ALL CATEGORY

Transformasi Pertanian dan Ekonomi Indonesia 74 Tahun Merdeka

Dalam konsep pertanian modern yang saat ini dikembangkan pemerintah, petani sebagai pelaku utama pun didorong untuk mampu menguasai hulu hingga hilir. Mereka harus memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian tenaga kerja baru dapat terserap dan menyelamatkan jutaan petani di pedesaan agar tetap sejahtera. Oleh Kuntoro Boga Andri Jakarta, FNN - Pada tanggal 17 Agustus kemarin, Indonesia merayakan hari kemerdekaan. Genap 74 tahun sejak Bung Karno membacakan proklamasi penanda Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan tentunya memiliki banyak makna. Dalam konteks sektor pertanian, kemerdekaan Indonesia saat itu menandai Indonesia memiliki kendali dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki. Selama 74 tahun terakhir, tak dapat dinafikan bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu aspek penting sebagai penggerak roda ekonomi Indonesia. Bila dibandingkan sektor lainnya, pertanian masih berada di posisi teratas, bersama sektor perdagangan dan sektor industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor pertanian sangat signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama periode 2013-2018, akumulasi tambahan nilai PDB sektor pertanian yang mampu dihasilkan mencapai Rp1.375 Triliun. Terdapat kenaikan sebesar 47% dibandingkan dengan tahun 2013. Selanjutnya, pada tahun 2018 ini, nilai PDB mencapai 395,7 triliun dibandingkan Triwulan III tahun lalu yang hanya Rp 375,8 triliun. Bahkan bila diakumulasikan dengan kontribusi industri agro dan penyediaan makanan serta minuman yang berbasis bahan baku pertanian, kontribusi Pertanian secara luas mencapai 25,84 persen terhadap total PDB nasional. Capaian pembangunan sektor pertanian 2014-2018 juga meningkat drastis. Data BPS mencatat, PDB sektor pertanian naik Rp 400 triliun sampai Rp 500 triliun. Total akumulasi mencapai Rp 1.370 triliun. Salah satu faktor yang mendongkrak peningkatan PDB pertanian adalah peningkatan ekspor. Sementara, sensus Pertanian 2003 (ST2003, BPS) menunjukkan Rumah Tangga Petani (RTP) yang semula berjumlah 31,23 juta RTP, menurun pada ST2013 menjadi 26,13 juta RTP. Data terakhir survei pertanian antar sensus 2018, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) pengguna lahan sebesar 27,22 juta. Data ini menunjukkan adanya transformasi struktural perekonomian Indonesia. Proses transformasi dari negara agraris menuju industri. Sektor industri dan jasa semakin tumbuh berkontribusi besar, secara berangsur menggantikan dominasi sektor pertanian. Hal ini wajar bagi sebagian negara yang tengah bergerak maju - yang dulunya agraris dan bertransformasi menjadi negara industri dan jasa. Faktanya dalam 10 tahun terakhir (2013-2018), data RTUP terjadi kenaikan jumlah dari sebelumnya 25,75 juta (2013) menjadi 27,22 juta (2018). Data menunjukkan pertanian tetap menjadi tumpuan masyarakat, seiring dengan meningkatnya indikator NTP setiap tahunnya. BPS mencatat data NTP pada Juli 2019 sebesar 102.63, naik jauh dbandingkan 2014 yang hanya 102.03. Kesejahteraan petani meningkat, sehingga gairah sektor pertanian pun membaik. Sektor pangan masih tetap ibutuhkan selama manusia masih butuh makan. Maka negara harus menjamin tidak terjadi krisis pangan pangan dan kemiskinan di desa, karena berpotensi munculnya ekses negatif. Tingginya angka kriminalitas, meningkatnya angka kenakalan remaja, atau bahkan menumbuhsuburkan paham ekstrim. Sektor pertanian, berusaha menjadi bagian dari upaya mendorong kesejahteraan di perdesaan. Ketahanan pangan harus dijaga mulai dari keluarga terkecil hingga level nasional. Kementan secara khusus telah bekerjasama dengan TNI dan unsur keamanan negara lainnya secara intensif bekerjasama mewujudkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Menuju Pertanian Modern Kemerdekaan yang diraih 74 tahun tentunya bukan penanda bahwa perjuangan sudah berakhir. Justru sebaliknya, perjuangan masih terus berlanjut hingga ke masa ini. Begitupun di sektor pertanian. Masih banyak ruang untuk terus memajukan pertanian kita. Salah satu agenda yang sedang didorong oleh pemerintah saat ini adalah modernisasi pertanian. Urgensitas modernisasi sektor pertanian didasarkan pada argumentasi bahwa kedaulatan pangan hanya bisa diraih jika produktivitas dan efisiensi produksi pertanian meningkat. Modernisasi diharapkan bisa menjadi kunci peningkatan produksi dan efisiensi, tenaga,waktu, maupun biaya. Dalam konsep pertanian modern yang saat ini dikembangkan pemerintah, petani sebagai pelaku utama pun didorong untuk mampu menguasai hulu hingga hilir. Mereka harus memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian tenaga kerja baru dapat terserap dan menyelamatkan jutaan petani di pedesaan agar tetap sejahtera. Hal penting lainnya yang dikembangkan dalam kerangka pertanian modern, pemerintah juga menggiatkan mekanisasi dan terus mendorong tumbuh kembang berbagai teknologi dan inovasi pertanian. Upaya menggiatkan mekanisasi dilakukan dengan meningkatkan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta pelatihan dan pendampingannya. Sementara penumbuh kembangan teknologi dan inovasi dilakukan dengan menjalankan penelitian yang adaptif dan menjawab kebutuhan di lapangan. Baik mekanisasi dan teknologi tersebut diimplementasikan dalam berbagai program khusus. Sebagai contoh, Program Upaya Khusus Swasembada (Upsus) Padi Jagung Kedelai (Pajale) yang kini telah membuahkan hasil swasembada. Sejak tahun 2016 hingga sekarang Indonesia tidak lagi impor beras medium, cabai segar dan bawang merah konsumsi. Pada 2017 tidak ada impor jagung pakan ternak hingga saat ini, dan bahkan sudah ekspor bawang merah. Selanjutnya ditargetkan 2021 swasembada bawang putih dan gula konsumsi, 2020 swasembada kedelai, 2024 swasembada gula industri dan 2026 swasembada daging sapi. Program ini merupakan peta jalan menuju Visi Indonesia pada tahun 2045 menjadi Lumbung Pangan Dunia. Capaian kebijakan pangan di atas juga telah meningkatkan kesejahteraan petani. Ini terlihat dari indikator kemiskinan di pedesaan. Penduduk miskin di pedesaan tercatat turun sebesar 393.400 jiwa dari 15,54 juta jiwa pada September 2018 menjadi 15,15 juta di Maret 2019. Selanjutnya guna mengawal dan memastikan agar proses transformasi struktural bisa berjalan tepat dan terarah, maka berbagai kebijakan yang telah dan akan dilakukan adalah: Pertama, mengembangkan industrialisasi berbasis agro berdasarkan keunggulan komparatif. Indonesia harus jaya kembali untuk kopi dan rempah-rempah. Integrasi aktivitas hulu_-on farm-_hilir dibangun berbasis kawasan berskala ekonomi sehingga diperoleh nilai tambah dan pendapatan penduduk setempat. Kedua, memperkuat infrastruktur sehingga memperlancar arus distribusi dari desa ke kota, di desa dibangun jalan, irigasi/embung, listrik, telekomunikasi, lembaga keuangan, pasar tani dan lainnya. Ketiga, industrialisasi di pedesaan akan menyerap banyak tenaga kerja, sehingga perlu peningkatan kapasitas SDM menjadi profesional dan produktif. SDM setempat dilatih menggunakan alat mesin, perbengkelan, jasa dan lainnya sesuai standar kompetensi. Keempat, keterbatasan jumlah petani diatasi dengan mekanisasi. Kementan menyediakan 80.000-100.000 unit alat mesin pertanian setiap tahunnya. Dengan mekanisasi seperti traktor, pompa air, rice transplanter, combine harvester dan Rice Milling Unit terbukti bisa menekan biaya hingga 40 persen waktu, tenaga, dan menurunkan susut hasil 4-8 persen dan meningkatkan mutu. Teknologi Mekanisasi membuat generasi muda kini berminat terjun ke pertanian dan pedesaan. Beberapa informasi dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta menyebutkan, kini Fakultas Pertanian mulai menjadi pilihan unggulan dan banyak mahasiswanya. Bahkan program Kementerian Desa-PDT kini mendapat respons positif bagi generasi muda di desa. Sejumlah capaian ini kita harapkan menjadi indikator bahwa transformasi Indonesia menuju pertanian modern masih di jalur yang benar. Dengan semangat perjuangan dan kerja keras kita semua, semoga pertanian Indonesia bisa berjaya. (*) Penulis adalah Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian RI

Membaca Kegalauan Syahganda Nainggolan Soal Papua

Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Tak terlalu mewakili, apa yang saya tulis ini untuk mengkonfirmasi suasana kebathinan Dr. Syahganda Nainggolan, pemilik lembaga Sabang - Merauke Cyrcle. Isu sparatisme OPM, jika tidak dikelola secara bijak bisa berujung perpecahan. Salah satu provinsi Indonesia Paling timur Indonesia ini bisa lepas menjadi negara mandiri. Jika Papua memisahkan diri mengikuti jejak Timor Timur, terbukti untuk yang kesekian kalinya NKRI bukan harga mati, bentuk dan wilayah negara tak pernah final. Negara, jika tidak berdialektika pada sebuah perubahan yang revolusioner, tak ayal juga pasti berubah secara evolutif. Andaikan Papua lepas, Merauke bukan lagi NKRI. Karena itu, hal ini sangat mengkhawatirkan eksistensi Sabang-Merauke Cyrcle-nya Syahganda. Boleh jadi, lembaga ini beringsut menjadi Sabang - Kupang Cyrcle. Jika tak dicegah dan diselesaikan secara serius, pelan-pelan lembaga milik Syahganda ini akan terus beringsut secara evolutif, bisa juga secara revolusioner. Mungkin, berubah menjadi Sabang - Surabaya Cyrcle, Sabang - Bandar Lampung Cyrcle, atau mungkin berujung menjadi Sabang - Banda Aceh Cyrcle. Semoga saja tidak, Naudzubillah. Hanya saja, penangan krisis papua ini tidak boleh dengan cara lama seperti menangani Timor Timur (Tim-Tim). Saat itu, keran referendum di buka dengan harapan warga tim-tim dalam sebuah jajak pendapat publik mayoritas memilih pro integrasi. Sehinga, posisi Indonesia yang menjadikan tim-tim bagian wilayah NKRI lebih legitimate dimata internasional. Faktanya ? Referendum merupakan jalan lapang bagi Tim-tim menuju kemerdekaannya. Bukan merdeka, tapi memisahkan diri. Sebab, jika Timor-timur merdeka, berarti selama ini Indonesia menjajah Timor timur. Faktanya, selama kekuasan orba Tim-tim adalah provinsi anak emas Soeharto. Ketika itu, mahasiswa tim tim yang kuliah di jawa mendapat banyak fasilitas dan bantuan negara. Subsidi anggaran untuk tim-tim sendiri, terbesar diantara provinsi lainnya. Saat itu, Magewati yang juga ketua PDIP begitu getol mendorong warga bumi lorosae untuk mengadakan referendum. Tanpa perhitungan matang -juga atas tekanan internasional - referendum Timor timur terjadi dan berujung disintegrasi. NKRI ternyata bukan harga mati. Sekarang juga sama, opsi-opsi yang diantaranya opsi referendum, sebagaimana ulasan Syahganda, semoga tidak menjadi pilihan politik Pemerintah. Sebab, opsi referendum sama halnya opsi melepaskan Papua. Itu sebabnya, mahasiswa Papua yang demo di depan istana Presiden tidak menuntut merdeka atau memisahkan diri. Mereka hanya menuntut 'referendum' karena mereka paham jika opsi refeendum ini menjadi pilihan kebijakan politik Pemerintah, sama saja dengan menyetujui Papua merdeka. Itulah target sebenarnya. Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Isu utama papua itu adalah ketidakhadiran negara di Papua, baik untuk memberikan layanan kepada rakyat Papua maupun mengambil sikap tegas pada aparatis OPM. Terlebih lagi, isu Papua adalah isu internasional. Sejumlah negara begitu ngiler dengan SDA Papua yang melimpah, khususnya emas freeport. Amerika jelas punya kepentingan mendorong Papua pisah dari NKRI, karena bernego dengan pemerintahan kecil di Papua jauh lebih negosiable ketimbang bernego dengan NKRI. Yang jelas, Amerika bisa lebih banyak menghemat anggaran suap pejabat, jika Papua memisahkan diri menjadi negara kecil. Amerika tdk perlu lagi berurusan dengan orang Jakarta yang rakus. Amerika, cukup bernego dengan orang Papua dan membentuk pemerintahan boneka di Papua untuk melayani kepentingannya. Sebenarnya ada ide diluar opsi mainstream untuk menyelesaikan persoalan Papua. Solusi anti mainstream ini selain mempertahankan keutuhan wilayah NKRI juga akan menambah luas wilayah negara. Jadi, Kedepan Syahganda tidak perlu khawatir lembaga Sabang - Merauke Cyrcle dilikuidasi. Bahkan, dia bisa melebarkan sayap dengan membentuk lembaga Sabang - Maroko Cyrcle. Ya, itu hanya terwujud jika negeri ini mengambil opsi solusi khilafah. Sebuah sistem pemerintahan yang kuat yang akan menjaga keutuhan wilayah negara, bahkan akan memperluas wilayah negara dengan berbagai penaklukkan ke seluruh penjuru dunia. Kelak, wilayah kekuasan khilafah ini meliputi banyak kawasan, dari Sabang sampai Maroko. Saat itulah, lembaga milik Syahganda bermetamorfosis menjadi lebih besar dan lebih gagah : SABANG - MAROKO CYRCLE. End

Aneh, Menteri Pertanian Amran Membangkang Kepada Jokowi

Seorang menteri tidak boleh menolak atau membangkang perintah presiden. Sebab itu sangat tidak etis dan sangat aneh. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, yang menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara itu presiden. Sehingga presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membuat keputusan apapun yang berkaitan dengan pemerintahan yang dipimpinnya. Oleh Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Umumnya enam bulan sebelum suatu pemerintahan berakhir, pejabat pemerintah dilarang untuk membuat keputusan-keputusan penting dan strategis. Apalagi yang berkaitan dengan pengangkatan atau perpindahan pejabat eselon satu, dua dan tiga di kementerian atau lembaga negara non kementerian. Begitulah pemerintah yang punya etika dan tatakrama. Publik sering menyebut atau mengistilahkan dengan “pemerintahan yang sudah demisioner”. Pemerintahan yang sudah demisioner, biasanya sisa waktunya digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda. Meskipun demikian, enam bulan itu bukanlah angka yang sudah baku menjadi aturan hukum. Tergantung pada presidennya, boleh dilaksanakan, namun boleh juga diabaikan. Hanya masalah etika dan kepantasan saja. Sehingga waktu yang tersisa dipakai untuk menuntaskan pekerjaan-pekerjaan yang belum rampung. Berkiatan dengan itu, sekitar awal Agustus 2019 kemarin, Jokowi melarang para menteri dan pimpinan lembaga negara non kementerian melakukan pergantian pejabat di lembaganya sampai dengan Oktober 2019. Sementara pada hari Minggu tanggal 20 Oktober 2019 nanti adalah hari dan tanggal pelantikan Jokowi sebagai Presiden Indonesia periode kedua. Artinya, Jokowi menginginkan tidak ada pergantian pejabat negara sampai dilantik MPR menjadi presiden Oktober nanti. Selain itu Jokowi juga melarang para menteri dan pejabat pemerintah non kementerian membuat kebijakan-kebijakan strategis. Jokowi juga memerintahkan para menteri agar fokus menyelesaikan pekerjaan yang tersisa sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden Oktober 2019. Perintah Jokowi ini disampaikan ke publik oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Alasan Presiden Jokowi yang disampaikan Moeldoko adalah “saat ini pemerintah sudah masuk momen-momen kritis dalam waktu tiga bulan terakhir. Para menteri juga tidak boleh mengganti pejabat, sehingga mereka tidak punya beban sebelum transisi pemerintahan nantinya”. Larangan tersebut juga berlaku juga terhadap pergantian direksi BUMN, serta pergantian pejabat di lingkungan BUMN. Jika ada kebijakan strategis yang mau dibuat, maka wajib hukumnya untuk dikonsultasikan terlebih dahulu dengan presiden. Contohnya, Kementerian Komunikasi dan Informati tidak membuat keputusan yang berkaitan dengan pengadaan satelit lagi. Tujuan dari perintah Jokowi ini adalah, agar tidak menyulitkan para menteri anggota kabinet baru nanti. Perintah Presiden Jokowi ini, ada yang mau melaksanakan dengan tulus dan ikhlas. Sayangnya, ada juga menteri yang tidak mau melaksanakan. Bahkan bisa ditafsirkan publik sebagai bentuk pembangkangan kepada perintah presiden. Satu diantara pejabat negara yang membangkang perintah Jokowi tersebut adalah Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Amran Sulaiman berani membangkang perintah Jokowi, dengan melakukan perombakan di jajaran pejabat eselon satu dan dua Kementeraian Pertanian. Amran belum lama ini melantik empat pejabat eselon satu dan tujuh pejabat eselon dua. Diantaranya Momon Rusmono yang diangkat Amran menjadi Seketaris Jendral Kementerian Pertanian. Sebelumnya Momon Rusmono adalah Kepala Badan Pengembangan Penyuluhan dan Sumberdaya Manusia Partanian (BPPSDMP). Selain itu, Amran juga melantik Prihasto Setyanto sebagai Dirjen Hortikultura. Sebelumnya Prihato menjabat Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Ditjen Hortikultura. Prihasto menggantikan Suwandi, yang diangkat Amran Sulaiman menjadi Dirjen Tanaman Pangan. Sedangkan posisi kepala BPPSDMP yang ditinggal Momon, dipercayakan kepada Dedi Nusyamsi. Sebelumnya Nursyamsi menjabat Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Selain itu, Amran juga mencopot Gatot Irianto, yang sebelumnya menjabat Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian. Gatot kini ditempatkan Amran sebagai Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian. Posisi Dirjen yang ditinggalkan Gatot, sampai sekarang masih kosong. Bukan hanya di jajaran eselon satu Kementerian Pertanian. Amran Sulaiman juga ternyata melakukan perombakan di jajaran eselon dua. Tidak kurang dari tujuh pejabat eselon dua di Kementerian Pertranian yang dirotasi oleh Amran. Langkah yang ditempuh Amran ini, jelas-jelas selain melakukan pembangkangan kepada Presiden Jokowi, juga melanggar prinsip-prinsip dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab untuk mempromosikan atau mendemosi seorang pejabat ASN, harus didahulai dengan pemeriksaan dan evalusi internal terhadap pejabat tersebut. Bila hasil pemeriksaan, ditemukan si pejabat tersebut bersalah, maka wajib hukumnya terkena demosi. Namun bila pejabat tersebut tidak bersalah, bahkan berprestasi dalam tugas yang dibebankan kepadanya, maka wajib juga untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Paling kurang tidak didemosi dari jabatan yang sedang dipercayakan kepadanya. Kalau mau dipindahkan, maka seharusnya pada jabatan dengan tugas dan bobot kerja pada eselon yang sama. Seorang menteri tidak boleh menolak atau membangkang perintah presiden. Sebab itu sangat tidak etis dan sangat aneh. Ditinjau dari aspek ketatanegaraan, yang menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara itu presiden. Sehingga presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membuat keputusan apapun yang berkaitan dengan pemerintahan yang dipimpinnya. Menteri mutlak harus tunduk dan patuh kepada perintah yang dibuat oleh presiden. Menteri juga tidak boleh bertindak di luar dari pengarahan yang sudah diberikan oleh presiden. Kalau Menteri Amran telah nyata-nyata melakukan pergantian eselon satu dan dua di Kementerian Pertanian, maka presiden seharusnya memberikan teguran keras kepadanya. Jokowi harus memanggil Menteri Amran untuk mengklarifikasi masalah ini. Sebab sikap Amran Sulaiman ini memberi indikasi, “tidak patuh kepada perintah dan arahan presiden”. Peristiwa ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi periode berikutnya. Sebaiknya menteri tidak asal main copot pejabat ASN. Kalau menteri ingin mencopot atau menaikan seorang pejabat, maka harus berpijak dan berbasis pada kinerja dari pejabat tersebut. Kinerja adalah salah satu bentuk keadilan administrasi yang dilembagakan di dalam undang-undang ASN. Tujuannya, agar pegawai ASN tidak mudah untuk didemosi atau dirotasi sesuka hati oleh menteri. Jika pencopotan tersebut di luar basis kinerja, maka Amran Sulaiman telah bersikap dengan sewenang-wenang. Bahasa kerennya otoriter atau suka-suka hati sang menteri. Padahal, pola-pola lama yang sok berkuasa seperti ini sudah tidak cocok lagi dipakai di era roformasi sekarang. End

Please, Jangan Bermain-main dengan Isu Ustad Abdul Somad

UAS saat ini menjadi idola dan panutan dari sebagian besar umat Islam. Bukan hanya di Indonesia. Kehadirannya juga sangat dinantikan di negara-negara jiran, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ceramah-ceramahnya selalu dihadiri puluhan, bahkan ratusan ribu jamaah. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Bangsa kita tampaknya ditakdirkan menjadi bangsa yang gaduh. Ada saja yang bisa dijadikan bahan kegaduhan. Apalagi di era digital. Hanya saja perlu diingatkan, kalau hal ini terus berlanjut: KITA TIDAK AKAN PERNAH KEMANA-MANA! Ketika banyak ahli di berbagai negara melakukan eksplorasi kecerdasan buatan ( artificial intellegence/AI). Mengaplikasikannya untuk membuat hidup manusia lebih mudah, kita asyik ribut sendiri sesama anak bangsa. Ketika China sedang mengembangkan matahari dan bulan buatan, kita sibuk berkutat dengan isu-isu rasialisme, dan agama. Ketika China menyerbu pasar kita dengan berbagai produk mereka, menggelontor negara dengan utang dan barang modal mereka, kita malah sibuk bertikai. Selain kasus di Papua, dalam beberapa hari terakhir ada yang sibuk menggoreng video ceramah Ustad Abdul Somad (UAS). Mengipas-ngipasi, sehingga api kebencian itu membesar dan membakar kesumat. Rupanya ada sekelompok orang yang kerjanya mengorek-ngorek sampah. Mengorek lubang tinja sebagai modal untuk membuat kegaduhan, keributan. Dan yang lebih mengerikan mengadu antar-sesama anak bangsa. Bagaimana mungkin tiba-tiba video lama UAS menjadi viral. Sejumlah orang dan lembaga kemudian mengadukannya ke polisi. UAS dinilai menghina dan mendeskreditkan patung salib dan Jesus Kristus. Sebagaimana klarifikasi UAS, video itu merupakan potongan ceramahnya pada kajian Sabtu pagi di masjid Annur, Pekanbaru. Sekitar tiga tahun lalu. Ceramah tersebut dilakukan di tempat tertutup. Dengan jamaah terbatas. Khusus umat Islam. Dan UAS menjawab pertanyaan jamaah. Ceramah itu juga tidak dipublikasikan melalui media, ataupun media sosial. Satu hal lagi yang perlu dicatat, jawaban UAS kendati disampaikan secara jenaka, rujukannya sangat jelas Al Quran dan Al Hadits. Sebagai penceramah, UAS mempunyai ciri khas mempersatukan. Dia tidak pernah mempertentangkan antara satu madzhab dengan madzhab yang lain. Karena itu UAS bisa diterima umat islam secara luas. Dengan latar belakang sebagai nahdliyin —dia pernah menjadi pengurus NU di Riau—dia bisa diterima kalangan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Al Wasliyah Dll Posisinya cukup jelas. Bukan Ustad tukang cari-cari masalah. Tukang provokasi, apalagi membuat gaduh. Tugas seorang ustadz— termasuk para pemuka agama lainnya— untuk menjaga iman dan aqidah para jamaahnya. Soal ini seharusnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dipertentangkan. Tinggal dikembalikan kepada kebijakan masing-masing. Kapan, dimana, kepada siapa disampaikan, serta bagaimana cara menyampaikannya. Dengan pemahaman semacam itu, sangat dimengerti bila UAS menolak untuk minta maaf. Permintaan maaf karena tekanan dari kelompok, atau perorangan tertentu akan berdampak serius terhadap doktrin dan aqidah umat Islam. Selain itu permintaan maaf UAS akan berdampak makin bersemangatnya para pengorek lubang tinja ini mencari-cari kesalahan para pemuka agama. Tolong dicatat! Bukan hanya Islam, tapi juga pemuka-pemuka agama lainnya. Bisa dibayangkan betapa sibuknya aparat Polri. Betapa gaduhnya bangsa ini, bila itu terjadi. (Cabut dan tolak) Melihat kronologis dan setting peristiwanya, tidak berlebihan bila kita curiga ada kelompok-kelompok tertentu yang menggoreng isu ini. "Kita menduga ada kepentingan lain di balik mempermasalahkan ceramah UAS tersebut,” kata Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau Datuk Seri Syahril Abubakar. UAS saat ini menjadi idola dan panutan dari sebagian besar umat Islam. Bukan hanya di Indonesia. Kehadirannya juga sangat dinantikan di negara-negara jiran, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ceramah-ceramahnya selalu dihadiri puluhan, bahkan ratusan ribu jamaah. Jadwal ceramahnya padat sepanjang tahun. Mulai di mushola kecil, masjid, stadion, sampai lapangan terbuka semua dilayani. Video ceramahnya beredar luas di media sosial. Pengikutnya di medsos jumlahnya jutaan. Bersaing, bahkan mengalahkan para pesohor lainnya. Selain ustad, dia adalah selebriti. Mempersoalkan UAS, apalagi mengadukannya ke polisi dipastikan akan memancing kegaduhan besar. Apalagi jika sampai diperiksa polisi dan disidangkan ke pengadilan. Kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Bangsa kita akan kembali terjerembab dalam huru-hara dan keributan besar. Energi bangsa akan terkuras habis. Saat ini saja sudah banyak beredar video-video dari pendeta Kristen yang dinilai menghina Nabi Muhammad SAW dan umat Islam. Banyak kelompok, maupun pengacara yang menyatakan akan membela UAS. Bagi pemerintahan Jokowi, kasus ini bila diteruskan, akan sangat tidak menguntungkan. Umat Islam akan semakin merasa dimusuhi. Stigma bahwa Polri menjadi lembaga yang digunakan untuk kriminalisasi umat dan ulama akan kian kuat. Tidak ada gunanya meneruskan kasus ini. Kepada para pelapor, segera cabut laporannya. Anda tidak menyadari dampak buruk yang akan dihadapi bangsa ini, bila masih ngotot meneruskan kasus ini. Polri juga bisa bersikap pro aktif. Sebagai penegak hukum punya kewenangan tidak memproses dan meneruskan kasus ini. Apalagi delik dan dasar hukumnya tidak kuat. Please, jangan bermain-main dengan isu UAS. Anda tidak sadar tengah bermain-main dengan api. Api yang bisa membakar diri Anda sendiri dan lebih berbahaya lagi membakar ramah besar Indonesia. End

Krisis Sudah di Pelupuk Mata

Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekonom senior Rizal Ramli menyebut Indonesia saat ini sedang berada dalam tahap creeping crisis atau sedang “merangkak” untuk sampai pada kondisi krisis. Di sisi lain, dalam laporan berjudul "Signs of Stress in The Asian Financial System", firma konsultan global McKinsey & Company menemukan bahwa 25% utang swasta valas jangka panjang di Indonesia memiliki rasio penutupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Posisi tersebut terhitung rawan karena perseroan menggunakan mayoritas labanya untuk membayar utang. Utang itu kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol), dengan porsi 62%. Sektor energi dan bahan mentah menyusul dengan porsi 11% dan 10%. Konsultan ini mengingatkan negara-negara Asia perlu mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997. McKinsey mengingatkan sektor utilitas Indonesia dan India berpotensi memicu persoalan karena kemampuan mereka untuk membalik kinerja dan membayar kembali utangnya tidaklah mudah. "Kini, media keuangan dan pengamat bertanya-tanya apakah kenaikan tingkat utang di Asia bisa memicu krisis yang baru. Sayangnya, tanda-tandanya terlihat mengancam, dan kesehatan sektor keuangan dan sektor riil sedang memburuk," tulis Senior Partner McKinsey Joydeep Sengupta dan Archana Seshadrinathan dalam laporan bertanggal Juli 2019. Dia menyebut selain Indonesia dan India kondisi buruk juga terjadi di Australia, China, dan Hong Kong. "Perlu kerja-sama berbagai pemangku kepentingan-regulator, konsumer, pemerintah daerah dan pusat, dan perusahaan itu sendiri-sehingga upaya pemulihan menjadi tak mudah," tulis laporan itu seperti dikuttip CNBC Indonesia, Selasa (13/8). Bersamaan dengan itu, dampak tingkat utang korporasi dan utang rumah tangga yang tinggi terlihat di Indonesia, bersama dengan China, India, dan Thailand. Bahkan, tingkat utang Indonesia yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 50% dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25%. McKinsey melakukan asesmen terhadap neraca keuangan 12.000 perusahaan di 11 negara Asia Pasifik pada kurun waktu 2007-2017. Analisis difokuskan pada porsi utang jangka panjang korporasi dengan ICR kurang dari 1,5 kali. Meski kualitas aliran dana global (inflow) yang masuk ke Asia membaik, dengan porsi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) meningkat dari 27% (2007) menjadi 38% (2018), pemerintah harus mencermati fakta bahwa lebih dari 40% inflow itu berupa utang valas. Jika tidak dimanajemen dengan baik, bisa muncul persoalan seperti pada tahun 1997. Resesi Singapura Tanda-tanda krisis juga berhembus di Singapura. Ekonomi Negeri Jiran ini diperkirakan memasuki resesi pada kuartal ketiga 2019. Terus memanasnya perang dagang antara China dan AS, menekan pertumbuhan negara tersebut. Angka produk domestik bruto (PDB) yang dirilis pada Selasa (13/8) menunjukan penurunan besar pada perekonomian negara itu. Pada kuartal kedua ini, pertumbuhan Singapura tertekan hingga 3,3% jika dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal pertama 2019 sebesar 3,8%. Angka ini merupakan yang paling buruk selama tujuh tahun terakhir. Ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,0-1,0% dari proyeksi sebelumnya 1,5%-2,5%. "Bila melihat ke depan, pertumbuhan PDB di banyak pasar permintaan utama Singapura pada paruh kedua 2019 diperkirakan akan melambat atau tetap serupa dengan yang tercatat di periode pertama lalu, " ujar Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) Singapura sebagaimana dilansir Reuters. Jika pertumbuhan di kuartal ketiga nanti tetap negatif, berarti Singapura memasuki resesi teknis. Padahal, Singapura bak "kenari di tambang batu bara". Negara ini menjadi indikator apakah terjadi situasi buruk atau tidak. "Singapura adalah penentu dari perlambatan perdagangan global," kata ekonom Asia Pasifik dari Coface, Carlos Casanova. "Dengan segala sesuatu yang kita lihat, sangat mungkin bahwa akan ada resesi di kuartal ketiga tahun ini," ujarnya seperti dilansir Soth China Mornig Post. Pada Juli, International Monetary Fund (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan 2019 untuk Singapura menjadi 2%. Sebelumnya IMF memprediksi pertumbuhan Singapura tumbuh sebesar 2,3%. Makro dan Mikro Kembali ke ekonomi Indonesia, Rizal memberi gambaran sisi makro dan mikro yang memburuk. Dari indikator makro, grafik transaksi berjalan semakin merosot, bahkan sudah mencapai lebih dari US$8 miliar. Kondisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal II-2019 sebesar US$8,4 miliar atau 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Indikator lainnya adalah kondisi neraca perdagangan Indonesia dan rasio pajak. Sedangkan indikator mikro juga sudah mulai terlihat membahayakan. Seperti slow down sektor ritel yang diprediksi akan terus berlanjut. Daya beli dan consumer good juga masih akan turun. Begitu pun dengan properti yang diprediksi akan terpuruk, kecuali untuk beberapa segmen. Kemudian di level korporasi, mulai terjadi peningkatan default atau gagal bayar. Ini diistilahkan sebagai zombie company. Keuntungan yang diperoleh tidak bisa untuk membayar bunga utang. “Perusahaan ini hanya bisa hidup dengan refinancing terus menerus,” kata eks Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini. “Ada krisis kecil-kecil dan tidak disadari banyak orang, tetapi kalau disatukan jadi besar juga. Ini bisa dilihat dari kondisi makro, mikro, maupun korporasi. Kalau dibiarkan terus, bisa sangat membahayakan,” ujarnya, Senin (12/8). Untuk bisa keluar dari ancaman krisis yang lebih besar ini, menurut Rizal, pemerintah harus menghentikan cara lama seperti melakukan pengetatan anggaran atau mengejar pajak dari perusahan atau pelaku usaha kecil. Pemerintah harus melakukan sesuatu yang out of the box. Antara lain dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi 6% sampai 8%, serta meningkatkan daya beli rakyat kecil dengan cara memberikan stimulus. Yang juga penting, menurut Rizal, Indonesia perlu membuat rencana dan action agar bisa menarik manfaat dari adanya perang dagang atara Amerika Serikat dan China. “Yang namanya krisis itu ada dua sisi, satu memberi masalah dan satunya lagi memberi opportunity. Sayangnya Indonesia tidak punya frame work bagimana menarik manfaat dari adanya trade war ini,” sesal Rizal. End

Mungkinkah Papua Merasa Bukan Bagian dari Indonesia?

Bagi saya, peristiwa kerusuhan di Manokwari dan Sorong, plus aksi damai di halaman kantor Gubernur Papua di Jayapura, Senin, 19 Agustus 2019, menyeruakkan sesuatu yang suram dan seram. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Banyak dugaan dan pernyataan tentang penyebab kerusuhan di Papua Barat, khususnya di Manokwari dan Sorong. Dugaan yang paling banyak diyakini adalah bahwa penggerebekan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang merupakan penyulut kerusuhan itu. Masyarakat Papua merasa tersinggung. Para pelaku penggerebekan itu meneriakkan kata-kata yang sifatnya rasis. Penghinaan. Mereka tak terima orang-orang yang mendatangi asrama mahasiswa Papua di Surabaya disebut ‘monyet’ , dlsb. Berbagai julukan yang menyakitkan. Ucapan yang tak pantas itu memang dikaui telah terucapkan. Salah seorang yang mendatangi asrama itu mengakuinya dan meminta maaf. Kapolri dan pejabat-pejabat lain pun sepakat bahwa penggerebekan asrama Papua di Surabaya dan Malang menjadi penyulut kerusuhan. Tetapi, apakah kita merasa cukup sekadar menemukan penyebab kerusuhan Manokwari itu? Tidakkah kita perlu menerawang lebih jauh dari ucapan-ucapan rasis tadi? Boleh jadi sangat perlu. Perlu melihat sisi lain Papua yang mungkin tidak kita anggap penting lagi. Karena kita mengambil sikap “take for granted” (sudah terjamin) bahwa Papua (yang terdiri dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) secara de-jure adalah bagian dari NKRI. Buktinya, bendera Merah-Putih tetap berkibar di kedua provinsi itu. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi di sana. Struktur administrasi pemerintahan tidak berbeda dengan bagian lain Indonesia. Semuanya sudah Indonesia di Papua. Tidak ada yang tidak Indonesia. Kontrak Freeport diperpanjang oleh pemerintah Indonesia. TNI dan Polri ada di sana. Bahkan, “orang Indonesia” pun bisa hidup berdampingan secara damai dengan “orang Papua”. Tapi, belakangan ini mengapa Papua menjadi sangat sensitif bagi penguasa di Jakarta? Dan, sebaliknya, mengapa Papua kelihatan lebih percaya diri untuk menyatakan bahwa Jakarta yang perlu Papua, bukan Papua yang perlu Jakarta? Mungkinkah Papua merasa mereka bukan anak kandung Indonesia? Mungkinkah mereka merasa bukan bagian dari Indonesia? Bagi saya, peristiwa kerusuhan di Manokwari dan Sorong, plus aksi damai di halaman kantor Gubernur Papua di Jayapura, Senin, 19 Agustus 2019, menyeruakkan sesuatu yang suram dan seram. Dari sini, semakin terang bahwa orang Papua belum terintegrasi sepenuhnya ke dalam Indonesia. Ini yang saya baca dari jauh. Ini cukup suram. Seolah tersimpan jawaban “iya” untuk kedua pertanyaan di atas. Orang di bagian lain Indonesia dan para pemuka Papua sendiri boleh-boleh saja mengatakan bahwa Papua adalah NKRI. Masih NKRI. Tetapi, bagi saya, peristiwa terbaru kemarin ditambah dengan sejarah gerakan separatis Papua memberikan gambaran bahwa rakyat Tanah Cendrawasih tidak sepenuh hati berada di dalam NKRI. Mari kita telusuri beberapa gejala ringan tetapi bercerita tentang sesuatu yang berat. Pertama, ada rekaman video yang menunjukkan dialog antara (kelihatannya) aparat kecamatan plus anggota ormas dengan sejumlah mahasiswa Papua di dalam komplek asrama mahasiswa di Surabaya tentang pemasangan bendera Merah-Putih. Aparat dan anggota ormas membujuk agar mahasiswa memasang bendera nasional. Tetapi, secara diplomatis para mahasiswa tidak mengikutinya. Sampai akhirnya terjadi kegaduhan. Nyaris bentrok fisik. Kedua, dalam wawancara dengan tvOne setelah kerusuhan di Manokwari, Gubernur Papua Lukas Enembe menggunakan kalimat-kalimat yang mengesankan seolah Papua dan Indonesia adalah dua entitas yang berbeda. Seakan sama-sama entitas negara. Beberapa kali Gubernur Enembe mengatakan, “Orang Indonesia tidak boleh memancing emosi orang Papua.” Kalimat seperti ini jelas memunculkan arti bahwa Papua berada di luar Indonesia. Kalau dia katakan, “Orang Jawa tidak boleh memancing emosi orang Papua,” barulah jelas bahwa Jawa dan Papua sama-sama bagian dari Indonesia. Mengapa Enembe berucap seperti itu? Hanya beliaulah yang tahu. Saya hanya bisa menduga bahwa Enembe mungkin sedang mewakili perasaan orang Papua pada umumnya perihal keberadaan mereka di dalam NKRI. Maksud saya, Enembe sendiri sepertinya tidak 100% merasa bagian dari Indonesia. Sehingga, sadar atau tak sadar, dia menggunakan kalimat yang mempertentangkan Indonesia dengan Papua. Tak mungkin Enembe lupa bahwa yang sedang bertikai sekarang ini adalah sesama anak bangsa. Bukan insiden antara dua negara. Hebatnya lagi, Gubernur Enembe bisa dengan entengnya mengkuliahi para penguasa di Jakarta. Tak terbayangkan seandainya gubernur Riau atau gubernur Sulawesi Selatan yang bicara ceplas-ceplos seperti Enembe. Pastilah kedua gubernur itu akan dibully oleh para menteri dan buzzer bayaran. Barangkali, inilah yang menunjukkan orang Papua yakin betul bahwa Indonesialah yang perlu dengan Papua. Bukan sebaliknya. Ketiga, ketika berorasi di halaman kantor gubernur Papua di Jayapura, beberapa hari lalu, seorang ibu yang tampak sangat intelek menyampaikan keberatannya terhadap perlakuan rasis di Surabaya. Menariknya, di akhir orasi dia meneriakkan yele-yel “Papua” yang kemudian dijawab massa dengan pekikan “Merdeka”. Sampai tiga kali. Ini tak bisa dianggap sepele. Orasi itu mencerminkan aspirasi orang banyak. Keempat, sejak beberapa tahun belakangan ini warga Papua perantauan di Jawa percaya diri berdemo menuntut penentuan nasib sendiri. Tepatnya menuntut referendum. Lokasi demo itu pun juga di Surabaya. Kelima, perjuangan kemerdekaan Papua semakin mendapatkan perhatian serius di level internasional. Sudah sampai ke markas PBB. Dari berbagai gejala ini, tidaklah berlebihan kalau ada yang menyimpulkan bahwa aspirasi Papua Merdeka akan semakin mengeras. Persoalannya, kalau tuntutan merdeka itu digiring atau tergiring ke konflik fisik, tentunya Indonesia tidak akan membiarkan. Pasti Indonesia tidak akan rela. Inilah skenario yang menyeramkan. Pertumpahan darah menjadi tak terelakkan. Jakarta pasti akan mati-matian menumpas gerakan separatis. Seram. Sekarang, wajarkah Papua merasa bukan bagian dari Indonesia? Perlakuan pemerintah pusat dalam 40 tahun belakangan ini memang membekaskan luka dan kemarahan orang Papua. Mereka merasa bumi Papua dikuras habis oleh Jakarta dan tidak banyak yang dikembalikan ke rakyat mereka. Ketidakadilan merajalela terhadap warga Papua. Dan sebetulnya juga terhadap banyak warga Indonesia lainnya. Ini membuat orang Papua dari waktu ke waktu semakin jauh dari induknya. Boleh jadi mereka merasa bukan anak kandung Indonesia. Tidak merasa bagian dari Indonesia. (Penulis adalah wartawan senior) 21 Agustus 2019

PLTU, Swasta Kemaruk PLN Terpuruk

Mereka adalah yang selama belasan bahkan puluhan tahun berpesta pora dari proyek-proyek PLN. Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - "Ya udah kita bilang, satu kalau saya bilang supaya lebih efisienlah. Kalian (PLN) jangan terlalu banyak terlibat pembangunan-pembangunan listrik, power, biarin aja private sector masuk. Seperti 51% harus untuk Indonesia Power waste to energy, lupain dulu lah itu. Konsolidasi aja dulu saja biarkan private sector main,” papar Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan kepada Plt Dirut PT PLN, Sripeni Inten Cahyani, seperti dikutip satu media daring, Rabu pekan silam (14/8). Entah ada atau tidak hubungan antara ‘nasehat’ Luhut kepada bos PLN itu dan black out yang melanda sebagian Jawa beberapa hari sebelumnya. Yang pasti, ucapan seorang Luhut tersebut mengundang banyak tafsir. Tapi karena sepak terjang pensiunan jenderal ini di ranah bisnis yang menggurita, maka publik langsung menyebutnya ada konflik kepentingan. Adalah Muhammad Said Didu antara lain yang punya pendapat seperti itu. Dalam kicauannya di @msaid_didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN ini menulis, “Ini jelas konflik kepentingan karena setahu saya beliau memiliki banyak pembangkit listrik.” Said Didu benar. Luhut punya banyak perusahaan di bawah bendera PT Toba Sejahtera. Gurita perusahaan ini merambah ke berbagai jenis usaha. Di antaranya, batubara dan pertambangan, Migas, perindustrian, properti, pembangkit listrik, serta kehutanan dan kelapa sawit. Bisnisnya di bidang batubara, dia berkibar dengan bendera PT Kutai Energi dan PT Toba Bara Sejahtera (Toba). Luhut setidaknya punya empat perusahaan yang bermain di pembangkit listrik. Masing-masing PT Pusaka Jaya Palu, PT Kertanegara Energi Perkasa, PT Minahasa Cahaya Lestari, dan PT Gorontalo Listrik Perdana. Dua perusahaan yang disebut terakhir adalah anak-anak perusahaan Toba. So, tidak bisa tidak, permintaan (‘perintah’?) Luhut kepada Sripeni sarat dengan konflik kepentingan. Sebagai menteri, dia jelas bukan pejabat tinggi biasa. Dia adalah pembantu Presiden. Ucapannya bisa bermakna atau dimaknai sebagai titah bagi direksi BUMN. Dengan PLN tidak lagi terlalu banyak terlibat pembangunan-pembangunan listrik, artinya, swasta akan kebanjiran kerjaan membangun pembangkit listrik. Ini pas betul dengan permintaan yang dengan eksplisit disampaikan Luhut kepada Sripeni. Saham 51% Secara khusus, pensiunan jenderal ini juga minta agar PLN melupakan konsep kepemilikan 51% saham di pembangkit-pembangkit listrik yang dibangun swasta. Pertanyannya, mengapa Luhut menaruh perhatian khusus atas perkara kepemilikan saham ini? Sejak Sofyan Basir didapuk menjadi Dirut PLN, mantan bankir ini memang melakukan sejumlah terobosan penting. Antara lain, melalui anak perusahaan PLN (PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali), dia menghendaki PLN mengantongi saham sebesar 51%. Tapi meski mayoritas, SB, begitu Sofyan biasa disapa, hanya mau menyetor dana 10% saja. Sisanya yang 41% diperoleh hasil pinjaman dari swasta yang menjadi mitra membangun pembangkit. Oya, ada satu syarat lain. Yaitu, pinjaman tadi harus berbunga murah, sekitar 4,125% alias sama dengan global bond yang biasa PLN terbitkan. Belum lagi soal kepemilikan saham tuntas, SB juga menyodorkan persyaratan lain yang tidak kalah memusingkan swasta. Dia mau masa kontrol pembangkit hanya sekitar 15 tahun. Selanjutnya, pada tahun ke-16 PLTU yang dibangun sepenuhnya jadi milik PLN. Kalang kabut Tentu saja, permintaan SB ini membuat para pengusaha swasta kalang kabut dan mangkel. Mereka seperti disudutkan pada ketiadaan pilihan. Bersedia, silakan penuhi syarat-syarat tersebut. Jika tidak mau, masih banyak swasta lain yang ngiler dan antre membangun pembangkit listrik. Asal tahu saja, Undang Undang tidak mengizinkan swasta menjual listriknya secara langsung kepada konsumen. Sebagai gantinya, peraturan yang ada mewajibkan PLN membeli minimal 72% listrik yang dihasilkan swasta. Pada laporan keuangan 2018, sampai Desember pembelian listrik PLN tercatat senilai Rp84,3 triliun. Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang Rp72,4 tiliun. Itu baru dari pembelian listrik swasta. Masih ada sumber gizi lain dari belanja PLN yang bisa dikunyah swasta. Biasanya, swasta yang membangun PLTU juga pemilik tambang batubara. Nah, untuk soal ini, sampai semester pertama 2018 saja, PLN harus merogoh kocek hingga Rp16,8 triliun. Dengan asumsi sederhana, dikali dua untuk sampai akhir tahun, artinya, ada dana sekitar Rp34 triliun hanya untuk pembelian batubara. Gurih bin legit, kan? Tapi, ya itu tadi, SB menyorongkan beragam persyaratan bagi swasta yang akan membangun pembangkit. Dengan persyaratan seperti itu, PLN memang banyak diuntungkan. Pertama, saham yang dikantongi mayoritas, yaitu 51%. Sebagai pemegang saham, apalagi mayoritas, PLN berhak menempatkan direksi untuk mengontrol. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Yang sudah-sudah, PLN benar-benar hanya berfungsi sebagai pembeli alias off taker dari listrik yang dihasilkan Independent Power Producer (IPP). Keuntungan kedua, jumlah dana yang disetor PLN untuk penguasaan saham 51% hanya 10%. Ini jelas sangat menguntungkan bagi arus kas perusahaan. Ketiga, PLN dapat pinjaman dana murah untuk menutup 49% saham sisanya. Keempat, PLN punyak hak penuh atas PLTU setelah 15 tahun beroperasi. Keruan saja SB jadi punya banyak musuh. Siapa? Mereka adalah yang selama belasan bahkan puluhan tahun berpesta pora dari proyek-proyek PLN. Pola bisnis yang disorongkan Sofyan sama artinya mengakhiri pesta dengan paksa. Dia ingin mengerem syahwat swasta yang kemaruk bisnis PLTU dan yang terkait. Sebab, jika hal ini dibiarkan terus berlanjut bukan mustahil PLN bisa terpuruk. Sampai di sini, tidak heran kalau dia menjadi sasaran bidik. Barangkali, tidak terlalu aneh jika kini Sofyan harus mondar-mandir menghadiri sidang di Pengadilan Tipikor sebagai terdakwa pada kasus pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1. Beberapa aktor ikut terseret dalam pusaran kasus ini. Mereka adalah Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI Eny Maulani Saragih, mantan Bendahara Umum Partai Golkar yang juga mantan Mensos Idrus Marham, dan pemilik PT Blackgold Natural Resources, mitra PLN dalam PLTU Riau-1. _Wallahu a’lam_... Jakarta, 21 Agustus 2019 *Edy Mulyadi*, wartawan senior

Rusuh Papua, Waspadai Para Pengail di Air Keruh

Soal adanya kelompok yang kemungkinan menunggangi aksi dan meradikalisasi massa ini kelihatannya tidak mengada-ada. Ada tanda-tanda yang sangat jelas, upaya membenturkan antar-elemen anak bangsa. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Kerusuhan yang terjadi di Papua Barat menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa aksi yang semula berlangsung damai itu tiba-tiba berubah rusuh. Massa bahkan sampai membakar Gedung DPRD. Mengapa kerusuhan yang dipicu oleh perlakuan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Malang, dan Surabaya justru meledak di Manokwari dan Sorong, Papua Barat. Bukan di Jayapura, Papua yang selama ini dikenal sebagai hot spot? Di Jayapura juga terjadi aksi massa. Jumlahnya cukup besar. Namun berlangsung damai. Mereka hanya melakukan orasi. Tidak ada kerusuhan. Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan curiga ada penumpang gelap. Mereka memanfaatkan situasi. “Dari awal adik-adik mahasiswa dan masyarakat yang tergabung ini, dalam koridor damai sebenarnya. Mereka baru bergerak menuju DPRD, ternyata sudah terbakar,” ujarnya. Soal adanya kelompok yang kemungkinan menunggangi aksi dan meradikalisasi massa ini kelihatannya tidak mengada-ada. Ada tanda-tanda yang sangat jelas, upaya membenturkan antar-elemen anak bangsa. Tiba-tiba saja video Ustadz Abdul Somad (UAS) yang disebut menghina salib dan patung Jesus menjadi viral. Sejumlah elemen umat Nasrani melaporkannya ke polisi. Padahal ceramah UAS itu terjadi tiga tahun lalu. Ceramahnya juga berlangsung secara internal. Bersamaan dengan itu ceramah sejumlah pendeta yang menghina Nabi Muhammad SAW dan umat Islam juga beredar dengan cepat di medsos. Nampak sekali ada upaya memprovokasi agar umat Islam marah. Ustadz Haikal Hassan Baraas mengaku mendapat banyak kiriman dan minta diviralkan. Ini jawaban saya: "Anda ini mau melihat Indonesia hancur karena perang agama?" STOP!!! Laporkan ke @BareskrimPolri! Bukan sosmed !!" kata Haikal diakunnya. (Membenturkan FPI) Pada kasus perlakuan rasisme terhadap mahasiswa di Surabaya, sangat jelas ada upaya membenturkan antar-kelompok masyarakat. Di medsos FPI bersama Pemuda Pancasila disebut-sebut sebagai pelaku rasisme terhadap mahasiswa Papua. Dari kronologi yang disampaikan oleh mahasiswa Papua yang terjebak di Asrama tidak ada penjelasan FPI terlibat. Video-video yang beredar, baik dari dalam dan luar asrama, sangat jelas ucapan rasisme itu terjadi saat sejumlah anggota TNI, Polri dan sejumlah orang berpakaian preman mengepung Asrama. Namun tidak jelas siapa yang mengucapkan. Portal CNN. Com membuat berita dengan Judul : Asrama Papua di Surabaya Digeruduk Massa Beratribut FPI. Bila kita baca beritanya lebih teliti, judul berita tersebut jelas merupakan pemelintiran. “Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com di lokasi, dari ratusan massa yang memadati depan asrama mahasiswa itu, ada yang mengenakan atribut ormas Front Pembela Islam (FPI) dan Pemuda Pancasila (PP). Namun, sebagian besar dari mereka mengenakan pakaian bebas.” Dalam berita tersebut benar ada foto satu orang yang mengenakan seragam FPI membelakangi kamera, dan satu orang lainnya mengenakan pakaian dan kupluk warna putih. Jadi setidaknya ada dua orang. Bukan massa seperti disebut dalam judul. Berita CNN kemudian di-buzz oleh Permadi Arya atau lebih dikenal sebagai Abu Janda dan politisi PSI Guntur Romli. Permadi Arya@permadiaktivis Aug 19 “gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an.” “jadi pertanyaannya: APA manfaat ormas FPI sebenarnya? selain geradak geruduk warung, rumah ibadah, agama & etnis minoritas picu konflik horisontal?” Mohamad Guntur Romli@GunRomli Aug 19 “Hanya info dr medsos lngsung geruduk asrama Papua dgn tuduhan bendera Merah Putih dibuang kmudian menjalar pd kekerasan & rasisme, akhirnya hari ini ada demo di Papua #TolakRasisme #KitaPapua.” “Asrama Papua di Surabaya Digeruduk Massa Beratribut FPI” Isu itu menjadi tambah ramai karena media mengutip pernyataan Gubernur Papua Lukas Enembe yang memprotes Gubernur Jatim Khofifah. Sejumlah media membuat judul yang provokatif. Jaringan TribunNews.com misalnya membuat judul : Gubernur Lukas Enembe: Kenapa Tak Terjunkan Banser untuk Bela Mahasiswa Papua yang Dipersekusi. Dari judul-judul media dan akun buzzer dari dua kelompok yang berseberangan, sangat jelas ada upaya-upaya membenturkan, atau setidaknya memprovokasi. FPI Vs Banser! Apakah media dan para buzzer ini secara sengaja dan sadar melakukan hal itu, atau hanya sekedar terbawa eforia dan semangat permusuhan yang sudah menjadi kesumat? Imbas dari Pilkada DKI 2017 dan kemudian berlanjut ke Pilpres 2019. Isu Papua ini tidak boleh dibuat main-main karena bisa membakar kohesi bangsa Indonesia. Apalagi kalau sudah membawa-membawa sentimen agama, ras, suku, dan antar-golongan (SARA). Belum lagi jika bicara kepentingan politik global. Sangat jelas ada kekuatan global yang berkepentingan agar Papua tetap rusuh dan menjadi perhatian dunia internasional. Kelompok separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengklaim telah menyerahkan petisi menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemimpin ULMWP Benny Wenda mengklaim petisi itu ditandatangani 1.8 juta orang, atau sekitar 3/4 rakyat Papua. Di Jayapura seorang orator perempuan meneriakkan referendum dan kemerdekaan Papua. Perlu sikap bijak dari semua pihak untuk tidak bermain-main dengan api “kemerdekaan” Papua. Api yang bisa membakar rumah besar bernama Indonesia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, orang Papua perlu didengar, diajak bicara, dirangkul dan diakomodasi aspirasi dan kepentingan. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari anak bangsa. Jangan hanya dikeruk kekayaannya, bersamaan dengan itu mereka dipinggirkan dan nasibnya diabaikan. End

LHKPN : Kontradiksi Peraturan Buatan Manusia & Norma Agama

Sebagai catatan dari penulis, Dharma dan Buwas dikenal oleh kalangan wartawan sebagai polisi yang lurus. Dalam pengertian tidak berpolitik, tidak ikut “faksi-faksian”, dan tidak pernah terlihat dan terendus dekat dengan “cukong” siapa pun. Bahkan dari riwayat jabatannya terdahulu, kedua perwira ini tergolong perwira yang selalu “dipinggirkan”. Oleh : Tony Hasyim Wartawan Senior Jakarta, FNN - Pekan lalu, seorang perwira tinggi Polri kembali mempersoalkan aturan wajib menyetor Laporan Harta Kekayaan Peyelenggara Negara (LHKPN ke KPK. Namanya Irjen Polisi Dharma Pongrekun, Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kebetulan yang bersangkutan sekarang sedang mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Dharma sendiri sebetulnya sudah menyetor LHKP ke KPK pada 13 Maret 2019. Tapi ia berpandangan aturan dan sistem LHKPN ini harus diperbaiki. Sebelumnya, tahun 2015, Komjen Polisi Budi Waseso, yang terkenal dengan panggilan “Buwas” juga pernah mempersoalkan LHKPN sewaktu masih menjabat Kabareskrim Polri. Buwas sekarang dipercaya Presiden Jokowi sebagai Kepala Bulog. Sebelumnya Buwas juga sudah menyetor LHKPN sewaktu menjadi Kapolda Gorontalo (tahun 2012). Tapi sewaktu dipromosikan menjadi Kabareskrim, ia enggan menyetor LHKPN. Buwas justru meminta KPK sendiri yang melakukan pencatatan atas harta kekayaannya agar lebih objektif. Menurut Dharma aturan LHKPN membuat orang bersiasat untuk berbohong. Sebab, belum tentu semua harta kekayaan dia laporkan di LHKPN. Dharma menegaskan, sebagai sarana untuk transparansi, LHKPN bisa saja. Namun dia memandang tak perlu ada unsur paksaan atau sanksi. "Kalau lu mau tangkap (koruptor), tangkap saja. Transparansi apa, orang dia belum tentu daftarin semua hartanya kok," tegasnya. Menurut Dharma, LHKPN adalah konsep aturan ateis. Pernyataan Dharma ini menimbulkan kontroversi sampai sekarang. Alasan mempersoalkan LHKPN dari kedua perwira tinggi Polri tersebut hampir senada. Dalam prakteknya memanya memang tidak semua orang bisa objektif dalam mencatat dan melaporkan seluruh harta kekayaan pribadinya dengan berbagai pertimbangan. Bagi yang harta kekayaannya banyak memang sulit untuk mencatat secara detil harta kekayaannya. Bisa jadi mereka khawatir harta kekayaannya menjadi sorotan publik. Tapi bisa juga karena pertimbangan keyakinan agamanya. Terkait keengganan Buwas waktu itu, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) pernah memberi penilaian tersendiri kepada Buwas. Menurut JK, Buwas adalah orang yang sederhana. Sehingga, meyakini harta yang miliki oleh jenderal bintang tiga tersebut tidaklah banyak. Buwas sendiri setelah menjadi Kabareskrim digeser ke posisi Kepala BNN. Tapi setelah itu dipromosikan Jokowo menjadi Kepala Bulog hingga hari ini. Sebagai catatan dari penulis, Dharma dan Buwas dikenal oleh kalangan wartawan sebagai polisi yang lurus. Dalam pengertian tidak berpolitik, tidak ikut “faksi-faksian”, dan tidak pernah terlihat dan terendus dekat dengan “cukong” siapa pun. Bahkan dari riwayat jabatannya terdahulu, kedua perwira ini tergolong perwira yang selalu “dipinggirkan”. Buwas hanya pernah sekali menjadi Kapolda, itu pun di daerah yang tidak “basah”, Provinsi Gorontalo. Dharma, bahkan sama sekali tidak pernah menjadi Kapolda, Kapolwil atau Kapolres. Konon, karena merasa tersisih di internal kepolisian, Dharma berinsiatif mencari medan pengabdian baru. Dalam catatan penulis, Dharma pernah ikut seleksi capim KPK tahun 2011 (waktu masih berpangkat AKPB), lalu mendaftar lagi tahun 2015 (berpangkat Kombes), tapi tidak lolos. Hebatnya, Dharma ikut lagi pada seleksi capim KPK tahun 2019 ini, setelah menyandang bintang dua di pundaknya. Sepertinya ia punya obsesi tersendiri di lembaga pemberantas korupsi tersebut. Bahwa Buwas dan Dharma sekarang punya posisi cukup bergengsi di luar kepolisian barangkali karena nasibnya memang baik. Tapi bisa jadi karena Presiden Jokowi, yang punya kewenangan tertinggi dalam mutasi dan promosi jabatan, dapat informasi tersendiri tentang sosok kedua perwira tinggi polisi Buwas dulu kalah bersaing di bursa calon Kapolri, tapi belakangan malah dijadikan Kabulog oleh Jokowi. Di posisi ini Buwas masih kelihatan aslinya, out spoken dan secara frontal melawan kebijakan impor beras yang diberlakukan Menteri Perdagangan. Faktanya, setelah Buwas masuk Bulog, stok dan harga beras relatif stabil hingga hari ini. Nampaknya Jokowi memang tidak salah dalam memilih Buwas. Dharma meski tidak pernah jadi Kapolda dan jarang muncul di media, sebulan lalu dipromosikan Jokowi sebagai Waka BSSN. Dharma sekarang berusi 53 tahun, masih punya kesempatan berkarir 5 tahun lagi di kepolisian. Dharma diangkat Jokowi sebagai Wakil Kepala BSSN setelah mendaftar menjadi capim KPK. Apakah ini sebuah bentuk dorongan agar Dharma bisa menjadi pimpinan KPK, atau ada rencanana lain? Hanya Jokowi yang tahu. Catatan berikutnya, ayah Buwas adalah Dangir Marwoto, seorang prajurit Kopassus TNI-AD dengan pangkat terakhir kolonel. Ada pun ayah Dharma adalah Marthen Pongrekun, seorang jaksa karir dengan jabatan terakhir Jaksa Agung Muda Pembinaan. Dari latar belakang keluarganya, sudah jelas kedua perwira ini berdarah aparatur negara. Mengapa Mereka Mempersoalkan LHKPN? Tidak banyak pejabat di Indonesia yang berani mempersoalkan kebijakan KPK tentang aturan wajib menyetor LHKPN ini. Karena bisa jadi mereka akan disorot KPK dan para aktivis anti-korupsi. Awal Maret 2019, Wakil Ketua DPR. Fadli Dzon pernah mengusulkan agar KPK menghapus aturan LHKPN dan fokus kepada pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara melalui data pajaknya. Tapi akibatnya Fadli dibully oleh buzzer pendukung KPK. Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, usulan Fadli tersebut tidak bisa dilaksanakan karena SPT (Surat Pemberitahauan Tahunan) Pajak sifatnya sangat rahasia dan tidak bisa diakses semua orang. Sedangkan LHKPN ditujukan agar kepemilikan harta seorang penyelenggara negara bisa dicek dan diklarifikasi kebenarannya. Argumen pejabat KPK ini sebetulnya mudah disangkal. Dalam pembuktian tindak pidana korupsi sebetulnya KPK bisa meminta akses ke rekening tersangka korupsi. Dasar hukumnya adalah pasal 12 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi berwenang meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan uang tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. Logikanya, jika KPK bisa mengakses kerahasiaan data perbankan, harusnya KPK bisa juga menembus kerasahasian data pajak. Tinggal koordinasi dengan Menteri Keuangan. Apa sulitnya? Yang perlu dipahami, Dharma dan Buwas adalah polisi reserse. Semua reserse di dunia menganut doktrin post factum, bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan baru dilakukan setelah tindak pidana terjadi. Hal ini yang membedakan reserse dengan komunitas intelijen. Profesi yang terakhir ini memang lazim bertindak atas dasar “kecurigaan”. Jika KPK bersikeras mengecek dan mengklarifikasi semua harta kekayaan penyelenggara negara sebelum yang bersangkutan menjadi tersangka tindak pidana korupsi, patut dipertanyaan KPK ini lembaga penegak hukum atau lembaga intelijen? Menurut hemat penulis, aturan pelaporan dan pengumuman LHKPN ini adalah produk hukum yang lebay (mengada-ada). Sampai saat ini tidak ada alasan historis dan logis dari lahirnya aturan soal LHKPN ini. Sejauh ini beberapa kalangan, termasuk pejabat di KPK, menyebut bahwa kewajiban melapor LHKPN adalah tolok ukur kejujuran bagi setiap penyelenggara negara. Tapi tidak ada satupun pertimbangan hukum, pasal dan penjelasan dari aturan terkait LHPKN yang menyebut secara eksplisit alasan-alasan dibalik kewajiban melapor LHKPN itu. Dalam situs resmi KPK, disebutkan ada tiga dasar hukum LHKPN. Pertama, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Kedua, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi. Ketiga, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Masih menurut informasi di situs KPK, dinyatakan bahwa bagi Penyelenggara Negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, maka berdasarkan Pasal 20 undang-undang yang sama akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Jelas, karena sanksinya hanya administratif, maka sifat dari melawan hukum atas kewajiban menyetor LHKPN ini adalah “pelanggaran”, bukan kejahatan. Buwas berpegangan pada prinsip ini. Tapi faktanya, sejauh ini belum pernah ada penyelanggara negara dikenakan sanksi oleh instansinya karena tidak menyetor LHKPN ke KPK. Bahkan belum pernah ada pejabat yang ditindak KPK karena katahuan berbohong dalam pengisian LHKPN. Dengan fakta-fakta seperti itu, apa urgensinya KPK membikin aturan wajib setor LHKPN kepada KPK? Memang, dalam dalam Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016, pasal 3 ada satu ketentuan mengatakan, “LHKPN yang telah diumumkan tidak dapat dijadikan dasar baik oleh penyelenggara negara maupun pihak mana pun juga untuk menyatakan bahwa Harta Kekayaan Penyelenggara Negara tidak terkait tindak pidana”. Dengan penafsiran bebas, artinya harta kekayaan yang diperoleh seorang sebelum dan sesudah menjadi penyelenggara negara bisa dirampas oleh negara dalam rangka pemulihan kerugian negara akibat korupsi (asset recovery). KPK memang memiliki instrumen asset recovery. Hal ini diatur dalam pasal 18, UU No. 31 Tahun 1999 tentang UU Pidana Korupsi. Ketentuan ini memberi ruang kepada KPK untuk mengajukan tuntutan pidana tambahan berupa perampasan harta kekayaan dari hasil korupsi dan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Aturan ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Karena tidak saja bersifat ultimum remedium (penghukuman pamungkas), tapi sudah bablas menjadi penghukuman “balas dendam” karena motifnya mengarah kepada “pemiskinan koruptor”. Masalahnya, bagaimana kalau si penyelenggara negara yang bersangkutan sudah kaya raya sebelum jadi pejabat, misalnya karena mendapat warisan atau menikah dengan orang kaya? Apakah harta bawaan tersebut bisa dirampas untuk negara? Bukankah aturan-aturan seperti justru memicu orang untuk berusaha keras menutup-nutupi harta kekayaannya ketika hendak menjadi pejabat negara? Masih ingat kasus korupsi paling heboh yang terjadi tahun 2013? Waktu itu Irjen Polisi Djoko Susilo, Kakorlantas Polri, ditangkap KPK dalam kasus korupsi simulator SIM dan pencucian uang. Djoko dalam persidangan mengaku berbohong dalam mengisi LHKPN tahun 2012. Ia hanya melaporkan total harta dari profesi sebesar Rp 240 juta dan dari bisnis jual beli perhiasan dan properti sebesar Rp 960 juta. Joko mengaku sengaja tidak melaporkan aktivitas bisnis dan perihal istri-istrinya dengan alasan sebagai polisi dilarang memiliki usaha dan juga beristri lebih dari satu. Tapi sekali lagi, Djoko bukan ditangkap KPK karena berbohong dalam pengisian LHKPN, melainkan terlibat dalam kasus berbeda. Bahwa kemudian KPK berhasil menemukan harta kekayaan Djoko diluar LHKPN-nya itu karena pintar-pintarnya penyidik KPK dalam menelusuri harta kekayaan terpendam dari Djoko. Seperti diketahui, dalam kasus tersebut KPK sempat menyita sebuah rumah di Kota Solo, milik istri ketiga Djko Susilo, Dipta Anindita, karena diduga hasil tindak pindana pencucian uang terkait korupsi yang dilakukan Djoko. Belakangan, orang tua dari Dipta (mertua Djoko) terpaksa merogoh kocek sendiri hingga Rp 6 miliar untuk menebus rumah warisan tersebut karena ada wasiat dari orang tuanya agar rumah tersebut tidak boleh beralih kepada pihak lain kecuali kepada keluarga sendiri. Konsep Harta Kekayaan Menurut Ajaran Agama Dalam ajaran Islam, semua manusia dibolehkan bahkan diajurkan menjadi orang yang kaya raya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Hajj, ayat 50, "Maka bagi orang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” Begitu banyak ajaran Islam tentang harta kekayaan. Para ulama sering mengulang-ulang ayat-ayat ini. Bahwa harta kekayaan yang diperoleh manusia adalah “reward” atas ikhtiar, doa, tawakal, sedekah, taqwa, rendah hati dan segala perbuatan terpuji yang diridhoi Allah. Tapi di sisi lain, dalam ajaran Islam, manusia tidak bisa mengklaim kepemilikan harta kekayaan secara pribadi. Dalam Surat Al-Hadid ayat 7, Allah berfirman, “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” Sangat tegas, dalam ajaran Islam, harta kekayaan yang diperoleh semua manusia, sesungguhnya adalah milik Allah SWT. Dalam ajaran Kristen pandangan tentang harta kekayaan manusia juga harus bersumber dari Al- Kitab. Tidak ada ajaran Kristen yang mengutuk dan menyalahkan siapapun karena memiliki harta kekayaan yang banyak. Dalam Perjanjian Baru, Filipi 4:19 disebutkan: "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” Dalam ajaran Islam maupun Kristen atau agama apapun, sejatinya memang tidak ada konsep kepemilikan harta kekayaan secara pribadi. Keyakinan seperti ini banyak dipegang oleh masyarakat Indonesia yang agamis. Sehingga jangan heran, dalam setiap publikasi sumbangan bencana alam melalui media massa, sering kali tertera nama penyumbang “Hamba Allah” atau “Hamba Tuhan”. Hal tersebut bukan berarti si penyumbang berniat menutupi-nutupi identitas pribadinya, melainkan justru memohon keridhoan Allah atas rezeki atau harta kekayaan yang disumbangkan kepada korban bencana. Jadi, aturan wajib melapor LHKPN ke KPK memang kontradiktif dengan norma-norma agama yang masih dipegang kuat oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Jika aturan LHKPN ini diwajibkan, konsekwensinya seseorang merasa dipaksa menyibukan diri melakukan pencatatan dan bersedia mengumumkan harta kekayaan yang sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik Tuhan. Jauh hari Buwas dan Dharma mempersolakan LHKPN, penulis pernah ngobrol dengan seorang kawan pengusaha yang mau ikut kontes pilkada. Tiba-tiba sekretarisnya masuk dan bertanya, "Pak ini LHKPN ngisinya bagaimana?" Sekretrarisnya minta petunjuk berapa nilai saham di perusahaan A, B, C dan seterusnynya. Pengusaha ini nampak bingung, lalu nyeletuk dengan nada kesal, “Sudah, terserah kamu saja yang ngisi. Jangan saya, nanti dibilang riya!” Riya adalah suatu definisi dari ajaran Islam tentang seseorang yang memamerkan sesuatu yang dimiliki atau diperbuat dengan tujuan dipuji atau mendapatkan penghargaan lebih dari orang lain. Lawan kata dari riya adalah ihklas. Dalam ajaran Islam, orang yang riya akan terhapus segala amalannya. Sebaliknya, setiap orang yang ikhlas, sekecil apa pun amalannya, akan dicatat sebagai pahala oleh Allah. LHKPN Bisa Memicu Pujian dan Fitnah Dalam ajang Pilpres kemarin ada isu hangat yang berkembang di masyarakat. Seperti di ketahui, menjelang pelaksanaan Pilpres 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan LHKPN calon presiden dan wakil presiden. Sebagaimana bunyi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, capres dan cawapres wajib untuk melaporkan LHKPN sebagai syarat pencalonan. Dari data yang diumumkan KPU, tercatat harta kekayaan yang dilaporkan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo sebesar Rp 50,24 miliar. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 43,88 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,08 miliar, harta bergerak lainnya Rp 360 juta, kas dan setara kas Rp 6,10 miliar, dan hutang Rp 1,19 miliar. Cawapres nomor urut 01, Ma'ruf Amin, melaporkan harta sebesar Rp 11,64 miliar. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 6,97 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,62 miliar, harta bergerak lainnya Rp 226 juta, kas dan setara kas Rp 3,47 miliar dan hutang Rp 657 juta. Prabowo Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, melaporkan total LHKPN sebesar Rp 1,95 triliun. Dengan rincian, harta tanah dan bangunan Rp 230 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,43 miliar, harta bergerak lainnya Rp 16,41 miliar, surat berharga Rp 1,7 triliun, kas dan setara kas Rp 1,84 miliar., Total LHKPN cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno mencapai Rp 5 triliun. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 191 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 325 juta, harta bergerak lainnya Rp 3,2 miliar, surat berharga Rp 4,7 triliun, kas dan setara kas Rp 495 miliar, harta lainnya Rp 41,29 miliar dan hutang Rp 340 miliar. Media massa kemudian mengulas dan membuat grafis ranking total kekayataan mereka. Yang terkaya, Sandi (Rp 5 triliun). Kedua, Prabowo (Rp, 1,9 triliun). Lalu Jokowi (Rp 50, 24 miliar) dan “termiskin” Ma’ruf Amin (Rp 11, 64 miliar). Nah, menariknya, harta kekayaan Prabowo dan Sandi yang “fantastis” tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh masyarakat. Karena ada mindset bahwa seorang presiden dan wakil presiden sebaiknya memang orang yang sudah mapan secara ekonomi, sudah kaya raya, supaya tidak tergoda korupsi lagi. Pandangan seperti ini tentunya membuat orang baik yang kebetulan tidak kaya raya menjadi minder tampil di ajang pilres. Sebaliknya, LHKPN dari Jokowi dan Ma’ruf yang nilainya kecil justru dicurigai telah di-markdown alias sengaja dikecilkan. Apalagi, belakangan ada rilis dari KPU yang menyebutkan dana sumbangan pribadi Jokowi untuk kampanye pilpres mencapai Rp. 19,5 miliar. Padahal dalam LHKPN-nya, total kekayaan Jokowi hanya Rp 50,2 miliar dan yang berupa kas hanya Rp. 6,1 miliar. Hal ini dianggap “mencurigakan” sehingga dipersoalkan oleh kubu Prabowo-Sandi sampai ke Mahkamah Konstitusi. Belakangan tim sukses Jokowi-Maruf menyebut hal tersebut terjadi karena "kesalahan input". Ada pun harta kekayaan Ma’ruf Amin diributkan pubik karena selama massa kampanye, media massa sering menyebut kediaman Ma’ruf Amin terletak di kawasan elite Menteng, persinya di Jalan Situbondo No. 12. Rumah tersebut digambarkan besar dan mewah. Padahal banyak masyarakat tahu, Ma’ruf Amin adalah kyai terkenal yang tinggal di kawasan sederhana di Koja, Jakarta Utara. Apakah Maruf punya satu atau dua rumah di Jakarta? Tidak ada penjelasan sampai sekarang. Jika Maruf punya rumah di kawasan Menteng, yang ditaksir bernilai puluhan miliar, mengapa ia melaporkan harta kekayaanya cuma Rp. 1,9 miiliar, dengan rincian harta tanah dan bangunan cuma Rp 230,4 juta? Apakah Maruf Amin telah berbohong? Belum tentu juga. Bisa jadi rumah di Jalan Situbondo itu cuma kontrakan atau dipinjamkan oleh seorang pengusaha pendukungnya. Apakah rumah kontrakan atau pinjaman harus dilaporkan dalam LHKPN? Jelas tidak. Karena yang diisi di LHKPN harus harta kekayaan pribadi. Jangan lupa, menurut aturannya, LHKPN ini setelah diserahkan ke KPK juga diumumkan ke publik. KPK memberi ruang kepada sasyarakat untuk melaporkan apabila di lingkungannya diketahui ada pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaannya dengan benar dengan melampirkan bukti pendukung seperti foto dan info lainnya melalui email. Alhasil, LHKPN ini dalam prakteknya lebih banyak mudarat daripada mamfaatnya. Karena seseorang pejabat bisa terpaksa berbohong saat mengisi laporan LHKPN-nya dengan berbagai pertimbangan pribadi. Bisa jadi agar asal usul harta kekayaannya diusik atau mungkin pula karena tidak ingin dianggap riya (pamer). Sebaliknya, tetangga atau orang lain bisa mengirim informasi palsu ke KPK untuk mendiskreditkan seorang pejabat. Karena mindset seseorang terhadap harta kekayaan orang lain tidak selalu sama. Bisa melahirkan pujian, tapi bisa pula menjurus kepada fitnah. Dalam persepsi publik seperti itu KPK bakal disibukan dengan klarifikasi harta kekayaan seseorang yang dilaporkan orang lain. Padahal belum tentu seseorang jadi kaya karena korupsi. Sekarang kita ambil hikmahnya saja. Apa yang dipersoalkan Dharma dan Buwas adalah PR tersendiri bagi KPK. Menurut informasi resmi KPK, saat ini ada 350.539 orang penyelenggara negara yang punya status wajib setor LHKPN. Sementara SDM di KPK cuma 1600 orang, itu pun yang punya kapasitas sebagai penyelidik/penyidik tidak lebih dari setengahnya. Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi? Dalam praktek selama ini KPK sudah terbukti mampu menangkapi koruptor melalui instrumen penyadapan dan pelaporan masyarakat. Untuk kepentingan pemulihan aset hasil korupsi, toh KPK bisa berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Ditjen Pajak. Apa susahnya? Sekian

Negara Tidak Boleh Justifikasi Rasisme & Papua Phobia Dengan Kriminalisasi Rakyat Papua

Tindàkan rasialisme itu tindakan yang menyerang dan merendahkan martàbat setiap individu. Karena itu ketika orang Papua dikatakan Monýet dan Gorila, tentu memancing reaksi indìvidu yang ras, warna kulit dan etño biologis yang sama sebagai bangsa Papua melanesia. Karena itulah tindakan perlawanan atau anti rasial muncul secara spontanitas oleh setiap individu di Papua. Oleh Natalius Pigai Aktivis Kemanusiaan Jakarta, FNN - Pernyataan Wiranto bahwa perusuh di Manokwari diproses secara hukum sebagai mana dilansir media online kumparan, tanggal 19 agustus 2019. Tentu saja Wiranto tidak eloķ dan pantas sasar kepada rakyat Papua ýang pada saat ini pòsisinya sebagai korban rasialisme di Indonesia. Apalagi rakyat Papua melakukan tindakan menentang/penghapusan diskriminasi rasial yang merupakan sèmangat/menstream dunia internasional yang ingin membangun peradaban baru anti diskriminasi dan masyarakat inklusif. Negara sejatinya mendorong terciptanya situasi yang aman dan kondusif dengan pendekatan persuasif dan bermartabat, serta sebagai orang Jawa dimana sukunya adalah pelaku rasialisme bisa dianggap sangat subjektif dan tidak kredibel. Menjamurnya rasialisme dan Papua Phobia atau Phobia terhadap orang Papua dan kulit hitam sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Tindakan itu sudah dilakukan sejak pasca integrasi politik Indonesia 1970an kemudian 1980an sampai hari ini dan terus berlangsung. Papua phobia justru dilakukan oleh kaum migran yang mengadu nasip hidup di Papua, àparat TNI/Polri, Pènegak Hukum dan Koorporasi, masyarakat Papua tidak memiliki daya juang untuk mencari keadilan melalui proses hukum. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembangunan integrasi politik di Papua secara subtansial. Akibatnya, kondisi hari ini adalah hasil resultante dari kegagalan pembentukan karakter dan rasa kebangsaan (nation and charakter Building). Negara mesti berpikir dan bernarasi di tingkat seperti itu bukan bernarasi rendahan dan/atau bernarasi konotasi negatif dengan cara tambal sulam atau setiap masalah langsung diredam melalui penerapan delik secara kaku dan ketat. Negara juga membangun grand design komprehensip tentang pembangunan integrasi politik nasional yang diikat karena adanya keadilan subtantif yaitu keadilan pembangunan maupun keadilan pembagian kekuasaan untuk membangun Indonesia tanggung rènteng. Bagimana 74 tahun Presiden dan Wakil Presiden dipimpin hanya oleh satu suku dari 714 suku di Indonesia. Itu adalah problam paling serius. Maka; design politik kebangsaan dan multi kultur melalui 1). Tanpa presidensial threshold. 2). Sistim pemilu Popular Vote (satu orang satu suara satu nilai) dianggati dengan Èĺektoral Collage (sistim distrik); 3). Sistim giliran Jawa luar Jawa atau Indonesia Timur, tengah dan barat; 4). Konsensus nasional ùntuk pembagian kekuasaan dan struktur anggaran nasional; 5). Meninggalkan desentralisasi simetris ke desentralisasi asimetris, karena setiap daerah memiliki gaya dan pola kepemimpinan serta adat istiadat yang berbeda Itulah pekerjaan pelerjaan pemerintah yang sesungguhnya untuk memantapkan politik lebanģsaan untuk ratusan tahun yang akan datang. Kecenderungan hari ini adalah design politik menguntungkan satu suku dan tercipta kultus budaya dan suku, semakin haus akan kekuasaan, makin rakus dan sombong sehingga merendahkan harkat dan martabat suku-suku lain sebagaimana terjadi pada hari ini. Saya meminta saudara Negara tidak menyalagunakan otoritas negara untuk menjastifikasi tindakan rasisme dengan kriminalisasi terhadap rakyat Papua yang protes baik di Manokwari, Sorong, Jayapura dan hampir semua penjuru Propinsi Papua dan Papua Barat. Tindàkan rasialisme itu tindakan yang menyerang dan merendahkan martàbat setiap individu. Karena itu ketika orang Papua dikatakan Monýet dan Gorila, tentu memancing reaksi indìvidu yang ras, warna kulit dan etño biologis yang sama sebagai bangsa Papua melanesia. Karena itulah tindakan perlawanan atau anti rasial muncul secara spontanitas oleh setiap individu di Papua. Tidak Ada Aktor Yang Mengarahkan, Menuntutn dan Memimpin. Pemerintah mendorong proses hukum terhadap rakyat Papua, maka sudah dipastikan kriminalisasi dan ketidak adilan. Sebagai aktivis kemanusiaan yang secara individu pernah menangani lima belas ribu kasus di Indonesia, pernah mengunjungi 34 Propinsi di Indonesia meneliti dan melihat lebih dari 400 Kabupaten/Kota, sangat memahami tipologi kasus, sehingga mudah memperkirakan perlawanan besar akan muncul dan fragmentasi suku, agama, antar golongan àkan makin mengkristal. Dalam konteks sosiologi konflik, rasialisme muncul sebagai isu yang timbul tenggelam (recurent issues). Di Negara lain, perlawanan terhadap rasialisme, senophobia dan anti semistik adalah perang tanpa titik akhir (infinity war). Ìtu yang harus dicamkan. End