ALL CATEGORY

Duta Pancasila Yang Ternyata Menjadi Maling & Pasien KPK

Itulah, nama-nama duta Pancasila yang akhirnya jadi pasien KPK. Pancasila ternyata sarat dengan skandal, dari Duta Pancasila yang malah jadi pasien KPK, hingga BPIP yang tak jelas kerjaannya. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Tentu, saya mengawali dengan menyebut nama Imam Nahrawi. Orang ini paling sok Pancasila, gayanya sudah kayak yang hafal kitab tafsir Pancasila, NKRI harga mati, tapi Ga taunya juga maling duit rakyat. Kenapa Nahrawi disebut diawal ? Karena kasusnya masih hangat. Dia, ngembat duit negara melalui kemenpora. Nilainya guede banget, 26,5 miliar rupiah. Kalau ditulis angka, cukup panjang. Rp. 26.500.000.000,-. Angka ini, sangat signifikan jika digunakan untuk program pro rakyat. Diurutan kedua ada Romi, Romahurmuzy. Meski sama-sama dari NU seperti Imam Nahrawi, tapi Romi partainya PPP. Akibat polemik ini, NU pernah minta jatah menteri diluar jalur PKB dan PPP. Romi ini juga begitu, sama seperti Nahrawi. Sok Pancasila, anti syariah Islam kaffah bahkan menentang ajaran Islam khilafah. Masih banyak, jejak digital Romi yang sok hebat membuat argurmentasi ngawur menolak khilafah. Ternyata, dia juga maling. Romi didakwa JPU KPK bersama-sama Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menerima suap sebesar Rp 325 juta. Duit ini receh, jauh dengan nominal yang diembat Imam Nahrawi. Namun, duit ini hasil jual beli jabatan dilingkungan kemenag. Kementrian agama saja doyan, duit receh saja diembat, itulah tabiat Romi Koco yang sok NKRI dan sok Pancasila. Selanjutnya, seharusnya Lukman hakim Saifudin juga jadi tersangka. Ini tinggal nunggu waktu yang tepat saja. Jika nanti pada saatnya, status Lukman juga akan ditingkatkan menjadi Tersangka. Lanjut Berikutnya, Idrus Marham. Idrus Sekjen Golkar, yang katanya suara Golkar suara rakyat. Keliru itu, yang benar mungkin suara Golkar suara maling. Idrus maling duit setrum, yang berasal dari keringat rakyat. Sekretaris jenderal abadi Golkar ini, akhirnya mengakhiri karier sebagai Sekjen di jeruji besi menjadi pasien KPK. Idrus tak terlalu getol mengaku Pancasilais, tapi termasuk duta Pancasila yang diperhitungkan. Selanjutnya, kolega Idrus di Golkar. Namanya, Setya novanto. Dia, sempat tertabrak tiang listrik sebelum akhirnya ditetapkan tersangka KPK pada kasus e KTP. Semua orang yang sampai saat ini belum punya e KTP dengan dalih blangko belum siap, pasti marah pada Novanto. Novanto ini, juga yang termasuk pasang DP aku Pancasila, saat menjabat Ketum Golkar. Itulah, nama-nama duta Pancasila yang akhirnya jadi pasien KPK. Pancasila ternyata sarat dengan skandal, dari Duta Pancasila yang malah jadi pasien KPK, hingga BPIP yang tak jelas kerjaannya. Kalau dari PDIP ? Ini jagonya, namanya tak cukup disebutnya satu persatu. Makanya, PDIP termasuk yang paling getol merevisi UU KPK, sampai menugaskan petugas partainya untuk mengirim supres membahas UU KPK. Hasilnya ? UU pelemahan KPK telah disahkan. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Ruang Publik

Jokowi Masuk Perangkap Revisi UU KPK

Mungkinkah PDIP sengaja menjerumuskan Jokowi lewat usul revisi UU KPK? Bisa iya, bisa tidak. Bisa iya, karena ada indikasi keluarga besar PDIP mulai tidak nyaman dengan sepak-terjang Jokowi. Bisa tidak, karena tak mungkin rasanya Bu Megawati sengaja menyulitkan posisi politik Jokowi. By Asyari Usman Tim inti Jokowi kecolongan. Revisi UU KPK kini menjerumuskan dia. Sekarang, pendukung Jokowi sendiri terbelah. Sebagian menentang keras revisi itu. Sebagian lain masih tetap setia membela Jokowi. Untuk yang membela mati-matian, tentu bisa dipahami semua orang mengapa mereka bersikap begitu. Tetapi, reaksi publik secara umum membuat posisi Jokowi menjadi labil. Terutama, rangkaian unjukrasa yang dilancarkan oleh kalangan mahasiswa di Jakarta dan juga di kota-kota besar lain di Indonesia. Kalau aksi jalanan ini membola salju, bisa jadi efeknya akan semakin jauh ke jantung kekuasaan. Sangat mengherakan mengapa tim penasihat inti Jokowi bisa terjebak menyetujui revisi UU KPK nomor 30 Tahun 2002. Seharusnya mereka paham betul bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga yang didukung kuat oleh semua orang dari segala kubu dan latarbelakang. Semestinya, tim penasihat Jokowi tahu bahwa korupsi adalah musuh bersama rakyat. Lintas partai, lintas agama, lintas ideologi. Di kubu Jokowi, hanya para buzzer beliau saja yang mendukung revisi. Seharusnya, Jokowi tidak menyentuh KPK. Badan ini mengakar di hati rakyat. Rakyat yang cendekiawan atau rakyat biasa. Gebrakan-gebrakan KPK selama ini sangat ‘menghibur’ bagi rakyat. Para anggota DPR boleh tak suka kepada KPK. Tapi, begitu lembaga ini dilihat sedang dikeroyok, rakyat pasti akan bereaksi. Publik sangat sederhana melihat KPK. Yang mau melemahkan KPK, mereka anggap prokorupsi. Baik itu presiden maupun DPR atau pihak lain yang memusuhi KPK. Realitas ini yang kelihatannya lepas dari kalkulasi Jokowi dan juga DPR. Publik tidak perduli soal kemacetan beberapa kasus besar di KPK. Bagi mereka, ketika DPR mengusulkan revisi UU KPK dan Presiden Jokowi menyetujuinya, itu berarti DPR dan Jokowi tidak lagi antikorupsi. Anggapan ini sangat berbahaya. Terutama bagi Presiden. Sekarang ada pertanyaan: apakah Jokowi sengaja dijebak oleh DPR atau kedua pihak itu sama-sama anggap enteng terhadap kemungkinan reaksi keras dari publik? Yang paling getol dengan revisi ini adalah PDIP. Merekalah yang memotori gagasan revisi. Suara mereka paling besar. Apalagi banyak dukungan dari fraksi-fraksi lain, khususnya blok politik yang besar-besar yang sekubu dengan Jokowi. Mungkinkah PDIP sengaja menjerumuskan Jokowi lewat usul revisi UU KPK? Bisa iya, bisa tidak. Bisa iya, karena ada indikasi keluarga besar PDIP mulai tidak nyaman dengan sepak-terjang Jokowi. Bisa tidak, karena tak mungkin rasanya Bu Megawati sengaja menyulitkan posisi politik Jokowi. Barangkali Jokowi pribadi tak memahami atau tidak memperkirakan kemungkinan reaksi ‘hostile’ (bermusuhan) dari publik. Yang cukup mencemaskan adalah reaksi yang ditunjukkan oleh beberapa media besar yang selama ini mendukung Jokowi. TEMPO, sebagai contoh, mengambil posisi konfrontatif dengan Jokowi terkait revisi UU KPK yang dihakimi sebagai upaya untuk melemahkan lembaga favorit rakyat itu. Begitu juga grup Kompas. Koran ini terang-terangan memperlihatkan keberatannya terhadap pengeroyokan KPK. Tapi, adakah kemungkinan posisi Jokowi terancam serius? Kalau demo mahasiswa berkembang besar, maka bisa saja situasi menjadi tak terkendali. Ancaman itu sangat mungkin menjadi serius. Polisi pasti bisa mengambil tindakan represif. Tapi, represif terhadap mahasiswa berbeda dengan represif terhadap aksi-aksi umat Islam. Represif terhadap umat Islam selalu dimenangkan oleh polisi. Sebab, para ulama atau ustad yang memimpim aksi unjukrasa selalu bisa “dijinakkan”. Kalau pimpinan mahasiswa belum tentu bisa ditundukkan tanpa kontrareaksi dari anak-anak mahasiswa itu. Yang merepotkan polisi, mungkin, adalah bila semangat demo mahasiswa semakin tinggi. Kalau polisi represif, situasi bisa menjadi tak terduga. Bisa unpredictable. Sebab, kalau para mahasiswa merasa pihak keamanan bertindak berlebihan, konfrontasi bisa naik ke level berikutnya. Bisa sangat serius! Sekarang ini, tudingan publik terhadap Jokowi adalah bahwa dia berubah menjadi prokorupsi dengan menyetujui revisi UU KPK. Ini opini publik yang sangat kuat. Komitmen Jokowi untuk memberantas korupsi menjadi cacat di mata rakyat. Hebat orang-orang yang telah berhasil menggiring Jokowi masuk ke perangkap revisi UU KPK. Perangkap ini berkemungkinan membawa Jokowi ke cuaca ekstrem dengan turbulensi kategori fatal. Penulis adalah Wartawan Senior

Imam Nahrawi & Moralitas Islam Nusantara

Dengan ditetapkan Imam Nahrawi menjadi tersangka oleh KPK, faktanya semakin banyak tokoh-tokoh utama Islam Nusantara yang berilian menjadi tersangka koruptor. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah value atau nilai Islam yang ditawarkan Islam Nusantar ini? Menjadikan hari santri, misalnya, mungkin penting dari sisi presence (kehadiran). Namun untuk apa adanya sebuah presence jika tidak menawarkan nilai dan gagasan? Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Persis tiga tahun lalu di Semarang, Imam Nahrawi memimpin Senam Islam Nusantara. Acara yang diprakarsai Ketua Cabang Nahdatul Ulama (NU) setempat. Acara ini digelar ini untuk terus memfollow up gagasan Islam Nusantara yang ditelurkan PBNU. Sebuah konsep Islam di mana ajaran Islam ini bersumber dari Islam yang lahir dan berkembang di Indonesia. Saat ini Imam Nahrawi telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Nilai perampokan harta negara lebih dari Rp 25.000.000.000 miliar. Staf Khusus Imam Nahrawi, Miftahul Ulum sebelumnya sudah ditahan KPK. Saat ini dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Muftahul Ulum diseret atas kasus korupsi pembiayaan dana hibah Komite Nasional Olahraga Indonesia(KONI). Adik Nahrawi yang juga tokoh Islam Nusantara di Jawa Timur langsung meradang menuduh KPK sebagai lembaga yang zalim. Ditetapkannya Menteri Pemuda dan Olahraga ini sebagai tersangka menjadikan semakin banyaknya tokoh-tokoh Islam Nusantara dicap sebagai koruptor. Sebelumnya kita melihat penangkapan dilakukan terhadap Ketua Umum DPP PPP Romahurmuzy, dan mantan Sekretaris Jendral DPP Golkar Idrus Marham. Padahal mereka ini termasuk simbol sentral dalam isu Islam Nusantara tersebut. Gagasan Islam Nusantara dicetuskan oleh beberapa tokoh muda asal Nahdatul Ulama. Dengan maksud membangun kesadaran ke Islaman yang berakar dari Indonesia sendiri. Selama ini perkembangan Islam yang dianggap semakin "berbau arab”. Islam yang dicirikan sebagai pemuda-pemuda berjidat hitam. Mereka juga bercelana cingkrang, baju koko, jenggot panjang, istri berjilbab penuh dan lain-lain. Islam yang “berbau arab” ini dianggap terlalu dominan di ruang publik. Selain mengatakan bahwa Islam jenis ini kearab-araban, mereka Islam Nusantara juga menuduh adanya faham radikalisme dan wahabiisme. Faham ini dituduh akan menjadikan Indonesia berpotensi menjadi negara-negara kacau seperti di Suriah dan timur tengah lainnya. Dengan menghadirkan Islam Nusantara, maka diharapkan jati diri bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang harmonis dan jauh dari kekerasan dan saling fitnah. Tentu saja adalah hak sebuah komunitas atau lapisan sosial masyarakat kita merepresentasikan diri dalam suatu konsep gerakan. Kita melihat tokoh-tokoh muda asal NU ini mereproduksi gagasan Islam Nusantara dengan sangat serius. Targetnya, untuk memunculkan suatu kebanggan pada sejarah yang berjejak pada perjuangan leluhur mereka. Beberapa hal seperti Hari Santri Nasional dan Fatwa Jihad menjadi bagian jejak sejarah yang belakngan ini diklaim mereka. Akhirnya klaim ini muncul sebagai bagian penting dari sejarah kebangsaan kita. Tokoh-tokoh Islam Nusantaran ini adalah tokoh-tokoh sentral dari kalangan muda NU Selain Imam Nahrawi, ada juga Muhaimin Iskandar, Nusron Wahid, dan Ulil Absar Abdallah. Sebaliknya,tokoh mudah NU yang tidak ingin masuk dalam tema Islam Nusantara ini, masuk pada kelompok NU Garis Lurus. Dengan ditetapkan Imam Nahrawi menjadi tersangka oleh KPK, faktanya semakin banyak tokoh-tokoh utama Islam Nusantara yang berilian menjadi tersangka koruptor. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah value atau nilai Islam yang ditawarkan Islam Nusantar ini? Menjadikan hari santri, misalnya, mungkin penting dari sisi presence (kehadiran). Namun untuk apa adanya sebuah presence jika tidak menawarkan nilai dan gagasan? Dahulu misalnya, Tjokroaminoto melahirkan gerakan perjuangan baru, namanya “Serikat Islam”. Tjokrominoto malah menawarkan gagasan reposisi kaum pribumi dan pedagang muslim dalam struktur sosial kita. Gasasan besar model Tjokrominoto inilah yang sekarang dipakai dan dilestarikan oleh tetangga kita Malaysia. Belanda yang membangun hirarki paling kelas atas. Disusul kemudian oleh Cina di tengah. Sedangkan pribumi Islam sebagai "anjing-anjing" (de honden) dilawan habis-habisan oleh gerakan Serikat Islam. Serikat Islam berhasil membangun jutaan basis massa melawan Belanda. Tjokroaminoto juga berhasil melahirkan kader-kader terbaik bangsa, termasuk Sukarno. Kehadiran Islam Nusantara tentu perlu diapresiasi, dalam rangka konsolidasi sebagai komunitas rakyat kita dalam warna kehidupan yang bersifat historis. Apalagi ancaman radikalisme internasional memang mempunyai fenomena. Namun, sebuah gagasan harus diimbangi dengan kemampuan menunjukkan kepeloporan. Terutama dari nilai perjuangan dan keadilan yang ingin diikuti mayoritas rakyat kita. Pencanangan Senam Islam Nusantara tentu saja bukan sebuah gagasan besar. Jika masalah moral pemerintahan bersih, ketokohan anti korupsi, kemiskinan, keadilan sosial, kejahatan oligarki modal, yang justru jadi isu utama. Semua ini adalah permasalahan utama bangsa kita yang harus dipecahkan. Dari sinilah sebenarnya letak pertanyaan kita tentang Islam Nusantara. Apa saja gagasan nilai yang meraka tawarkan? Bagimana, misalnya, sikap mereka melihat isu korupsi? Tentu disamping berbagai isu kerakyatan lainnya. Jika Islam Nusantara gagal mengedepankan isu-isu pokok ini, maka maksud baik kehadiran Islam Nusantara akan menjadi pertanyaan besar ke depan. Panulis adalah Direktur Eksekutive Sabang Merauke Circle

Polemik KPK Berpotensi Goyang Jokowi!

Komitmen pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi sudah tidak dapat dipercaya lagi. Mosi tidak percaya juga diberikan kepada DPR Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Istilah “Polisi Taliban” yang ada di KPK sebenarnya sudah ada semasa Muhammad Busyro Muqoddas menjadi Ketua KPK (2010-2011). Istilah Taliban melekat pada kelompok tersebut karena dikenal militan dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, mereka rela meninggalkan keanggotaan Polri-nya agar bisa menjadi penyidik tetap KPK. “Mimpi mereka menjadi jenderal dicopot untuk menjadi pengabdi KPK dan mereka semua militan makanya saat saya masuk sudah ada istilah Taliban,” ujar Busyro. “Saya juga heran kenapa istilahnya Taliban, tapi mereka menjelaskan ini tak ada konotasinya dengan agama tapi Taliban itu menggambarkan betapa militansinya Penyidik di KPK,” lanjut Busyro, Sabtu (14/9/2019). Anggota dari kelompok Taliban ini, juga mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda diantaranya Kristen, Hindu, dan Islam. Kini istilah Taliban itu kemudian dipolitisasi yang ada indikasi perintahnya berasal dari Istana dan dikembangkan Pansel KPK. Busyo menilai, Tim Pansel KPK yang dibentuk Presiden Joko Widodo, seperti kehilangan akal saat melakukan seleksi pada tahapan psikotes. Baru kali ini pansel itu seperti kurang kerjaan, tak mempunyai konsep padahal ada tiga guru besar. “Masa, psikotesnya menggunakan isu-isu radikalisme, pertanyaannya itu seperti anak SMP,” ungkap Busyro. Serangan terhadap KPK dilakukan dari berbagai sudut dan cara. Setelah DPR secara aklamasi memilih tokoh yang dinilai melanggar kode etik sebagai Ketua KPK, kini muncul tudingan KPK dikuasai kelompok Taliban. Kelompok Taliban di KPK adalah stigmatisasi terhadap penyidik KPK yang tanpa pandang bulu melakukan penegakan hukum, melakukan OTT, dan memproses sejumlah pejabat korup. Penyebutan istilah kelompok Taliban dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya pelemahan terhadap KPK. Guru Besar LIPI Prof. Syamsuddin Haris dan kawan-kawannya selama 3 tahun melakukan penelitian di KPK. Hasilnya, ditegaskan bahwa tidak ada kelompok Taliban di KPK. “Saya dan beberapa teman sdh lbh dari 3 thn terakhir melakukan kerjasama riset dgn rekan2 di @KPK_RI. Tdk ada Taliban,” ujar Syamsuddin Harin. Sebutan ada kelompok Taliban di KPK atau istilah Polisi Taliban Vs Polisi India itu adalah upaya dari insitusi lain di Indonesia untuk melemahkan KPK sehingga mereka kemudian bisa menguasai KPK. “Itu adalah isapan jempol belaka utk membenarkan saudara tua (baca: polisi) masuk dan meng-obok2 KPK,” tegasnya, Sabtu (14/9/2019). Syamsuddin Haris termasuk guru besar yang secara konsisten dan keras mengkritik upaya pelemahan KPK. Ia juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk menyelamatkan KPK, terutama terkait revisi UU KPK. Menurut Syamsuddin Haris, DPR sekarang bukan akan merevisi UU KPK, tetapi membentuk UU KPK baru yang menjadi macan ompong. Goyang Jokowi Berikut cuitan Syamsuddin Haris terkait KPK. @sy_haris Sep 11: Saya sdh baca. Ini bukan revisi tapi pembentukan UU baru krn hampir semua pasal diubah. KPK format lama dibubarkan dan dibentuk KPK baru yg macan ompong. Cc: @PDI_Perjuangan @Gerindra @Golkar5 @NasDem @DPP_PKB @PDemokrat @PKSejahtera @Fraksi_PAN @DPP_PPP @sy_haris Sep 13: Lengkap sdh skenario pelumpuhan @KPK_RI. Pak @jokowi mbiarkan capim yg diduga cacat integritas lolos ke DPR, bahkan kemudian dipilih sbg Ketua KPK. Pada saat bersamaan Presiden setuju mbahas usul revisi UU KPK dari DPR. Mereka lupa, di atas Presiden & DPR ada rakyat yg berdaulat. @sy_haris· Sep 13: Ketika aspirasi dan hati nurani publik (tentang pentingnya integritas komisioner serta independensi lembaga antikorupsi) ternyata sekadar menjadi alas kaki kekuasaan. Hidup para oligark, hidup koruptor. @sy_haris 23h: Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 berada di angka 38, meningkat satu poin dibanding 2017, atau diperingkat 89 dari 180 negara. Itu artinya, kita butuh @KPK_RI yg kuat, independen & bebas dari intervensi lembaga lain. Apa jadinya jika KPK lumpuh? Dan, Revisi UU KPK akhirnya telah ditetapkan DPR. Tapi, suara penolakan atas penetapan itu terus dilakukan publik. Salah satu diantaranya adalah pengamat politik Rocky Gerung. Ia menyebut, orkestra pelemahan KPK sejatinya dipimpin oleh Presiden Jokowi. “Karena presiden memimpin sendiri pelemahan KPK, melalui DPR seolah- olah itu legal," kata Rocky Gerung di sela-sela kuliah umum di Universitas Bosowa, Makassar, seperti dilansir Teropongsenayan.com, Selasa (17/9/2019). Rocky menyebut, revisi UU KPK di DPR ibarat sebuah pertunjukan orkestrasi yang dipimpin langsung oleh Jokowi. “Jadi dari awal memang direkayasa disuruh cepat-cepat supaya isunya mengendap karena akan ada isu baru lagi, soal kebakaran hutan dan segala macam,” ujarnya. “Tapi publik akan mengingat itu (semua) sebagai pengerdilan hak demokrasi itu, pengerdilan kemampuan KPK untuk membersihkan negeri ini dan ini akan masih berlanjut dan masyrakat sipil tidak akan terima,” imbuh Rocky. Menurut Rocky, seharusnya presiden melibatkan publik untuk menampung masukan terkait revisi UU KPK. “Mustinya Presiden tanya publik bukan tanya DPR. KPK itu kayak Irian sih musti referendum,” ujarnya. Sikap keras atas sikap Presiden Jokowi juga datang dari mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung. Konsolidasi Mahasiswa Unpad (KMU) memberikan mosi tidak percaya pada Pemerintahan Presdien Jokowi. Mereka menilai, komitmen pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi sudah tidak dapat dipercaya lagi. Mosi tidak percaya juga diberikan kepada DPR yang dinilai telah berkerjasama dengan Jokowi untuk melemahkan KPK melalui revisi UU KPK. Konsolidasi Mahasiswa Unpad menggarisbawahi 4 poin krusial usulan DPR dan disetujui Presiden Jokowi, yakni keinginan membentuk Dewan Pengawas KPK, aturan penyadapan, kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), dan status pegawai KPK. Jadi, “(Ini) bukan lagi bentuk upaya pelemahan terhadap KPK, melainkan sudah pada tahap merampas entitas yang dimiliki KPK sebagai komisi independen pemberantas korupsi,” tulis pernyataan yang diotentifikasi dua pentolan KMU, Bigwantsa dan Luthfi. “Kami sebagai mahasiswa tidak mempercayai komitmen pemerintahan Joko Widodo beserta anggota DPR RI dalam memberantas korupsi apabila revisi UU KPK terus dilanjutkan,” tulis statement KMU itu. Tuntutan serupa juga datang dari Mahasiswa Riau yang berhasil “menduduki” DPRD Riau. Mereka menuntut Jokowi mundur dari kedudukannya sebagai Presiden. Termasuk gerakan Mahasiswa Makassar. Suara keresahan juga menggema dari Balairung Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Ketua Dewan Guru Besar UGM Prof. Koentjoro menilai revisi UU KPK akan mengebiri lembaga antirasuah itu. Para dosen, mahasiswa, hingga karyawan kampus itu berkumpul bersama kompak mengenakan pakaian berwarna hitam. “Upaya sistematis pelemahan KPK dan gerakan antikorupsi yang agresif dan begitu brutal dalam beberapa pekan terakhir ini sungguh melecehkan moralitas bangsa kita,” tegas Prof. Koentjoro saat membaca deklarasi UGM tolak pelemahan KPK di Balairung, Gedung Pusat UGM. Fenomena menarik dari mahasiswa yang mulai bergerak di Makassar atau Bandung. Meski sebagai riak kecil. Dan gerakan besar di Riau. Jika gerakan mahasiswa seperti di Pekanbaru Riau ini berefek domino, maka bisa menggoyang porisi Presiden Jokowi. Dalam satu bulan ke depan, bisa saja ada gelombang yang memusat di DPR/MPR RI Jakarta. Artinya, ada tekanan politik penolakan Joko Widodo – Ma’ruf Amin untuk dilantik semakin menguat. Aksi mahasiswa biasanya menjadi magnet bagi gumpalan lain. M. Rizal Fadillah menulis, dosa politik pemerintahan Jokowi sudah terlalu banyak. Dari dosa kecil hingga besar. Contoh dosa kecil: membagi dan melempar amplop uang dari mobil, jadi imam tanpa kapasitas, doyan impor, atau di lokasi bencana “empati” dengan swafoto. Lalu dosa menengah seperti main-main “divestasi 51 %” Freeport, mobil “Nasional-China” Esemka, banjir TK Cina, atau rencana pindah Ibukota tanpa persetujuan rakyat. Yang dosa besar, seperti “pembiaran” 700 petugas pemilu tewas, kecurangan pemilu, dwifungsi Polisi, poros Beijing, serta “pembunuhan” KPK. Sehingga, wajar jika muncul tuntutan untuk menyudahi amanat rakyat. Menteri-menteri yang dipilihnya selama masa jabatan banyak yang “belepotan”, baik pernyataan maupun kebijakan. Rezimnya tidak berprestasi, bahkan sebaliknya membuat rakyat hampir frustrasi. Terlalu berat bagi Jokowi mengemban amanat sebagai Presiden. Lebih baik pensiun. Itu lebih membahagiakan diri, keluarga, dan tentu saja rakyat. Moga. Begitu catatan Pemerhati Politik dari Bandung itu, 19 September 2019. Apalagi, dengan banyaknya anggota Parpol Koalisi Jokowi yang menjadi pesakitan KPK. Ini bisa memicu penarikan dukungan kepada Jokowi yang dianggap “tidak bisa” melindunginya. Seperti Menpora Imam Nachrowi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dengan bahasa ekstrim: Jokowi Khianati Parpol Koalisi!

Viralkan, Eskpor Komoditas Ini Naik Tajam

By Asyari Usman Selasa dinihari. Terlihat kesibukan luar biasa di halaman belakang kantor Kemenko Semua Urusan. Awak media besar-besar sudah menunggu sejak dua jam yang lalu. Bakal ada pengumuman penting tentang kenaikan ekspor Indonesia yang luar biasa besar. Ekspor ke negara-negara tetangga melonjak tajam. Menko Perekonomian menolak untuk mengumumkan kenaikan ekspor itu. Begitu juga Menteri Perdagangan. Mereka mengatakan, komoditas itu tidak masuk dalam wewenang Menko Perekonomian atau Menteri Perdagangan. Mereka mempersilakan LBP yang mengumumkan kenaikan fantastis itu. Alasannya, LBP memiliki hubungan emosional yang sangat kental dengan produksi komoditas tsb. Komoditas ini tak asing bagi LBP. Tiba-tiba LBP muncul di depan para wartawan dan awak media. Berikut ini pengantar yang disampaikan Menko: Saudara-sauadara, mohon maaf harus menunggu lama. Dengan perasaan haru bercampur sedih, saya ditugaskan untuk mengumumkan kenaikan besar ekspor suatu komoditas yang selama ini banyak diributkan orang. Sungguh tak disangka, setelah menurun selama beberapa tahun ini, ekspor kita kembali menguasai pasar regional. Komoditas ini memang tidak disukai jiran-tetangga. Tetapi, berkat kekuatan kita sebagai negara besar, akhirya komoditas ini mereka bolehkan masuk tanpa ‘import duty’ (pajak impor). Sungguh luar biasa. Komoditas yang tak disenangi oleh konsumen tetangga tapi mereka tidak bisa menolak ekspor kita. Bahkan membebaskan pajak impornya. Ini membuktikan bahwa kita berhasil mendikte negara-negara lain. Saya yakin, ekpor produk-produk lain yang sejenis dengan komoditas yang tak disukai ini, juga akan melonjak. Sekian dari saya. Silakan kalau ada pertanyaan. Begitulah LBP menutup penjelasan persnya. Tapi, semua wartawan bertanya-tanya apa gerangan komoditas yang sangat istimewa itu. Tak disukai oleh konsumen tapi malah bisa masuk ke negara tetangga tanpa pajak impor. Seorang reporter menyambar. “Apa komoditas yang Bapak maksud,” kata dia bertanya. LBP menjawab, “Kamu dari MetroTipu ya?” “Iya, Pak.” “Tolong tulis bagus-bagus ya. Komoditas ini membuat Indonesia terkenal. Kamu harus bangga,” ujar LBP. “Siap, Pak,” jawab reporter MetroTipu. Tapi, dia sangat penasaran produk apa yang dimaksudkan LBP. “Produk apa itu, Pak?” Si reporter bertanya lagi. LBP menjawab, “Berarti kamu tidak mengikuti perkembangan salah satu industri strategis kita.” “Maaf, Pak. Saya sakit dalam seminggu ini. Saya mengalami gangguan pernapasan,” kata si reporter menjelaskan. “Kamu baru datang dari Kuala Lumpur, ya?” tanya LBP. “Betul, Pak. “Seharusnya kamu sudah melihat komoditas andalan itu di sana. Wartawan apaan kamu ini,” kata LBP. “Maksud Bapak, Esemka ya Pak?” “Emangnya kamu bisa sesak napas karena Esemka?” LBP balik bertanya. “Bisa aja Pak. Malah saya jantungan kalau melihat Esemka.” LBP langsung bergegas kembali ke lift gedung Kemenko. Dia tidak menyebutkan nama produk yang ekspornya naik tajam itu. “Oooh, saya tahu maksud Bapak. Eskpor asap yang melonjak tajam, ya Pak…” kata si reporter Metrotipu agak berteriak kecil sambil melihat LBP berjalan cepat menuju lift. “Beres, Pak. Kami akan beritakan di TV bahwa asap itu awal-awalnya saja membuat sesak napas. Setelah itu akan terbiasa.Terbiasa sesak napas,” kata si reporter. LBP menekan tombol lift agak keras. Dia kelihatan dongkol. Dongkol karena terpaksa harus mutar-mutar menjelaskan lonjakan besar ekspor komoditas asap Karhutla. Di dalam hati, LBP bergumam. “Mentang-mentang gua Menko Segala Urusan, masa menjelaskan kenaikan tajam ekspor asap pun harus gua juga.” Saking kerasnya tombol naik ditekan, lift meluncur dengan kecepatan tinggi, menembus atap gedung. Warga yang melihat bertepung tangan, menyangka Kemenko sedang melakukan uji-coba roket peluncur ekspor untuk membantu Esemka. Penulis adalaha Waratwan Senior

Menyadap Persekongkolan Korup

Kreasi Lycurgus, dalam catatan Niclolo Machiavelli dalam buku “Diskursus” berumur lebih 800 tahun. Ia dipuji selamanya, karena pemerintahan hasil kreasinya membawa kesentosaan. Temuan kreatif Lycurgus itu, tak dapat disangkal mengilhami James Madison, arsitek konstitusi Amerika Serikat tahun 1787, yang dikenal sebagai perancang sistem hubungan antar tiga cabang kekuasaan. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Sudut mana di bumi Allah Subhanahu Wata’ala ini, yang dapat diandalkan untuk bersembunyi dari kejaran kebenaran? Tidakkah Allah Subhanahu Wata’ala, Pencipta alam raya ini? Dia Allah Yang Maha Tahu telah memberitahukan dengan sangat gamblang bahwa nafasmu yang tak terlihat dan teraba itu pun memiliki jejak? Tidakkah orang-orang telah diberitahu bahwa tindak-tanduk sekecil apapun, tak terbantahkan, tidak peduli secanggih apapun usaha menyembunyikannya, tetap saja terlihat terang-benderang oleh Dia Allah Yang Maha Tahu? Jadi? Adakah faedahnya melarang, dalam arti membatasi kewenangan KPK melakukan penyadapan? Bukankah seluruh tindakan orang-orang yang menyadap itu juga terekam oleh Allah Yang Maha Tahu? Tidakkah semua tindakan setiap orang, tanpa kecuali, kelak pada suatu saat pasti akan tersaji apa adanya di hadapan Dia Yang Maha Tahu? Mengapa penyadapan yang telah cukup sering dilakukan KPK, dan telah mengakibatkan sejumlah orang dipenjara, karena ketahuan melakukan kejahatan dibatasi penggunaannya dengan cara mengatur tata caranya? Disisi lain mengapa orang-orang, boleh sebagian saja di KPK dan lainnya terlihat keberatan dengan pembatasan penggunaan wewenang penyadapan itu? Akankah pembatasan penggunaan kewenangan penyadapan mengakibatkan KPK tidak lagi berfungsi? Di Jalan Sejarah Sepanjang jalan sejarah peradaban yang kelak memunculkan demokrasi dan rule of law, yang siapapun menyusurinya, dan memeriksa deteilnya akan bertemu dengan beberapa hal mengagumkan. Disepanjang jalan itu, anda akan menemukan tidak ada seorang, atau sebesar apapun kekuasaan yang selalu terkokang di tangannya, yang dapat terus terbang tinggi. Sebab pastti terjatuh mencium tanah. Tidak ada diktator dan tiran sebesar dan seganas apapun, yang dapat terus bertahan dalam kejayaan hitamnya. Pasti tidak. Firaun, sang diktator dan tiran terkejam itu, yang menyamakan dirinya dengan Tuhan, dalam kenyataannya tenggelam. Firaun tersunggkur, dan terjerembab juga dengan keangkuhannya sendiri. Namrud, sipenguasa yang sama diktatorialnya dengan Firaun jatuh juga. Namrud tenggelam dalam akhir yang pahit, menyedihkan. Kediktatorannya berakhir dengan satu pukulan alam yang mematikan. Tetapi sudahlah lupakan itu. Mari melihat kasus yang ada kaitannya dengan korupsi. Contoh terbaik adalah Romawi Kuno. Sebelum menjadi imperium, Romawi memiliki sejumlah diktator top. Tetapi saya ingin mengemukakan dua di antaranya saja. Yang pertama Gaius Ferres, sidiktator dan koruptior tak tertandingi, dengan kekejamannya. Juga tak tersaingi, dan tak tertandingi kecuali mungkin dengan dirinya sendiri pada saat menjabat gubernur Sisilia tahun 73-71 Sebelum Masehi, akhirnya dipenjarakan juga oleh Cicero. Gaji prajurit dimakan sendiri. Menerima suap dari prajurit yang bermaksud meninggalkan tugas adalah tipikal lain korupsinya. Yang hampir tak terpikirkan adalah korupsinya dalam jual-beli hukuman. Ketika seorang yang tak berdosa dihukum dengan hukuman mati. Masih harus dirundingkan besarnya uang suap untuk menentukan cara melaksanakan hukuman mati itu. Karena korupsi yang terus menjalar merasuki semua sendi kehidupan, Kaisar Valentianus (364-375 Masehi) memeranginya. Karena masifnya, ia memeranginya dengan mempraktekan pemerintahan teror. Dalam kenyataannya, terornya itu bermata dua. Banyak, tulis Syed Husen Alatas, ilmuan sosiologi korupsi paling kawakan ini, orang tak bersalah sekalipun dihukum. Sedangkan orang yang bersalah lolos. Seorang bendahara negara disuatu tempat dibakar hidup-hidup, karena kesalahan kecil. Itu sebabnya Ammianus Marcelinus, seorang sejarawan pada masanya, tulis Syed, melukiskan Valentianus sebagai orang yang berbakat biadab, bengis dan kejam. Seorang pandai besi yang mempersembahkan kepada kaisar penutup dada yang diberi hiasan. Bukannya diberi hadiah. Pandai besi itu malah dihukum mati. Penyebab, karena berat penutup dada itu sedikit lebih ringan dari yang diharapkan oleh sang Kaisar. Tinggalkan Kaisar Valentianus dan Ammianus Marcelinus. Mari beralih ke jalan sejarah disudut yang lain. Anda akan menemukan kenyataan “kerahasiaan atau merahasiakan sesuatu”. Apapun itu ternyata tersaji sepenuhnya sebagai barang buruk, seburuk-buruknya. Pada jalan itu pula akan ditemukan kesukaan “merahasiakan sesuatu”. Apapun itu tak pernah tertakdir sebagai tipikal diktator semata. Tidak. Ternyata diktator itu juga mempunyai kesukaan tertakdir sebagai tipikal orang yang gandrung mempromosikan dan mengagungkan demokrasi. Saya, tulis Syed ingat penggambaran kegiatan usaha-usaha gelap yang dikemukakan oleh Woodrow Wilson. Berulang-ulang, tulis Syed memperingatkan tentang rahasia yang menyelubungi pemilikan perusahaan dan hubungannya dengan para gembong politik. Sebagai contoh ia Woodrow Wilson tampilkan usaha surat kabar. Katanya alangkah baiknya kalau surat kabar mencantumkan nama para pemiliknya atau pemegang sahamnya. Tujuannya agar semua pembaca dapat mengetahui pendapat siapa yang disuarakan kabar tersebut. Selian itu, pendapat siapa pula yang dikesampingkan oleh surat kabar. Jika demikian, tulis Syed lebih jauh, ada undang-undang yang akan mewajibkan dicantumkan nama pemilik surat kabar itu. Hal itu akan dimentahkan dengan cara yang berbelit-belit. Pemilik surat kabar lebih suka pada kerahasiaan dan mencantumkan nama orang yang tidak berpengaruh dan tidak penting. Mereka, kata Syed lebih jauh lagi, mengatur hubungan dengan pemilik yang sebenarnya. Yang memegang dan menguasai saham atas dasar hipotesis. Akhirnya, pusat syaraf surat kabar itu terletak disuatu Bank. Orang yang menguasai penggunaan uang adalah orang yang menguasai surat kabar. Kemudian Wilson membuat kesimpulan yang tepat. “Lihat bagaimana sesuatu yang terbuat dari air raksa. Jika anda menjetikan jari anda terhadapnya, semua unsur pembentukannya akan buyar.” Cara Sehat Absolutisme disepanjang jalan sejarah tak pernah baik. Disudut terkecil sekalipun, mengandung dan memancarkan kebaikan. Itulah yang dikenali oleh Lycurgur, penguasa di Sparta Roma. Karena telah cukup detail mengenal monarki, aristokrasi dan demokrasi. Yang dalam kenyataan hanya bisa bertahan dalam waktu singkat. Lycurgus mengorganisasikan ketiga jenis pemerintahan tersebut menjadi satu. Ia membuatnya saling terhubung, saling terkait satu dengan lainnya. Kreasi Lycurgus, dalam catatan Niclolo Machiavelli dalam buku “Diskursus” berumur lebih 800 tahun. Ia dipuji selamanya, karena pemerintahan hasil kreasinya membawa kesentosaan. Temuan kreatif Lycurgus itu, tak dapat disangkal mengilhami James Madison, arsitek konstitusi Amerika Serikat tahun 1787, yang dikenal sebagai perancang sistem hubungan antar tiga cabang kekuasaan. Sistem ciptaan Lycurgus yang diberi bentuk lebih jauh oleh James Madison inilah yang saat ini dikenal dengan cheks and balances. Itu sebabnya Lycurgus, untuk alasan sebagai penemu terdahulu, lebih tepat ditahbiskan sebagai peletak dasar sistem cheks and balances. Sejarah yang telah menyatakan kebenarannya itu, untuk alasan yang sehat, mestinya membawa siapapun melihat pembentukan norma hukum tentang tata cara penyadapan. Pembentukan unit pengawasan terhadap penggunaan seluruh wewenang KPK, dilihat sebagai panggilan yang menyehatkan. Mengatur tata cara penyadapan, untuk alasan secanggih apapun, tidak bakal termaknai sebagai “penghilangan wewenang penyadapan” KPK. Itu pasti tidak. Membentuk unit pengawasan, juga sama. Tidak bisa, dengan argumen apapun, dimaknai sebagai cara mengucilkan, secara kasar maupun halus KPK dari pertempuran melawan korupsi. Tidak. Nalar pras toto seperti itu cukup jelas. Terlalu sulit untuk tidak membawa dan menahbiskannya sebagai nalar menyesatkan. Tentu tak berkelas menurut timbangan nalar peradaban. Membatasi dengan cara mengatur “tata cara penggunaan wewenang” sama sekali tak bernalar analogis, dan silogistis sebagai penghilangan. Juga tidak. Bukan saja karena KPK tetap dapat melakukan penyadapan menurut tata cara tertentu. Juga mendapat izin dari pengawas, tetapi terhadap kasus-kasus yang dilaporkan ke KPK. Kalau KPK mau, maka KPK dapat melakukan penyadapan terhadap kasus diselidiki dan disidik oleh KPK. Pembaca yang budiman. Memerangi kejahatan, sebagaimana yang telah dibuktikan kebenarannya dalam sejarah, tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama buruknya dengan kejahatan itu sendiri. Tidak. Gema perang melawan korupsi saat ini, dengan sejumlah kenyataan terlihat seperti pisau bermata dua. Ini tidak baik. Memompa moralitas perang terhadap korupsi di satu sisi, tetapi pada saat yang sama membiarkan mesin produksi korupsi terus eksis. Misalnya, pemilu langsung disisi lainnya, sejujurnya adalah hal yang naïf, senaif-naifnya. Naif betul menerima pemilu sebagai ekspresi hak semata. Pemilu disisi lain merupakan medan pemodal membeli kekuasaan secara halus. Orang yang dibeli, dan membeli sama-sama tak mungkin adalah orang yang baik. Menariknya Machiavelli menemukan kenyataan dan membuat tesis, “orang baik tidak bakal menaiki tangga kekuasaan, mengandalkan, mempertahankan kekuasaannya dengan cara yang terlihat baik dikulit, tetapi jahat dalam esensinya. Tidak. Orang baik tidak pernah bermuka dua. Sadaplah setiap pembicaraan persekongkolan membuat korupsi. Lakukanlah secara benar. Membiarkan korupsi sama dengan menempatkan moralitas ditempat sampah. Sama busuknya dengan memberantas korupsi dengan cara yang korup dan jahat. Korupsi tidak dapat ditoleransi dengan menyodorkan skala jumlah uang yang dikorupsi. Karena anda, dengan cara apapun instrumennya, tidak dapat mengukur secara tepat efek sosialnya terhadap setiap sudut kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jelas itu. Penulias adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Firli Bahuri Ketua KPK, "Titipan" Siapa?!

Jika melihat jejak kariernya itu, tentu tidak salah kalau Firli disebut-sebut sebagai “orangnya” SBY yang sengaja dipasang di KPK. Atau “orangnya” BG/PDIP dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang telah membebaskannya dari pelanggaran kode etik KPK. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Seperti halnya Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, Irjen Polisi Firli Bahuri adalah “orangnya” Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya Ruki dan Firli. Konon, Agus Rahardjo termasuk “orangnya” SBY juga. Empat orang lainnya, selain Laode Muhammad Syarif yang “orangnya” Wapres Jusuf Kalla, “orangnya” SBY Cs. Jadi, jika pada 2018 dan 2019 ini tak ada kader Demokrat yang diciduk KPK, karena ada orangnya SBY yang bercokol di dalam KPK. Pengkhianatan SBY Cs pada PDIP melalui hasil capim KPK jilid IV yang terpilih pada 17 Desember 2015 lalu, tak ada seorang pun “titipan” PDIP. Tinggal Aris Budiman, Dirdik KPK, yang satu-satunya tangan Budi Gunawan/PDIP di KPK. Tapi, AB yang sudah out dari KPK itu, tak berkutik untuk bisa menghalangi tokoh-tokoh PDIP yang menjadi target OTT KPK dan penunggangan kasus BLBI untuk ancam Megawati Soekarnoputri jadi tersangka jika PDIP menolak usung Joko Widodo sebagai Capres Petahana 2019. Apakah terpilihnya Irjen Firli Bahuri yang kini masih menjabat Kapolda Sumatera Selatan ini hasil rekonsiliasi antara SBY Cs dengan BG/PDIP? Sehingga, nantinya Firli bisa “menjamin” untuk tidak mengusik politisi dari Parpol Koalisi Jokowi? Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, Irjen Polisi Purnawirawan, politikus, anggota DPR. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1971 ini terpilih jadi Ketua KPK, 16 Desember 2003 hingga digantikan oleh Antasari Azhar pada 2007. Jika melihat jejak digital terkait pimpinan KPK, tentu saja terpilihnya Irjen Firli Bahuri tidak menyalahi aturan hanya karena dia seorang anggota Polri. Apalagi, sejarah KPK mencatat, pernah pula dipimpin seorang yang berlatar anggota Polri. Terakhir, saat KPK dipimpin Agus Rahardjo pun ada seorang anggota Polri bernama Basaria Panjaitan. Pertanyaannya, mengapa ketika Irjen Firli Bahuri yang dipilih Komisi III DPR RI sebagai Ketua Terpilih KPK 2019-2023 dipersoalkan? Firli Bahuri terpilih bersama Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintouli Siregar. Kecuali Alex, yang petahana komisioner KPK, yang lainnya terbilang “wajah baru”. Belum terungkap mereka ini titipan siapa. Mengapa Ditolak? Terpilihnya Irjen Firli Bahuri bukan hanya direaksi oleh eksternal KPK. Dalam internal KPK juga terjadi penolakan, terutama dari Wadah Pegawai KPK. Pasalnya, saat Firli menjadi Direktur Penyidikan, dia melanggar kode etik sebagai Pegawai KPK. Adalah Abdullah Hehamahua, penasehat KPK yang cukup keras menyikapi terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Saat diketahui Firli telah melanggar kode etik, pimpinan KPK lebih setuju mengembalikan Firli ke Polri daripada diproses. Dari 5 pimpinan KPK, 3 setuju dikembalikan, makanya tak ada pemrosesan lebih lanjut. Tujuannya untuk menjaga hubungan baik dengan coklat (Polri), ternyata malah nyapim. “Tragis, rasanya saya mau ganti warga negara saja,” tulis Hehamahua. “Tahun lalu saya diundang Pengawas Internal (IP) KPK sebagai ahli untuk dimintai keterangan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli. Saya diperlihatkan video dan foto-foto Firli berhubungan dengan orang yang sedang diperiksa KPK,” ujarnya. “Atas pemeriksaan dan rekomendasi PI, Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) menyidangkan Firli dan dijatuhi sanksi atas pelanggaran berat sehingga seharusnya dipecat (sesuai SOP di KPK),” ungkap Hehamahua. Kesalahannya tiga: berhubungan dengan tersangka/calon tersangka, menerima gratifikasi, dan memainkan kasus di KPK. “Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seharusnya Firli tidak hanya dijatuhi sanksi etik tapi juga sanksi pidana,” tegasnya. Sebelum putusan DPP dieksekusi pimpinan, Firli ditarik instansinya, bahkan dipromosikan menjadi Kapolda Sumsel. “Jadi kalau ada yang membela Firli, maka saya melepaskan diri dari mereka ketika pertanggungjawaban di akhirat nanti,” lanjutnya. “Bila perlu saya dikeluarkan dari grup ini. Tapi ada kelucuan lain dari Pansel dan Komisi 3 yakni diantara komisioner yang dipilih itu, ada salah seorang yang beberapa tahun lalu tidak lulus seleksi pegawai KPK tapi lulus jadi komisioner,” ujar Hehamahua. “Memang dunia sudah mau kiamat,” tutur Hehamahua yang tulisannya beredar di berbagai grup WA ini. Dan, perlawanan atas terpilihnya Firli dilakukan secara terbuka sebelum ke-5 pimpinan KPK mengembalikan mandatnya ke Presiden Joko Widodo. Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan fakta terkait data penanganan kasus di lembaga antirasuwah itu. Pernyataan itu disampaikan Agus di tengah gelombang penolakan terhadap revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ia mengungkap, lebih dari seribu perkara korupsi sudah ditangani. “Tapi ini bukan hanya soal jumlah orang yang ditangkap dan diproses hingga divonis bersalah melalukan korupsi saja. Jabatan pelaku korupsinya juga terbaca jelas,” kata Agus, Jumat (6/9/2019). Pelaku pejabat publik terbanyak adalah anggota DPR dan DPRD, yaitu dalam 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. “Setelah itu, sejumlah politisi kembali diproses,” ujarnya, seperti dilansir Detik.com. Dengan UU KPK yang saat ini berlaku, Agus menganggap kinerja KPK tak pandang bulu. Bila revisi UU KPK mulus terjadi di DPR, Agus menyebut ada pasal-pasal yang bisa mematikan kinerja KPK selama ini. “Selama upaya pemberantasan korupsi dilakukan di Indonesia, mungkin tidak akan pernah terbayangkan ratusan wakil rakyat dan kepala daerah tersentuh hukum. Adagium hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas sering sekali kita dengar,” ujar Agus. Tapi, dengan dukungan publik yang kuat, KPK berupaya untuk terus menjalankan tugasnya. Selain anggota DPR, DPRD, kepala daerah, ada 27 menteri dan kepala lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II, dan III. “Tercatat, Ketua DPR RI dan Ketua DPD aktif dan sejumlah menteri aktif yang melakukan korupsi juga ikut diproses,” ungkap Agus. Menurut Agus, angka-angka di atas tentu bukan sekadar hitungan numerik orang-orang yang pada akhirnya menjadi tersangka hingga bisa disebut koruptor. Kasus-kasus ini, lanjut Agus, tentu juga terkait ratusan proyek pemerintah dan perizinan. “Proyek dengan nilai hingga ratusan miliar itu, atau bahkan, triliunan rupiah dipotong untuk kepentingan sejumlah pejabat yang mereka sebut commitment fee,” ungkap Agus lagi. Padahal seharusnya uang rakyat Indonesia yang menjadi sumber utama anggaran, harus dapat dinikmati secara penuh oleh masyarakat. “Niat baik pemerintah untuk membangun negeri ini diselewengkan para pelaku korupsi,” lanjut Agus. Pernyataan Agus muncul tak lama usai ratusan pegawai KPK menggelar aksi menolak revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di lobi gedung KPK, Jumat (6/9/2019). Turut hadir antara lain Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Dalam kesempatan itu, Saut mengatakan, lima pimpinan KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi terkait revisi UU KPK. “Mudah-mudahan untuk dibaca, untuk direnungkan, kemudian mengambil kebijakan,” katanya. Sebelumnya, sebanyak 10 fraksi dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (5/9/2019), sepakat revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Keputusan itu tak ayal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, tidak terkecuali di kalangan pimpinan KPK. Firli Bahuri lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 7 November 1963. Dia menjadi anggota Polri sebagai lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) pada 1990. Firli kemudian masuk di PTIK pada 1997. Pada 2001, dia menjabat Kapolres Persiapan Lampung Timur. Pada 2004, Firli kemudian menempuh Sekolah Pimpinan Menengah (Sespimen). Kariernya berlanjut dengan ditarik ke Polda Metro Jaya menjadi Kasat III Ditreskrimum, 2005-2006. Selanjutnya dua kali berturut-turut menjadi Kapolres, yakni Kapolres Kebumen dan Kapolres Brebes pada 2008 saat pangkatnya masih AKBP. Kariernya semakin moncer ketika ditarik ke Ibukota menjadi Wakapolres Metro Jakarta Pusat pada 2009 lalu. Kepercayaan terus mengalir pada Firli. Dia didapuk menjadi ajudan Presiden SBY pada 2010. Keluar dari Istana, Firli lantas memegang jabatan Direskrimsus Polda Jateng pada 2011. Firli kembali ke Istana dan kali ini menjadi ajudan Wapres RI Boediono pada 2012. Dia kemudian menjabat Wakapolda Banten pada 2014 dengan pangkat Kombes. Firli juga sempat mendapat promosi Brigjen saat dimutasi jadi Karo Dalops Sops Polri pada 2016. Puncak kariernya di Polri diraih setelah “dikembalikan” dari KPK ke Mabes Polri dan dipromosikan sebagai Kapolra Sumsel. Jika melihat jejak kariernya itu, tentu tidak salah kalau Firli disebut-sebut sebagai “orangnya” SBY yang sengaja dipasang di KPK. Atau “orangnya” BG/PDIP dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang telah membebaskannya dari pelanggaran kode etik KPK.

Saatnya Melawan, Ada Apa dengan TEMPO?

Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu tulisan di dalam majalah TEMPO Edisi 16-22 September 2019 berjudul, “Saatnya Sama-Sama Melawan” berisi tentang ajakan kepada publik untuk melawan secara massif atas rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota DPR. “Tanpa perlawanan masif dari publik, rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengebiri kemandirian dan kewenangan KPK akan berjalan tanpa hambatan,”tulis TEMPO, 16-22 Septermber 2019 itu. Langkah Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, menyerahkan kembali mandat gerakan pemberantasan korupsi kepada Presiden patut didukung. Menurut TEMPO, tindakan itu menegaskan rasa frustrasi mereka atas minimnya dukungan Jokowi kepada kerja KPK belakangan ini. Contoh paling nyata adalah tindakan Presiden menyetujui rencana DPR merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tanpa sama sekali berbicara kepada pimpinan Komisi. Sejak awal, proses revisi itu terkesan diam-diam dan tergesa-gesa. Padahal tak ada kegentingan apa pun yang memaksa pembahasannya harus dikebut pada hari-hari terakhir masa tugas parlemen periode ini. Wajar jika publik curiga ada agenda terselubung mematikan KPK. Apa pun dalih Presiden Jokowi, publik sudah pandai mencerna realitas. Faktanya: Istana setuju jika sepak terjang KPK diawasi sebuah lembaga yang merupakan kepanjangan tangan Presiden, setuju jika penyidikan bisa disetop dan status tersangka bisa dicabut, serta setuju semua pegawai KPK menjadi ASN yang tunduk kepada aturan-aturan birokrasi pemerintah. Diakui atau tidak, ketiga persetujuan itu bakal mengakhiri keberadaan KPK seperti yang kita kenal selama ini. Terpilihnya Firli Bahuri, mantan Deputi Penindakan KPK yang pernah terlibat pelanggaran etik, menjadi ketua baru komisi anti korupsi dalam sidang Komisi Hukum DPR pekan lalu menambah kecemasan kita. Kapolda Sumatera Selatan itu jelas-jelas tak punya respek terhadap kode etik, yang justru dibuat untuk memastikan tak ada konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi. Rekam jejak Firli membuat masa depan KPK makin memprihatinkan. Apa yang bisa diharapkan dari seorang penegak hukum yang enteng saja memberikan perlakuan khusus kepada pejabat negara dan pemimpin partai politik? Belum lagi catatan soal kasus-kasus korupsi yang sengaja dihambat atau ditunda ketika Firli menjadi pejabat KPK. Terpilihnya Firli adalah tanggung jawab Presiden Jokowi, yang memberikan mandat dan menentukan komposisi panitia seleksi. Tak berlebihan kiranya jika publik menilai Presiden sudah jatuh dalam perangkap oligarki di sekelilingnya. Para aktivis pendukung Jokowi yang kini merapat ke Istana telah gagal mengawal agenda reformasi di jantung lembaga eksekutif. Perubahan sikap dan komitmen Jokowi ini amat kentara jika kita bandingkan dengan hari-hari pertamanya menjadi presiden lima tahun lalu. Pada saat itu, bahkan untuk memilih menteri kabinetnya, Jokowi berkonsultasi lebih dulu dengan KPK. Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Menurut tulisan TEMPO , bukan saatnya lagi mendikotomikan publik berdasarkan kategori pendukung Jokowi atau Prabowo Subianto—dua kandidat presiden pada Pemilihan Umum 2019. Mengkritik Presiden bukan berarti mendukung Prabowo. Menolak pelemahan KPK bukan berarti mendukung radikalisme agama – fitnah sontoloyo yang selama ini kerap dilancarkan kepada Komisi. Puluhan juta penduduk yang mencoblos Jokowi dalam pemilihan presiden lalu harus ikut bersuara. Kritik TEMPO TEMPO “doeloe” – selama 5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, tampak sekali dukungannya dalam penulisan. Sebelum Pilpres 2014 hingga Jokowi terpilih dan menjabat Presiden, sangat jelas keberpihakannya pada Pemerintah. Kita masih ingat, begitu dinyatakan menang Pilpres 2014, foto Jokowi diusung dan dibopong ramai-ramai oleh awak TEMPO beredar luas. Bahkan, tak cuma TEMPO cover TIME pernah menyebut, “A NEW HOPE, Indonesian President Joko Widodo Is A Force for Democracy”. Pembelaan atas kebijakan Presiden Jokowi sangat kentara sekali. Sampai ada yang menyebut bahwa TEMPO “terlibat” dalam pencitraan positif Jokowi selama ini. “Kalau kritis harusnya bukan Janji Tinggal Janji. Tapi, A New Problem,” ujar Prof. Hendrajit. Direktur Eksekutif The Global Future Institute yang juga wartawan senior itu menilai, kalau majalah kondang yang sekarang tiba tiba kritis kepada Jokowi, “Sebenarnya hanya pengen memperbaharui kontrak,” ungkapnya. “Apalagi kalau call sign yang dipakai: janji tinggal janji. Ini bukan kritis. Sejatinya masih satu rasa, cuma lagi il feel. Pengen balikan, tapi dengan saling pengertian yang baru. Jale jale,” lanjutnya. Istilah jale ini mengingatkan tulisan seseorang yang mengaku mantan wartawan TEMPO yang ditulis di Kompasiana.com. Jale menjadi kosakata Slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’. Melansir Tempo.co, Selasa (12 November 2013 11:58 WIB), TEMPO bersama lembaga riset KataData dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh penulis anonim dengan nama Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013. Di tulisan berjudul "TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?" disebutkan Dirut PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harimurti menelepon Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin menanyakan soal proposal KataData. KataData menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Saat itu, Rudi adalah komisaris bank pemerintah itu. KataData yaitu lembaga riset yang dipimpin Metta Darmasaputra, mantan wartawan TEMPO. Menurut penulis itu, karena Mandiri tak meloloskan proposal KataData, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk "Setelah Rudi, Siapa Terciprat?" pada edisi 18 Agustus 2013 dengan gambar sampul Rudi Rubiandini. “Saya malah baru tahu ada proposal Metta (KataData) ke Mandiri dari tulisan ini. Kalau Tempo jauhlah dari memeras. Iklan yang diduga ‘bermasalah’ saja kami tolak kok,” kata Bambang. Menurutnya, staf humas Mandiri, Eko Nopiansyah, yang disebut dalam tulisan itu sudah ditanya, dan membantahnya. “Kata Eko, hoax, dia tak pernah bertemu dengan eks wartawan Tempo angkatan 2006, atau angkatan berapa pun, atau yang bukan eks wartawan Tempo, dan membicarakan yang dituduhkan penulis artikel itu,” kata Bambang. “Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham Grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar Grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah,” tulis Jilbab Hitam. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie. Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya seperti yang disebut Jilbab Hitam dalam tulisan tersebut. Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawa Pos. “Teman saya di Jawa Pos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawa Pos) adalah, gaji para wartawan Jawa Pos tidak besar,” ungkapnya. Namun, manajemen Jawa Pos menganjurkan para wartawannya untuk mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. “Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan,” lanjut Jilbab Hitam. TEMPO berbeda. “Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka Rp 3 jutaan. Terakhir malah mencapai Rp 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang,” ungkapnya. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan. Disebutkannya, media sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, dan sebagainya yang disebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. “Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang,” tegasnya. Ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, memangnya tak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI? Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)? Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery? Memangnya, ketika TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Ketika itu, “Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar,” ungkap Jilbab Hitam. Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. “Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?” tulisnya. Itulah fakta TEMPO yang mungkin selama ini tertutupi dengan tulisan-tulisan kritisnya yang “Enak Dibaca dan Perlu”. Apakah kritisnya TEMPO kepada Presiden Jokowi atas terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK akan berujung pada Jale-Jale (suap)?

Jokowi Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelemahan KPK

Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Ada yang tak lazim dilakukan Jokowi soal upaya pembenahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibandingkan masalah lain yang butuh waktu cukup lama. Tak begitu halnya dengan masalah KPK. Ada dua keputusan super cepat yang dikeluarkan Presiden Jokowi, sehingga patut dipertanyakan. Pertama, pengembalian 10 nama calom pinana (capim) KPK kepada DPR yang cuma berselang dua hari. Terhitung sejak diserahkan oleh Pansel kepada presiden. Kedua, Presiden Jokowi mengirimkan surat presiden (surpres) Nomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi undang-unadng KPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Rabu 11 Septembes 2019 kemarin. Hanya berselang lima hari sejak draft materi revisi undang-unang KPK telah diserahkan kepada Presdien sebagai pemegang kendali utama dalam urusan pemerintahan kepada DPR. Ketika itu presiden berjanji akan mengkajinya terlebih dahulu. Pada hari yang sama, pernyataaan presiden itu dikuatkan senada oleh Menteri Sekretariat Negara, Pratikno. Menurut Menteri Pratikno, sikap pemerintah sejauh ini mengenai revisi undang-undang KPK yang diajukan DPR tersebut, “banyak memerlukan koreksi”. Presiden bakal menambahkan banyak revisi pada draf yang diajukan sebelumnya. Surpres itu menjadi ganjil. Sesuai ketentuan, presiden masih punya waktu selama 60 hari untuk membahasnya terlebih dahulu. Pasal-pasal mana saja yang dinilai presiden bisa melemahkan KPK sebelum diserahkan kepada DPR. Apalagi mengingat masa bakti anggota DPR 2014-2019 tinggal menghitung hari saja. Hanya sekitar 20 hari lagi.. Tak ada alasan bagi presiden untuk tergesa-gesa melakukan koreksi. Atau memang draft itu berasal dari satu sumber yang sama? Rupanya ada kejar tayang dan target yang hendak disasar. Dari dua rangkaian peristiwa super cepat tersbut, sejatinya kesungguhan Presiden Jokowi untuk memberantas korupsi tengah mendapat ujian berat. Komitmennya tengah diuji. Seperti sedang meniti tali, antara membesarkan atau mengkerdilkan KPK. Langkah super cepat yang telah diambil presiden, sejauh ini membuat banyak orang bahkan pendukungnya mulai ragu-ragu. Akankah Jokowi sanggup untuk “selamat sampai ke seberang?” Untuk perseteruan KPK-DPR kali ini, tampak sekali presiden “main mata” dengan DPR. Sungguh, sikap kurang terpuji yang dipertontonkan di tengah konflik tahunan dua lembaga negara yang tak kunjung usai. Seperti di film kartun, KPK-Polri ibarat Tom and Jerry. Sepatutnya presiden justru hadir sebagai pengayom. Dengan kuasa eksekutif yang dimilikinya, presiden punya kekuatan untuk membatalkan atau menunda dulu pemilihan capim KPK maupun pembahasan revisi undang-undang KPK. Paling kurang tak terlalu ngotot tergesa-gesa menyampaikan Surpres kepada DPR lantaran secara ketentuan masih banyak waktu tersedia. Berilah ruang bagi komisioner KPK untuk aktif terlibat bersama pemerintah. Seolah ada keyakinan bahwa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pembahasan revisi undang-undang KPK akan menghasilkan undang-undang baru yang kelak menguatkan KPK. Pikiran semacam ini keliru. Waktu singkat takkan menjamin akan menjadi lebih baik. KPK bukanlah sarang taliban yang mesti diserang dari segala penjuru. Komisioner dan pegawai KPK masih berada di ranah yang selaras dengan buku manual pemberantasan korupsi. Panduan yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah. Kendati popularitasnya merosot, KPK masih menjadi medium bagi masyarakat dalam mencari rasa keadilan, lantaran uangnya dicuri. Sangat disayangkan, presdien justru mengambil jarak tanpa memaksimalkan perannya selaku Kepala Negara untuk mendamaikan perseteruan. Malah nimbrung bermain menjadi sekutu DPR. Draft Warisan Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Sekilas membaca draft revisi, rupanya tak jauh beda dengan draft tahun sebelumnya yang sempat tertunda pembahasannya. Lho kok tahu? Sanagat gampang dan mudah Bandingkan kualitas Komisi III DPR saat ini periode sebelumnya (2009-2014). Lihat saja sisi produktivitas undang-undang yang berhasil ditelurkan, maupun kemampuan dalam menjaga sinergitas antar lembaga penegakan hukum. Tidak terasa perberbedaan kualitasnya. Maka tak heran bila draft revisi merupakan duplikasi dari draft Komisi III DPR periode sebelumnya. Kendati ada sedikit polesan perubahan, namun sekedar hanya untuk pembeda belaka. Substansinya draft revisi itu merupakan penjabaran dari rapat internal Komisi III DPR sewaktu dipimpin oleh Benny Kabur Harman. Selain itu, dulu ada Ahmad Yani, Fahri Hamzah, Bambang Soesatyo dan Sarifuddin Sudding. Kala itu, Ketua Komisi II DPR Benny Kabur Harman, diminta oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso untuk segera merumuskan draft yang memuat 10 poin kewenangan KPK yang mesti direvisi. Intinya, KPK akan diminta fokus hanya untuk pencegahan. Jangan heran, dalam kampanye salah satu konsiderannya adalah perlunya revisi KPK, karena dinilai telah gagal dalam melakukan pencegahan. Ada pun hak penyelidikan dan penyidikan menjadi ranah polisi. Kemudian hak penuntutan diserahkan kepada Jaksa. Na'as, draft revisi undang-undang KPK tersebut akhirnya kandas di tengah jalan. Mati suri sebelum pembahasan. Kala itu, Presiden SBY tak sepenuhnya mendukung, lantaran pada masanya konflik KPK versus DPR maupun KPK versus Polri kerapkali terjadi dalam beberapa babak. SBY tak ingin sejarah mencatat dirinya sebagai presiden pencoreng noktah merah pelemahan KPK. Draft revisi itu rampung pada 23 Februari 2012. Covernya ditulis dengan judul huruf berwarna merah. Bertuliskan “Penghapusan Kewenangan Penuntutan oleh KPK”. Yang menarik ada konsideran memuat narasi pokok sebagai ruh perubahan. Begini bunyinya, “satu hal penting lainnya yang diatur dalam undang-undang ini adalah penghapusan tugas penuntutan oleh KPK”. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, penuntutan adalah tugas kejaksaan. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam usulan revisi, tugas tersebut dikembalikan kepada kejaksaan, sehingga KPK diharapkan lebih focus Dalam menjalankan tugasnya. (Budi Setyarso, 2012). Penulis sepenuhnya setuju bahwa dalam rangka penguatan peradilan pidana terpadu (integrated due process of law) untuk hal penuntutan, komisioner KPK mesti terlebih dahulu berkonsultasi kepada Jaksa Agung atau Jampidsus. Setiap penuntutan harus dikonsultasikan lebih dulu. Lantas pertanyaannya, apakah benar selama ini mekanisme kebijakan penuntutan oleh Jaksa KPK mengabaikan integrated due process of law tadi? Apakah benar, kejaksaan tidak diajak turut serta memutuskan tuntutan Jaksa dalam satu perkara korupsi? Rasanya tidak benar juga. Suatu ketika, penulis pernah dikabari oleh salah seorang Jaksa sewaktu sesi penuntutan dalam persidangan perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang molor dimulai. Sang Jaksa mengabari bahwa rencana tuntutan (rentut) masih dikonsultasikan dengan Kejaksaan. “Tunggu persetujuan Sisiangamangaraja satu dulu,” begitu katanya. Tak kalah pentingnya. Draft revisi juga mencantumkan ketentuan tentang Dewan Pengawasan yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Usulan ini boleh dibilang upaya pembonsaian kinerja KPK. Lho kok begitu? Selain menciptakan spriral pengawas yang tak berujung, kehadiran Dewan Pengawas tetap saja tak menjamin Dewan Pengawas bekerja independen. Kehadiran Dewan Pengawas justru memunculkan kekuatiran kinerja KPK akan dintervensi atau direcoki dari dalam. Lagi pula selama ini KPK sudah dilengkapi dengan Pengawas Internal dan eksternal. Pengawas internal yakni Komite Etik dan Penasehat Internal. Dalam rangka perbaikan, Penasehat Internal perlu diperluas bobot kewenangannya dengan fungsi pengawasan. Tanpa perlu lagi dibuat organ baru yang justru akan menimbulkan over laping. Sedangkan, pengawasan eksternal, selama ini sudah tertata baik. Lewat medium Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPK dengan Komisi III DPR sebagai mitra kerja. Komisi III DPR telah berfungsi sebagai pengawas eksternal. Tak cuma itu, ada RDP gabungan antara Komisi III DPR, Polri, KPK dan kejaksaan. Tujuannya untuk membangun sinergitas dan koordinasi antara intitusi penegak dengan lembaga pengawas eksternal. Publik juga secara terbuka dapat turut mengawasi dan menilai KPK. Caranya dengan mengirimkan laporan kepada Komite Etik maupun Penasehat Internal terhadap penyidik yang bermasalah. Kehadiran Dewan Pengawas adalah justru dianggap sebagai upaya legitimasi transformasi perubahan fungsi dan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Terkait dengan pemberlakuan SP3, memang KPK mesti membuka diri. SP3 adalah instrumen dalam menciptakan kepastian hukum. Adanya keterbatasn personal dan rumitnya data dalam pengumpulan alat bukti ditenggarai menjadi sebab kinerja KPK terbatas. Belum lagi pergulatan di internal KPK yang membuat pengambilan keputusan berjalan lamban. Sehingga berlawanan dengan masyarakat yang menghendaki kasus-kasus kakap diungkap sesegera mungkin. Kegagalan dalam merumuskan, mencari dan mengumpulkan alat bukti boleh jadi menjadi beban tersendiri dalam membidik kasus. Penyelidikan tak bisa ditingkatkan lantaran tak cukup bukti. Sementara KPK tak mengenal SP3 untuk menghentikan kasus yang terlanjur diselidiki dan ditingkatkan ke penyidikan. Tak heran, banyak kasus menumpuk tak terselesaikan dalam waktu lebih dari dari dua tahun. Contohnya kasus R.J Lino, mantan Dirut PT Pelindo II yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka hamper genap empat tahun, sejak akhir 2015 Akibatnya, tersangka hidup tanpa kepastian hukum. Solusimya adalah penyidik KPK harus diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3. Selama lebih dari tiga tahun kinerjanya tak beranjak mengalami kemajuan, maka SP3 adalah cara terhormat untuk memberikan kepastian hkum kepada tersangka. SP3 juga diberikan untuk kasus-kasus yang mandeg penangananya. Dengan begitu, penyidik dituntut untuk lebih professional dalam bekerja. Lonceng Kematian Lonceng telah dikumandangkan. Presiden dan DPR telah bersekutu untuk memulai pembahasan revisi undang-undang KPK dengan satu tafsir. Tidak ada poin krusial yang diperdebatkan, sehingga tidak butuh waktu panjang untuk membahasnya. KPK sebagai lembaga superbody yang independen tengah dipertaruhkan. Tanpa dukungan Presiden dan legislatif, sulit berharap Komisi mampu bekerja maksimal. Andai kedua pihak, presiden dan DPR bersekutu itu menggunakan otoritasnya untuk mengubah keadaan KPK, seperti yang terjadi saat ini, maka lonceng kematian KPK sudah tiba. Indikasinya sudah mulai tampak jelas. Namun sebelum lonceng kematian itu berbunyi, pengunduran diri serentak tiga Komisioner KPK menjadi jalan pintas penyelamatan. Pengunduran diri tiga komisioner KPK mesti dibarengi dengan penyerahan mandat kepada Presiden disertai surat resmi secara tertulis. Tindakan ini bukan tanpa dasar dan menyalahi ketentuan. Hal itu diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 32 ayat (1) butir 5 menyebutkan bahwa pemimpin komisi berhenti atau diberhentikan karena alasan mengundurkan diri. Opsi ini mestinya bisa dipakai komisioner KPK untuk bargaining kepada Presiden. Mendesak agar komisioner KPK diberikan ruang partisipasi sejajar dengan mitranya dalam melakukan pembahasan revisi. Pembangkangan para komisioner bukan lantaran adanya rencana perubahan, tetapi lantaran tak pernah ikut dilibatkan dalam merumuskan revisi undang-undang KPK. Kondisi semacam ini mengandung makna, arah pembahasan digelar in absentia alias tanpa keterlibatan komisioner. Dengan kata lain, tak ada lagi pintu untuk diskusi. Keputusan Presiden mengirimkan surpres ditafsirkan Presiden ingin revisi segera kelar. Bukankah sikap tergesa-gesa ini dapat diartikan ada target yang hendak dicapai? Dengan pembahasan yang tergesa-gesa, tak akan ada solusi pemberantasan korupsi yang bakal memuaskan publik. Sebaliknya, komentar presiden dalam konprensi pers Jum’at (13/9/2019) kemarin malah muncul kesan kuat presiden tak punya pengetahuan sedikit pun mengenai revisi. Sikap Presiden ini jelas berbahaya. Dugaan adanya konspirasi dibalik upaya pelemahan KPK bisa samakin kuat. Bila dibiarkan berlanjut, bisa-bisa terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden yang katanya dipilih oleh mayoritas rakyat itu. Presiden harus tegas bersikap menunda pembahasan dan mengundang komisioner KPK untuk turut aktif terlibat. Kini, yang dibutuhkan hanya tinggal ketegasan. Presiden tinggal perintahkan koalisi parpol pendukungnya agar menunda pembahasan. Dengan cara itu kita masih percaya bahwa presiden memang punya semangat dan komitmen kuat dalam soal pemberantasan korupsi. Persis seperti yang disampaikannya dalam kampanye pilpres tempo hari. Sekarang ini waktu yang tepat bagi publik untuk menagih janji Presiden. Publik butuhj pembuktian dari presdien bahwa program anti korupsi yang terlanjur muluk disampaikan itu bukan sekedar pepesan kosong belaka. Tentu Presiden mesti bernyali, tetapi adakah nyali itu? Wallahu ‘alam bissawab Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pegiat Anti Korupsi

Ada Bara Kecil di KPK

Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Demokrasi sejauh ini telah diterima sebagai tatanan politik paling akseptabel di antara tatanan lainnya. Tetapi pada saat yang sama tidak boleh dilupakan bahwa demokrasi juga mengandung sisi manipulatif yang canggih. Sayangnya, sisi manipulatif ini terlalu sering terabaikan. Salah satu sisi manipulatifnya adalah bentangan jarak teramat jauh antara pemilih dengan mereka yang dipilih. Akibat nyatanya adalah pemilih tak tahu apa yang dilakukan oleh mereka yang terpilih. Sungguhpun begitu demokrasi memiliki satu postulat paling mengagumkan. Postulat itu adalah tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah di negara demorasi yang bebas dari pengawasan. Singkatnya tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah yang tak terkontrol. Deteil kontrol terhadap setiap organisasi negara atau pemerintah, dalam semua negara demokrasi didefenisikan dalam hukum. Itu prinsipil sebagai nilai fundamental demokrasi yang bersendikan rule of law. Postulat lainnya yang sama mengagumkan adalah tentang hak dan kewenangan. Postulat ini, dalam garis besarnya menggariskan hak dan kewenangan hanya ada dalam hukum. Hanya dalam hukumlah hak dan kewenangan ditemukan. Tidak lebih, tidak juga atas suka atau tidak suka. Apa konsekuensinya? Pejabat atau organ negara sehebat apapun tidak bisa, dengan alasan apapun, menciptakan sendiri atau mengarang sendiri hak dan kewenangannya. Postulat ini memang terlihat ekstrim, tetapi hanya itu cara memelihara, bukan hanya demokrasi tetapi juga tertib bermasyarakat. Boleh saja postulat ini diremehkan dengan menyodorkan perspektif hukum progresif khas Philiph Selznick, atau perspektif teori keadilan Richard Posner. Dua ahli hukum dan hakim agung Amerika Serikat yang memutus hasil sengketa pemilu antara Al-Gore dengan George Wolker Bush, Jr. Boleh juga postulat itu dituduh tipikal positifistik Hans Kelsen, ahli hukum yang tersohor di dunia ilmu hukum dengan teori hukum berjenjang yang gemilang itu. Tetapi demokrasi tidak menyediakan argumen lain yang falid untuk menyangkalnya. Tragis memang. Namun demokrasi dan rule of law mengenyampingkan rasa etik dan rasa moral untuk ditembakan sebagai peluru berdaya ledak mematikan terhadap norma hukum yang secara positif berlaku. Demokrasi memang tidak mengharamkan “legitimasi” atas hukum. Itu jelas dan sangat jelas. Namun harus diketahui bahwa demokrasi dan rule of law menghormati legitimasi sebagai yang amat sangat sosiologis dan politis. Larry Cata Backer, professor hukum pada The Dickinson School of Law of the Pensylvania State University, penulis article From Constitution to Constitutionalism : A Global Framwork for Legitimate Public Power System, mengakuinya. Pengakuannya terlihat mengagumkan. Katanya konstitusi tanpa legitimasi bukan konstitusi dalam keseluruhannya. Legitimasi, dalam pandangan profesional akademiknya merupakan satu fungsi nilai. Berposisi sebagai fundasi konstitusionalism. Legitimasi, karena itu menurut Larry berfungsi sebagai instrumen evaluatif terhadap derajat responsifitas atau akseptabilitas atau kesesuaian norma hukum positif dengan hasrat masyarakat secara empiris. Sebatas itu, tak lebih. Demokrasi dan rule of law tak menerima legitimasi sebagai norma hukum. Bara Yang Bagus Nama dan lambang kantor Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), mengandung sifat dan nilai hukum sebagai nomenklatur lembaga negara. Menariknya dua huruf dari nomenklatur itu ditutupi kain hitam, sehingga nomenklatur itu tak dapat dikenali secara utuh untuk beberapa saat. Fakta itu nyatanya mengusik sebagian orang. Keterusikan mereka, sejauh yang terlihat diekspresikan melalui unjuk rasa ramai di depan kantor KPK. Cukup bising unjuk rasanya. Apalagi diselingi adu argumen antara beberapa orang di antara mereka dengan orang lain, entah siapa. Selang beberapa jam sesudah itu, muncul bara lain, bara kecil yang menyehatkan. Bara itu adalah beberapa Komisioner KPK melalui konfrensi pers menyatakan menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada Presiden. Walau terlambat, tetapi sikap itu bagus. Mengapa bagus? Peristiwa ini bernilai sebagai pengakuan tersurat bahwa secara konstitusional pemberantasan korupsi merupakan urusan pemerintahan. Kewenangan melaksanakan urusan itu berada ditangan presiden. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tegas mengatur Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Konsekuensi konstitusionalnya melaksanakan undang-undang adalah kewenangan Presiden. Pasal lain dalam konteks melaksanakan UU, yang secara konstitusional sepenuhnya bersifat urusan pemerintahan. Bukan urusan peradilan atau yudikatif seperti diatus dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Tegas pasal 5 ayat (1) UUD 1945 mengatur Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Kewenangan ini, menurut konstitusi, dengan alasan apapun tidak dapat didelegasikan kepada lembaga negara lain. Apapun nama lembaga negara tersebut. Termasuk dan tidak terbatas pada lembaga yang pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang. KPK misalnya. Lebih jauh UUD 1945 meneguhkan sifat urusan melaksanakan undang-unang dengan pengaturan rigid pada pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Pasal ini mengatur secara cukup terang dan tegas tentang sumpah presiden memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Sangat jelas sekali tugas konstitusional tersebut kepada presiden. Rangkaian pasal di atas, dalam sifat konstitusionalnya mengisolasi semua pemikiran kreatif yang berkencenderungan membelokan kewenangan presiden melaksanakan undang-undang sebagai urusan pemerintahan. Urusan yang ada dalam kekuasaannya sebagai presiden. Itu sebabnya kesediaan Komisioner KPK menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada presiden, sembari menanti pengarahan presiden lebih jauh, harus dilihat dan diterima sebagai langkah yang sangat tepat. Sebuah refleksi meyakinkan secara konstitusional bahwa presiden merupakan satu-satunya figur konstitusi yang memegang kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab melaksanakan semua urusan pemerintahan. Di dalamnya termasuk melaksanakan undang-undang memberantas korupsi. Tepat Menurut UUD 1945 Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Memang secara keilmuan, kekuasaan presiden dapat dibatasi melalui undang-undang. Ketika undang-undnag telah membatasinya, maka presiden, dengan atau tanpa alasan, sesuai UUD 1945 harus mematuhinya. Itu Titik. Namun harus diingat, yang dapat dibatasi hanyalah kewenangan-kewenangan yang tidak didefenisikan secara tegas dalam UUD 1945. Kewenangan yang UUD 1945 telah mendefenisikannya secara tegas sebagai kewenangan presiden tersebut, tidak bisa dibatasi. Pemberantasan korupsi adalah urusan yang tidak secara tegas didefenisikan dalam UUD 1945. Tetapi korupsi sebagai satu jenis kejahatan, seperti kejahatan lainnya hanya bisa diberantas melalui penegakan hukum. Dan penegakan hukum menurut UUD 1945 adalah wewenang Presiden. Kenyataan atas kewenangan presiden itulah yang terlihat sebelum KPK dibentuk. Kewenangan penegakan hukum dalam rangka memberantas korupsi dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kedua organ pemerintah ini yang membantu presiden melaksanakan kewenangan pemberantasan kejahatan korupsi itu. Menariknya, segera setelah terbentuknya KPK, presiden diasingkan dari kewenangannya tersebut. Semua urusan korupsi terlihat sepenuhnya sejauh itu sebagai urusan KPK. Presiden-presiden berada dalam keadaan harus mengambil jarak sejauh mungkin dari KPK. Para presiden tak bisa memberi arah secara deteil dalam usaha penegakanm hukum pemberantasan korupsi. Presiden-presiden dipotong kewenangannya dengan sifat independen lembaga KPK. KPK seperti tersaji selama ini, dalam kenyataannya sebagi lembaga superbody. Sebagian disebabkan diintegrasikannya kewenangan penyidikan dan penuntutan. Selain itu, KPK diberikan kewenangan penyadapan tanpa aturan hukum yang rigid. Tidak itu saja. Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) ditenggelamkan dalam-dalam. Orang bisa jadi tersangka bertahun-tahun lamanya tanpa kejelasan. Kasus R.J Lino yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak akhir tahun 2015 merupakan bukti nayata. KPK menjadi satu dunia sendiri. Dunia yang deteil kewenangannya tak terawasi secara maksimum. Tragis memang. Selalu begitu dalam semua dunia superbody. Dunia yang mirip absolutisame ini, pengawasan ditabukan. Itu teridentifikasi dari ragam pikiran dibalik rencana perubahan undang-undang KPK yang diprakarsai DPR dan disetuju Presiden, kini dianggap sebagai dunia yang tidak sehat. Fakta dan kenyataan ini yang hendak dikoreksi. Deteil koresksinya itu antara lain meliputi (i) menjadikan KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (ii) menciptakan lembaga pengawas dan dibekali kewenangan memberi persetujuan penyadapan. (iii) pengaturan deteil penyadapan. (iv) diberikan kewenangan SP3. Sahkah semua rencana koreksi itu? Jawabannya hanya satu, yaitu “sah”. UUD 1945 dan pemikiran konstitusionalisme tentang hak dan kewenangan, sanga jelas. Hak dan kewenangan hanya ada dalam undang-undang. Tidak lain dari itu. Disisi ekstrim lain keabsahan perubahan undang-undang KPK itu terjalin dengan doktrin kedaulatan rayat Indonesia, yakni kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945. Pelaksanan doktrin kedaulatan rakyat tersebut, diatur dengan undang-undang. Nalarnya bagaimana? Pakailah undang-undang untuk mendefenisikan hak dan kewenangan tersebut. Termasuk menciptakan unit baru, seperti pengawas misalnya dalam satu organ diKPK. Begitulah sebenarnya bernegara. Titik. Naif betul bila mengasingkan KPK dari kekuasaan pemerintahan, dan pengawasan. Apalagi dengan membiarkan KPK mendefenisikan sendiri pelaksanaan kewenangannya. Sekarang, terlihat nyata bahwa DPR dan Presiden menyadari kekeliruan selama ini. Meskipun terlambat, namun lebih baik, daripada membiarkan KPK dengan dunianya sendiri tanpa pengawasan yang rigid. Kesadaran DPR dan Presiden ini, sejauh disajikan dalam medan UUD 1945, tentu menyehatkan. Naif betul memanggil-manggil datangnya demokrasi dan rule of law. Namiun, pada pada saat yang sama menciptakan organ superbody, yang bekerja dengan pengawasan minimum. Akhirnya harus dinyatakan secara konklusif bahwa gagasan dan deteil rencana perubahan undang-undang KPK, sudah sangat tepat menurut UUD 1945. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate