnya dan adilnya jika Nasrudin Joha mengatakan bahwa, “Bu Mega menyalahi akhlak Pancasila dengan tidak menyalami Paloh. Tetapi, yang tak disalami kelihatan abai juga pada Pancasila.” Jadi, sekali lagi, Bu Mega tenang saja. Tak usah khawatir. Sama-sama abai kok.[] 6 Oktober 2019

Yang Perlu Diperkuat Itu TNI, Bukan Polisi

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kalau Presiden Indonesia paham, siapa pun presidennya, seharusnya dia memperkuat TNI. Bukan memperkuat Polisi. Memperkuat salah satu diantara kedua institusi ini menunjukkan jalan pikiran penguasa. Menunjukkan jalan pikiran presiden. Sekali lagi, siapa pun presidennya. Kalau presiden tidak punya jalan pikiran, berarti menunjukkan jalan pikiran pembisik dan sponsornya. Memperkuat TNI atau Polisi memperlihatkan dua perbedaan yang kontras. Perbedaan antara kecerdasan dan kedunguan. Perbedaan antara niat baik dan niat buruk. Presiden yang memperkuat militer adalah pemimpin yang mengerti percaturan global. Dia cerdas. Dia paham tentang ancaman terhadap eksistensi negaranya. Dia paham tentang perlunya menjaga kedaulatan dan wibawa negara dan bangsanya. Karena itu, dia pantas dikatakan punya niat baik. Sebaliknya, presiden yang memperkuat Polisi adalah pemimpin yang tak paham ancaman eksternal. Dia tak mengerti atau seolah tak mengerti tentang ancaman terhadap kedaulatan negara. Dia tak mengerti bahwa negara-negara besar dan kuat selalu punya ambisi teritorial. Lihat saja pertikaian wilayah yang tak pernah selesai. Di mana-mana. Di Asia, kita bisa baca kegigihan RRC untuk memperluas wilayah. Mereka tak segan-segan mengklaim pulau-pulau atau wilayah laut yang selama ini bukan milik mereka. Mengapa RRC berani dan percaya diri? Karena mereka merasa kuat. Dan militer mereka memang kuat. Terkuat kedua di dunia. Setujulah kita bahwa Indonesia tidak mungkin dan tak perlu menjadi seperti China dalam hal kekuatan militer. Tetapi, janganlah pula sampai seperti Papua Nugini, Laos atau Maladewa. Pantaskah negara sebegini besar dan kaya sumber daya alam cuma punya militer yang hanya bisa bertahan tiga hari? Sangat memalukan. Juga menakutkan. Kalau misalnya hari ini militer RRC mendarat, lusanya kita langsung menyerah. Ah, kalau RRC dijadikan ukuran, pastilah militer Indonesia hancur dalam beberapa hari. Ok. Kita lihat Singapura. Mereka punya 319 pesawat tempur. Semuanya mutakhir. AU negara sebesar Jakarta minus Bodetabek dengan penduduk 5 juta jiwa ini termasuk yang terkuat di dunia. Dengan personel AU hampir 15,000 orang. Mereka memiliki 60 pesawat F-16C/D dan 40 pesawat F-15SG yang dirancang khusus untuk AU Singapura. Angkatan daratnya berkekuatan 72,000 personel aktif. Plus hampir 400,000 personel wamil. Mereka memiliki peralatan perang AD yang tercanggih. Angkatan lautnya yang terbaik di Asia Tenggara. Ada 6 kapal frigat siluman (stealth) dan sejumlah kapal selam berteknologi tinggi. Tahun lalu, anggaran pertahanan Singapura mencapai lebih 210 triliun rupiah (bandingkan dengan anggaran pertahanan Indonesia yang hanya 131 triliun untuk 2020). Begitulah visi para pemimpin negara kota ini tentang pertahanan. Dari sejak mereka merdeka sampai sekarang. Dengan begitu, tidak ada yang berani coba-coba mengganggu Singapura. Demikian pula Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dll. Mereka sadar betul bahwa memperkuat militer adalah “tertib hukum alam” yang wajib mereka lakukan. Sebab, siapa pun yang menjadi presiden atau perdana menteri di negara-negara itu, mereka paham tentang kedaulatan dan martabat negara. Mereka mengerti bahwa ada banyak negara lain yang akan menggertak atau membully kalau kekuatan militer mereka hanya berkelas kacangan. Begitulah para pemimpin negara-negara yang punya niat baik. Niat baik untuk melindungi bangsa dan rakyatnya. Anehnya, selama lima tahun ini penguasa Indonesia sibuk memperkuat Polisi. Dari waktu ke waktu, dana tahunan untuk kepolisian diperbesar terus-menerus. Diperkuat peralatan, pelatihan dan jumlah personelnya. Hari ini, pimpinan Polri bangga menyebutkan bahwa polisi Indonesia adalah yang terkuat kedua di dunia setelah polisi RRC. Polri memiliki 430,000 personel. Sedangkan TNI gabungan ketiga angkatan hanya punya 455,000 personel. Nah, kira-kira apa tujuan Presiden Jokowi memperkuat Polisi? Untuk melawan agresi asingkah? Menghadapi invasi militer Amerika atau RRC? Atau untuk mengimbangi kekutan militer Singapura? Tentu tidak. Tak mungkin. Pasti tidak itu tujuan Jokowi memperkuat Polisi. Yang jelas tampak saat ini adalah bahwa polisi cenderung menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menyakiti rakyat. Ini terbukti dari cara polisi menangani rangakaian unjuk rasa belum lama berselang. Jokowi tampaknya perlu disadarkan bahwa musuh negara itu bukan rakyat. Bukan para pendemo. Bukan juga para ulama dan umat Islam. Yang menjadi ancaman itu bukan rakyat sendiri. Melainkan kekuatan asing yang sangat ingin menguasai sumber daya alam Indonesia. Yang sangat ingin menguasa wilayah darat dan laut negara ini. Jadi, yang perlu diperkuat itu adalah TNI. Bukan polisi. Sekali lagi, Dirgahayu TNI.[] 5 Oktober 2019

Buzzer Menggonggong, Kakak Pembina Berlalu

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Eksistensi buzzer pemerintah tengah digugat. Inilah untuk pertamakalinya keberadaan para penggonggong dipersoalkan secara serius oleh publik dan media. Termasuk sejumlah media yang selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintah. Selama ini para penggonggong hidup bebas merdeka. Mereka bebas menebar kabar bohong, fitnah, dan membully oposisi dan kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Ada yang bersembunyi di ruang gelap digital, menggunakan akun palsu. Namun banyak pula yang tampil secara terbuka. Jangan pernah coba-coba mempersoalkan dan bersikap kritis terhadap pemerintah, apalagi Presiden Jokowi. Tak ada ampun, mereka akan menggonggong, menyalak, mengejar dan membully Anda sampai habis. Mereka tak pernah bisa dijamah. Tidak tersentuh hukum. Percuma saja melaporkan mereka. Dijamin kasusnya tidak akan berlanjut. Dengan posisinya sebagai pendukung rezim penguasa, mereka masuk dalam kelompok manusia istimewa. The Untouchable. Saat ini situasinya mulai sedikit berubah. Majalah Tempo mulai mempersoalkan keberadaan mereka yang dinilai bisa membahayakan demokrasi. Majalah ini juga secara tegas menuding mereka adalah pendukung Jokowi. Tugas mereka menyebarkan kabar bohong mempengaruhi opini publik dan sikap publik. Tujuan jangka pendeknya mengamankan kebijakan pemerintah. Laman tirto.id malah melangkah lebih jauh. Dengan memanfaatkan momentum keterlibatan unjukrasa pelajar STM, mereka menguak hubungan antara para buzzer dan aparat kepolisian. Para buzzer ini mencoba mengamplifikasi operasi pembusukan terhadap anak-anak STM sebagai unjukrasa bayaran. Namun melalui penelusuran reporter tirto.id, mereka mendapatkan fakta berbeda. Diduga sejumlah nomor yang terdapat dalam tangkapan layar (screenshoot) yang disebut-sebut sebagai group percakapan WhatsApp (WAG) anak STM, milik oknum polisi. Sudah tentu dugaan itu dibantah oleh Mabes Polri. Polisi malah mengaku sudah menangkap sejumlah orang yang disebut sebagai admin WAG tersebut. Mengetahui operasi manipulatifnya terbongkar, beberapa orang buzzer segera menghapus cuitannya. Namun jejak digital mereka sudah telanjur terekam. Bukan hanya kali ini tirto.id membongkar perilaku lancung para buzzer pendukung pemerintah. Pada aksi #GejayanMemanggil yang mendorong akasi mahasiswa besar-besaran di Indonesia, tirto.id malah menunjukkan sikap tegas. tirto.id menampilkan editorial “Kami Bersama #GejayanMemanggil.” Sikap itu mereka ambil sebagai reaksi dari aksi para buzzer membusukkan aksi #GejayanMemanggil . Para buzzer menyebut aksi ini ditungganggi oleh kelompok Islam radikal dan pengusung khilafah. Tekanan publik dan media terhadap para penggonggong ini kian keras. Dalam pekan ini beredar hasil penelitian perilaku buzzer hasil riset dua orang peneliti dari Universitas Oxford, Inggris. Judulnya : The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation. Ditulis oleh Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Hasil penelitian di 70 negara termasuk Indonesia itu, menemukan bukti pemerintah menggunakan buzzer untuk menekan kelompok oposisi dan memecah belah rakyat. Sudah Berlangsung Lama Kecurigaan bahwa para buzzer punya hubungan langsung dengan pusat kekuasaan, sesungguhnya sudah berlangsung lama. Keberadaan mereka yang tak tersentuh hukum, menunjukkan mereka sengaja dipelihara dan dilindungi. Rocky Gerung secara tidak langsung menyebut istana adalah pusat penyebaran hoax. Melalui akun @rockygerung dia menyebut pusat hoax nasional ada di Monas. Presiden Jokowi diketahui setidaknya pernah dua kali mengundang sejumlah orang yang disebut sebagai pegiat medsos ke istana. Pada 22 Juni 2017 dan kemudian sebulan kemudian pada tanggal 24 Agustus 2017. Pertemuan pada bulan Agustus berlangsung tertutup. Saat itu mereka hanya disebut sebagai pegiat medsos. Namun dilihat dari nama-nama yang hadir, mayoritas adalah pendukung Jokowi. Konfirmasi adanya hubungan istana dengan para buzzer ini pertamakali dibocorkan oleh situs seword.com yang dikenal sebagai pembela garis keras Jokowi. Melalui akun fanpage Facebook (2/5/2019) Seword membocorkan pertemuan puluhan orang buzzer dengan seseorang yang disebut sebagai “Kakak Pembina.” Seorang figur pengarah gerak para buzzer pendukung Jokowi. Seword menampilkan sejumlah orang yang tengah duduk disertai keterangan foto. Nama-nama yang disebut adalah: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Katakita, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Pepih Nugraha, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Eko Kuntadhi, Komik Kita, Komik Pinggiran, Habib Think, Salman Faris, dan Sewordcom. "Tim ini memang tak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini. Seperti halnya Avengers, setiap orang saling menjaga, menahan diri untuk tidak mengambil gambar. Tapi saya pikir momen ini sayang untuk tidak dibagikan dan diceritakan," demikian tulis Seword Siapa “Kakak Pembina” ini? Masih menjadi spekulasi media dan medsos. Kepala Staf Presiden Moeldoko membantah dirinya adalah “Kakak Pembina.” Moeldoko mengakui para buzzer ini adalah pendukung Jokowi. Namun keberadaan mereka saat ini mulai dirasakan mengganggu dan merugikan Jokowi. "Ya kita melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta itu merugikan. Jadi ya yang perlu dibangun emosi positif lah," kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (4/9). Bagi Jokowi, keberadaan buzzer ini seperti buah simalakama. Mereka sangat dibutuhkan, terutama menjelang dan selama pilpres, termasuk menjaga berbagai kebijakannya dari para pengeritik. Disisi lain keberadaan buzzer mulai sangat mengganggu, termasuk bagi kalangan pendukung Jokowi sendiri. Perilaku mereka tak terkendali. Seperti anjing penjaga, mereka akan menggonggong, menyalak, mengejar, dan meneror siapapun yang dianggap mengganggu tuannya. Gonggongan dan salakan mereka yang sangat keras, bukan hanya mengganggu orang lain, tapi juga sudah mulai mengganggu tuan mereka sendiri. Ada baiknya mumpung RUU KUHP ditunda pengesahannya, pemerintah dan DPR belajar dari Dewan Kota Saddle River. Dewan kota di wilayah Bergen, Negara Bagian New Jersey, AS itu baru saja meloloskan sebuah peraturan. Seorang pemilik akan dihukum bila gonggongan anjingnya menganggu tetangga. Hukumannya bisa didenda atau dihukum penjara. Melalui peraturan tersebut seekor anjing peliharaan dilarang menggonggong lebih dari 20 menit antara pukul 07.00 pagi hingga 22.00 malam. Atau lebih dari 15 menit antara pukul 22.00 malam hingga 07.00 pagi. Dalam KUHP yang baru akan sangat menarik dimasukkan pasal semacam itu. Seorang buzzer yang menggonggong secara berlebihan, tanpa mengenal waktu dan sangat mengganggu, maka si Kakak Pembina bisa didenda atau dihukum penjara. Dengan UU semacam itu diharapkan ada aturan dan tanggung jawab atas perilaku buzzer. Jangan sampai terjadi : BUZZER MENGGONGGONG, KAKAK PEMBINA BERLALU. End

TNI 74 Tahun: Rakyat Paham Kalian Masih Menunggu

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salam hormat, TNI. Kami ingat hari jadi kalian, 5 Oktober. Tapi, terus terang, kami tak tahu hari jadi mereka. Dan, alhamdulillah sekali kami tak tahu hari jadi mereka itu. Tidak tertarik juga, soalnya. Dan, bukan sekadar tak tertarik. Rakyat malah mendoakan agar mereka segera diazab Allah SWT atas kesadisan, kebrutalan, kekejaman, dan kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Terhadap orang-orang lemah dan para ulama garis lurus. Lihat saja kalau seorang pendemo terkepung dan tertangkap oleh mereka. Habis mereka keroyok. Ramai-ramai mereka pukuli. Mereka tendang dengan sepatu laras. Mereka gebuki dengan pentungan sampai bocor. Sungguh biadab. Tapi, anehnya, penguasa negeri ini sangat suka pada mereka. Senang melihat mereka beringas terhadap rakyat. Suka melihat mereka main tembak mati. Bahkan, penguasa memberikan insentif kepada mereka. Alokasi anggaran untuk mereka sangat besar. Tidak seperti TNI yang harus urut dada soal besaran anggaran tahunan. Penguasa memang memberikan status “anak emas” kepada mereka. Tumben, untuk tahun depan (2020), kalian dapat anggaran 131.2 triliun. Memang jumlah ini terbesar di antara semua kementerian atau lembaga negara. Tapi ini ‘kan harus dibagi empat. Untuk Kemenhan, untuk TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Padahal, ketiga angkatan harus membeli begitu banyak alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang harganya mahal-mahal. Sudahlah. Tidak apa-apa. Anggaran kalian boleh kecil. Tapi, dukungan dan simpati rakyat sangat besar. Rasa cinta rakyat sangat besar kepada TNI. Ini yang tidak ada pada mereka. Spontanitas kalian memberikan perlindungan kepada orang yang dikejar-kejar oleh mereka, membuat rakyat bahagia meskipun banyak yang berdarah-darah. Sebaliknya, rakyat malah sudah sangat marah kepada mereka. Ada yang “benci stadium 4” pada mereka. Itu semua karena ulah mereka sebdiri yang sangat menjijikkan. Sangat memuakkan. Sangat brutal. Kalian di lingkungan TNI tahu persis betapa aroganya mereka. Betapa angkuhnya mereka. Tiap hari kalian saksikan langsung di jalanan. Kalian semua malah tampak ingin menampar mereka. Rakyat tahu dan melihat bahwa kalian pun sudah mendidih. Syukurlah, kalian masih bisa tenang. Menahan diri. Kalau kalian mau, kalian bisa patahkan leher mereka. Tapi, kalian tidak seperti mereka. Kaliana tidak angkuh seperti mereka. Kalian tidak mudah hilang akal seperti mereka. Kalian, TNI, punya martabat. Kalian memiliki akal sehat. Kalian paham kapan harus bertindak untuk menjinakkan kesadisan mereka kepada rakyat. Kalian tahu kapan itu harus dilakukan. Rakyat pun paham. Rakyat mengerti. TNI masih menunggu saat yang tepat. Dirgahayu TNI. Selalu bersama rakyat! Hidup-mati bersama rakyat! 5 Oktober 2019