ALL CATEGORY
Membaca Langkah Politik Prabowo Saat Bertemu Jokowi
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi Prabowo Subianto diundang untuk mencoba MRT oleh Presiden Joko Widodo. Dus, sebagai warga negara yang baik Prabowo, maka saat mendapat undangan dari Kepala Negara sebisa mungkin akan hadir, apalagi jika menyangkut kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Prabowo hanya menerima undangan, tidak mengadakan perkumpulan ataupun acara bersama. Satu hal yang ingin ditekankan bahwa tidak ada pembicaraan mengenai deal-deal politik apa pun. Karena bagaimana pun Prabowo menolak segala bentuk kecurangan. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Namun demi merah putih dan bangsa Indonesia tidak ada ruang untuk perasaan pribadi. “Kami berharap seluruh pemilih Pak @prabowo dan @gerindra mempercayai keputusan dan tindakan yang dilakukan Pak @prabowo. Karena selama hidupnya Pak @prabowo tidak pernah dan tidak akan pernah mengkhianati rakyat, bangsa, dan negara,” tulis panca_pww. Benar, pertemuan Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT (Moda Raya Terpadu) Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019) pukul 10.00 WIB, setidaknya telah memantik kemarahan relawan dan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. Dampak politik pertemuan kedua capres (saya tetap menyebut capres, karena Jokowi yang dimenangkan oleh MK dan ditetapkan KPU belum dilantik sebagai Presiden Terpilih pada Oktober 2019) sangat luar biasa Prabowo di-bully pendukungnya. Bahkan, wartawan senior sekaliber Asyari Usman sampai perlu membuat tulisan berjudul, “Inilah Induk Segala Pengkhianatan”. “Prabowo Subianto, hari ini kau khianati ratusan juta pendukungmu. Kau tusuk perasaan mereka,” tulisnya. “Dengan entengnya. Dengan mudahnya. Tanpa rasa bersalah,” lanjutnya. “Prabowo, hari ini kau hancurkan perasaan ratusan juta rakyat Indonesia. Kau mungkin punya alasan tersendiri untuk menemui dia,” ungkap Bang Asyari. “Tapi, apa pun alasan kau, pertemuan itu menyakitkan hati rakyat yang mendukungmu mati-matian. Dan memang banyak yang benar-benar mati. Hilang nyawa,” tegas Bang Asyari yang tulisannya viral di medsos dan WA Group. Bukan hanya Bang Asyari saja yang kecewa. Bahkan, wartawan senior sohib saya semasa di EDITOR Hersubeno Arief sampai menulis artikel berjudul, “Sayonara Pak Prabowo”. Hersu mengutip penggambaran narasi lukisan Pangeran Diponegoro. Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro beredar luas di berbagai platform media sosial. Netizen menilai kesediaan Prabowo bertemu dengan Jokowi sama dengan peristiwa ketika Pangeran Diponegoro bersedia bertemu penjajah Belanda. Netizen menyamakan, “Pertemuan di Magelang yang semula dijanjikan sebagai silaturahmi, berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dijebak. Berakhirlah Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830).” Benarkah peristiwa tersebut? Memang demikian yang tertulis dalam buku sejarah yang bersumber dari Belanda. Padahal, ada bukti prasasti Batu Tulis di Asta Tinggi, Kompleks Pemakaman Raja-Raja Sumenep, mencatat bahwa yang ditangkap itu Mohammad Jiko Matturi. Jiko Matturi, salah satu komandan pasukan yang “menyamar” sebagai Pangeran Diponegoro untuk memenuhi “undangan” Belanda itu. Feeling “pemberontak” yang oleh Belanda disebut Khalifatullah Ing Tanah Jawi ini bermain: Jebakan Belanda! Maka, dikirimlah Jiko Matturi yang bertugas juga sebagai telik sandi. Ingat, selama masa itu, Belanda tidak pernah melihat langsung wajah Pangeran Diponegoro. Bersamaan dengan Joko Matturi ke Magelang, Pangeran Diponegoro ke Sumenep. Di Sumenep, Pangeran Diponegoro menemui Sultan Abdurrahman, untuk meminta bantuan. Bersama Raja Sumenep inilah ia sedang menyiapkan Perang Diponegoro II. Namun, keburu ajal menjemput. Semua itu tercatat dalam prasasti di Asta Tinggi. Jika melihat fakta prasasti di Asta Tinggi itu, menjadi jelas, justru Pangeran Diponegoro yang berhasil mengelabuhi Belanda. Jadi, jasad yang dimakamkan di Makassar hingga kini adalah Mohammad Jiko Matturi, bukan Pangeran Diponegoro! Bagaimana dengan Prabowo ketika bertemu Presiden Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut? Mengapa harus di area stasiun dan dalam MRT? Terlepas apakah semua ini sudah direncanakan atau tidak, Prabowo tentu sudah “berhitung”. MRT, Mari Rekonsiliasi Terbuka! Pertemuan Jokowi-Prabowo di Statiun MRT Lebak Bulus itu sudah seharusnya ditempatkan pada best interest rakyat, bangsa, dan negara. Itulah yang ingin dicapai Prabowo. Penolak rekonsiliasi itu sendiri sebagian adalah mayoritas kubu Jokowi yang takut Prabowo masuk dalam sistem dan menjadi The Real Presiden RI, seperti Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini disebut-sebut punya kewenangan sejajar Presiden. Prasyarat rekonsiliasi yang selalu dilontarkan kubu Jokowi itu ada dua. Pertama, Prabowo Cs masuk dalam sistem; Kedua, Abolisi, amnesti, grasi, deponeering bagi semua pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Jangan terjebak pada prasyarat parsial – individual. Kalau ada yang menolak rekonsialiasi, pertanyaannya: siapa yang menjamin tidak terjadi lagi atau semakin menggila penindasan/penzaliman terhadap rakyat-umat Islam? Siapa yang bisa menjamin kedaulatan dan kekayaan negara tidak dirampok China-Cukong-Antek? Sebab, pasca Jusuf Kalla lengser dari jabatan Wapres, tanpa eksistensi Prabowo dalam sistem pemerintahan, dipastikan penzaliman terhadap rakyat-umat semakin menggila. Perampokan kedaulatan/kekayaan negara makin menghebat. Siapa bisa mencegahnya? Oposisikah? Dalam sejarah politik Indonesia, selama ini tidak ada oposisi! Ada cara agar kedaulatan rakyat dan negara diselamatkan selain melalui rekonsiliasi? Ada! MA kabulkan Permohonan PAP Prabowo atau Revolusi! Opsi Revolusi apakah mungkin dan realistis? Rasanya tidak mungkin berjalan. Karena bakal banyak korban rakyat tidak berdosa. Demo 21-22 Mei 2019 saja “dibuat” rusuh sehingga ada korban jiwa dan “orang hilang” segala. Rakyat jadi korban! Jangan mimpi people power jika tidak ada tokoh ikon pemersatu seperti Habieb Riziq Shihab. Reformasi 98 bukan people power, tapi aksi mahasiswa yang di-design, ditunggangi agenda politik cukong-china-jenderal merah untuk menggulingkan Presiden Suharto. Saat itu Pak Harto sangat mesra dengan mayoritas Islam. Opsi lainnya adalah Rekonsiliasi. Pedoman utama dalam menentukan sikap dan pilihan adalah kepentingan terbesar rakyat, bangsa, dan negara. Hanya dengan rekonsiliasi kita tidak akan tersesat atau disesatkan. Apakah ide rekonsiliasi yang dilontarkan itu berasal dari Jokowi atau TKN paslon 01? Tidak! Bahkan, konon, Jokowi pun sebenarnya ogah rekonsiliasi, namun terpaksa dilakukan agar dia dapat tetap sebagai pemenang pilpres meski dari hasil manipulasi suara. Jika tidak ada “kekuatan besar” yang memaksa, mustahil ide rekonsiliasi dilontarkan. Pihak kekuatan besar ini memegang data dan bukti pencurangan pemilu/pilpres, namun memahami sepenuhnya Prabowo tidak realistis untuk jadi Presiden RI untuk saat ini. Sebab, stigma Prabowo terlalu buruk di mata dunia. Rekonsiliasi menjadi win-win solution. Tentu saja dengan terpenuhnya minimal 2 prasyarat tadi. Prabowo cs masuk dalam sistem; Abolisi, amnesti, grasi, deponeering semua kasus pendukung 02 korban kriminalisasi 01. Idealnya Prabowo Kepala KSP dengan kewenangan KSP seperti 2014-2015 semasa dipegang LBP. Ide rekonsiliasi ini untuk menyelamatkan posisi Jokowi, sekaligus harus mengakomodir kepentingan Prabowo dan rakyat, bangsa, dan negara di atas segalanya. Jika tidak demi rakyat, bangsa, dan negara, mending tidak usah rekonsiliasi! Anda perhatikan siapa yang panik dengan gagasan rekonsiliasi: Ki Dalang, CSIS, Negara China, Partai koalisi Jokowi kecuali PDIP, Cukong, Antek JIL, LGBT, PKI, dan lain-lain. Pemimpin sejati tahu yang terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara. Berani untuk tak populer karena harus mengambil keputusan terbaik. Dan, pada saat nanti, rakyat akan membuktikan sendiri bahwa keputusan itu adalah benar. Pada saat itu dukungan rakyat akan membesar dan terus membesar. Jangan dikira penyokong Jokowi berdiam diri melihat rencana rekonsiliasi ini. Mereka akan gunakan segala cara untuk menggagalkan rekonsiliasi, jika Prabowo pemegang utama kekuasaan. Politik adalah perjuangan merebut kekuasaan. Tanpa kekuasaan mustahil aspirasi rakyat bisa terwujud. Aspirasi rakyat pendukung Prabowo hanya bisa terwujud dengan Prabowo sebagai pemegang utama kekuasaan pemerintah di pemerintahan Jokowi. Prabowo akan menjadi the real president jika semua pengkhianat ditumpas. Penolakan atas rekonsiliasi oleh sebagian rakyat itu adalah hal yang wajar. Penolakan itu tetap dibutuhkan Prabowo agar seluruh prasyarat rekonsiliasi segera dipenuhi Jokowi. Bagaimana dengan oposisi jika Prabowo dan PKS masuk kabinet? Yang perlu dicatat, oposisi tidak pernah eksis dalam sistem politik kita. Yang ada hanya pseudo oposisi. Tapi, kalau mau oposisi, tinggal suruh saja PD, PAN, Hanura, PBB, dan PSI yang jadi oposan. Jika minimal 8 kursi kabinet dipenuhi, Prabowo wajib alokasikan minimal 3 untuk kader atau proksi PKS. Mengapa Prabowo perlu masuk pemerintahan? Bahwa selama ini hanya JK yang mampu menandingi kehebatan jenderal penyokong Jokowi dalam berpolitik. Politisi sipil lain memble. Terus menerus jadi korban politik jenderal penyokong Jokowi sejak Reformasi ’98. JK sudah menjadi Solusi masalah negara selama ini. Energi Rakyat Dalam perjuangan terkadang kita harus melakukan langkah-langkah yang mungkin tak cocok dengan perasaan kita sendiri maupun dengan rekan-rekan seperjuangan. Perdamaian tersebut hanya bisa terwujud jika posisi kedua pihak sama-sama kuat. Seimbang. Jika satu pihak lebih kuat dari pihak lain, maka yang terjadi adalah penguasaan, penaklukan, dan penjajahan, bukan perdamaian. Ungkapan rasa kecewa, marah, sakit hati, dan kesedihan emak-emak maupun pendukung 02, karena merasa dikhianati, itulah energi rakyat yang diusung Prabowo ke gerbong MRT untuk bertemu capres petahana Jokowi. “Jadi saya sarankan kepada kader kader struktural pro 02 nggak usah buat rasionalisasi dan pembenaran atas pertemuan MRT. Hanya agar untuk meredakan amarah emak-emak. Nggak perlu,” ujar Direktur The Global Future Institute (GFI) Hendrajit. Menurutnya, Prabowo yang dekat dengan Rachmawati Soekarnoputri, pasti bisa menghayati istilah yang kerap diungkap Bung Karno: RODINDA. Dalam perjuangan itu harus berpadu antara Romantika, Dialektika, dan Dinamika. “Kemarahan emak-emak itu adalah human passion. Gairah kemanusiaan. Romantika,” lanjut Hendrajit. Bagi para politisi yang garing dan miskin imajinasi dan citarasa, romantika kerap diabaikan. Menurutnya, masalahnya itu bukan tidak boleh ketemu, bukan tidak boleh damai, karena itu adalah kemuliaan membina hubungan kebangsaan dan silaturahmi. Tapi dalam kasus Jokowi ada masalah yang harus diselesaikan. “Ada kejahatan yang perlu klarifikasi dan ada ancaman penjajahan yang menekuk kehidupan rakyat ke depan, harus ada jaminan pembicaraan yang terbuka tentang masalah ini,” ungkap Hendrajit kepada Pepnews.com. Tetapi, Prabowo mengingkarinya, bikin pertemuan diam-diam sana-sini dengan orang yang menyakiti rakyat, sementara Prabowo dipilih mewakili rakyat untuk memperjuangkan mereka untuk atasi masalah itu tetapi dia tinggalkan rakyat pemilihnya. “Karena dia berpikir ini hanya urusan dia dengan tim kampanyenya atau bahkan hanya antara dia dengan beberapa orang dekatnya, sementara pemilihnya dicuekin. Ini masalahnya,” lanjut Hendrajit. Kita bukan hanya berhak kecewa tetapi bisa menuntut tanggung jawab etis atas Prabowo kenapa sampai membuat janji “akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tidak kenal kompromi, lebih baik mati mulia daripada hidup dalam kehinaan dan lain lainnya”. “Ternyata cita-cita Prabowo hanya bisa ketemu Jokowi di atas kereta dan foto-foto tanpa akuntabilitas atas amanat suara pemilihnya,” tegasnya.
Pilpres = Sepak Bola Gajah?
Oleh Tjahja Gunawan (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pertemuan Prabowo Subianto dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7). Peristiwa seperti ini juga terjadi lima tahun lalu saat Pilpres 2014. Sama seperti yang terjadi sekarang, lima tahun lalu pun sengketa Pilpres sempat dibawa ke MK. Bahkan ketika itu Prabowo Subianto sempat datang dan memberikan "ceramah" di depan sidang MK. Dan setelah dinyatakan kalah oleh MK, Prabowo akhirnya mau menerima kunjungan Jokowi di Jl Kartanegara Jakarta. Pertemuan politik tersebut sekaligus mengakhiri ketegangan politik yang terjadi antara pendukung dari kedua belah pihak. Demikian pula para elite politik yang sebelumnya sempat mengeras dan tegang selama pemilu, pasca pertemuan politik Prabowo-Jokowi, kembali cair. Ketika itu santer mengemuka isu akan adanya upaya penggagalan pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, pertemuan politik antara kedua "tokoh politik" tersebut segera dirancang dan diatur sebelum acara pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober 2014. Namun meskipun waktu itu Jokowi-Prabowo sudah bertemu dan diantara para elite politik yang berseteru sudah kembali cair dan berdamai, namun hubungan Prabowo dengan media massa masih ada ganjalan. Pada Pilpres 2014, Prabowo Subianto merasa diperlakukan tidak fair oleh media massa khususnya media mainstream. Waktu itu, Prabowo dibombardir dengan berbagai pemberitaan menyangkut HAM pada kerusuhan sosial bulan Mei 1998 serta penculikan aktivis mahasiswa. Pemihakan media massa kepada kubu Jokowi pada waktu itu sangat kentara, bahkan koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post sampai membuat tajuk rencana berisi endorsmen khusus terhadap Jokowi. Pada saat media massa berpihak kepada Jokowi, polarisasi dalam masyarakat justru semakin tajam. Inilah benih terjadinya pembelahan dalam kehidupan masyarakat. Polarisasi ini semakin tajam ketika ada kasus penistaan Al Qur'an yang dilakukan Gubernur DKI waktu itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tahun 2016. Kembali kepada pertemuan Prabowo-Jokowi. Drama politik lima tahun lalu, kembali terjadi sekarang pasca Pilpres 2019. Skenarionya nyaris sama, lima tahun lalu Jokowi yang mendatangi rumah Prabowo. Kali ini mereka bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus. Alih-alih hendak menyatukan masyarakat yang sudah terbelah dan ingin menghilangkan istilah cebong dan kampret, pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT justru makin mempertajam polarisasi dalam masyarakat. Bukan hanya antara pendukung Jokowi dengan Prabowo tetapi diantara pendukung Prabowo pun terjadi perbedaan sikap yang tajam. Yakni antara mereka yang setuju dan tidak setuju dengan pertemuan Jokowi-Prabowo. Lalu masing-masing kubu pun membuat meme tentang MRT. Para pendukung kubu Jokowi tiba-tiba menyanjung Prabowo setinggi langit sambil memelesetkan MRT dengan Menyatukan Rakyat yang Terbelah (MRT). Sebaliknya para pendukung Prabowo yang tidak setuju dengan pertemuan tersebut mengartikan MRT sebagai Membuat Rakyat Terbelah (MRT). Jadi sebenarnya drama dan sandiwara politik kali ini adalah pengulangan peristiwa lima tahun lalu. Skenario dan pelakunya sama, yakni Jokowi dan Prabowo. Cuma beda pendampingnya saja, tahun 2014 Jokowi didampingi Jusuf Kalla sedangkan Prabowo didampingi Hatta Rajasa. Kini Jokowi berpasangan dengan Ma'ruf Amin sementara Prabowo menggandeng Sandiaga Uno. Tahun 2014, Prabowo tidak didukung secara massif oleh kelompok emak-emak militan dan umat Islam serta para ulama garis lurus. Bahkan dalam Pilpres 2019, Prabowo mendapat dukungan bahkan bantuan dana secara spontan dari para relawan dalam berbagai kampanyenya. Namun yang menyedihkan, dalam Pilpres kali ini, banyak korban jiwa berjatuhan. Petugas KPPS Pemilu yang meninggal dalam perhelatan demokrasi kali ini tidak kurang dari 700 orang. Yang memprihatinkan, pemerintah sama sekali tidak peduli dengan kejadian ini. Tidak ada penyelidikan dan investigasi lebih lanjut atas meninggalnya petugas KPPS tersebut. Persoalan seolah selesai begitu saja dengan pernyataan Menkes bahwa mereka meninggal akibat kelelahan. Tidak hanya itu, dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019, juga banyak menelan korban jiwa dan orang-orang yang hilang. Dalam pelaksanaan Pilpres lima tahun lalu, juga ada kecurangan namun tidak sampai menelan korban jiwa yang banyak seperti sekarang. Setelah itu semua terjadi, tiba-tiba sekarang Prabowo bertemu Jokowi. Ah mungkin saya saja yang lebay menggunakan diksi tiba-tiba ada pertemuan itu. Sangat boleh jadi pertemuan kedua "tokoh" itupun sudah dirancang dengan rapih, sejak mereka sama-sama maju mendaftarkan diri ke KPU, bulan Agustus 2018 lalu. Ibarat sepak bola gajah, pemain dari dua kubu seolah sengit bermain di lapangan, demikian pula para penonton fanatiknya luar biasa memberikan dukungan yang kuat kepada timnya masing-masing. Namun sayang, penyelenggara pertandingan sepak bola sebenarnya sudah mengatur hasil akhir pertandingan ini. Penonton tentu saja kecewa. Patut diduga ajang Pilpres 2019 ini juga sama dengan pertandingan Sepak Bola Gajah. Pemenangnya sebenarnya sudah ditentukan. Meski demikian, masih saja ada kalangan yang penasaran sambil bertanya, sebenarnya apa sih alasan Prabowo menemui Jokowi ? Apakah karena alasan fulus, jabatan atau yang lebih bersifat personal ? Apakah Prabowo sudah tidak mempedulikan lagi besarnya pengorbanan masyarakat selama ini ? Bukan hanya tenaga dan harta tetapi juga nyawa mereka loh !. Begitulah pertanyaan masyarakat terutama dari kalangan emak-emak militan. Rupanya jangankan masyarakat, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais pun mengaku tak mengetahui pertemuan antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. "Sama sekali belum tahu. Makanya itu, mengapa kok tiba-tiba nyelonong?" kata Amien, kepada wartawan di kediamannya di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta sebagaimana dikutip portal berita Detik. Selanjutnya Amien berjanji akan memberikan pernyataan setelah mendengar penjelasan langsung dari Prabowo. Partai koalisi Adil Makmur lainnya seperti PKS juga tidak mengetahui pertemuan Jokowi-Prabowo. Yang jelas, pertemuan itu sengaja diatur sehari sebelum acara pesta kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, di Sentul City Bogor, Minggu (14/7). Tentu masyarakat yang cinta akan kebenaran dan keadilan, tidak bisa terus menerus berkutat dalam permainan kotor para elite politik ini. Kita harus bergerak maju ke depan untuk mengatur strategi perjuangan selanjutnya demi menyongsong kehidupan yang lebih baik. Wallahu a'lam.
Jokowi Dapat Semuanya, Prabowo Berikan Seluruhnya
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dari pertemuan Lebak Bulus (13 Juli 2019), ada pertanyaan penting: Jokowi dapat apa, dan Prabowo dapat apa? Siap yang untung, siapa yang rugi? Kalau mau dijawab singkat, itulah judul tulisan kali ini. Yaitu, Jokowi dapat semuanya, sedangkan Prabowo memberikan seluruhnya. Jokowi dapat ‘full package’ dan Prabowo menyerahkan segalanya. Yang diperoleh Jokowi dan yang diberi Prabowo barangkali tidak ternilai secara material. Maksudnya, saya tidak tahu berapa yang pantas dibayar untuk legitimasi jabatan presiden. Mau Anda sebut 25 triliun? Atau 50 triliun? Wallahu a’lam. Tapi jangan salah paham. Saya hanya mencoba menggambarkan betapa mahalnya legitimasi jabatan presiden 2019 yang diperlukan oleh Jokowi dari Prabowo. Jangan sampai ditafsirkan ada deal 25 T atau 50 T. Nanti bisa menjadi fitnah. Sekali lagi, saya hanya mencoba untuk memberikan ‘price tag’ andaikata jabatan presiden itu layak diuangkan. Sekarang, legitimasi itu telah dikatongi Jokowi dengan senyuman lepas dan penuh makna. Senyuman yang menujukkan kepuasan yang utuh. Tidak sompel. Ini bisa terjadi karena Prabowo juga menyerahkan legitimasi itu dengan ‘sepenuh hati’. Betul-betul tulus. Itu terlihat dari suasana gembira-ria. Ada puja-puji yang menyenangkan semua hadirin. Termasuklah para broker yang mencarikan legitimasi itu. Prabowo tampak ikhlas sekali menyerahkan legitimasi yang diperlukan Jokowi tsb. Begitulah saya membaca ekspresi wajah Jenderal sendiri. Tulus-ikhlas bagaikan Anda menjual sesuatu dengan harga yang Anda harapkan dari pembeli. Nah, sekali lagi, jangan sampai salah tafsir. Kata ‘harga’ di sini bukan transaksional sifatnya. Ini hanya untuk membantu kita dalam melihat krusialnya legitimasi itu. Itu isu yang pertama. Isu lainnya adalah pendapat banyak orang bahwa Prabowo pintar memilih tempat (stasiun MRT). Pendapat itu menyebutkan Prabowo, secara halus, merendahkan Jokowi. Direndahkan karena bertemu di stasiun. Bukan di tempat yang mulia seperti Istana, hotel, rumah Prabowo, dst. Mohon maaf, logika ini perlu ditinjau ulang. Mengapa? Karena nilai legitimasi dari Prabowo itu tidak tergantung pada tempat penyerahannya. Kita ambil satu contoh yang mirip dengan legitimasi jabatan presiden itu. Katakan Anda baru saja lulus study S3 di Harvard University, Oxford atau Cambridge. Kemudian rektornya, entah dengan alasan apa, menyerahkan ijazah S3 Anda di toilet kampus. Apakah tempat penyerahan itu akan membatalkan gelar Anda? Tentu saja tidak. Begitu pula dengan legitimasi dari Prabowo. Tidak berkurang nilainya sedikit pun bagi Jokowi ketika itu diberikan Prabowo di stasiun kereta. Bahkan sekiranya Prabowo mengajak Jokowi ke toilet untuk menyalami dia dan mengucapkan selamat, juga tidak cacat sedikit pun asalkan disiarkan langsung oleh televisi dan ditonton jutaan orang. Tidak terhormatkah di toilet? Sangat keliru. Itu tadi, kalau ijazah S3 Anda diserahkan oleh rektor di toilet, apakah gelar Anda tak berlaku? Menurut saya, Jokowi tidak memerlukan penyerahan legitimasi dari Prabowo di tempat yang terhormat. Yang dia perlukan adalah ucapan selamat yang disaksikan oleh publik, baik itu rekaman video apalagi siaran langsung. Singkirkanlah perasaan Anda bahwa pemberian legitimasi di stasiun MRT merupakan penghinaan terhadap Jokowi. It doesn’t work that way, guys. Persoalan lainnya adalah logika lucu yang perlu diluruskan tentang pertemuan Jokowi-Prabowo. Bahwa kesediaan Prabowo bertemu merupakan strategi mantan Danjen Kopassus itu untuk satu tujuan besar yang tidak bisa diapahami oleh publik. Banyak yang yakin bahwa Prabowo memenuhi undangan naik MRT plus makan siang di Senayan itu adalah taktik untuk memenangkan sesuatu. Bapak-Ibuk sekalian. Tidak ada yang salah untuk tetap menaruh harapan bahwa ‘strategi’ Prabowo itu akan berakhir dengan kemenangan. Inilah harapan yang sangat patut dikagumi. Karena, harapan itu mencerminkan suasana batin yang cukup kuat. Menunjukkan bahwa para pendukung Prabowo tidak mudah menyerah. Tidak gampang putus asa. Ini hebat luar biasa! Hanya saja, harapan itu tak punya referensi yang memadai untuk disebut realistis. Harapan itu bergantung sepenuhnya pada ‘devine intervention’ (kehendak Tuhan). Tak salah kalau disebut mukjizat. Orang yakin akan ada kejutan besar dalam waktu dekat ini. Dasarnya adalah pengajuan gugatan PAP (pelanggaran administrasi pemilu) ke Mahkamah Agung (MA). Sebagian orang percaya Prabowo akan menang dan otomatis menjadi presiden yang sah. Jokowi akan dilucuti. Prabowo-Sandi yang akan dilantik. Semudah itukah? Rasanya tak mungkin. Memang tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT. Tetapi, sebatas perkiraan realistis manusia, sangat tidak mungkin. Banyak pertanyaan yang harus dijawab. Misalnya, apakah masuk akal dengan satu ketukan palu MA semuanya berbalik untuk Prabowo? Apakah para hakim MA berani tampil beda dari para hakim MK? Dengan peta kekuatan institusional yang ada saat ini, apakah Anda yakin ‘kemenangan’ Jokowi bisa dianulir? Apakah orang-orang kuat Jokowi rela presiden mereka disingkirkan lewat selembar keputusan MA? Wallahu a’lam. Bagi saya, skenario ini jauh panggang dari api! Terus, strategi apalagi? Kawan, semua sudah selesai. Jokowi sudah berhasil mendapakan semua yang dia perlukan. Dan Prabowo sudah memberikan seluruh yang dia miliki.
Natalius Pigai Akan Menggugat Pansel KPK ke PTUN Jakarta
Jakarta fnn - Calon Komisioner KPK Natalius Pigai mengatakan akan menggugat Panitia Seleksi (Pansel) KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pigai menduga sengaja tidak dilosokan oleh Pansel pada tahap awal seleksi administrasi. Untuk itu, perlu dibawa ke Pengadilan TUN agar dapat diuji. Mana saja administrasi Pigai yang tidak lengkap, sehingga tidak diloloskan “Kerja Pansel KPK harus bisa dipertanggung jawabkan di depan majelis hakim Pengadilan TUN. Langkah ini untuk menghindari keputusan Pansel KPK hanya didasarkan pada suka atau tidak suka (like and dislike), “ujar Natalius Pigai kepada wartawan di Jakarta Jumat (12/07) Pansel calon pimpinan KPK telah merampungkan proses seleksi administrasi. Pengumuman hasil seleksi diumumkan oleh Pansel di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (11/7/2019). Dari jumlah 376 yang mendaftar, 192 orang dinyatakan lolos seleksi administrasi. Sebanyak 180 orang pendaftar yang lolos adalah laki-laki. Sisanya perempuan sebanyak 12 orang. Adapun berdasarkan kategori profesi, sebanyak 40 orang berasal dari akademisi/dosen. Mereka yang dari kalangan advokat atau konsultan hukum 39 orang. Dari unsur korporasi ada 17 orang. Sedangkan dari unsur Jaksa dan Hakim 18 orang. Selain itu, dari unsur kepolisian ada 13 orang. Sementara dari kalangan auditor 9 orang, dan 13 orang dari komisioner dan pegawai KPK. Sisanya sebanyak 43 orang lagi berprofesi sebagai pensiunan, PNS, wiraswasta, NGO, dan pejabat negara. Ditambahkan Pigai, setelah membaca teks WA yang dikirim ke saya oleh salah satu anggota Ponsel Calon Pimpinan KPK, yang isinya tidak menyebutkan administrasi apa yang menyebabkan saya tidak lolos. Namun justru menyatakan bahwa “panitia seleksi terdiri dari 9 orang. Saya sudah berusaha, namun tetap gagal”. Artinya Yenti Garnasih dan 7 anggota Ponsel lainnya sengaja menolak saya tidak lolos di tahapan seleksi administrasi. “Berdasarkan pada teks WA dari salah satu anggota Pansel calon KPK ini, maka patut diduga ada unsur kesengajaan mencoret saya sejak awal seleksi administrasi. Pertanyaannya, apakah 192 orang yang lolos tersebut semuanya memenuhi syarat lebih baik dari saya? Untuk itu, perlu dibuka nanti di Pengadilan TUN. Apa saja kekurangan-kekuranga saya, “ujar Pigai Menurut Pigai, ada beberapa nama yang diloloskan oleh Pansel bukan sarjana hukum. Bahkan tidak punya pengalaman cukup bidang penegakan hukum. Apalagi mereka yang berasal dari PNS, NGO, wiraswasta, pejabat negara, dan dosen. Apakah mereka lebih baik dari saya? Apakah mereka dikenal dari segi kemampuan, integritas, kompetensi, konsistensi dibandingkan dengan saya? Untuk itu ada beberapa langka hukum yang akan dilakukan Pigai, diantaranya : Pertama, mengajukan gugatan hukum melalui PTUN agar melihat, meneliti rekam jejak dan pengalaman untuk membandingkan ersyaratan saya (Natalius Pigai) dengan 192 orang yang dinyatakan lolos oleh Pansel. Apabila ternyata ada satu atau lebih calon yang persyaratannya lebih rendah dari saya, maka saya meminta kepada pengadilan untuk diloloskan sebagai Capim KPK. Kedua, saya juga akan mempertimbangkan menggugat secara perdata atas kerugian dan harga diri saya sebagai mantan pimpinan Komnas HAM RI yang menangani kasus rata-rata 60% dari kurang lebih 6.000 – 8.000 kasus yang masuk ke Komnas HAM. Kontribusi nyata saya, Persoalan krusial bangsa inipun saya menjadi Ketua Tim yang menjaga keseimbangan kebangsaan yang negara. Saya adalah ketua Tim Pembela Habib Rizieq, Ulama, Habaib, Umat Islam dan Aktivis, yang membantu negara menjaga keseimbangan selama kurun waktu 2016-2018. Kalau saya tidak membantu,mungkin negara ini dalam keadaan perang saudara. Namun intelektualitas, objektivitas, konsisten, komitmen, jujur, bersih dan adil yang saya memiliki sebagai marwah harga diri saya tercederai, hanya karena ketidakadilan dan subjektivitas Ponsel Calon Pimpinan KPK. Ketiga, membaca pesan text WA dari salah satu anggota Pansel tersebut di atas, ternyata saya berkesimpulan bahwa ada unsur niat (mens rea) niat jahat. Selain itu ada juga dugaan kebencian sehingga membatasi hak asasi saya untuk membersihkan korupsi di negeri ini. Apabila nanti ternyata terbukti di PTUN bahwa Pansel diskriminatif, maka saya akan menyiapkan pengacara profesional untuk melaporkan Pansel ke Bareskrim Mabes Polri sebagai perbuatan pidana. Keempat, dengan melihat profil sembilan anggota Pansel dan latar belakangnya, maka saya berpendapat bahwa ada anggota Pansel KPK yang kompetensinya sangat diragukan. Ibarat murid SD yang menguji seorang sarjana dalam konteks kepatutan dan kelayakan menjadi anggota panitia seleksi. Oleh karena itu, saya bersama semua unsur masyarakat akan meminta Pansel Pimpinan KPK dibubarkan, dan perlu dilakukan pembentukan panitia seleksi yang kredibel dan kompeten. “Bagaimanapun saya adalah pelaku aktivis reformasi 1998. Saya pernah jatuh bangun, dipukul, ditahan, dan tidur di atas es balok aparat keamanan. Bahkan saya dan teman-teman sampai potong kambing hidup di senayan, hanya demi memperjuangkan agar negara ini bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Saya dan kawan kami yang jadi martir dan masih hidup tidak pernah melihat batang hidung dari anggota Pansel Calon Pimpinan KPK di reformasi 1998, “kata Pigai Saya ujar Pigai, telah tunjukan pengabdian kepada bangsa dan negara selama 18 tahun menajadi pejabat di pemerintahan. Dimulai sejak zaman Presiden Gus Dur, dengan menjadi Staf Khusus Menakertrans sampai dengan Pimpinan Komnas HAM. Sebagai orang yang berdarah aktivis, saya tetap konsisten atas perjuangan dan cita-citra reformasi 1998. “Dengan demikian, sikap Pansel Calon Pimpinan KPK sangat mencederai cita-cita reformasi yang kami gulirkan. Jangan sampai sampai cita-cita reformasi diseludupkan oleh para penyelundup-penyelundup yang tidak berkeringat setitikpun saat perjuangan menggelorakan reformasi. Dan mulai hari ini kami menyatakan akan melawan, “tegas Pigai
Natalius Pigai, Komisioner KPK dan Mandat Reformasi untuk Pemberantasan KKN
Oleh: Haris Rusly Moti Jakarta, fnn - Berantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bergema di jalanan di tahun 1998. Istilah KKN menjadi istilah yang sangat populer kala itu. Gerakan pemberantasan KKN adalah anti tesa terhadap sebuah rezim yang dibentuk diantaranya oleh perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Gerakan reformasi itu telah mencapai usia 21 tahun. Namun, mandat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut makin jauh panggang dari api. Bahkan, katanya perilaku KKN justru jauh lebih ganas dari era Orde Baru. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme itu kini menjangkit kepada para pelaku gerakan reformasi yang dulunya lantang meneriakan anti KKN. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) kini bahkan telah menjadi tujuan setiap orang yang berniat menjadi pejabat negara. Semakin banyak “penjebakan” tangkap tangan yang dilakukan KPK tak membuat para pejabat jera. Bahkan tak mengurungkan niat para pejabat negara untuk merampok uang negara. Angka kejahatan korupsi justru meningkat seiring “keras”nya tindakan KPK. Karena itu, wajar jika banyak kalangan mengkuatirkan agenda pemberantasan korupsi justru berubah tujuan menjadi projek pemberantasan korupsi. Ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi tidak lagi dilihat dari makin berkurangnya angka korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi justru dilihat dari semakin banyaknya keberhasilan KPK melakukan operasi tangkap tangan. Kelihatannya Pimpinan KPK tak konsisten merekomendasikan penataan ulang sistem negara yang dapat mencegah menjamurnya korupsi. Dalam keadaan seperti itulah kita membutuhkan aktivis mahasiswa 1998 sebagai pengusung mandat pemberantasan KKN untuk hadir di dalam institusi negara yang bernama KPK. Sejak gerakan reformasi bergulir, belum pernah ada aktivis mahasiswa 1998 yang duduk di kursi Komisioner KPK. Padahal salah satu landasan dibentuknya KPK diantaranya adalah untuk mewujudkan salah satu mandat reformasi, yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Karena itu, langkah Natalius Pigai untuk ikut seleksi menjadi salah satu Komisioner KPK patut diapresiasi dan didukung. Natalius Pigai sendiri adalah salah satu aktivis gerakan mahasiswa 1998 Yogyakarta. Setidaknya melalui figur Pigai, aktivis gerakan mahasiswa 1998 dapat mempertanggungjawabkan mandatnya yang pernah diusung tahun 1998. Ada apa dengan mandat pemberantasan KKN? Kenapa mandat yang dulu dengan lantang diteriakan kini justru menjangkit balik sejumlah aktor reformasi tersebut? Kehadiran Pigai sebagai aktivis gerakan mahasiswa 1998 di KPK, kita harapkan menyumbang perspektif yang berbeda dengan mindset pemberantasan korupsi yang gagal mencegah menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Haris Rusly Moti, eksponen gerakan mahasiswa 1998, Yogyakarta
KPK Bukanlah Gudang Sampah Pensiunan Mencari Kerja
Jakarta, fnn - Lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Koruspsi jangan sampai dijadikan gudang sampah untuk menampung pensiunan hakim, jaksa, anggota polisi dan tentara. KPK harus tetap menjadi benteng pertahanan dan harapan masyarakat untuk kegiatan pemberantasan korupsi di tanah air. Institusi KPK juga perlu dibebaskan dari para mantan pajabat yang akan mencari pekerjaan tambahan setelah pensiun dari dinas aktif “Calon pimpinan KPK harusl diisi oleh orang-orang yang teruji punya kemauan di atas rata-rata untuk pemberantasan korupsi. Orang-orang yang sudah selesai dengan urusan dunia dan pribadinya. Pimpinan KPK jangan sampai berasal dari para pensiunan penegak hukum atau yang akan memasuki masa pensiun beberapa bulan lagi, “ujar politisi Partai Nasdem Kisman Latumakulita di Jakarta Rabu (10/07). Ditambahkan Kisman, jika calon pimpinan KPK berasal dari para pensiunan atau mereka yang sebentar lagi memasuki masa pensiun, maka dampaknya bukan untuk memperkuat KPK. Namun yang akan terjadi justru sebaliknya memperlemah KPK. Apalagi mereka yang berlatar belakang penegak hukum. Kemungkinan ini yang harus dihindari sejak awal oleh Panitia Seleksi (Ponsel) calon pimpinan KPK sekarang. Presiden Joko Widodo punya komitmen serius dalam pemberanatasan korupsi. Sebaiknya calon pimpinan KPK dari unsur Polisi, Kejaksaan, TNI dan Hakim harus dikurangi. Bahkan bila perlu tidak diberikan peluang lolos sebagai calon pimpinan KPK. Sebab bisa menimbulkan citra buruk dalam penegakan hukum terhadap korupsi. “Salah satu daya dorong paling kuat yang menjadi dasar bagi lahirnya pembentukan kelembagaan KPK adalah buruknya penegakan hukum korupsi pada lembaga Kejaksaan dan Kepolisian. Untuk itu, KPK lahir dengan menawarkan formula dan trigger baru. Dan Alhamdulilaah, lahirnya bayi penegakan hukum atas korupsi bernama KPK ini mendapat dukungan penuh dari rakayt, “ujar Kisman. Sayangnya dalam perjalanan, seleksi calon pimpinan KPK menjadi terbuka. Siapa saja bisa ikut. Bahkan boleh merekrut unsur-unsur dari Kepolisian dan Kejaksaan. Tentu saja seleksi calon pimpinan KPK seperti ini sangat menyalahi, mengingkari dan mengkhianati tujuan awal pembentukan bayi yang bernama KPK. “Jika KPK diisi oleh unsur pimpinan dari Kejaksaan dan Kepolisian, maka sama saja dengan ingin memandulkan kelembagaan KPK dalam pemberantan korupsi. Sebab kirerja KPK nantinya tidak berbeda jauh dengan kinerja kelembagaan Kejaksaan dan Kepolisian. Kemungkinan ini yang harus dihindari oleh Ponsel calonm pimpinan KPK," ujar Kisman. Menurut Kisman, kalaupun perlu melibatkan calon pimpinan KPK dari unsur Kejaksaan, Kepolisian, TNI dan Hakim, maka sebaiknya bukan dari mereka-mereka yang sudah pensiunan atau akan pensiun beberapa bulan lagi dari dinas aktif. Sebab hanya akan menjadi beban bagi KPK ke dapan. Selain itu, hampir pasti bakal memandulkan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Untuk itu, calon pimpinan KPK periode kelima nanti, sebaiknya diisi oleh orang-orang yang mempunyai integritas tinggi. Kemauan dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi juga harus di atas rata-rata. Bukan mereka mau mancari dan melamar pekerjaan baru karena sudah pensiun atau akan pensiun beberapa bulan lagi. “Kalaupun terpaksa haru melibatkan calon pimpinan KPK dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan, maka bukanlah dari pensiunan atau yang akan pensiun beberapa bulan lagi. Namun mereka yang punya dinas aktif di Kepolisian dan Kejaksaan masih panjang. Minimal baru akan pensiun tiga tahun lagi, “ujar Kisman yang juga wartawan senior tersebut. (lohy)
Pemimpin Itu Rezeki, Bisa Datang dari Arah yang Tak Terduga
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, fnn - Bukan hanya duit, makanan, minuman, kesehatan, dll, saja yang disebut rezeki. Pemimpin juga rezeki. Karena itu, dia termasuk dalam kategori yang bisa muncul dari arah yang tak terduga-duga. Di luar perhitungan. “Man yattaqillaha yaj’allahu makhraja, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” (Barangsiapa takut kepada Allah, akan diberikan jalan keluar baginya. Dan akan diberikan rezeki kepadanya dari arah yang tak disangka-sangka). Bangsa Indonesia sedang memerlukan seorang pemimpin (rezeki) yang muncul dari arah yang tak terduga-duga itu. Dengan kapasitas yang tak pernah terduga pula. Mengapa diperlukan pemimpin dari arah yang tak disangka-sangka? Karena figur-figur yang dimunculkan dari arah biasa atau “arah yang diduga”, ternyata semuanya bisa “diduga” oleh kubu lawan. Jadi, ke depan ini umat perlu membiarkan ar-Razzaaq memberikan rezeki (pemimpin) yang tak disangka-sangka itu. “Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” Mungkinkah itu terjadi? Sangat mungkin. Cuma saja, rezeki yang datang dari arah yang tak disangka-sangka biasanya turun di tengah situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Kondisi yang membuat orang fokus (khusyu’) meminta pertolongan hanya kepada-Nya saja. Sebagai contoh, ada keluarga miskin yang sudah tiga hari tak makan. Mereka sabar, tabah, berusaha, dan berdoa. Tiba-tiba saja, entah bagaimana, dia mendapat sumbangan dari seseorang yang tak disangka-sangka. Mereka akhirnya bersukacita, bahagia, dan bersyukur tak henti-hentinya. Rezeki yang tak disangka-sangka itu memberikan solusi menyeluruh bagi keluarga miskin tadi. Kini mereka tidak hanya bisa makan tiga kali sehari, melainkan bisa membuat usaha yang dapat menolong belasan keluarga miskin lainnya yang setara seperti mereka. Secara logika, jika mereka menanti rezeki reguler yang “bisa diduga” seperti selama ini, pastilah mereka sekeluarga akan tetap makan kelang-kelang hari. Sekarang, mereka lepas dari penderitaan lahir-batin berkat rezeki yang tak disangka-sangka itu. Begitulah tampaknya kondisi bangsa ini. Sedang menantikan turunnya seorang pemimpin yang tak disangka-sangka dengan kapasitas yang tak pernah terduga. Pemimpin yang siap mengambil langkah apa saja yang tak bisa diduga oleh lawan. Si pemimpin “min haitsu laa yahtasib” itu akan melancarkan gebrakan yang tak pernah disangka-sangka oleh orang lain. Lawan menghadapi suasana yang tidak mereka duga akibat kehadiran pemimpin yang tak disangka-sangka itu. Lawan tergemap. Gugup, gagap dan akhirnya lenyap. Mungkinkah pemimpin yang datang dari arah yang tak disangka-sangka itu muncul saat-saat sekarang? Wallahu a’lam. Jika dilihat dari contoh di atas, jelas ada prasyarat untuk itu. Artinya, umat ini perlu lebih dulu mengalami penderitaan berat. Kondisi ini akan membentuk ketakwaan terbaik dan ketawakkalan. Pada waktu itulah, mungkin, umat bisa mengharapkan rezeki (pemimpin) yang datang dari arah yang tak disangka-sangka itu. “Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” (Penulis adalah wartawan senior)
Pimpinan KPK, Pigai dan Dharma Tepat Mewakili Wilayah Tengah dan Timur
Jakarta, fnn - Panitia Seleksi (Pansel) calon pimipinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menutup pendaftaran bagi calon-calon komisioner pimpinan KPK Kamis sore 5 Juli 2019, pukul 16.00 WIB. Tercatat sebanyak 348 orang yang mendaftarkan diri secara manual. Dari jumlah tersebut, belum termasuk yang mendaftarkan diri melalui email. Dari profil mereka yang mendaftar, tampak calon komisioner KPK berasal dari berbagai latar belakang profesi dan disiplin ilmu. Ada yang dari Perwira Tinggi Mabes Polri, pejabat eselon dua di Kejaksaan Agung, Perwira Tinggi TNI, dan hakim tinggi yang aktif. Selain itu, ada juga kalangan advokat, aktivis kemanusiaan, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan akademisi. Dari internal KPK, ikut mendaftar komisioner KPK yang masih aktif, serta dari kalangan pegawai KPK. “Sejak KPK periode pertama sampai dengan periode keempat sekarang, umumnya didominasi oleh mereka yang berasal dari wilayah barat Indonesia, khusunya Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Untuk itu, pimpinan KPK ke depan, personilnya perlu dibuat perimbangan antara wilayah timur, tengah, dan barat Indonesia,“ himbau wartawan senior asal Indonesia Timur Kisman Latumakulita di Jakarta Senin (08/07). Ditambahkan Kisman, baik Pansel KPK maupun Komisi III DPR, sebaiknya mengakomodir dua sampai tiga orang dari wilayah timur dan tengah Indonesia untuk menjadi pimpinan KPK. Dengan demikian, sangat layak dan tepat bila Natalius Pigai dan Irjen Polisi Drs. Dharma Pongrekun diakomodir sebagai pimpinan KPK mewakili wilayah timur dan tengah Indonesia. Jangan hanya dimonopoli oleh wilayah barat, khususnya Pulau Jawa dan Sumatera Pimpinan KPK periode pertama seratus persen berasal dari pulau Jawa dan Sumatera. Sebagai Ketua Taufiequrachman Ruki, dengan Wakil Ketua Amin Sunaryadi, Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan Panggabean dan Sjahruddin Rasul. Sedangkan KPK periode kedua Antasari Azhar sebagai Ketua, dengan Wakil Ketua Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, Chandra Hamzah, dan Haryono Umar. Pimpinan KPK periode kedua juga seratus persen berasal dari pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan pimpinan KPK periode ketiga adalah Abraham Samad sebagai Ketua KPK, dengan Wakil Ketua Bambang Widjojanto, Zulkarnain, Adanan Pandu Praja dan Muhammad Busyro Muqoddas. Selain Abraham Samad yang berasal dari Sulawesi Selatan, semua pimpinan KPK periode ketiga berasal dari pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan pimpinan KPK periode keempat sekarang, tampil sebagai Ketua adalah Agus Rahardjo, dengan Wakil Ketua Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saud Situmorang dan La Ode Muhammad Syarif. Selain La Ode Muhammad Syarif yang berasal dari Sulawesi Tenggara, semua pimpinan KPK periode keempat ini berasal dari pulau Jawa dan Sumatera. Bahkan dua di antaranya berasal dari Sumatera Utara “Dilihat dari asal daerah para pendaftar, hampir 90% didominasi oleh mereka yang berasal dari wilayah Indonesia barat, terutama Pulau Jawa dan Sumatera. Hanya sekitar 10% yang berasal dari wilayah Indonesia Tengah dan Timur. Dengan demikian, diperlukan komitmen politik yang kuat dan sungguh-sungguh dari Ponsel KPK dan Komisi III DPR untuk meloloskan wakil dari wilayah timur dan tengah Indonesia, sepanjang memenuhi syarat dan kemampuan individu untuk menjadi pimpinan KPK, “ himbau Kisman yang juga politisi Partai Nasdem tersebut. Menurut Kisman, putra asal wilayah Timur Indonesia Natalius Pigai sangat mempunyai kompetensi dan skill untuk menjadi pimpinan KPK periode kelima. Pigai juga punya kemampuan dan keahlian untuk bekerja secara team work. Apalagi Pigai pernah belajar kerja-kerja investigasi di Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika selama satu tahun. Pigai pernah menjadi Komisioner Komnas HAM. Selama menjadi Komisioner Komnas HAM, tercatat sudah puluhan ribu kasus pelanggaran HAM yang dibongkar oleh Pigai. Putra asli Papua ini sudah terbiasa dan teruji membongkar kasus-kasus pelanggaran HAM, yang melibatkan institusi-institusi negara dan para konglomerat besar. Berbagai macam ancaman, tekanan dan hinaan sudah sering dialamatkan kepada Pigai. Selain Pigai, Irjen Polisi Dharma Pongrekun mempunyai kemampuan dan kualifikasi khusus di bidang penyelidikan dan penyidikan. Dharma yang sekarang Deputi Identifikasi dan Deteksi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) ini sudah malang-melintang di dunia reserse polisi. Pernah menjabat Kasat II Harda Bangtah Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Kasat II Ditnarkoba Polda Bengkulu, Wadir Raskrimum Polda Metro Jaya, Kasudit Indag Dirtpid Eksus Bareskrim Polri, Wadir Tipidum Bareskrim Polri, Direktur Narkoba Bareskrim Polri. Dharma yang asal Tanah Toraja ini, pernah ikut seleksi calon pimpinan KPK periode ketiga. Saat itu standar nilai yang diperoleh Dharma dari seluruh tahapan ujian seleksi mencukupi untuk masuk ke sepuluh besar sebelum dibawah ke DPR untuk fit and proper test. Sayangnya, Dharma diusulkan oleh institusinya sendiri agar tidak diloloskan ke DPR, hanya karena pangkatnya yang masih Kombes Polisi ketika itu. “Secara kompetensi individu, Dharma memiliki potensi untuk lolos menjadi komisioner KPK. Apalagi saat ini secara kepangkatan, Dharma telah mencapai bintang dua atau Irjen Polisi. Dengan demikian, Dharma telah memenuhi persyaratan kepangkatan untuk menjadi salah satu pimpinan KPK, “ kata Kisman. Kisman mengingatkan Ponsel KPK dan Komisi III DPR bahwa lolosnya Pigai dan Dharma menjadi taruhan ujian kebersamaan dan kesetaraan kita dalam mengelola bangsa dan negara. Jangan sampai KPK hanya didominasi oleh mereka yang berasal dari pulau Jawa dan Sumatera. Untuk itu, diperlukan komitmen dan keberpihakan dari elite politik nasional dalam mendistribusikan sumber daya manusia yang equal antara wilayah barat, tengah dan timur secara merata.
Tim Moechgiyarto Harus Sentuh Komandan Tertinggi Kewilayahan
By Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, fnn - Kerja Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Kapolri Tito Karnavian untuk menyelidiki kematian sembilan orang di depan Bawaslu 21 dan 22 Mei 2019 harus menyetuh komandan tertinggi kewilayahan atau provinsi setempat. Tim yang dipimpin Irwasum Polri Komjen Moechgiyarto jangan hanya terbatas pada komandan di tingkat Kabupaten atau Kota, yang biasa disebut Kasatwil saja. Apalagi kalau dibatasi hanya palaku penembakan di lapangan Komandan yang bertanggung jawab harus ditarik dua tingkat di atas dari pelaku lapangan. Selain kasatwil sebagai pelaksana operasional lapangan, komandan tertinggi di kewilayahan atau provinsi juga harus bertanggung jawab atas kematian sembilan orang tersebut. Sebab perintah penembakan datang dari Kasatwil dan komandan tertinggi kewilayahan. Misalnya, kalau locus delicti di Jakarta, ya tentu Kapolda Metro Jaya Anggota Brimob Polri dari daerah yang diperbantukan ke Jakarta ketika itu, semuanya dibawah kendali dari Kapolda Mentro Jaya. Mereka di Bawah Kendali Operasi (BKO) atau di-BKO-kan ke Polda Metro Jaya. Ototmatios yang paling bertanggung jawab terhadap semua prilaku anggota Brimob Polri di lapangan adalah Kapolda Metro Jaya. Dengan demikian, pemeriksaaan yang dilakukan TPF pimipinan Moechgyarto mutlak harus sampai kepada Kapolda Metro Jaya. Posisinya sebagai penanggung jawab tertinggi keamanan di wilayah Jakarta. Jika terjadi kelasahan prosedur di lapangan, maka sanksi atau hukuman yang dijatuhkan jangan hanya kepada pelaku lapangan saja. Sanksi juga harus diberikan kepada Kasatwil, dalam hal ini Kapolres Jakarta Pusat. Karena locus delicti di jalan Thamrin dan sekitarnya, maka selain Kapolres Jakarta Pusat, sanksi juga harus diberikan kepada Kapolda Metro Jaya. Patut diduga Kapolda Metro Jaya telah lalai melaksanakan perintah Kapolri Jendral Tito Karnavian tentang penggunanaan peluru tajam. Pola pertanggung jawaban dua tingkat ke atas dari pelaku lapangan ini sudah menjadi standar baku di institusi Polri dan TNI. Tercatat sudah tiga Panglima Kodam (Pangdam) dan dua Kapolda yang dicopot dari jabatannya karena ikut bertanggung jawab secara jabatan atas kematian akibat penembakan oleh anggota TNI dan Polri di lapangan. Pertama, peristiwa Santa Cruz di Dilli Timur Timor--- kini Timur Leste pada 12 November 1991. Dalam peristiwa ini sejumlah orang meninggal dunia. Para petinggi militer, mulai dari Dandim Dilli, Danrem Timur Timor, Pangkolakoops Brigjen TNI Rudolf Warouw dan Pangdam Udayana MayjenTNI Sintong Panjaitan diadili oleh Dewan Kehormatan Militer (DKM). DKM ketika itu dipimpin oleh Komandan Seskoad Mayjen TNI Feisal Tanjung. Rekomendasi dari sidang DKM adalah mencopot semua komandan militer di lapangan, mulai dari Dandim Dilli sampai Pangdam Udaya Mayjen TNI Sintong Panjaitan. Berakhirlah kerier dan bintangnya Mayjen TNI Sintong Panjaitan di dunia militer. Kedua, setelah Sintong Panjaitan, pada tahun 1998 giliran Mayjen TNI Syafrie Syamsudin yang dicopot dari jabatannya sebagai Pangdam Jaya. Kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti, almarhum Elang Lasmana dan kawan-kawan mangakibatkan Syafrie diadili Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Hasil rekomendasi dari sidang DKP adalah mencopot Syarie Syamsudin dari jabatan Pangdam Jaya. Selain Syafrie Syamsudin, sidang DKP juga merekomendasikan pencopotan terhadap Mayjen Polisi Hamami Natta dari jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya. Di sinilah untuk pertama kali dalam sejarah, seorang Kapolda dicopot dari jabatannya karena penembakan kepada warganegara yang berakibat pada kematian. Bukan saja Hamami Natta yang pernah dicopot dari jabatan sebagai Kapolda. Irjen Polisi Nanan Sukarna---jabatan terakhir Wakapolri juga dicopot dari jabatan Kapolda Sumatera Utara. Nanan dicopot karena kematian Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat akibat demonstrasi besar-besaran di depan Kantor DPRD Sumatera Utara. Selain Nanan, Mabes Polri ketika itu juga mencopot Kapoltabes Medan Kombes Aton Suhartono. Ketiga, peristiwa Santa Cruz Dilli dan Universitas Trisakti, peristiwa Lembaga Pamasyarakatan (Lapas) Cebongan Jogyakarta juga berbuntut panjang. Mayjen TNI Hardiono Saroso harus berbesar hati meninggalkan jabatan Pangdam Diponegoro. Kematian empat penghuni Lapas Cebongan berakibat Mayjen TNI Hardiono dicopot dari jabatannya seabagai Pangdam Diponegoro. Padahal, posisi Mayjen TNI Hardiono Saroso ketika itu tidak ada kaitan langsung dengan anggota TNI yang membunuh empat penghuni Lapas Cebongan. Keterkaitan Mayjen Hardiono Saroso hanya sebagai Komandan Garnisun Jawa Tengah dan Jogyakarta. Selain itu, Mayjen TNI Hardiono Saroso juga sebagai pembina seluruh anggota TNI AD, TNI AL dan TNI AU di wilayah Jawa Tengah dan Jogyakarta. Jika TPF tidak merekomendasikan sanksi atau hukuman kepada Kapolda Metro Jaya dan Kapolres Jakarta Pusat, maka patut diduga tim Moechgyarto hanya melakukan kerja-kerja kosmetik. Buah dari kerja-kerja kosmetik adalah semakin memperburuk wajah polisi di mata publik. Bahkan Moechgyarto yang sehari-hari adalah Irwasum Polri kehilangan momentum penting untuk mengembalikan kembali kepercayaan rakyat kepada polisi. Untuk itu, wahai para jendral polisi, teladanilahl, contoilah, jiwailah sikap kesatria dan sportifitas yang sudah diajarkan oleh almarhum Mayjen Polisi Hamami Natta, Irjen Polisi Nanan Sukarna serta Kombes Polisi Aton Suhartono. Jangan perlihatkan jiwa-jiwa yang kerdil, tidak profesional dan tidak bertanggung jawab. Sebab ujung-ujungnya hanya mengorbankan institusi kepolisian di mata rakyat. Jangan hanya karena ingin mengejar keuntungan untuk kepentinmgan pribadi dan kelompok, kelembagaan dan institusi polisi harus dikorbankan. (kilat).
Kenapa Kalian Sibuk Mau Jumpa Prabowo?
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini sibuk sekali Kubu 01 mau mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Entah mengapa mereka di Kubu 01 harus kasak-kusuk agar pertemuan itu terlaksana. Kalau presiden kalian menang bersih di pilpres 2019 ini, kenapa kalian sibuk mau bertemu dengan Prabowo? Untuk apa? Abaikan saja. Lupakan saja semunya. Jokowi ‘kan sudah dilegalkan MK tanpa ada satu pun gugatan Prabowo yang diterima. Berarti MK bilang kalian menang bersih. Ya sudah. Makan kalianlah jabatan presiden itu. Sudah dilegalkan MK, kok. Takut apa lagi? Sudah, ambil sana “hak” kalian itu. Tak usah kalian gubris kami dan Pak Prabowo. Aman kok. Tak akan ada yang mengganggu kalian. Buat saja suka-suka hati kalian. Ayo sana buat pesta pora. Pesta kemenangan bersih. Kemenangan tanpa cacat. Presiden yang dicintai rakyat. Tak perlu apa-apa kok kalian dari kami, dari Pak Prabowo. Indonesia ini punya kalian, bulat. Silakan ambil semuanya. Semua polisi, jaksa, satpol PP punya kalian. Semua kepala daerah punya kalian. Semua kades, kadus, kepling, perangkat desa, dll, kalian punya semua. Atur saja sesuai keinginan kalian. Romahurmuziy punya kalian. Setia Novanto punya kalian. Begitu juga Idrus Marham, dan para pakar korupsi lainnya. Masih belum cukup? Ada sembilan naga punya kalian. Ada Megawati, ada SBY, ada Surya Paloh, ada La Nyalla, ada Zulkifli Hasan. Ada Jusuf Kalla, ada semua mantan presiden dan wapres. Kalian punya semua. Ada juga Mahfud MD yang sangat bijak itu. Semua yang hebat-hebat kalian yang punya. Kurang apa lagi? Oh, barangkali DKI Jakarta harus di tangan kalian. Ambil saja. Mudah kok menyingkirkan Anies Baswedan. Jadi, kalian tak perlu kami, ‘kan? Kenapa kalian ganggu lagi kami? Mau minta jumpa Pak Prabowo segala. Sekali lagi, untuk apa? Tidak ada gunanya. Bagi kalian atau bagi Pak Prabowo. Juga tak ada gunanya bagi kami rakyat beliau. Sekarang kalian berkuasa. Buat saja apa yang kalian suka. Tak usah pikirkan orang lain. Tak usah pikirkan kami. Mau kalian jual negara ini, silakan. Mau kalian buat hancur, silakan. Mau kalian kapling-kapling, terserah. Mau kalian jual kepada RRC, tak ada yang melarang. Mau kalian tambah utang 10,000 triliun lagi, juga tak masalah. Perlu tambahan pendapatan APBN? Gampang! Naikkan listrik sebulan sekali. Naikkan semua jenis pajak. Harga materai seharusnya kalian naikkan menjadi 20 ribu atau 30 ribu. Tak akan ada yang ribut kok. Mau sumber pajak baru? Banyak. Pajak oksigen, pajak air, pajak jenazah yang mau dikuburkan, pajak bayi lahir, pajak usia lanjut karena umur panjang itu ‘kan sesuatu yang istimewa. Dan banyak lagi. Apa yang terpikir di benak kalian, dikenai pajak saja langsung. Terus, apa lagi ya? Oh iya. Mau kalian biarkan penista agama masuk ke masjid-masjid bawa anjing tanpa proses hukum, silakan. Mau kalian diamkan para penista Islam, silakan. Mau kalian penjarakan semua ulama, silakan juga. Kalian berkuasa penuh, kok. Buat saja apa yang kalian suka. Mau kalian bilang orang Islam itu teroris semua, terserah. Mau kalian katakan di dalam aksi damai umat Islam ada 30 teroris, seperti kata Moeldoko, suka hati. Kalian kok yang berkuasa penuh di negara ini. So, untuk apa kasak-kusuk mau jumpa Prabowo? Apa lagi yang mau kalian inginkan? Mau legitimasi? Kan sudah ada dari MK. Sudah ada dari KPU. Sudah ada dari Denny JA dan gerombolan survei mereka. Sudah ada dari media-media besar di sini. Apa lagi? Jadi, kepada Pak Prabowo dan Bang Sandi kami minta agar tidak usah saja menjumpai Jokowi. Tidak usah ucapkan selamat. Tak perlu hadir di acara pelantikan mereka. Kenapa? Karena tidak ada gunanya. Tidak ada kemaslahatannya. Tidak ada urgensinya. Jokowi tak perlu ucapan selamat kok. Jokowi tak perlu Anda kok, Pak Prabowo. Untuk apa? Mereka bisa buat apa saja, ‘kan? Kepada Andre Rosiade (petinggi Gerindra), kami mohon agar Anda tidak usah repot-repot mengatur pertemuan Jokowi dengan Pak Prabowo. Kecuali kalau Anda memang ingin mencederai rakyat Pak Prabowo. Atau, kecuali Anda baru merasa menjadi manusia kalau bisa masuk ke Kubu 01. Itu lain lagilah ceritanya. Atau, kecuali Anda baru saja selesai menjalani operasi pencangkokan “lobus frontalis” (otak bagian depan). Kalau ini alasannya, bisa dimaklumi. Sebab, setelah operasi itu berlangsung, Anda memang perlu istirahat menggunakan fungsi analitis.