Semoga Bukan Kuda Troya yang Datang ke KPK

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior)

Jakarta, FNN - Keinginan Kapolri Jenderal Polisi Tirto Karnavian agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2013 dipimpin polisi sedikit lagi bakal terwujud. Soalnya, Tito tak cuma ngomong doang. Upaya ke arah sana kini benar-benar tengah terjadi. Publik menyaksikan polisi sudah menguasai medan seleksi pimpinan KPK. Setidaknya ada 9 perwira polisi aktif yang lolos untuk mengikuti tes psikologi. Itu belum termasuk para pensiunan polisi.

Lebih jauh lagi, keinginan Tito juga didukung oleh keraguan publik atas komitmen pansel capim KPK periode 2019-2023 terhadap pemberantasan korupsi. Koalisi masyarakat sipil mencurigai rekayasa pemilihan capim KPK kini tengah berlangsung. Pansel dianggap tidak kridebel.

Pansel itu terdiri atas Yenti Garnasih (Ketua) dan lndriyanto Seno Adji (wakil) dengan anggotanya yaitu Marcus Priyo Gunarto, Hendardi, Harkristuti Harkrisnowo, Diani Sadia Wati, Al Araf, Mualimin Abdi, dan Hamdi Moeloek. Mereka ini diangkat oleh Presiden Joko Widodo melalui sebuah kepres. Nah, sampai kini kepres itu “disembunyikan” dari mata publik.

Di antara anggota Pansel itu ada figur yang pernah membela kasus korupsi, baik itu sebagai kuasa hukum atau ahli. Selain itu, ada juga figur yang rekam jejaknya cukup buruk di mata publik. Lantaran yang bersangkutan pernah mengikuti seleksi pejabat tinggi di salah satu kementerian, tetapi ditemukan makalah yang digunakan sebagai syarat seleksi ternyata plagiat dari makalah orang lain.

“lntinya, ragu seleksi ini akan menghasilkan pimpinan KPK yang independen, kredibel, dan bisa dipercaya oleh masyarakat,” ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, pekan lalu.

Mereka inilah yang bertugas memilih 5 orang calon pimpinan KPK. Saat pendaftaran capim dibuka, pendaftar berjumlah 376 orang. Selanjutnya mereka yang dinyatakan lolos administrasi ada 192 orang. Pada seleksi tahab II, 104 orang lolos uji kompetensi. Mereka itulah yang ikut ujian psikologi. Dari jumlah itu yang lolos tes psikologi diperkirakan 50-an orang. Pastinya saat ini, dari 104 orang itu, sembilan di antaranya merupakan jenderal polri aktif. Selain juga empat orang dari kejaksaan.

Kesembilan jenderal Polri yang lulus itu adalah Irjen (Pol) Antam Novambar, Irjen (Pol) Dharma Pongrekun, Brigjen (Pol) M. Iswandi Hari, Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto dan Brigjen (Pol) Agung Makbul. Kemudian, Irjen (Pol) Juansih, Brigjen (Pol) Sri Handayani, Irjen (Pol) Firli Bahuri dan Irjen (Pol) Ike Edwin.

Selain jenderal polri aktif, ada juga sejumlah purnawirawan polri. Para purnawirawan itu, yakni Komjen (Purn) Anang Iskandar, Komjen (Purn) Boy Salamuddin, Irjen (Purn) Suedi Husein, Irjan (Purn) Yovianes Mahar dan Irjen (Purn) Yotje Mende.

Selain anggota polri dan pensiunan polpri ada empat orang dari Kejaksaan. Inilah yang menyebarkan aroma bahwa kepolisian dan kejaksaan telah berjuang “merebut” KPK. Selama ini publik sudah mafhum, bahwa kedua institusi penegak hukum ini belum terlalu bagus dalam upaya pemberantasan korupsi. Rekam jejak hubungan kedua institusi itu dengan KPK juga banyak diwarnai noktah merah. Wajar saja, jika belakangan muncul desas desus yang menyebut kedua institusi ini tengah mengirim kuda troya untuk menghancurkan KPK dari dalam.

Soal desas desus seperti itu saat ini belakangan lumayan cenderung santer. Bahkan pansus capim KPK saja sempat dibungkus isu-isu minor tentang radikalisme. KPK disebut-sebut telah kerasukan kelompok radikal agama. Sampai-sampai, muncul wacana untuk melibatkan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT).

Munculnya isu itu sebagai dampak dari beberapa pernyataan pansel sendiri. Dan pernyataan itu tak mendasar dan nihil bukti. Pansel yang seharusnya mengutamakan mencari figur-flgur yang bisa membuat efek jera bagi pelaku korupsi malah bermain dengan isu radikalisme. Isu enggak valid dan penuh fitnah.

Jadi wajar saja jika sejumlah pihak secara umum masih meragukan pansel capim KPK. ICW sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil, misalnya, tak sependapat dengan format pembentukan pansel yang dipakai.

Menyoal Pansel

Para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyebut, seleksi calon pimpinan KPK itu sebagai rekayasa pemerintah. "Kalau boleh berkata sedikit keras ya, bahwa jangan-jangan memang pemerintah dan Pansel sudah mengatur sedemikian rupa sedari awal siapa ke depannya pimpinan KPK. Itu artinya proses seleksi ini adalah rekayasa semua," kata Anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Feri Amsari, dalam keterangan pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (28/7).

Omongan Feri tak asal bunyi. Langkah pansel capim KPK meloloskan sejumlah kandidat yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang, seperti menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LKPN) adalah salah satu bukti. Pelaporan LHKPN secara berkala merupakan syarat seorang capim KPK sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Dugaan rekayasa itu, juga mengeras lantaran Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 54/P Tahun 2019 tentang pembentukan Pansel Capim KPK tidak bisa diakses publik hingga saat ini. Pemerintah sengaja tertutup soal keterpilihan Pansel Capim KPK.

Aktivis LBH Jakarta, Nelson Simamora, mengatakan pihaknya sudah mengajukan permohonan untuk bisa mengakses Keppres itu ke Sekretariat Negara (Setneg), namun ditolak. "Kita ajukan pada tanggal 10 Juli 2019. Kita minta hanya salinan Keppres itu. Kemudian kita menyampaikan juga ini bukan informasi yang dikecualikan. Kemudian tanggal 25 Juli 2019 permohonan informasi publik kita ditolak Sekretariat Negara," katanya.

Keppres merupakan norma hukum yang bersifat konkret, individual, dan sekali selesai. Keppres biasanya diunggah di situs Setneg. Tetapi saat ini, tidak ditemukan Keppres yang dimaksud. Dalam jawaban penolakan itu, kata Nelson, Setneg menyatakan salinan Keppres itu hanya untuk pihak-pihak yang berkepentingan. "Jawabannya seperti ini, 'bersama ini permohonan saudara tidak bisa kami penuhi, Keppres tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan'. Ini bahasanya muter-muter, intinya tidak dikasih," katanya.

Penolakan itu merupakan salah satu bukti rezim Jokowi tidak transparan. Padahal hanya menyangkut aturan perundang-undangan. Lantaran itu, Nelson menyatakan pihaknya berencana menggugat pembentukan Pansel Capim KPK.

Komisioner Komisi Informasi Pusat, Cecep Suryadi, berpendapat senada. Setneg harusnya terbuka soal Keppres tersebut. Sebab Keppres bukanlah informasi yang dikecualikan Keppres itu seharusnya bisa diakses karena ada lampiran nama-nama pansel, apa saja yang jadi tanggung jawab pansel, ruang lingkup kerja, masa kerja pansel. “Setneg harus buka itu, kalau ada yang memohon harus disampaikan," ujarnya.

Ia pun memberi saran kepada Koalisi Kawal Capim KPK untuk mengajukan keberatan kepada atasan pegawai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Setneg yang menjawab surat tersebut. Jika tidak dijawab atau jawaban tidak memuaskan, ia mempersilakan para aktivis antikorupsi itu mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke KIP.

Di era transparansi pengelolan negara, sungguh ironis, Setneg tiba-tiba menjadi lembaga yang tertutup. Presiden Jokowi harus bertanggung jawab jika nanti KPK terpuruk gara-gara rekayasa ini.

Jika nanti ada figur-figur tertentu yang bermasalah lulus pada seleksi Capim KPK, berarti presiden terlibat secara sistematis membiarkan hal itu. Mulai sekaranglah semua pihak hendaknya ikut mencegah masuknya kuda troya ke dalam tubuh KPK.

550

Related Post