ALL CATEGORY

Kader Nasdem Ingatkan Enggartiasto Lukita Hormati Panggilan KPK

Jakarta, FNN - Politisi Partai Nasdem Kisman Latumakulita mengingatkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita agar menghormati panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab dengan memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa penyidik adalah kewajiban hukum setiap warga negara. Sekaligus juga merupakan bentuk penghormatan kepada penegakan hukum di tanah air. “Sebagai seorang menteri, Enggar sebaiknya jangan banyak berkilah. Menghindar dari panggilan KPK itu perbuatan sangat tidak terpuji. Tidak perlu pula membuat alasan sana-sini untuk menghindar dari panggilan KPK. Sebab itu merupakan contoh buruk dari seorang pejabat tinggi negara terhadap penegakan hukum di tanah air, “ ujar Kisman kepada wartawan di Jakarta, Kamis (02/08) Ditambahkan Kisman, seorang pejabat tinggi negara setingkat menteri seperti Enggar wajib taat dan menghormati lembaga penegak hukum. Jangan cari-cari alasan untuk menghindar dari penggilan penyidik KPK. Enggar datang saja dan jelaskan kepada penyidik KPK apa saja yang diketahui tentang permasalahan hukum yang sedang dijalani politisi Golkar Bowo Sidik Pangarso. Sampai sekarang, tercatat lembaga anti rasuah tersebut sudah tiga kali memanggil Enggar untuk diperiksa sebagai saksi. Namun sudah tiga kali pula Enggar mangkir dari penggilan penyidik KPK. Berbagai alasan pembenaran dibuat Enggar untuk tidak memenuhi panggilan KPK. Sebenarnya KPK bisa saja melakukan upapa hukum memaksa untuk menghadirkan Enggar. Sebab upaya hukum memaksa itu dibenarkan oleh sistem hukum acara yang berlaku. Namun KPK tampaknya masih memberikan kesempatan terakhir bagi Enggar untuk memperlihatkan niat baiknya. KPK tentu berharap Enggar menghormati proses hukum yang sedang dilakukan KPK. “Kesibukan sebagai Menteri Perdagangan hendakanya tidak dijadikan alasan pembenaran oleh Enggar untuk mangkir dari panggilan KPK. Datang dan jelaskan kepada penyidik KPK bahwa anda tidak bersalah. Kalau Enggar merasa tidak bersalah, ayo hadapi dan tantang itu penyidik KPK. Katakan kepada penyidik “saya tidak bersalah”. Buktinya ini bla bla dan bla, “ kata Kisman. Menurut Kisman, kalau Enggar tidak berani memenuhi panggilan penyidik KPK, bisa menimbulkan penafsiran publik yang bermacam-macam. Publik bisa saja menduga, jangan-jangan Enggar memang benar-benar bersalah, sehingga takut diperiksa KPK. Kalau memang Enggar merasa tidak bersalah, mengapa tidak berani datang ke KPK untuk diperiksa? Sebagai kader dan petinggi Partai Nasdem, Enggar seharusnya bersikap kesatria saja. Lain halnya kalau Enggar lagi sakit atau sedang dirawat di rumah sakit. Kalau tidak sedang sakit, dan sengaja mengabaikan panggilan KPK, hanya dengan alasan kesibukan sebagai Menteri Perdagangan, tentu menjadi preseden dan contoh sangat buruk bagi kader muda Partai Nasdem. Partai Nasdem mengusung gagasan besar “Restorasi atau Gerakan Perubahan”. Salah satu pilar penting dan strategis dari “Gerakan Restorasi” adalah taat dan patuth kepada hukum. Selain itu, makna restorasi juga adalah menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi lembaga-lembaga penegak hukum. Misalnya, KPK, kejaksaan, kepolisian serta lembaga peradilan. “Jika petinggi Partai Nasdem yang tidak menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi lembaga-lembaga penegakan hukum, patut diduga orang tersebut adalah kader Partai Nasdem gadungan atau oplosan. Keberadaannya hanya menjadi parasit dan benalu di Partai Nasdem. Kalau ngomong, gayanya tinggi selangit. Kata anak medan “macam paling betul saja, “ tutur Kisman. Kisman mengingatkan Enggar bahwa Partai Nasdem lahir sebagai jawaban untuk memantapkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Nasdem menolak demokrasi yang hanya merumitkan tata cara pemerintahan, tanpa memajukan kesejahteraan umum. Nasdem juga menolak demokrasi yang hanya menghasilkan rutinitas sirkulasi kekuasaan, tanpa kehadiran pemimpin yang berkualitas dan layak diteladani. Semua pesan ini bisa dibaca oleh Enggar dengan jelas dan terang di Mukadimah Anggara Dasar dan Angaran Rumah Tangga Partai Nasdem. Ciri dari negara demokrasi itu adalah ketaatan para penyelenggara negara kepada sistem hukum yang berlaku. Sedangkan perlunya kehadiran pemimpin berkualitas yang layak diteladani itu adalah pemimpin yang hormat dan taat kepada hukum positif dan lembaga-lembaga hukum yang ada. Misalnya saja KPK, kejaksaan, kepolisian dan lembaga peradilan. “Mungkin saja Enggar belum baca Mukadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Nasdem. Sebab prilaku Enggar yang menghindar dari penggilan KPK sebanyak tiga kali tersebut, menandakan Enggar tidak mengerti maksud dan tujuan Partai Nasdem dilahirkan. Yaa, kalau belum baca, sebaiknya Enggar baca lagi dululah pesan mulia dari Mukadimah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Nasdem, “ himbai Kisman. DPP Partai Nasdem dalam beberapa tahun terakhir, menyelenggarakan pendidikan Akademi Bela Negara (ABN). Sudah puluhan ribu kader Partai Nasdem yang mengikuti ABN ini. Salah satu poin materi penting dari kegiatan ABN ini adalah ketaatan setiap kader Nasdem kepada hukum positif yang berlaku. Sayangnya, prilaku Enggar ini berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan cita-cita besar Partai Nasdem. (ahly)

Cina Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Indonesia memang butuh investasi, terutama investasi asing. Hanya saja, jika penanaman modal asing itu datang ke sini untuk merebut pasar dalam negeri lalu membunuh industri milik bangsa Indonesia, itu sama saja kita menyerahkan leher bangsa ini ke asing. Gejala itu sudah mulai terjadi pada industri semen kita. Naga-naganya, industri baja juga segera menyusul. Beberapa tahun yang lalu, para investor China membawa Yuan ke sini. Mereka mendirikan pabrik semen. Selanjutnya untuk merangsang mereka, pemerintah membuka keran impor klinker, bahan baku utama semen. Dengan begitu pabrik-pabrik baru tersebut bisa langsung berproduksi karena bahan baku melimpah. Pemerintah berharap Yuan yang ditanam di sini bisa menyerap tenaga kerja lokal lalu, tentu saja, menambah devisa. Harapan selanjutnya, hasil produksi mereka nantinya diekspor. Benar. Pabrik-pabrik asal Negeri Tirai Bambu itu kini beroperasi. Beberapa orang bekerja di pabrik itu. Hanya saja, tanpa disadari, pemerintah telah menyerahkan pasar dalam negeri kepada mereka. Mestinya pada saat Pemerintahan Joko Widodo menggeber proyek infrastrutur, industri semen berpesta pora. Semen laris manis. Nyatanya, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, industri semen nasional babak belur. Semen China membanjiri pasar dalam negeri dengan harga murah. Kini, beberapa pabrik besar menghentikan beberapa unit pabriknya. Pabrik itu antara lain milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Dua pabrik itu berhenti produksi karena produksi bubuk abu-abu ini di dalam negeri sudah melebihi permintaan nasional. Politisi yang juga pengusaha, Andre Rosiade, mengungkap selain dua pabrik itu, pabrik Semen di Aceh, Semen Padang, Semen Baturaja, Semen Gresik, dan Semen Tonasa juga terpaksa menurunkan kapasitas produksinya, karena semen mereka tidak laku. Mereka kalah bersaing dengan semen China. Di sisi lain ada tiga pabrik semen baru lagi yang bakal beroperasi pada 2020/2021 di Jember, Jawa Timur; Grobogan, Jawa Tengah; dan Kalimantan Timur. “Ini akan menyulitkan lagi para produsen semen sebelumnya karena oversupply-nya bertambah lagi. Semoga kabinet yang baru nanti bisa mengerti dan bijak terhadap situasi dan kondisi industri semen ke depan,” tutur Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan kapasitas produksi di pabrik semen saat ini mencapai sekitar 100 juta ton, sementara itu tingkat konsumsi berkisar 60-68 juta ton. Jadi ada oversupply sekitar 40 juta ton. Anehnya, di tengah kondisi susah itu PT Conch Cement Indonesia, anak usaha dari pabrikan semen kelas kakap dunia Anhui Conch Cement Company (China), berencana meningkatkan kapasitas produksi hingga mencapai 25 juta ton dari saat ini hanya 2,3 juta ton per tahun. Anhui Conch Cement merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia versi Forbes, berada di peringkat 522 dalam daftar The World's Largest Public Companies 2018. Bos Anhui bilang konsumsi semen per kapita Indonesia masih kecil sehingga perlu ditingkatkan. Selain Conch Cement dengan merek dagang Conch, beberapa nama produk semen yang prinsipalnya dari investor China adalah Jui Shin dengan merek dagang semen Garuda. Lalu, Semen Hippo, Semen Jakarta, Semen Merah Putih dan lainnya. Merek-merek ini dijual lebih murah ketimbang semen produk perusahaan dalam negeri. Andre mengatakan industri semen lokal itu terancam karena semen dari prinsipal China diduga menjual dengan menggunakan predatory pricing atau menjual rugi. "Pasar semen lokal dalam kondisi sangat memprihatinkan atau terancam bangkrut. Kenapa itu bisa terjadi karena ada kebijakan predatory pricing, di mana investor semen China yakni semen Conchdengan sengaja menjual semen di Indonesia dengan harga merugi," katanya. Baja Pemerintah tampaknya tidak belajar dari kasus semen. Buktinya, di tengah kondisi pabrik baja dalam negeri yang sekarat pemerintah menggelar karpet merah untuk perusahaan asal China, Hebei Bishi Steel Group. Perusahaan ini membangun pabrik baja di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dengan nilai investasi US$2,54 miliar. Pabrik tersebut rencananya yang terbesar di Asia karena mampu menyerap 6.000 hingga 10.000 tenaga kerja. Serta direncanakan beroperasi pada 2019 ini atau paling lambat 2020. Bisa dibayangkan, bila pabrik ini nanti berproduksi. Pasar baja tentu akan makin keras. PT Krakatau Steel Tbk. (KS) yang kini sedang megap-megap karena impor baja dari China akan makin sekarat. Perusahaan baja China ini mendirikan pabrik baja di Indonesia berarti telah memasuki jantungnya pasar. Nantinya, mereka tak perlu lagi mengirim baja dari negerinya. Kebutuhan baja untuk pembangunan infrastruktur di sini langsung mereka layani. Kini, Krakatau Steel memiliki utang yang sangat besar, yakni US$2,49 miliar atau Rp34,86 triliun (kurs Rp14.000) pada akhir 2018. Utang yang menggunung itu memaksa KS berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 1.300 karyawan organiknya. Menurut The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI), pada tahun 2018, jumlah impor baja Indonesia mencapai 7,6 juta ton. Sedangkan berdasar Badan Pusat Statistik (2018), impor besi dan baja merupakan komoditas impor terbesar ketiga Indonesia. Impor benda keras ini 6,45% dari total impor. Indonesia merogoh kocek US$10,25 miliar untuk impor komoditas ini. BPS juga mencatat pada Januari hingga April 2019 Indonesia mengimpor besi dan baja dari China sebesar US$768,62 juta. Para periode tersebut neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar US$2,56 miiar. Defisit ini tercatat lebih besar ketimbang periode yang sama tahun lalu US$1,4 miliar. Tekstil Barang China sudah menjadi pengganggu pasar bagi produk anak negeri. Selain semen dan baja, sejumlah pengusaha tekstil dan produk tekstil atau TPT belakangan ini juga secara seragam mengeluhkan membanjirnya pakaian impor dari China. Pengusaha domestik kewalahan bersaing. Harga barang China itu dijual lebih murah. Tekstil China masuk pasar Indonesia sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Produk Negeri Panda itu yang tadinya mengalir ke negeri Paman Sam sejak Mei lalu sebagian membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Gempuran produk dari China itu membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah. Produk China kini menjadi pengganggu pasar produk-produk dalam negeri. Ini adalah masalah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang adil untuk melindungi industry dalam negeri. Jangan lantaran dekat dengan China, lalu dikorbankan industri bangsa sendiri. End

Selamat Jalan Pak Anton

Oleh Anies Baswedan (Gubernur DKI) Jakarta, FNN - Namanya Wahyuntono, biasa dipanggil Pak Anton. Setiap pukul 06.30 beliau sudah berdiri di gerbang sekolah. Beliau menyapa kami dengan senyum hangat. Pukul 07.00 pintu gerbang ditutup. Tapi Pak Anton tidak pergi. Beliau tetap menyapa yang terlambat. Ditanya satu-satu, mengapa terlambat. Mereka jera, ditanya langsung kepala sekolah. Sekolah jadi tertib. Parkiran motor siswa di sekolah kami cukup panjang. Pak Anton selalu parkir di ujung depan parkiran motor siswa, dekat pintu keluar. Sekiranya ada pencuri, motor vespa hijau itu yang paling mudah diambil. Pak Anton menyapa ke kelas-kelas. Dari jendela, beliau memantau suasana kelas, cara guru mengajar dan cara siswa belajar. Beliau mendorong siswanya untuk aktif organisasi. “Anies, kamu ke Jakarta ya. Ikut pelatihan Ketua OSIS se-Indonesia,” kata Pak Anton. Pagi itu saya dipanggil ke ruang kepsek. Diberi surat undangan dari Kemdikbud & Disdik yang meminta sekolah kami mengirim utusan ke Jakarta. Saya duduk di kelas 1 dan dapat tugas mewakili sekolah kami. Sebelum berangkat, beliau bekali dengan nasihat. Saya ke Jakarta bawa semangat. Itulah wajah kehangatan dan contoh kepemimpinan kepala sekolah kami. Setiap guru, siswa merasakan kehadirannya dalam bentuk suasana sekolah yang sehat. Beliau tidak menghardik dan membentak untuk disegani. Tapi membimbing, mengarahkan, lalu menuntun untuk meraih target. Saat bertugas di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2015), kami undang Pak Anton ke Jakarta. Menghadiri peringatan hari guru. Beliau sudah pensiun, usianya 76 tahun. Jalannya pelan, tapi tegap dan penuh semangat. Saya sambut, salami dan cium tangannya. Beliau peluk erat sekali, dalam haru beliau berkata, “dulu saya kirim kamu ke Jakarta diundang kementerian, sekarang kamu ngantor di ruang ini.” Di ruangan, Kepala Sekolah teladan itu sempat diam seakan tak percaya. Saya dengarkan semua ceritanya. Masih seperti dulu, saya tetap muridnya. Kami sering berkabar, beliau beri nasihat, tetap jadi guru. Hari ini, 1 Agustus 2019, semua ingatan keteladanannya seakan diputar ulang. Ya, hari ini Pak Anton akan dimakamkan di Yogyakarta, 80 tahun usianya. Doa ribuan muridnya mengiringi. InsyaAllah, pahala padanya tak berhenti mengalir lewat ilmu yang diamalkan murid-muridnya. Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu anhu ...

Tanda-Tanda Krisis Itu Makin Tegas

Oleh Hudzaifah (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tidak bisa dipungkiri roda perekonomian sepanjang Januari hingga Juli 2019 menunjukkan fenomena menarik. Terutama terjadi berbagai penurunan kinerja baik di level APBN, BUMN, korporasi hingga di level masyarakat, seolah sepakat mengatakan kita sudah memasuki periode krisis ekonomi. Narasi di atas seolah menggambarkan bahwa krisis akan datang, tidak. Justru krisis sudah datang dan menghantam seluruh infrastruktur perekonomian kita. Sehingga hanya orang-orang yang mengerti perekonomian baik dari sisi mikro maupun makro yang memahami bahwa sesungguhnya kita sedang berada dalam siklus krisis. Coba tengok saja release Badan Pusat Statistik (BPS) soal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal II-2019. Release data ini menjadi begitu penting jika mengingat perekonomian Indonesia tumbuh jauh di bawah target para ekonom pada tiga bulan pertama tahun ini. Untuk periode kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year--YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus ekonom sebesar sebesar 5,19% YoY. Bila pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 kembali berada di bawah ekspektasi, tentu pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir bisa dipastikan akan mengecewakan. Asal tahu saja, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 di level 5,3%. Sejumlah perusahaan sekuritas asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group, memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%. Kalau kita berkaca ke belakang, sudah lama sekali perekonomian Indonesia tumbuh stagnasi. Bahkan, loyonya perekonomian Indonesia sudah terjadi di masa awal kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Diduga pertumbuhan tidak bisa eksplosif lantaran terlalu berat beban utang yang harus ditanggung APBN, sehingga penerimaan yang ada bukan digunakan untuk menggenjot pertumbuhan, tapi habis tertelan angin untuk membayar pokok dan bunga utang. Sinyal bahwa krisis itu memang ada dan sinyalnya cukup kuat datang dari pasar modal. PT Merryll Lynch Sekuritas Indonesia dan PT Deutsche Sekuritas Indonesia, sebuah perusahaan asal Amerika dan Jerman, menutup bisnis brokernya di Indonesia. Itu artinya kedua broker asing itu berhenti sebagai Anggota Broker (AB) di Bursa Efek Indonesia (BEI) per 11 Juli 2019. Padahal untuk menjadi AB di BEI tidak mudah dan tidak pula murah. Alasannya, selain sedang melakukan restrukturisasi di kantor pusat, likuiditas di pasar modal Indonesia sudah kering sehingga tak menarik lagi bagi kedua perusahaan sekuritas asing tersebut. Ini juga merupakan sinyal buruk bahwa terjadi crowding out effect di pasar. Dimana Pemerintah Indonesia begitu getol mencari likudiitas di pasar lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan bunga tinggi. Akibatnya industri perbankan, industri pasar modal, industri asuransi dan industri finance harus bersaing dengan regulator dan sekaligus operator, yang sudah pasti akan kalah. Pasar pun dikuasai Pemerintah, bank-bank, perusahaan emiten, perusahaan asuransi dan perusahan finance lambat laun tersingkir dari pasar Indonesia. Padahal tugas pemerintah seharusnya melakukan pendalaman pasar, bukannya memperkeruh pasar, sehingga likudiitas begitu sulit diperoleh oleh selain pemain Pemerintah. Tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya krisis adalah kasus gagal bayar (default) obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta atau ekuivalen dengan Rp154 miliar (dengan kurs 14.015). Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta. Delta bermaksud menerbitkan obligasi senilai US$300 juta. Pada Rabu (24/7) Bloomberg melaporkan, lembaga pemeringkat S&P menurunkan peringkat utang Delta sebanyak 6 level hingga menyentuh skor CCC-, skor yang dapat dikatakan obligasi sampah (junk bond). Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga menurunkan peringkat utang perusahaan menjadi B- pada Kamis pekan lalu. Dalam catatan J.P Morgan, ada tiga bank plat merah yang turut menjadi kreditur anak perusahaan, salah satunya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, yang menjadi bank terbesar dalam penyaluran kredit kedua setelah Bank Exim pada 2018. Sebelumnya potensi gagal bayar juga mengepung PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) pimpinan Setyono Djuandi Dharmono, sang penggagas penghapusan pendidikan agama di sekolah. Perusahaan ini berpotensi default atas surat utang anak perusahaan senilai US$300 juta berikut dengan bunga. Bukan hanya mereka saja yang begitu, PT Agung Podomoro Land Tbk juga sedang panik. Pemain properti ini tengah berupaya memperoleh suntikan pendanaan dari pemegang saham untuk dapat melakukan pembayaran dari sejumlah kewajiban yang jatuh tempo pada tahun ini. Selain Perjanjian Fasilitas I yang jatuh tempo Juni lalu, terdapat beberapa utang lainnya yang juga akan jatuh tempo di tahun ini antara lain obligasi sebesar Rp451 miliar yang jatuh tempo pada Desember 2019 dan obligasi senilai Rp99 miliar yang jatuh tempo pada bulan Maret 2020. Selain menunggu suntikan dari pemegang saham, perusahaan juga tengah mencari pinjaman lainnya bersama dengan kreditor yang berasal dari Perjanjian Fasilitas II. Pada 17 Juli, Fitch Ratings menurunkan rating perusahaan dan obligasi yang diterbitkan perseroan menjadi CCC- dari sebelumnya B- akibat risiko pendanaan ulang (refinancing) dan risiko likuiditas. “Penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencananya mencari pendanaan pada Mei 2019 yang berniat digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp1,17 triliun,” tulis rilis Direktur Fitch Ratings Singapore Pte Ltd Erlin Salim dalam risetnya. Dari BUMN sinyal krisis itu juga hadir. Kasus PT Krakatau Steel Tbk yang membukukan rugi Rp1,06 triliun dengan total utang mencapai Rp40 triliun, menunjukkan adanya krisis di industri baja. Bagaimana mungkin Krakatau Steel dapat bersaing dengan baja China, dimana dari negaranya sudah mendapat potongan pajak (tax rebate) 10% plus tax holiday dari Pemerintah Indonesia berupa pembebasan bea masuk 15%. Praktis baja China di Indonesia sudah unggul 25% atas Krakatau Steel, sebuah level playing field yang tidak seimbang. Anehnya situasi ini dinikmati sebagai sebuah keberhasilan mengundang investor. Investor mana yang tidak tertarik kalau dalam 5 hingga 10 tahun ke depan dapat membunuh industri baja nasional? Padahal di negara manapun selalu berusaha melindungi industri strategisnya, baja adalah industri strategis yang harus dilindungi. Andai saja founding father kita Presiden Soekarno masih hidup, dia akan memaki-maki pemerintah saat ini. Bagaimana mungkin Krakatau Steel yang dibangunnya harus diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintahnya sendiri. Belum lagi PT Garuda Indonesia Tbk yang ngebet membukukan laba bersih lewat window dressing. Pat gulipat laporan keuangan berhasil membuat Garuda seolah-olah membukukan laba bersih Rp70 miliar pada 2018. Ternyata setelah diaudit BPKP, pada 2018 Garuda masih harus membukukan rugi bersih Rp2,4 triliun, sungguh terlalu sandiwara keuangan yang dilakukan I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra dan kawan-kawan. Dirut Garuda itupun harus kena sanksi denda atas upaya minteri rakyat Indonesia lewat laporan keuangan palsu, lewat financial engineering, bahkan saham Garuda pun tergelincir dibuatnya. Belum lagi PT Pertamina yang seharusnya menyumbang dividen laba paling besar ke APBN, justru mendapati ketidakjelasan berapa laba bersih yang sebenarnya. Presiden Jokowi menyebut laba bersih Pertamina sedikitnya Rp20 triliun, sementara laporan internal Pertamina menyebutkan sekitar Rp5 triliun. Padahal di 2016 Pertamina pernah mengalahkan Petronas dengan membukukan laba bersih Rp42 triliun, saat itu Petronas hanya membukukan laba bersih Rp36 triliun. Apa yang terjadi hari ini, di tengah ketidakjelasan laba bersih Pertamina? Petronas yang 25 tahun lalu belajar ke Pertamina, pada 2018 berhasil membukukan laba bersih Rp189 triliun atau 55,3 miliar ringgit. Sungguh sebuah ironi yang sulit dihindari, seluruh laba BUMN jika dikumpulkan hanya Rp188 triliun, masih lebih besar laba bersih satu Petronas. Ironi yang mencolok mata kita. Lepas dari problematika yang melanda ekonomi nasional, ekonomi mikro dan makro, yang jelas krisis itu sudah berlangsung. Dan itu direpresentasikan dari data-data yang kami urai di atas. Tinggal seberapa serius Pemerintah untuk membenahi krisis ini, sebab jika asumsi para menteri masih yang itu-itu juga, maka kita sangat meyakini krisis ini akan semakin luas dan dalam. Itu sebabnya Presiden Jokowi harus memilih menteri yang tepat, yakni yang memiliki track record membenahi APBN. Bukan sebaliknya melanjutkan tradisi menambal APBN yang defisit dengan utang, utang dan utang. Bisa-bisa Republik Indonesia tenggelam dibuatnya. End.

Pusing 212: Negara dengan 80 Juta Teroris?

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini, para pengamat politik gencar membahas tentang apa yang akan terjadi terhadap gerakan 212. Gerakan ini terkenal dengan aksi damainya, terutama di ibukota. Aksi-aksi damai yang muncul dan langsung besar di pengujung 2016 dan awal 2017 itu, sama sekali tidak mengganggu Jakarta. Tetapi, ada pihak yang merasa sangat terbebani oleh 212. Ada beban politik yang sangat berat akibat keberhasilan 212. Beban itu secara natural tertimpakan kepada orang-orang yang resah melihat kebangkitan Islam politik. Sebelum dilanjutkan, perlu ditanya dulu apakah valid menteorikan bahwa 212 identik dengan kebangkitan Islam politik? Pertanyaan ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan juga. Kalau bukan kristalisasi kebangkitan Islam politik, mau disebut apa gerakan itu? Sekadar kumpul-kumpul saja? Sangat absurd! Baik. Kita teruskan. Sebagian pemerhati politik berpendapat 212 akan menjadi tak relevan lagi setelah Prabowo digiring masuk ke kubu 02. Tidak ada lagi pemimpinnya. Ada pula pengamat yang memperkirakan 212 akan meredup dan kemudian sirna. Yang lain memperkirakan 212 akan menjadi “anak ayam kehilangan induk” setelah kepergian Prabowo ke kubu 01. Akan tercerai-berai. Tetapi, semua teori atau dugaan itu tidak akan ada yang tepat. Memperkirakan 212 akan lenyap adalah kekeliruan berpikir yang disengaja. Mengatakan 212 akan selesai, hanya menunjukkan frustrasi Anda melihat Islam politik yang semakin matang dalam berstrategi. Gerakan 212 tidak tergantung pada Prabowo. Sebaliknya, 212-lah yang mengajak Prabowo berjuang melawan kesewenangan. Ke depan, gerakan ini juga tidak akan tergantung pada tokoh personalitas seperti Habib Rizieq, dsb. Gerakan ini cukup dipimpin oleh seorang koordinator yang mirip dengan “admin” di grup-grup WA. Kenapa? Karena 212 diramaikan oleh lapisan intelektual dan kelas menengah. Mereka ini semua memiliki pemahaman yang komplit tentang gerakan 212, tentang tujuannya dan cara-cara yang digunakan. Semua pendukung 212 mengerti bahwa gerakan 212 adalah Islam politik yang akan selalu damai. Semua praktisi 212 tahu bahwa mereka berkumpul di kelompok umat garis lurus. Yang paling gerah terhadap gerakan 212 adalah orang-orang yang sedang berkuasa. Para penguasa itu tidak bisa tidur nyenyak. Mereka serasa dikejar oleh sosok yang menakutkan bagi mereka. Tetapi tidak menakutkan bagi orang lain. Mereka tahu 212 adalah isyarat kebangkitan Islam politik. Yang diprakarsasi dan diisi oleh umat Islam garis lurus. Yaitu, kumpulan umat yang berasal macam-macam ormas dan orpol. Umat garis lurus memiliki tekad untuk menegakkan keadilan bagi semua dan melawan kezaliman. Sejauh ini, umat garis lurus dipimpin oleh orang-orang yang tidak serakah tetapi tegas. Ketegasan mereka dalam melawan kezaliman membuat para penguasa gerah dan resah. Mereka sekarang menggunakan segala cara untuk melemahkan dan melenyapkan gerakan 212. Salah satu cara ampuh yang mungkin akan dilakukan adalah mendemonisasikan (menjelekkan) 212. Memberikan label yang buruk dan menakutkan. Sangat mungkin 212 akan dikait-kaitan dengan paham radikal. Merekan boleh jadi akan disusupi dengan elemen-elemen jahat yang kemudian akan merusak nama baik 212. Sangat mungkin pula pihak tertentu menyusupkan orang-orang yang akan “diatur” untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa-bawa nama 212. Termasuk melakukan tindakan terorisme. Sehingga, penguasa memiliki alasan untuk mencap 212 sebagai gerakan teroris. Mungkinkah melabel 212 sebagai teroris menjadi kenyataan? Bisa saja. Sebab, 212 akan terus membayangi ketidakmakpuan pemguasa dalam menegakkan keadilan. Ini sangat merisaukan mereka. Tapi, apakah masuk akal mengatakan 212 sebagai gerakan teroris? Inilah yang menjadi masalah. Sangat tak mungkin mengatakan 212 sebagai gerakan teroris. Sebab, 212 adalah representasi 80 juta pemilih Islam garis lurus. Anda pusing dengan 212? Tak perlu. Kalau Anda pusing, bisa-bisa Anda terpaksa mengatakan Indonesia ini adalah negara dengan 80 juta teroris. Menjadi konyol, bukan? Padahal, mereka hanya arus baru Islam politik. Arus yang jernih dan bening, insyaAllah.

Arus Deras Desakan Pembubaran FPI

Oleh Sugito Atmo Pawiro Jakarta, FNN - Media sosial diramaikan dengan perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua kelompok di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi yang gencar mendorong Presiden Jokowi untuk membubarkan Ormas Islam FPI berhadapan dengan kelompok di masyarakat yang menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada. Kita memahami bahwa pemerintahan Jokowi tidak sulit untuk membubarkan Ormas. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, memungkinkan pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Pembubaran dapat dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. Untuk sampai kepada level beleid ini, harus dapat dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas tersebut memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara. Fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada 20 Juni 2019. Mendagri sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Namun demikian justru Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai organisasi masyarakat. Secara yuridis sebenarnya ada ketegasan hukum di dalam Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas dapat mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan dapat juga tidak mendaftarkan izinnya, tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak dapat melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum. Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya. Dengan demikian tidak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya, tidak ada alasan yuridis yang kuat untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI. Dalam konteks FPI, alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab. Pernyataan Presiden Jokowi dengan jelas menyatakan bahwa FPI dapat saja dibubarkan jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung petahanan. Massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tidak diperpanjang sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associate Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan. Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Sihab (HRS) yang kini berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground (di bawah tanah)” dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) terhadap FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu. Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI. Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden. FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019, kian tersudutkan tak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur. Situasi ini yang kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyeruhkan pembubaran FPI dengan alasan bahwa di dalam Anggaran Dasar FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa. Provokasi yang Buta Literasi Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka). FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Mereka tidak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan ummat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Pondok Pesantren Al-Umm Ciputat dengan misi utama pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini. Dimana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Jadi, sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI. Hal ini menjadi niscaya oleh karena jika dilakukan hanya atas dasar ketidaksukaan akan berdampak pada pemasungan hak sipil Konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.***

Prabowo Masuk Jantung Koalisi Jokowi, SBY Tidak Bersuara

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapapun sudah tahu kalau Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri adalah “pemilik” Presiden Joko Widodo. Siapapun juga tahu, Jokowi hanyalah “petugas” partai yang mendapat amanat sebagai Presiden RI yang “menang” Pilpres 2014 (dan 2019?). Padahal, sudah bukan rahasia lagi, pemenang kedua pilpres tersebut sejatinya Prabowo. Tapi, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu Prabowo harus menerima “kekalahan” ini. Dan, demi tetap utuhnya NKRI, Prabowo pun terpaksa legowo. Setelah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus tersebut langsung mengucapkan Selamat, kemudian bertandang ke Istana Bogor. Sebaliknya, Jokowi melakukan balasan sambang ke Prabowo. Sebelumnya, ketika Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wapres Terpilih pada Oktober 2014, Prabowo yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa hadir di Gedung MPR. Hatta Rajasa adalah besan SBY. Selama ini tidak banyak yang tahu bahwa Hatta Rajasa sengaja disodorkan oleh SBY kepada Prabowo dengan tujuan untuk menggerus suara Prabowo di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, Ketum DPP PAN ini, dianggap mewakili Muhammadiyah. Namun, faktanya ternyata suara Prabowo-Hatta lebih unggul di atas Jokowi-JK saat Pilpres 2014. Fakta inilah yang kemudian “dimanipulasi” oleh KPU. Belakangan, Ketua KPU Husni Kamil Malik dirawat di RS Pusat Pertamina, dan meninggal dunia. Kabarnya, sebelum meninggal dunia di RSPP, Jakarta, Kamis (7/7/2016) sekitar pukul 21.30 WIB, Husni akan blak-blakan soal pencurangan Pilpres 2014 yang memenangkan Jokowi-JK. Semasa hidup, Husni pegang bukti pencurangan Pilpres 2014 itu. Sayangnya, saat itu tak ada upaya pihak keluarga untuk melakukan autopsi atas jenazah pria kelahiran Medan 18 Juli 1975. Padahal sebelumnya, suami Endang Mulyani tersebut sempat mengikuti buka bersama dan sempat tertawa-tawa. Suara ditutup! Husni tutup mata dalam usia relatif muda, 39 tahun. Tragis! Hingga kini penyebab kematian sebenarnya tidak terungkap. Lenyap! Tidak berbekas! Bagaimana Pilpres 2019 lalu? Konon, data lengkap perolehan suara sebenarnya dipegang seorang menteri. Apakah akhirnya “seorang menteri” ini akan membuka data pencurangan itu ke masyarakat, semuanya tergantung SBY yang selama ini menyokong Jokowi. Sebab, Kepala BIN Budi Gunawan sendiri tentunya juga pegang data dan bukti pencurangan. Pertemuan Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus yang diikuti BG dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Sabtu (13/7/2019) tentunya merupakan sinyal bahwa pertemuan tersebut “disaksikan” pejabat negara (BG dan Pramono Anung). Megawati? Megawati bakal menjadi penentu dilantik atau tidaknya Jokowi sebagai Presiden bersama Ma’ruf Amin sebagai Wapresnya. Itu jika Jokowi opsi rekonsiliasi dengan Prabowo dipilih Jokowi. Megawati akan meninggalkannya kalau Jokowi menolak itu. Jokowi bakal dihabisin Megawati yang siap bergabung dengan Prabowo dan memobilisasi anggota DPR dari PDIP untuk segera melakukan impeachment terhadap Presiden Jokowi terkait dengan berbagai masalah ekonomi maupun pelanggaran HAM. Perlu dicatat, imbas dari pertemuan Prabowo-Megawati di Teuku Umar yang juga diikuti oleh BG, Pramono Anung, Prananda Prabowo, Puan Maharani, dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani tersebut, telah membuyarkan impian Koalisi Jokowi. Empat parpol Koalisi Jokowi pun mengadakan pertemuan atas prakarsa Nasdem (Surya Paloh dengan Golkar, PKB, dan PPP. Imbas dari pertemuan yang tidak melibatkan PDIP sebagai pengusung Jokowi membuat Megawati merubah arah politiknya. Jadi, Megawati membutuhkan Prabowo untuk mau bergabung membentuk Koalisi Baru: Megawati-Prabowo-PDIP-Gerindra. Jika Jokowi menerima format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo, maka Jokowi akan tetap menjadi Presiden RI 2019-2024. Di sinilah peran BG tampak. Dia berhasil mempertemukan Prabowo-Megawati. Sebenarnya Koalisi Jokowi itu sudah terpecah. Manuver Prabowo telah memporak-porandakan Koalisi Jokowi menyusul pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut. Posisi PKS yang langsung mengibarkan benderà #KamiOPOSISI adalah guna mengamankan/ mengumpulkan Relawan 02 supaya tidak terpecah semuanya sampai menunggu komando Prabowo selanjutnya yang kini sedang bermanuver di jantung 01. Target untuk membubarkan Koalisi Jokowi telah berhasil. Sehingga membuat Koalisi Jokowi saling menerkam, menyusul rebutan kursi menteri Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Prabowo sendiri sudah membubarkan Koalisi Adil Makmur pasca putusan MK. Hal Ini dilakukan Prabowo supaya memfokuskan dalam Satu Komando. Kalau mereka sudah terpecah, maka Prabowo lebih mudah melakukan dealing politik. Apalagi, sampai saat ini rakyat masih di belakang dan tetap berjuang bersama Prabowo. Sekarang ini pilihan ada di tangan Jokowi. Karena apabila tidak turut Megawati, bisa saja dia ditinggalkan dan Megawati bergabung dengan Prabowo. Apalagi, Jokowi sendiri, seperti kata Megawati, sering disebut sebagai “petugas” partai dan proxy SBY. Kalau Megawati bergabung dengan Prabowo, maka bisa jadi peta kekuasaan akan berubah, PDIP akan berbalik menyerang dan membantu dari balik layar membongkar kebusukan dan pencurangan Pilpres 2019. Jokowi sendiri sudah tahu masalah ini. Karena Megawati dan PDIP membutuhkan sandaran politik agar tetap di zona Aman. Inilah strategi politik Prabowo sebenarnya yang selama ini tak pernah disampaikan secara terbuka. Kita yang kurang paham akan langkah Prabowo pasti akan kecewa. Menteri Koalisi Presiden boleh tetap, tapi rezim dan kebijakan rezim bisa saja berubah. Itulah tujuan Prabowo mengapa menerima rekonsiliasi. Kalau melihat sejarahnya, Indonesia pernah mengalami hal seperti itu pada era Presiden Suharto 1967-1998. Semasa Orde Baru 1967-1987 pemerintahannya jadi anti Islam (pengaruh Jenderal Merah-CSIS-Cukong). Pada Orde Baru 1988-1998 Pak Harto mulai pro Islam (pengaruh Jenderal Hijau-CIDES-Pribumi). Sekarang ini rezim 2014-2019 sering disebut sebagai rezim proksi/boneka dengan SBY-Hendro Priyono-Luhut Binsar Panjaitan-CSIS-Cukong-China yang sangat anti Islam sebagai pengendali. Rezim 2019-2024 adalah rezim Jokowi-Prabowo-Megawati-Jusuf Kalla yang anti komunis jika rekonsiliasi terwujud. Semakin kokoh rekonsiliasi akan menghasilkan tindakan yang semakin tegas rezim penguasa kepada PKI, komunisme dan pendukungnya. PKI-Komunis ini berdasarkan hukum positif di Indonesia adalah Partai-paham terlarang. Era Bulan Madu Rezim Penguasa dengan Komunis sudah berakhir ketika Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo dimulai dilakukan Jokowi-Prabowo. Pembubaran HUT Partai Rakyat Demokratik (PRD) ke-23 yang dilakukan Polri dan Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu contoh tindakan tegas terhadap organisasi yang disebut-sebut merupakan reinkarnasi dari ideologi komunis. Seleksi Capim KPK karena periodesasi pimpinan KPK 2015-2019 bakal berakhir. Seleksi Capim KPK untuk periode 2019-2023 diharapkan sekaligus dalam rangka pembersihan KPK dari orangnya SBY-Luhut-Hendro-CSIS yang telah merusak KPK selama belasan tahun. Partai Koalisi Jokowi tentu tetap dapat kursi kabinet, tapi jangan menuntut berlebihan. Harus disyukuri masih dapat kursi, mengingat fakta sebenarnya bahwa Prabowo yang menang pilpres dan seharusnya jadi presiden. Nasib SBY-Luhut-Hendro di era Jokowi ini mungkin akan sama dengan nasib Ali Murtopo, LB Moerdani, dan Sudjono Humardani di era Presiden Suharto. Mereka memusuhi Islam meminjam tangan Pak Harto. Dan, ditinggalkan Pak Harto ketika Pak Harto merangkul umat Islam. Luhut sendiri merasa paling berjasa pada Jokowi. Sekarang merasa ditinggalkan Jokowi yang balik merangkul umat Islam melalui rekonsiliasi. Ini seperti Moerdani era Pak Harto. Tanpa kendali atas rezim mendatang dan KPK, kader-kader utama Demokrat akan jadi tersangka. Para pendiri Demokrat akan take-over kepemimpinan Demokrat dari SBY. Satu-satunya cara agar selamat adalah mengambil hati rakyat dengan berbuat baik melalui pengungkapan bukti hasil pilpres 2019. Perlu dicatat, konstelasi politik hari-hari ini, Demokrat-Agus Harimurty Yudhoyono tak akan masuk kabinet Jokowi-Ma’ruf, KPK akan dibersihkan dari orang-orang SBY-Luhut-CSIS. Apalagi, kasus-kasus korupsi yang melibatkan Cikeas (Century, SKK Migas, Hambalang, e-KTP dan lain-lain) sudah matang, tinggal dipetik. Hanya keajaiban yang bisa selamatkan Demokrat-Cikeas. SBY akan lebih simpatik di mata rakyat jika mau mengubah sikapnya terhadap pemilu 2019. Lebih baik SBY mengungkap semua bukti pemenang Pilpres 2019 adalah Prabowo. Itulah solusi bagi SBY, AHY, dan Demokrat agar tidak hancur pasca rekonsiliasi. Dijamin politik nasional makin lebih mencair. Itulah strategi “Kuda Troya” ala Prabowo! ***

Semoga Bukan Kuda Troya yang Datang ke KPK

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Keinginan Kapolri Jenderal Polisi Tirto Karnavian agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2013 dipimpin polisi sedikit lagi bakal terwujud. Soalnya, Tito tak cuma ngomong doang. Upaya ke arah sana kini benar-benar tengah terjadi. Publik menyaksikan polisi sudah menguasai medan seleksi pimpinan KPK. Setidaknya ada 9 perwira polisi aktif yang lolos untuk mengikuti tes psikologi. Itu belum termasuk para pensiunan polisi. Lebih jauh lagi, keinginan Tito juga didukung oleh keraguan publik atas komitmen pansel capim KPK periode 2019-2023 terhadap pemberantasan korupsi. Koalisi masyarakat sipil mencurigai rekayasa pemilihan capim KPK kini tengah berlangsung. Pansel dianggap tidak kridebel. Pansel itu terdiri atas Yenti Garnasih (Ketua) dan lndriyanto Seno Adji (wakil) dengan anggotanya yaitu Marcus Priyo Gunarto, Hendardi, Harkristuti Harkrisnowo, Diani Sadia Wati, Al Araf, Mualimin Abdi, dan Hamdi Moeloek. Mereka ini diangkat oleh Presiden Joko Widodo melalui sebuah kepres. Nah, sampai kini kepres itu “disembunyikan” dari mata publik. Di antara anggota Pansel itu ada figur yang pernah membela kasus korupsi, baik itu sebagai kuasa hukum atau ahli. Selain itu, ada juga figur yang rekam jejaknya cukup buruk di mata publik. Lantaran yang bersangkutan pernah mengikuti seleksi pejabat tinggi di salah satu kementerian, tetapi ditemukan makalah yang digunakan sebagai syarat seleksi ternyata plagiat dari makalah orang lain. “lntinya, ragu seleksi ini akan menghasilkan pimpinan KPK yang independen, kredibel, dan bisa dipercaya oleh masyarakat,” ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, pekan lalu. Mereka inilah yang bertugas memilih 5 orang calon pimpinan KPK. Saat pendaftaran capim dibuka, pendaftar berjumlah 376 orang. Selanjutnya mereka yang dinyatakan lolos administrasi ada 192 orang. Pada seleksi tahab II, 104 orang lolos uji kompetensi. Mereka itulah yang ikut ujian psikologi. Dari jumlah itu yang lolos tes psikologi diperkirakan 50-an orang. Pastinya saat ini, dari 104 orang itu, sembilan di antaranya merupakan jenderal polri aktif. Selain juga empat orang dari kejaksaan. Kesembilan jenderal Polri yang lulus itu adalah Irjen (Pol) Antam Novambar, Irjen (Pol) Dharma Pongrekun, Brigjen (Pol) M. Iswandi Hari, Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto dan Brigjen (Pol) Agung Makbul. Kemudian, Irjen (Pol) Juansih, Brigjen (Pol) Sri Handayani, Irjen (Pol) Firli Bahuri dan Irjen (Pol) Ike Edwin. Selain jenderal polri aktif, ada juga sejumlah purnawirawan polri. Para purnawirawan itu, yakni Komjen (Purn) Anang Iskandar, Komjen (Purn) Boy Salamuddin, Irjen (Purn) Suedi Husein, Irjan (Purn) Yovianes Mahar dan Irjen (Purn) Yotje Mende. Selain anggota polri dan pensiunan polpri ada empat orang dari Kejaksaan. Inilah yang menyebarkan aroma bahwa kepolisian dan kejaksaan telah berjuang “merebut” KPK. Selama ini publik sudah mafhum, bahwa kedua institusi penegak hukum ini belum terlalu bagus dalam upaya pemberantasan korupsi. Rekam jejak hubungan kedua institusi itu dengan KPK juga banyak diwarnai noktah merah. Wajar saja, jika belakangan muncul desas desus yang menyebut kedua institusi ini tengah mengirim kuda troya untuk menghancurkan KPK dari dalam. Soal desas desus seperti itu saat ini belakangan lumayan cenderung santer. Bahkan pansus capim KPK saja sempat dibungkus isu-isu minor tentang radikalisme. KPK disebut-sebut telah kerasukan kelompok radikal agama. Sampai-sampai, muncul wacana untuk melibatkan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Munculnya isu itu sebagai dampak dari beberapa pernyataan pansel sendiri. Dan pernyataan itu tak mendasar dan nihil bukti. Pansel yang seharusnya mengutamakan mencari figur-flgur yang bisa membuat efek jera bagi pelaku korupsi malah bermain dengan isu radikalisme. Isu enggak valid dan penuh fitnah. Jadi wajar saja jika sejumlah pihak secara umum masih meragukan pansel capim KPK. ICW sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil, misalnya, tak sependapat dengan format pembentukan pansel yang dipakai. Menyoal Pansel Para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyebut, seleksi calon pimpinan KPK itu sebagai rekayasa pemerintah. "Kalau boleh berkata sedikit keras ya, bahwa jangan-jangan memang pemerintah dan Pansel sudah mengatur sedemikian rupa sedari awal siapa ke depannya pimpinan KPK. Itu artinya proses seleksi ini adalah rekayasa semua," kata Anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Feri Amsari, dalam keterangan pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (28/7). Omongan Feri tak asal bunyi. Langkah pansel capim KPK meloloskan sejumlah kandidat yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang, seperti menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LKPN) adalah salah satu bukti. Pelaporan LHKPN secara berkala merupakan syarat seorang capim KPK sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dugaan rekayasa itu, juga mengeras lantaran Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 54/P Tahun 2019 tentang pembentukan Pansel Capim KPK tidak bisa diakses publik hingga saat ini. Pemerintah sengaja tertutup soal keterpilihan Pansel Capim KPK. Aktivis LBH Jakarta, Nelson Simamora, mengatakan pihaknya sudah mengajukan permohonan untuk bisa mengakses Keppres itu ke Sekretariat Negara (Setneg), namun ditolak. "Kita ajukan pada tanggal 10 Juli 2019. Kita minta hanya salinan Keppres itu. Kemudian kita menyampaikan juga ini bukan informasi yang dikecualikan. Kemudian tanggal 25 Juli 2019 permohonan informasi publik kita ditolak Sekretariat Negara," katanya. Keppres merupakan norma hukum yang bersifat konkret, individual, dan sekali selesai. Keppres biasanya diunggah di situs Setneg. Tetapi saat ini, tidak ditemukan Keppres yang dimaksud. Dalam jawaban penolakan itu, kata Nelson, Setneg menyatakan salinan Keppres itu hanya untuk pihak-pihak yang berkepentingan. "Jawabannya seperti ini, 'bersama ini permohonan saudara tidak bisa kami penuhi, Keppres tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan'. Ini bahasanya muter-muter, intinya tidak dikasih," katanya. Penolakan itu merupakan salah satu bukti rezim Jokowi tidak transparan. Padahal hanya menyangkut aturan perundang-undangan. Lantaran itu, Nelson menyatakan pihaknya berencana menggugat pembentukan Pansel Capim KPK. Komisioner Komisi Informasi Pusat, Cecep Suryadi, berpendapat senada. Setneg harusnya terbuka soal Keppres tersebut. Sebab Keppres bukanlah informasi yang dikecualikan Keppres itu seharusnya bisa diakses karena ada lampiran nama-nama pansel, apa saja yang jadi tanggung jawab pansel, ruang lingkup kerja, masa kerja pansel. “Setneg harus buka itu, kalau ada yang memohon harus disampaikan," ujarnya. Ia pun memberi saran kepada Koalisi Kawal Capim KPK untuk mengajukan keberatan kepada atasan pegawai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Setneg yang menjawab surat tersebut. Jika tidak dijawab atau jawaban tidak memuaskan, ia mempersilakan para aktivis antikorupsi itu mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke KIP. Di era transparansi pengelolan negara, sungguh ironis, Setneg tiba-tiba menjadi lembaga yang tertutup. Presiden Jokowi harus bertanggung jawab jika nanti KPK terpuruk gara-gara rekayasa ini. Jika nanti ada figur-figur tertentu yang bermasalah lulus pada seleksi Capim KPK, berarti presiden terlibat secara sistematis membiarkan hal itu. Mulai sekaranglah semua pihak hendaknya ikut mencegah masuknya kuda troya ke dalam tubuh KPK.

Fungsi Tipikor di Jaksa & Polisi Sebaiknya Dihapus Saja

By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Peran dan fungsi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh kejaksaan dan kepolisian sebaiknya dihapuskan saja. Pemberantasan korupsi semuanya dipusatkan satu pintu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja. Toh sekarang banyak pejabat fungsional yang masih aktif di kejaksaan dan kepolisian yang berlomba-lomba melamar menjadi calon pimpinan KPK. Sekarang ini jaksa sama polisi aktif sedang berlomba-lomba jadi komisioner KPK. Kalau mereka tidak percaya lagi dengan lembaganya sendiri, ya sebaiknya tindak pidana korupsi di kejaksaan dan kepolisian dihapuskan saja. Dengan demikian semua potensi, kemampuan sumber daya manusia dan anggaran untuk kegiatan pemberantasan korupsi bisa dipusatkan ke KPK. Diharapkan hasil kerja KPK juga bisa lebih baik dan optimal. Anggaran pemberantasan korupsi tiap tahun sangat besar. Sekarang anggaran tersebut tersebar di tiga lembaga penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi. Selain di KPK,juga di kejaksaan dan kepolisian. Panitia Seleksi (Pansel) pimpinan KPK sedang menyeleksi tahapan akhir calon-calon pimpinan lembaga anti rasuah tersebut. Tercatat sebanyak sembilan anggota polisi aktif ikut mendaftarkan diri untuk menjadi calon pimpinan. Selain itu jumlah jaksa aktif yang mendaftar sebanyak lima orang. Jumlah tersebut belum termasuk pensiunan polisi dan jaksa yang tidak kalah banyaknya. Jaksa aktif yang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK, ada dua Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), yaitu Kajati Sumatera Selatan, Purnomo, Kajati Sulawesi Tengah, M. Rum. Selain itu, Kepala Diklat Manajemen dan Kepemimpinan Badiklat Kejaksaan Agung, Ranu Mihardja dan Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Satu lagi koordinator pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Supardi Dari jajaran perwira tinggi polisi aktif bintang dua, ada Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wabareskrim) Polri Irjen Pol. Antam Novambar, Irjen Pol. Coki Manurung, Irjen Pol. Abdul Gofur, Irjen Pol. Juansih dan Irjen P. Dharma Pongrekun. Sementara dari jajaran bintang satu aktif, ada Brigjen Pol. Bambang Sri Herwanto, Brigjen Pol. Agung Makbul, Brigjen Pol. Sri Handayani dan Brigjen Pol. M. Iswandi Hari. Fenomena ini menggambarkan para perwira tinggi polisi aktif dan jaksa aktif tersebut tidak terlalu percaya dengan lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi. Padahal kedua lembaga ini mempunyai unit pemberantasan korupsi. Tugas-tugas pemberantasan korupsi juga sudah dilakukan kedua lembaga ini sejak lama, sebelum KPK dua puluh tahun terakhir. Polisi misalnya punya Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Eksus di Bareskrim Polri. Sementara di tingkat Polda, ada Subdit Pidana Korupsi pada Derektorat Kriminal Khusus (Krimsus). Sedangkan di tingkat Polres, ada Unit Krimsus pada Satuan Reskrim. Semuanya bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Sedangkan di jajaran kejaksaan, ada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus atau terkenal dengan “Gedung Bundar” untuk tingkat Pusat. Sementara di tingkat Kejati atau provinsi ada Asisten Pidana Khusus, yang sering disebut Aspidsus. Kalau di Kejari atau kabupaten/kota ada Kasi Pidsus. Semua unit yang keren-keren ini dibuat ada untuk melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Sayangnya, ada kecenderungan para pejabat yang masih aktif kepolisian dan kejaksaan ini seperti sedang tidak percaya diri. Meraka sepertinya ragu sendiri bisa melakukan pemberantasan korupsi dari lembaganya masing-masing. Buktinya, mereka sekarang beramai-ramai mendaftarkan diri untuk menjadi calon pimpinan KPK. Fenomena apa yang sedang terjadi sekarang di kedua lembaga tersebut, sehingga pejabat aktifnya ramai-ramai melamar sebagai calon pimpinan KPK? Jabannya mungkin masih dibutuhkan kajian khusus. Namun yang pasti, KPK lahir sebagai jawaban antitesa terhadap lembaga kejaksaan dan kepolisian yang sangat lemah dalam permberantasan korupsi. Dampaknya korupsi begitu tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Kasus yang paling heboh dan menggemparkan di kejaksaan dan kepolisian korupsi kondensat sebesar Rp 38 triliun. Kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka ini sudah mangkrat selama empat tahun. Disidik oleh Direktorat Eksus Bareskrim Polri sejak tahun 2015. Namun sampai sekarang belum juga sampai ke pengadilan untuk disidangkan. Anehnya lagi untuk korupsi kondensat ini Jampidsus Adi Toegarisman berkali-kali sudah bilang “berkasnya sudah P-21”. Omongan Adi Toegarisman bahwa kasus kondensat sudah P-21 ini sudah disampaikan sejak awal 2018. Namun sampai sekarang tidak tahu rimbanya. Entah butuh waktu berapa lama lagi bagi Jampidus agar kasus korupsi kondensat bisa sampai ke pengailan. Sebab kabar hoax yang beredar di kalangan jaksa maupun polisi bahwa kasus kondensat ini mau digiring ke penyelesaian secara perdata. Ada kekuatan gelap dan besar di sekitar lembaga kepresidenan dan istana negara yang sedang bekerja keras ke arah sana (perdata). Polisi juga tidak optimal dalam tugas utama menjaga keamanan publik. Banyaknya anggota polisi yang mengurus tidak pidana korupsi membuat tugas utama menjadi kedodoran. Tindak pidana kekerasan, seperti begal dan pencurian yang disertai pembunuhan marak terjadi. Salah satu penyebabnya adalah terlalu banyak anggota polisi yang sibuk mengurus korupsi. Kasus paling anyar dan hangat hari ini adalah penyiraman air keras ke mata dan muka penyidik senior KPK Novel Baswedan. Meskipun sudah dua tahun peristiwa ini terjadi, polisi belum juga bisa menemukan dalang dan pelaku penyiraman. Entah dibutuhkan teknologi apalagi, dan waktu berapa lama lagi bagi polisi untuk menemukan dalang dan pelakunya. Lambatnya polisi menemukan pelaku penyiraman air keras ke muka dan mata Novel Baswedan ini mendorong Presiden Joko Widodo angkat bicara. Presiden memberikan batas waktu sampai awal Oktober 2019 kepada Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian. Jika sampai awal Oktober pelakunya tidak juga ditemukan, maka Jokowi akan mengevaluasi posisi Tito sebagai Kapolri. Jika polisi tidak lagi urus tindak pidana korupsi, maka sumber daya manusia polisi bisa dioptimalkan untuk menangani tindak pidana umum. Selain itu, bisa bisa dioptimalkan untuk mencegah peredaran narkotika, pidana trafficking dan pidana ciber crime. Polisi juga bisa optimal untuk mencegah pidana kerusakan lingkungan, illegal fishing dan illegal meaning dan illegal loging. Sudah waktunya institusi kejaksaan dan kepolisian dikembalikan tugas-tugas utamanya. Jaksa bertugas melaksanakan fungsi-fungsi penuntutan di pengadilan. Selain itu, jaksa juga menjadi pengacara negara dalam rangka tugas-tugas keperdataan dan tata usaha negara. Semua perjanjian perdata dan tata usaha negara yang berkaitan dengan aset dan kekayaan negara, baik dengan pihak di dalam negeri maupun luar negeri, mutlak harus sepengetahuan jaksa sebagai pengacara negara.

Pemukulan Hakim Dorong Puslitbang MA & IKAHI Gelar Seminar Contempt of Court

Jakarta, FNN - Maraknya penyerangan dan pemukulan terhadap hakim di pengadilan belakangan ini, mendorong Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia menggelar seminar tentang Contempt of Court. Seminar ini terselenggara atas kerjasama Puslitbang MA dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Khusus Mahkamah Agung. “Pelaksanaan seminar direncanakan Kamis besok 1 Agustus 2019. Seminar yang berlangsung di daerah Kemayoran Jakarta Utara tersebut mengambil tema “Peran Contempt of Court dalam Perlindungan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri dan Bebas dari Segala Pengaruh dan Ancaman”, “ujar Kepala Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Hasbi Hasan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (30/07) Ditambahkan Hasbi Hasan, pemilihan tema Contempt of Court ini secara substansi dimaksudkan untuk menggali pentingnya aturan tentang Contempt of Court dalam bentuk perundang-undangan. Undang-undang yang secara khusus memberikan jaminan bagi kemandirian hakim memutuskan suatu perkara. Selain itu, untuk menjaga marwah dan martabat lembaga peradilan. Harus ada aturan yang secara khusus memberikan saksi pidana kepada mereka yang mengancam dan menghina para hakim dan lembaga peradilan. Jika tidak, peristiwa penyerangan dan pemukulan terhadap hakim kemungkinan bisa terulang kembali. Besar kemungkinan, hakim jadi tidak mandiri dalam memutuskan suatu perkara, kerana takut dengan ancaman dari para pihak “Diharapan kejadian seperti ini jangan sampai terulang kembali di waktu-waktu mendatang. Untuk itu diperlukan payung hukum yang memberikan perlindungan kepada para hakim dan lembaga peradilan. Kondisinya sudah sangat penting dan mendesak, “ujar Hasbi Hasan Berkaitan dengan itu, seminar dengan tema Contempt of Court juga menjadi sangat penting, menarik. Para pembicara atau narasumber yang dihadirkan di seminar ini adalah mereka yang ahli dan kompeten di bidangnya. Diantaranya, Prof Dr. Bagir Manan, Dr. Jaja Ahmad Jayus, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Ph.D, dan Muhammad Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI. Menurut Hasbi, para pimpinan di Mahkamah Agung sangat prihatin dengan peristiwa penyerangan dan pemukulan terhadap hakim tersebut. Pimpinan Mahkamah Agung memberikan perhatian khusus, dan berharap tidak terjadi lagi. Untuk itu diperlukan payung hukum yang mengikat semua pihak tanpa kecuali “Diharapkan hasil dari seminar ini bisa mendorong DPR agar secepatnya mengesahkan RUU Contempt of Court menjadi undang-undang. Produk hukum positif yang mengikat semua pihak. Apalagi RUU ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019, ”tutur Hasbi Hasan. (ahly)