ALL CATEGORY

Dirut Pertamina Jadi Saksi Suap Sofyan Basyir

Jakarta, FNN - KPK memanggil Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati terkait kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. Dia dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Dirut PLN nonaktif Sofyan Basyir. "Dipanggil sebagai saksi untuk SFB (Sofyan Basir)," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Senin (29/4/2019). Nicke dipanggil dalam kapasitasnya sebagai eks Direktur Pengadaan Strategis 1 PT PLN. Selain Nicke, KPK juga memanggil Direktur Perencanaan Korporat PLN Syofvi Felienty Roekman, Senior Vice President Legal Corporate PLN Dedeng Hidayat, dan Direktur Bisnis Regional Maluku dan Papua PT PLN, Ahmad Rofik.Nicke sebelumnya juga pernah diperiksa terkait kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 pada Senin (17/9/2018). Saat itu, KPK mencecar Nicke soal pertemuannya dengan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, yang saat itu masih berstatus tersangka di kasus ini. "Ada informasi yang kami klarifikasi juga terkait dengan apakah pernah bertemu dengan tersangka EMS, kapan, di mana, dan apa pembicaraannya," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah. Saat itu, Nicke mengaku diperiksa terkait tugas pokoknya selama menjabat Direktur Perencanaan PLN. Dia tak menjelaskan detail materi pemeriksaannya."Seputar tupoksi saya sebagai Direktur Perencanaan PT PLN," kata Nicke setelah menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Sofyan ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga membantu mantan anggota DPR Eni Saragih mendapatkan suap dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo. KPK menduga Sofyan dijanjikan jatah yang sama dengan Eni dan Idrus yang lebih dulu diproses dalam kasus ini.KPK menduga Sofyan berperan aktif memerintahkan jajarannya agar kesepakatan dengan Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1 segera direalisasi. KPK menyebut ada berbagai pertemuan di hotel, restoran, kantor PLN, dan rumah Sofyan terkait pembahasan proyek ini. Saat diumumkan sebagai tersangka, Sofyan sedang berada di Prancis untuk keperluan pekerjaan. Kini, setelah pulang dari Prancis, KPK telah meminta Imigrasi mencegah Sofyan pergi ke luar negeri. Sofyan berjanji akan kooperatif. "Pak Sofyan Basir sudah kembali ke Jakarta. Sempat komunikasi intinya insyaallah beliau akan kooperatif," kata pengacara Sofyan, Soesilo Ariwibowo, kepada detikcom, Jumat (26/4).

Moda Kereta Api Dorong Pariwisata Garut

Jakarta, FNN - Reaktivasi atau pengaktifan kembali jalur kereta api (KA) di Jawa Barat bagian selatan diharapkan mampu benar-benar mendorong kemajuan pariwisata di wilayah Garut, Pangandaran, dan Ciwidey. Reaktivasi jalur KA ini sejak awal ditujukan untuk mendorong kemajuan sektor pariwisata yang dampaknya akan meningkatkan ekonomi masyarakat. Kementerian Perhubungan menginisiasi 4 proyek reaktivasi jalur KA meliputi Cibatu-Garut-Cikajang (47,5 km), Rancaekek-Tanjungsari (11,5 km), Banjar-Pangandaran-Cijulang (82 km), dan Bandung-Ciwidey (37,8 km). “Reaktivasi keempat jalur KA ini untuk mendukung pariwisata yang ada di Garut, Pangandaran, dan Ciwidey sebagai destinasi wisata unggulan Jawa Barat,” kata Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi. Menpar Arief Yahya menjelaskan, konektivitas kereta api sebagai unsur penting dari 3A (Atraksi, Amenitas, dan Aksesibilitas) sangat digemari wisatawan karena nyaman. “Wisatawan bisa menggunakan kereta api wisata yang dioperasikan oleh PT KAI,” kata Arief Yahya dalam keterangan yang diterima Kontan.co.id, Minggu (28/4). Menpar Arief Yahya mengatakan, 4 jalur KA hasil reaktivasi akan menjadi konektivas utama ke obyek wisata yang ada di Garut, Ciwidey, dan Pangandaran. “Dari Bandung ke obyek wisata Situ Bagendit melalui Stasiun Cibatu hanya sekitar 1,5 jam. Sepanjang perjalanan wisatawan dapat menikmati pemandangan alam dari kereta api. Ini perjalanan yang ideal bagi wisatawan,” imbuh Arief Yahya. Ke depan obyek wisata Situ Bagendit akan direvitalisasi dan ditata ulang agar menjadi destinasi yang lebih menarik dan berkelas dunia. “Untuk menarik wisatawan milenial, Kemenpar bersama Bupati Garut akan membangun tiga destinasi digital,” kata Arief Yahya. Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil menjelakan, Pemprov Jabar telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 30 miliar dan Pemerinah Pusat melalui Kementerian PUPR sebesar Rp 100 miliar untuk merevitalisasi obyek wisata Situ Bagendit. “Kami menargetkan tahun depan revitalisasi akan selesai sehingga ketika kita kembali ke sini sudah banyak perubahan,” kata Ridwan Kamil. Bupati Garut Rudy Gunawan mengatakan, melalui kegiatan pariwisata ekonomi masyarakat di sekitar obyek wisata Situ Bagendit semakin meningkat dan angka kemiskinan dapat turun hingga 2%. “Kegiatan pariwisata berdampak langsung pada kesejahteraan masyakat,” kata Rudy Gunawan. (kontan)

Satgas Waspada Investasi: Banyak Fintech Ilegal dari China, AS, Singapura, Malaysia

Jakarta, FNN - Fintech ilegal yang meresahkan masyarakat terus bermunculan. Yang terbaru Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi kembali menemukan 144 entitas yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending namun tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK. "Fintech ilegal banyak juga dari China. Kalau kita lihat servernya, kebanyakan dari Indonesia, banyak juga dari Amerika Serikat, Singapura dan Malaysia," ujar Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L. Tobing kepada Kontan. ongam menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masih banyak fintech ilegal di Indonesia. Pertama, sangat mudah membuat aplikasi websitedengan kemajuan teknologi informasi saat ini. Kedua, pangsa pasar yang masih besar untuk pinjaman online di Indonesia. Ketiga, tingkat pengetahuan masyarakat mengenai fintech masih perlu ditingkatkan "Keempat, Memberikan kemudahan dalam pinjaman uang, walaupun pada dasarnya mereka mengenakan bunga, fee dan denda yang tinggi. OJK merespon perkembangan fintech ini dengan baik melalui POJK 77 tahun 2016, sehingga ada dasar hukum untuk fintech lending beroperasi di Indonesia," jelas Tongam. Kendati demikian, Tongam mengaku pihaknya terus menjalankan strategi memperkuat tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif terutama edukasi ke masyarakat agar selalu berhubungan dengan fintech yang terdaftar di OJK. "Selain itu, kami juga secara rutin menyampaikan informasi ke masyarakat daftar fintech ilegal dan daftar fintech legal. Tindakan represif kepada fintech ilegal berupa pengumuman daftar fintech ilegal, blokir web dan aplikasi melalui Kemkominfo," papar Tongam. Selanjutnya Satnas juga melaporkan informasi fintech ilegal kepada Bareskrim. Juga meminta perbankan dan fintech payment system untuk tidak memfasilitasifintech lending ilegal. Asal tahu saja, hingga saat ini hanya terdapat 106 entitas fintech peer to peer lending yang terdaftar dan diawasi oleh OJK. (wid)

Waktunya Sudah Habis Pak Jokowi

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN – Hanya ada satu kalimat yang paling tepat untuk menggambar kan dua peristiwa penting yang terjadi pada hari Kamis (11/4). “Waktunya sudah habis Pak Jokowi.” Menyerahlah dengan damai. Jangan menambah kesalahan. Ditemukannya puluhan ribu surat suara yang sudah tercoblos di Malaysia, dan dukungan para ulama kasyaf kepada Prabowo seperti disampaikan Ustad Abdul Somad, seharusnya bisa ditangkap sebagai isyarat alam “Pilpres sudah selesai.” Sulit untuk menjelaskan secara rasional dua fenomena ini, kecuali dengan pendekatan metafisik. Pendekatan ilahiah. Manusia boleh merancang, membuat skenario, melakukan konspirasi. Tetapi sebaik-baik rancangan manusia, skenario manusia, konspirasi manusia, rancangan Allah lah yang terbaik ( Wamakaruu, wamakarallah. Wallohu khoirul maakirin ). Melihat gelombang besar dukungan rakyat kepada Prabowo-Sandi, kecurangan adalah salah satu fitur terpenting yang tersisa bagi paslon 01 untuk memenangkan pilpres. Tak ada cara lain kecuali menggunakan itu. Sejauh ini fitur itu berjalan secara sistematis dan mulus. Mulai dari keanehan jutaan data pemilih tetap (DPT). Penyimpangan anggaran pemerintah melalui bansos dan CSR BUMN yang digunakan sebagai money politics. Pengerahan aparat intelijen dan kepolisian untuk menekan dan menggiring rakyat memilih paslon 01. Dan beraneka ragam kecurangan yang sulit diperinci satu persatu saking banyaknya. Semua berjalan mulus, tanpa bisa dicegah. Dengan kekuasaan di tangan, kontrol terhadap alat negara, terutama aparat keamanan, tak ada kekuatan yang bisa mencegah. Mereka bisa dengan cepat menutup kasus-kasus penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi. Ketika peristiwanya muncul di publik, dengan kontrol media mereka dengan segera bisa membalikkan tuduhan sebagai fitnah dan kabar bohong, hoax! Namun tiba-tiba muncul kecurangan di Malaysia. Puluhan ribu surat suara sudah tercoblos pada bagian gambar paslon 01. Puluhan ribu surat suara sudah tercoblos pada nama caleg dari Nasdem, partai pendukung pemerintah. Surat suara atas nama anak Dubes RI di Malaysia Rusdi Kirana. Sebagai Dubes, petinggi PKB, pemilik Lion Air Group itu merupakan representasi dua kepentingan Jokowi. PKB adalah partai pendukung Jokowi, dan sebagai Dubes dia adalah perwakilan pemerintah di luar negeri. Pemerintah Indonesia, aparat keamanan Indonesia tidak bisa menutup-nutupinya. Semua itu diluar yuridiksi mereka. Kasusnya tidak bisa lagi di 86-kan. Sudah menjadi skandal yang menyebar ke seantero penjuru dunia. Sudah menjadi pemberitaan media asing. Di Jakarta tiba-tiba ulama kondang Ustad Abdul Somad (UAS) bertemu Prabowo. UAS dan Aa Gym seperti pengakuan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy sudah berhasil ditundukkan dan dibuat netral. Melihat besarnya jamaah dan pengaruhnya posisi dua da’i kondang ini, pilihan politik mereka akan ikut menentukan ke mana umat akan melabuhkan suaranya. UAS tidak datang atas nama dirinya sendiri. Sebagaimana pengakuannya dia bertemu sejumlah ulama kasyaf, ulama yang diyakini hijabnya dengan Allah SWT sudah terbuka. Mereka ini bukan ulama yang masyhur, bukan ulama seleb yang sering muncul di televisi, maupun medsos. Ulama yang sangat menjaga kesuciannya dan sudah meninggalkan kehidupan dunia. “Semua membisikkan nama Prabowo,” ujar UAS. Video pertemuan UAS dengan Prabowo yang ditayangkan TV One itu langsung viral. Di Youtube, semua akun yang menayangkan video itu kebanjiran penonton. Jumlahnya mencapai jutaan view hanya dalam hitungan jam. Salah satu yang paling banyak mendapat komentar adalah sikap UAS yang minta tidak diundang ke istana Insya Allah setelah Prabowo terpilih. UAS minta jangan diberi jabatan apapun. Dia tetap ingin mengabdi berkhidmat kepada umat melalui jalur dakwah. UAS menunjukkan kelasnya jauh-jauh di atas deretan “ulama” yang berbaris di belakang paslon 01. Umat bisa langsung membedakan. Sikap UAS ini merupakan dukungan yang tulus, tanpa pamrih, sekaligus menunjukkan kelasnya sebagai ulama yang lurus dan tidak tergoda dengan masalah duniawi. Perpaduan antara terbongkarnya kecurangan di Malaysia dan dukungan para ulama kasyaf melalui UAS akan menjadi gelombang besar yang menggulung kekuatan paslon 01 dan para pendukungnya. Sejak tadi malam dapat dipastikan terjadi hijrah (migrasi) besar-besaran para pemilih. Kelompok-kelompok pemilih yang belum memutuskan ( undecided voters ), maupun pemilih Jokowi bukan garis keras ( soft voters ) langsung mengalihkan pilihannya melihat kecurangan di Malaysia. Mereka sangat marah melihat perilaku yang tidak terpuji semacam itu. Itu adalah bukti kuat yang tidak bisa dibantah. Tidak bisa ditutup-tutupi. Tidak bisa diplintir oleh media pendukung pemerintah. Bawaslu sudah mengakui ada kecurangan dan minta proses pemilu di Malaysia dihentikan. Pemilih muslim yang menjadi pengikut UAS dan semula masih ragu, juga langsung memantapkan pilihannya kepada Prabowo-Sandi. Gelombang hijrah Hijrah atau migrasi pemilih ini sesungguhnya sudah mulai terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Di kawasan Indonesia Timur migrasi dimulai ketika klan keluarga Kalla dan Aksa menyatakan secara terbuka mendukung Prabowo. Di Jawa khususnya kawasan Mataraman (Yogya, Jateng, dan Jatim) migrasi pemilih besar-besaran juga terjadi seiiring sikap Sri Sultan HB X yang memberi signal mendukung Prabowo. Sejumlah tokoh berpengaruh dalam beberapa hari ini juga sudah memberi signal mendukung Prabowo. Mantan Sekjen Dephan Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin tampak hadir berbaur di tengah lautan massa di GBK. Selama ini jenderal ganteng dan kalem ini hanya diam dan terkesan tidak ingin melibatkan diri dalam hiruk pikuk politik. Namun berbagai statusnya di medsos dan kehadirannya di GBK sudah menjelaskan pilihan politiknya. Video mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan sedang ngevlog bareng Mantan Sekjen BUMN Said Didu saat ini viral di medsos. Said Didu adalah seleb medsos yang menjadi penentang keras Jokowi. Hadirnya Dahlan Iskan di kubu Prabowo akan sangat berpengaruh besar pada perubahan kosntelasi suara di Jatim. Sebagai pendiri Kelompok Bisnis Jawa Pos Group Dahlan mempunyai pengaruh dan pendukung sangat besar di Jatim. Dalam sebuah wawancara di TV One mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengaku sejak perwira menengah dia sudah mengagumi dan mengidolakan Prabowo. Pernyataan ini bisa diartikan sebagai isyarat ke mana dia akan melabuhkan dukungannya. Gatot memiliki pendukung yang cukup besar. Dia sempat digadang-gadang menjadi capres altenatif poros ketiga. Dia memiliki sejumlah organisasi relawan di seluruh Indonesia. Relawan Gatot sudah lebih dulu mendukung Prabowo. Di luar mereka, sejumlah intelektual dan publik figur juga sudah lebih dulu menyatakan insyaf, dan bertobat karena mengaku salah memilih Jokowi. Jokowi sendiri sesungguhnya sudah membaca tanda-tanda itu. Pernyataannya dalam clossing statement debat keempat tentang “rantai sepeda putus” menunjukkan dia memahami apa yang tengah terjadi. Namun publik juga memahami, Jokowi bukanlah figur yang mandiri. Banyak kelompok kepentingan di seputar Jokowi yang selama ini mengontrolnya. Kelompok-kelompok oligarki inilah yang tidak mau kehilangan kenikmatan dan keuntungan politik bila sampai Jokowi kalah. Mereka belum mau menyerah dan memaksa Jokowi untuk terus bertempur sampai titik darah penghabisan. Mengerahkan segala cara, terutama kecurangan. Sekarang terpulang kepada Anda Pak Jokowi. Mau bersama rakyat, atau tetap memilih disetir para oligarki. Masih ada waktu yang tersisa. Mau mengakhiri jabatan dengan cara yang baik ( husnul khotimah ) atau akhir yang buruk ( su’ul khotimah ). Wis wayahe Pak. End

Demokrasi Kita Dalam Bahaya (Bagian II)

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - “Apakah Prabowo bisa menang?,” Pertanyaan itu muncul di jutaan benak publik Indonesia menggantikan pertanyaan sebelumnya “Apakah Prabowo menang Pilpres?.” Keyakinan bahwa Prabowo memenangkan Pilpres 2019 dan secara de facto Presiden RI 2019-2024 sudah selesai. Tidak ada keraguan sedikit pun di hati mayoritas rakyat Indonesia. Bukan hanya karena klaim sepihak kemenangan oleh Prabowo, namun fakta adanya kecurangan yang sangat massif di lapangan. Publik sudah sampai pada pemahaman yang sama “Kalau benar Jokowi menang seperti dikatakan oleh lembaga survei, mengapa harus melakukan kecurangan?,” Bukankah seharusnya Jokowi benar-benar menjaga pilpres dan proses penghitungan suara berlangsung secara adil, jujur, dan bersih. Dengan begitu kemenangannya tidak perlu lagi dipertanyakan. Tidak perlu diragukan dan ada sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi. Sampai sejauh ini tidak ada satupun pernyataan Jokowi tentang perlunya menjaga kualitas pilpres dan pentingnya menyelamatkan demokrasi. Dia hanya diam membisu melihat banyaknya kecurangan di depan mata. Sikap maupun pernyataan Jokowi sama sekali tidak menunjukkan seorang kandidat yang baru saja memenangkan kontestasi sebagaimana coba dibangun dan didesakkan ke memori publik oleh lembaga survey melalui quick count. Yang terjadi Jokowi malah mengutus Luhut Binsar Panjaitan untuk mencoba bertemu Prabowo. Publik memahami melalui sang super minister, mastermindmencoba menawarkan deal-deal politik dengan Prabowo, karena posisinya sedang terdesak. Sebagai presiden yang tengah berkuasa, Jokowi tinggal memerintahkan birokrasi negara, Polri, kalau perlu melibatkan TNI untuk mengamankan pilpres dan hasilnya. Cegah semua kecurangan. Tangkap pelaku pencoblosan surat suara secara tidak sah. Tangkap siapapun yang melakukan kecurangan. Mulai dari petugas KPPS, oknum polisi, atau siapapun. Awasi penghitungan suara secara ketat, dan amankan semua proses penghitungan suara. Pada tanggal 22 Mei 2019, ketika selesai penghitungan suara, KPU melakukan pleno rekapitulasi suara, Jokowi sah secara legal dan formal menduduki kursi presiden untuk periode kedua. Setelah itu sebagai presiden terpilih, dia tinggal mengundang Prabowo ke istana, atau di tempat netral sebagai simbol rekonsiliasi nasional. Langkah yang sama juga pernah dia lakukan pada Pilpres 2014. Prabowo datang bertemu Jokowi di istana, Jokowi kemudian membalas kunjungan ke Hambalang, dan naik kuda bersama Prabowo. Case closed. Jokowi kembali menjadi presiden. Tinggal bagi-bagi jabatan dengan parpol pendukungnya. Bagi-bagi konsesi dengan kelompok oligarki pendukungnya. Rakyat Indonesia bisa kembali dininabobokan dengan janji-janji politiknya. Bagi-bagi kartu beraneka ragam, atau dibuat terpesona dengan pembangunan proyek infrastruktur megah hasil berutang dari pemerintah Cina. Bukankah seperti dikatakan oleh Luhut pada bulan April ini perjanjian proyek One belt, One road dengan pemerintah Cina akan segera ditandatangani di Beijing. Cacat sejak awal Pilpres kali ini, sudah cacat sejak awal. Cacat bawaan yang direncanakan secara cerdik, namun culas. Kecurangan sudah terjadi sejak mulai dari perencanaan, sebelum pelaksanaan, pada saat pelaksanaan, dan setelah selesai pelaksanaan. Karena itu tidak berlebihan bila banyak yang menyatakan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Target utamanya Jokowi terpilih kembali menjadi presiden, bagaimanapun caranya, dan berapapun harganya. At all cost. Termasuk bila harus mengorbankan demokrasi. Tahap pertama. Dari sisi perencanaan sudah terlihat ketika parpol pendukung pemerintah bekerja keras mati-matian membatasi jumlah capres. Mereka menggolkan aturan presidential threshold (PT) 20 persen kursi atau 25 persen total suara secara nasional sebagai syarat untuk parpol atau gabungan parpol dapat mengusung capres/cawapres. Dengan PT tersebut para pendukung utama Jokowi sudah bisa membatasi capres yang ada maksimal hanya tiga pasang. Sampai disitu para pendukung merasa belum aman. Mereka melangkah lebih jauh agar Jokowi dapat menjadi calon tunggal. Lagi-lagi Luhut Panjaitan, inang pengasuh Jokowi yang menjadi operator. Pada tanggal 6 April 2018 Luhut bertemu secara diam-diam dengan Prabowo di sebuah restorant di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Luhut menawari Prabowo untuk menjadi cawapres Jokowi. Bila semua partai koalisi pendukung pemerintah bersatu ditambah Gerindra maka sulit bagi partai lain untuk mengusung capres sendiri. Tinggal Demokrat, PAN, dan PKS. Dari berbagai data survei yang mereka miliki, jika Jokowi dipasangkan dengan Prabowo, maka tidak ada lawan potensial yang bisa mengalahkannya. Dalam proses ini sejumlah lembaga survei sudah bekerja. Mereka membombardir publik dengan publikasi survei tingkat kepuasaan atas kinerja Jokowi sangat tinggi. Secara elektabilitas Jokowi juga tidak tertandingi. Di bawah Jokowi, yang mempunyai elektabilitas cukup lumayan hanya Prabowo. Publik dipaksa meyakini Jokowi satu-satunya capres yang dikehendaki rakyat. Gagal meyakinkan Prabowo, mereka berusaha mati-matian agar maksimal paslon yang maju hanya dua pasang. Andi Wijayanto ketua Cakra-9 —salah satu organisasi sayap pemenangan Jokowi— mengakui tugas itu berhasil mereka laksanakan. Mereka sukses menggergaji hak demokrasi rakyat dan memaksa pemilih hanya mempunyai dua pilihan : Jokowi atau Prabowo. Pada saat itu aparat kepolisian dan intelijen menekan gerakan #2019GantiPresiden. Salah satu inisiatornya Neno Warisman dikepung di Bandara Pekanbaru, Riau. Kepala Badan Intelijen Nasional (Kabinda) Riau terlibat dalam aksi itu. Targetnya gerakan ini tidak boleh membesar. Harus dikempesin. Sangat berbahaya bagi Jokowi. Tahap kedua, sebelum pelaksanaan. Kali ini yang menjadi operatornya adalah Kemendagri. Tiba-tiba mereka memasukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tambahan sebanyak 31 juta. Koalisi Indonesia Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi mempersoalkannya dan menyebutnya sebagai DPT siluman. Namun Depdagri bersikeras bahwa tambahan DPT itu sudah termasuk dalam DPT sebanyak 196 juta pemilih. Dengan asumsi partisipasi pemilih sebesar 80 persen, maka DPT tambahan 31 juta, setara dengan 20 persen suara sah. Kisruh itu berlanjut dengan munculnya data DPT ivalid sebanyak 17,5 juta. Dengan bermain-main di DPT, Paslon 01 sudah punya spare suara “cadangan” yang sangat besar. Jumlahnya setidaknya setara dengan klaim kemenangan oleh lembaga survei sebesar 7-9 persen. Pada tahap ini semua aparat birokrasi pemerintah mulai dilibatkan. Mulai dari aparat kepolisian yang melakukan pendataan pemilih, penggelontoran anggaran Bansos, dan pembagian dana-dana CSR dari sejumlah BUMN, tekanan terhadap kepala desa, bahkan sampai RW dan RT. Tahap ketiga, pelaksanaan berupa eksekusi di lapangan. Pada tahap inilah kecurangan yang sangat massif dan terungkap di publik. Dimulai dari pencoblosan surat suara atas paslon 01 di Malaysia, pertugas KPPS mencoblos sendiri surat suara, Bawaslu menemukan ribuan petugas KPPS yang tidak netral, dan adanya 6,7 juta surat undangan yang tidak sampai ke tangan pemilih, banyaknya kertas suara yang tidak sampai, termasuk hilangnya TPS di wilayah yang diidentifikasi menjadi basis 02. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi melaporkan ada sebanyak 1.261 kecurangan. Jumlahnya akan terus bertambah. Tahap keempat, pasca pencoblosan. Modus juga sangat beragam. Mulai dari perusakan dan pembakaran kertas suara, adanya penggelembungan suara di tingkat PPK, mengganti hasil perolehan suara di C1, dan yang paling banyak adalah kesalahan input data di KPU pusat. Anehnya kesalahan input itu seragam. Suara paslon 01 bertambah, dan suara paslon 02 berkurang. Kesalahan itu diakui oleh komisioner KPU dan mereka berdalih ada kesalahan input. Melihat berbagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif itu terlalu naif bila kemudian Paslon 02 dan pendukungnya hanya berpangku tangan, menunggu perhitungan suara selesai. Bila ada kecurangan di bawa ke jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Hasil akhirnya sudah bisa diduga. Dapat dipastikan gugatan itu akan dimentahkan. Mereka terlalu naif bila mengikuti alur permainan yang memang telah disiapkan oleh kubu paslon 01. Mulai dari lapangan bermain, siapa yang boleh bermain, aturan permainan, wasit dan pengawas pertandingan, termasuk penonton sudah ditentukan. Wasit dan pengawas pertandingan tidak segan-segan mengeluarkan penonton kubu Paslon 02 yang mempersoalkan kecurangan. Sebaliknya mereka diam saja ketika ada penonton dan pendukung paslon 01 ikut bermain dan mengacaukan permainan. Demokrasi kita dalam bahaya. Demokrasi kita sedang dibajak oleh kelompok oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaan. Mereka memilih seorang penguasa yang lemah untuk didudukkan di singgasana, agar mereka bisa terus bermain secara leluasa, mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Demokrasi kita harus diselamatkan. Rakyat harus menunjukkan kekuatannya. Tunjukkan kekuatan rakyat yang ingin menyelamatkan demokrasi. Jangan mau diprovokasi. Tunjukkan rakyat Indonesia cinta damai. Tunjukkan bahwa jutaan orang bisa berkumpul menyampaikan aspirasinya tanpa berbuat anarkis. Jutaan orang berkumpul secara damai, tertib, tak selembar rumputpun yang rebah. Aksi 411, 212, Reuni Akbar 212 sudah membuktikannya. Bawaslu tidak mungkin bertindak sendiri. Mereka harus didukung, dibantu, diperkuat. Mereka tidak akan mampu menghadapi kartel ekonomi dan politik yang dimainkan oleh oligarki. Para oligarki ini adalah deep state, negara dalam negara. Ini bukan soal kalah menang. Bukan soal Prabowo menjadi presiden atau tidak. Ini soal suara rakyat, soal kedaulatan rakyat yang dibajak. Sekali lagi DEMOKRASI KITA DALAM BAHAYA. End

Kecurangan Malaysia: Mesin Fitnah 01 Mau Salahkan 02

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN – Tulisan ini diturunkan untuk membantu agar kubu 01 bisa sejenak memulihkan fungsi ‘lobus frontalis’ (otak depan) mereka. Sebab, dalam kasus coblos illegal di Malaysia, mereka mencoba mengolah fakta di pabrik fitnah dan hoax mereka menjadi kesalahan orang lain. Alhamdulillah, kubu 02 sejauh ini terjaga dari segala perbuatan yang hina dan licik. Tak sempat lama mesin fitnah 01 berpikir. Berpikir bagaimana cara untuk membuang kotoran kecurangan licik yang terjadi di Malaysia. Langsung bertebaran meme ‘akal miras’ (akal minuman keras) mereka. Sambil mabuk, para pendukung 01 ingin mengalihkan substansi isu coblos illegal itu menjadi skenario 02. Demi persaudaraan dengan Anda, wahai para pendukung dan pembuat fitnah di kubu 01, saya bantu untuk menemukan logika kasus coblos curang itu. Mungkin Anda semua sedang sempoyangan akibat miras, tak bisa berpikir jernih. Tak rela mengakui kesalahan dan fakta. Untunglah ada Pak Masinton Pasaribu (orang penting 01) yang menyiramkan air penyadar ke muka Anda yang sedang mabuk itu. Mari kita telusuri pakai akal sehat, wahai para operator mesin fitnah jahat 01. Anda me-meme-kan bahwa orang 02 mencoblos sendiri, gerebek sendiri, teriak sendiri. Ini sama sekali tidak logis. Yang logis? Fakta 1: Pak Masinton (seorang pemuka 01 asal PDIP) mengatakan bahwa sindikat jual suara sudah berlangsung sejak lama di Malaysia. Pak Masinton mengatakan, dia sendiri ditawari ‘suara murah’ dari Malaysia, tetapi beliau tolak. Kalau ditarik ke belakang, ke pilpres 2014, berat dugaan kecurangan ini sudah dilakukan untuk memenangkan Pak Jokowi, waktu itu. Check list: ‘lobus fontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 2: Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Malaysia diawasi langsung oleh Wakil Duta Besar yang duduk sebagai anggota PPLN. Untuk Anda ketahui, anak Dubes Rusdy Kirana, yaitu Davin Kirana, adalah caleg NasDem dapil DKI. Bantuan logika untuk adalah: bagaimana mungkin ribuan surat suara itu bisa jatuh ke orang 02 untuk dicoblos fitnah, sementara PPLN Malaysia yang diawasi Wakil Dubes itu bekepentingan untuk menjaga Davin Kirana? Anda pikir Wakil Dubes yang duduk di PPLN itu berani melawan Dubes yang sangat dekat dengan Pak Jokowi? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 3: PPLN Malaysia menolak pendampingan kotak suara keliling (KSK) oleh petugas Bawaslu. Siapakah yang menolah itu? Tentu Wakil Dubes yang Dubesnya punya anak untuk dimenangkan di pileg DPRRI. Tidakkah Anda memiliki logika bahwa Wakil Dubes yang bertugas di PPLN itu punya pengaruh dan otoritas besar? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 4: Orang 02 menggerebek sendiri, memviralkannya sendiri. Bantuan logika untuk Anda adalah: apakah bisa diharapkan orang 01 melakukan penggerebekan yang tulus-ikhlas sehingga terbongkarlah coblos illegal untuk capres 01 dan caleg Davin Kirana? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 5: Sebagai presiden, capres 01 memiliki dan menikmati keistimewaan untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Siapakah, menurut akal sehat kalian, yang paling mudah melakukan kecurangan pemilu? Jokowi yang punya Mendagri, Jokowi yang punya Kapolri, Jokowi yang punya Menteri BUMN, Jokowi juga yang punya Dubes di Malaysia. Mungkinkan Prabowo mengerahkan ASN, Polisi, jajaran BUMN, mengerahkan Dubes Rusdy Kirana? Check list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. Fakta 6: Sama dengan isu Ratna Sarumpaet? Come on, kawan. Semua orang yang waras paham bahwa Pak Prabowo dan seluruh kubu 02 tidak pernah mengatur kebohongan Ratna. Hanya hati busuk dan akal sempit kalian di 01 yang memaksakan agar kebohongan itu ditimpakan ke kubu 02. Biar kalian paham, rangkaian kampanye 01 dan dukungan untuk Jokowi menjadi hancur-berantakan gara-gara hati kalian yang sudah berulat itu. Chcek list: ‘lobus frontalis’ Anda tak berfungsi. NOTE: supaya kalian tidak bingung, ‘lobus frontalis’ adalah otak depan yang berfungsi menerima dan mengolah infomasi; membuat ‘reasoning’ yang sehat; memahami bahasa, merancang kreativitas, dan menilai sesuatu. Cukup ini saja dulu, wahai saudara-saudaraku di kubu 01. Kalau terlalu banyak, khawatir masa pulih otak depan Anda habis waktu. Supaya berimbang, mohon tuliskan fakta dan logika Anda. Tapi, mohon Anda tulis dalam keadaan bebas pengaruh zat ‘fitnatanol’. Yaitu, fitnah yang mengandung alkolol 57% (seperti survey LSI Denny JA). (Penulis adalah wartawan senior)

Debat Pamungkas Pasca Jokowi dan Nasdem “Menang Mutlak” di Ruko Malaysia

Oleh Sri Widodo Soetardjowijono Jakarta, FNN – Debat capres kelima yang digelar Sabtu, 13 April 2019 adalah debat pamungkas yang perlu disimak. Dari debat ini setidaknya bisa menjadi acuan siapa sesungguhnya yang layak menjadi pemimpin 5 tahun ke depan. Akan terlihat jelas pula siapa yang punya kapabilitas dan siapa yang jago memproduksi pencitraan. Jika kita saksikan dengan teliti, ada yang harus diwaspadai oleh capres cawapres Prabowo Sandi. Meski sudah bisa diraba siapa yang bakal unggul, namun mereka tetap harus hati-hati. Maklum, yang dihadapi capres unik dan luar biasa. Bisa dipastikan tabiat petahana dalam menjegal lawan debat akan terulang kembali. Mari kita lempar lamunan kita ke belakang, 5 tahun yang lalu. Publik masih ingat Debat Capres 2014, di mana pasangan Jokowi-Kalla “sukses” menjebak pertanyaan yang tak disangka oleh pasangan Prabowo Hatta, yakni tentang Piala Adipura. Capres Prabowo-Hatta kurang lengkap menjelaskan tentang Piala Adipura, lalu diperjelas oleh pasangan Jokowi-Kalla. Mereka hadir sebagai “ahli” Piala Adipura yang sesungguhnya sudah dihafal sebelumnya. Mereka berhasil “mempermalukan” pasangan Prabowo-Hatta di mimbar debat. Pola yang mereka lakukan adalah memberikan umpan pertanyaan yang diperkirakan lawan tidak tuntas menjawabnya lalu dijelaskan secara panjang lebar oleh pemberi umpan. Mereka menempatkan diri seakan-akan hebat dan menguasai masalah. Apalagi didukung Tim Hore yang ada di belakang pasangan andalannya itu sudah siap dengan celoteh, bunyi-bunyian, dan keplok-keplok. Bahkan, kalau diizinkan mereka akan membawa drum atau petasan. Mereka akan meneriaki dan membuat bising capres lawan, mana kala jawaban yang kurang pas. Mereka ingin menciptakan kesan bahwa pasangan Jokowi-Kalla adalah pasangan yang pintar dan pasangan Prabowo-Hatta adalah pasangan yang bodoh. Upaya ini berhasil didukung pula oleh pasukan buzer di media sosial yang menggorengnya setiap detik. Inilah kemenangan licik capres Jokowi-Kalla dalam debat capres tahun 2014. Agaknya pola ini berhasil mengelabuhi publik dan kini diulang dalam debat capres 2019. Lihat saja pada debat pertama 17 Januari 2019. Capres petahana mempersoalkan kuota perempuan di tubuh Partai Gerindra yang tidak konsisten. Pertanyaan yang sesungguhnya naif, sebab apa urusannya presiden dengan internal partai Gerindra. Ini debat capres bukan debat calon ketua umum partai. Namun demikian Prabowo menjawab dengan elegan bahwa tuduhan itu tidak benar. Di Gerindra, kata Prabowo pengurusnya banyak yang perempuan, bahkan ada sayap Perempuan Indonesia Raya. UU menyaratkan 30 persen kuota perempuan, tetapi di Gerindra bahkan hampir 40 persen. Mendengar penjelasan ini Jokowi tidak bisa membantahnya. Malah membandingkan dengan kabinet, bahwa baru kali ini menteri luar negeri dijabat perempuan. Serangan kembali dilancarkan pada debat capres kedua 17 Februari 2019, Joko Widodo bertanya infrastruktur apa yang akan dibangun Prabowo untuk mendukung unicorn yang ada di Indonesia. Jokowi tidak jelas menyebutkan kata unicorn, yang terdengar adalah yunikon. Oleh karena itu Prabowo mempertegas spellingyang benar dan bertanya balik “unicorn yang online-online itu?” Jokowi bilang iya, meski tampak ogah-ogahan menjawabnya. Prabowo tak mau terjebak dalam istilah yang tidak terdengar dengan jelas. Setelah jelas, ia kemudian menjawab dengan tuntas, apa yang ditanyakan Jokowi. Jokowi lalu menambahi apa yang sudah disampaikan Prabowo. Pada debat ketiga, 17 Maret 2019 giliran antarcawapres yang diadu. Pada segmen saling bertanya, cawapres 01 Kyai Marif mengajukan pertanyaan tentang stunting. Cawapres 02 Sandiaga Uno dengan cermat dan jelas memaparkan istilah stunting, di mana suatu kondisi kekurangan gizi kronis pada anak, yang sudah ada sejak dalam kandungan hingga masa awal anak lahir. Sandi menjelaskan masalah stunting di Indonesia sudah gawat darurat, di mana 2/3 anak kurang asupan gizi, oleh karena itu butuh kerja bersama antar-pemeritah dan masyarakat. Kyai Ma’ruf pun mengangguk-angguk pertanda mafhum mendengar jawaban Sandi. Strategi jebakan kembali dilontarkan oleh capres 01 Jokowi pada debat keempat, 30 Maret 2019. Jokowi mengajukan pertanyaan, “Pemerintah sedang menggalakkan Dilan (digital dan melayani). Apa yang Bapak ketahui tentang Mol Layanan Publik? Kalimat ini disampaikan dengan suara yang agak lirih. Waktu yang diberikan moderator adalah 2 menit, tetapi hanya dipakai sekitar 30 detik saja. Masih ada waktu 1,5 menit untuk membuat pertanyaan yang lebih jelas dan merangsang, tetapi tidak digunakan. Pun demikian cukup puas bagi Prabowo untuk memberi kuldum (kuliah dua menit) kepada Jokowi tentang layanan yang efektif dan efisien. Lagi-lagi Jokowi cuma menambahkan apa yang sudah dijelaskan Prabowo. Inilah bahaya laten debat, bisa muncul tiba-tiba dan menjebak. Mungkin mereka berharap lawan debat akan gelagapan dan terbata-bata dalam menjawab. Tahun 2014 Jokowi dan pasukannya boleh saja bangga dengan pola jebak-menjebak. Tapi di 2019 ini, taktik mereka gagal total, justru mereka yang terjebak, panik, gelagapan, dan vertigo akut. Kepanikan dimulai ketika massa kampanye pendukung 01 selalu miskin peserta. Panggung lengang dan bangku kosong menjadi pemandangan yang lumrah bagi kampanye Jokowi Maruf. Pada 09 April 2019, kampanye Jokowi di 3 tempat semua mengecewakan. Start dari Kerawang, Jawa Barat. Massanya hanya 2 ribuan. Dari Karawang dilanjutkan ke Bandung Di sini lebih menyedihkan lagi karena dari pagi sampai siang – menurut istilah urang Bandung, cuma check sound terus alias acara tidak dimulai karena massanya sedikit. Ketahuan sepi, Jokowi batal ke Bandung, ia kemudian melanjutkan kampanyenya ke Solo, Jawa Tengah. Eh Stadion Sriwedari cuma berisi sepertiganya. Kalah jauh dari kampanye Prabowo hari berikutnya, 10 April 2019. Di Padang Sumatera Barat, Jokowi juga takut datang. Ia gelagapan, lalu mengutus menteri pemilik dwi kwarganegaraan Archandra Tahar. Kehadiran Wamen ESDM pun tak manarik minat urang awak. Padahal ada 11 bupati yang dikerahkan. Di ibukota, tepatnya di GOR Ciracas Jakata Timur, kampanya Jokowi bikin spot jantung dan vertigo. Koran-koran menyebut kampanye sepi, sementara masyarakat sekitar menyebut GOR seperti rumah hantu. Wajar jika Hendropriyono, konon misuh-misuh. Semua tiba-tiba gelagapan, tak seindah yang dilukiskan di media sosial. Perjuangan terakhir pemuja Jokowi bakal ditunjukkan dalam kampanye di Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Sabtu 13 April 2018. Mereka bertekad mengumpulkan massa melebihi kampanye Prabowo-Sandi 7 April 2019 lalu yang mencapai lebih dari 1 juta massa. Bus-bus disiapkan, makanan digratiskan. Karyawan BUMN dan swasta – meski libur – diwajibkan hadir, jika tidak akan diberi sanksi. Massa diimpor dari Banten, Bogor, Cianjur, Jateng, Jogja, dan Jatim. Mereka dihadirkan dan difasilitasi menggunakan bus kota. Tidak lupa uang saku sudah disiapkan. Hehe rakyat Jokowi lupa, kesejahteraan bukan diukur dari seringnya diberi makan nasi bungkus atau dilempari recehan di jalanan. Kesejahteraan harus bisa dirasakan semua lapisan masyarakat dengan sistem yang baik. Bukan sekadar bagi-bagi hadiah dan bagi-bagi duit, apalagi musiman. Mereka juga menghadirkan 500-an artis. Hitungan mereka sederhana, setiap artis memiliki ratusan ribu follower yang kelak akan memadati Senayan. Andalan mereka adalah Slank dan berharap seperti 5 tahun lalu. Padahal itu sudah basi, sudah tidak menarik lagi. Selama 5 tahun ini, kita sudah bisa membaca siapa Slank. Slankers yang dulu berbeda dengan Slankers sekarang. Massa Jokowi diperintah untuk memakai baju warna seragam, mereka tak boleh memakai atribut partai. Instruksi ini justru mengundang pertanyaan: ke mana partai-partai koalisi, apakah mereka sudah pasrah atau mereka tidak mau mendukung Jokowi lagi? Entahlah, yang jelas kampanye Jokowi di GBK tidak bermakna apa-apa, berapapun yang hadir. Massa mengambang sudah menentukan pilihan saat Ustad Abdul Somad mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo. Sementara massa yang semula pendukung Jokowi sudah mengalihkan dukungan kepada Prabowo saat terbongkarnya kejahatan surat suara sudah dicoblos di Malaysia. Dari hasil penggerebegan ada puluhan ribua surat suara yang dicoblos untuk pasangan 01 dan anggota legislatif dari Nasdem Davin Kirana, putra dari Rusdi Kirana. Ini jahat. Publik juga makin antipati terhadap capres 01 setelah tahu bahwa Rusdi Kirana adalah bekas calo tiket pesawat di Bandara. Berkat kerja kerasnya, pebisnis Tionghoa itu berhasil merapat ke Partai Kebangkitan Bangsa dan menggelayut ke istana. Dengan posisi ini ia berhasil membeli Bandara Halim Perdana Kusuma, bandara legendaris milik TNI AU yang jatuh dengan mulus ke swasta asing – Temasek – sebuah BUMN milik Singapura. Oleh Jokowi, Rusdi didapuk menjadi Dubes RI di Malaysia, jabatan yang biasanya diemban oleh tentara atau polisi. Miris Bro. Mudah-mudahan, Pak Prabowo bisa mengonfirmasi Jokowi dalam debat pamungkas besok malam, tentang model nasionalisme seperti apa yang hendak dikembangbiakkan Jokowi. End.

Mind Games, Permainan Berbahaya KPU

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Benarkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang menjalankan mind games, permainan pikiran? Mereka coba mempengaruhi, memanipulasi rakyat Indonesia, —terutama pendukung Prabowo— agar meyakini bahwa pilpres sudah selesai. Tidak perlu lagi melakukan perlawanan. Para saksi tidak perlu lagi mencermati hasil penghitungan suara. Quick count yang dilansir lembaga survei sudah benar. Jokowi menang dan Prabowo kalah? Metode permainan psikologi untuk memanipulasi dan mengintimidasi pikiran orang itu cukup sederhana. Melalui Aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng, KPU memasukkan ( entry ) data dari daerah-daerah yang dimenangkan Jokowi. Sebaliknya untuk provinsi yang dimenangkan Prabowo, entry datanya diperlambat. Kalau toh dimasukkan, maka dipilih kota/kabupaten, bahkan kecamatan yang suaranya dimenangkan Jokowi. Abrakadabra…..! Melalui pemetaan dan pemilihan asal suara secara cermat, data yang ditampilkan oleh KPU angkanya bisa persis sama dengan hasil quick count. 54-45 persen. Spekulasi itu belakangan ini banyak bermunculan di media sosial. Jangan terlalu cepat percaya. Please cek ricek terlebih dahulu. Untuk membuktikannya silakan buka web resmi KPU dan masuk ke aplikasi Situng. Dijamin Anda akan kagum dengan hasil karya para komisioner KPU. Aneh tapi nyata! Kok bisa-bisanya mereka melakukan hal itu. Tega banget! Mengangap semua orang Indonesia bodoh dan bisa dibodohi. Praktisi public relations Heri Rakhmadi menulis sebuah opini dengan judul “Quick Count, Real Count KPU dan Angka Cantik 54 Persen.” Secara satire Heri mempertanyakan mengapa data real count KPU bisa sama persis dengan quick count? “Setelah menghiasi layar kaca dan portal berita, kini angka 54 persen juga terus menghiasi layar tabulasi real count milik KPU. Tentunya angka 54 persen ini kembali disematkan kepada Paslon 01, walau sesekali dia dengan centil naik ke angka 55 persen,” tulisnya. Wartawan Republika Harun Husein sudah dua kali membuat tulisan di akun facebooknya. Tulisan pertama berjudul “Real Count Masih Pilih Data.” Harun menyoroti derasnya data KPU dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diidentifikasi menjadi kantong suara Jokowi. Sebaliknya data dari Jawa Barat dan DKI Jakarta, kantong suara Prabowo masuknya beringsut. “Akibatnya, walaupun data masuk baru sekitar 7,75 persen dari total 813.350 TPS di seluruh Indonesia, hasilnya klop dengan _quick count_ dari lembaga-lembaga survei, seolah sudah distel sedemikian rupa,” tulisnya pada Sabtu (20/4) Pukul 23.49. Harun kembali membuat tulisan kedua dengan judul “Real Count (Masih) Rasa Quick Count.” “Sampai dengan Senin pagi ini, porsi Jateng di Real Count masih tetap yang terbesar, dengan 2,9 juta suara (13,9%), disusul Jatim 2,28 juta suara (10,9%), Jabar 1,9 juta suara (9,3%), DKI Jakarta 1,2 juta (5,7%). Sedangkan daerah-daerah lainnya jauh tertinggal.” Ketika dibuka pada Selasa malam (23/4) pukul 20.20 WIB komposisinya tidak berbeda jauh dengan yang ditulis Harun. Total prosentase suara yang masuk ke Situng KPU 26 persen, tapi di tiap-tiap daerah berbeda-beda prosentase masuknya. Beberapa daerah yang dianggap basis 01, seperti Jawa Tengah dan Bali tinggi inputnya. Jawa Tengah sudah 21 persen, Bali 35 persen. Sementara basis 02 seperti Jawa Barat baru 11,5 persen, Banten 15 persen. Jakarta yang seharusnya bisa lebih cepat, ternyata data yang diinput baru 26 persen. Menariknya lagi-lagi data yang diinput terkesan mencurigakan. Wilayah yang diidentifikasi sebagai basis 01 seperti Jakarta Barat sudah 30,7 persen. Lebih tinggi dari basis 02 Jakarta Selatan 27 persen, dan Jakarta Timur 20 persen. Di Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat tempat Jokowi memilih sudah masuk 49 persen, Menteng 50 persen. Namun Tanah Abang basis pendukung 02 baru 9,5 persen. Heri dan Harun tidak salah. Walaupun keduanya menulis dengan nada bercanda, sedikit ngledek, tapi pesannya sama. Mereka mencurigai data yang dirilis Situng KPU kok “secara kebetulan” mirip dengan hasil quick count. “Mbok data RC jangan statis seturut QC lah. Dinamis sikitlah, atau sekali-kali zig-zag seperti MotoGP yang ada adegan kejar-kejaran dan salip menyalip di tikungan, biar penontonnya antusias tepuk tangan mengelu-elukan jagoannya…,” pesan Harun. Sampai kapan KPU bisa menjalankan skenario mind games? Mempengaruhi pikiran publik agar percaya bahwa hasil quick count benar, dan Prabowo kalah? Sulit bertahan Bersamaan dengan semakin tingginya data yang masuk, maka dipastikan komposisinya akan berubah. Apalagi bila data dari Jabar yang menjadi basis 02 masuk. Jangan lupa Jabar memiliki jumlah pemilih terbesar di Indonesia, 17 persen dari DPT. Data Situng KPU akan berubah sangat signifikan dan tak terhindarkan Prabowo menang. Apalagi bila data dari Sumatera dan sebagian Sulawesi yang dimenangkan secara mayoritas oleh Prabowo masuk. Skenario permainan pikiran publik itu berantakan. Sampai disini kita bisa memahami mengapa KPU melakukan “kesalahan” input data yang sangat konsisten. Suara Jokowi bertambah, dan suara Prabowo berkurang. Polanya sangat baku. Suara Jokowi digelembungkan, dan suara Prabowo dikempeskan di ratusan TPS. Itu adalah bagian dari skenario besar kecurangan. Mereka bekerja secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Mulai dari perencanaan, sebelum pelaksanaan, pada saat pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan Pilpres. Apapun caranya, berapapun harganya, Jokowi harus menang! Bagaimana KPU bisa menjelaskan kasus di TPS 4, Petak Kaja, Gianyar, Bali. Suara Jokowi berubah dari 183 menjadi 1.183, dan suara Prabowo hanya 2. Jumlah seluruh suara sah di TPS itu sebanyak 185, jumlah suara tidak sah 4, sehingga total hanya 189 suara, baik yang sah maupun yang tidak sah. Di TPS 48 Tanah Baru, Depok, Jabar Jokowi 135 suara, Prabowo 114 suara. Suara tidak sah 3 suara, dengan jumlah pemilih 252 orang. Namun berdasarkan data Situng, suara untuk 01 dicatat 235 suara, dan 02 ditulis 114 suara. Ada penggelembungan 100 suara untuk Jokowi. Kalau ada waktu silakan buka media online dan medsos, dijamin Anda bakal kelelahan dan kewalahan karena mendapati “kesalahan” semacam itu. Kasusnya sangat buaanyaaak! Suara Jokowi menggelembung sampai tambun. Suara Prabowo dikempesin sampai kurus kering. Dengan jumlah TPS lebih dari 800.000, kalau mereka menambah rata-rata 10 suara, sudah ada penambahan 8 juta suara, atau sekitar 8 persen dari suara yang sah. Kalau mereka bisa menambah 100 suara seperti di Depok, jumlahnya 80 juta. Tambahan suaranya sudah 50 persen. Kalau 1.000 suara seperti di Bali, jumlahnya mencapai 800 juta suara. Jokowi menang 450 persen! Masuk akal? “Kalau mau curang ya sedikit cerdas lah. Mbok sekali-kali, ada suara Prabowo yang digelembungkan,” canda mantan Komisioner KPU Prof Chusnul Mariyah. End

Terlambat, Malaysia Tak Bisa Lepas dari Perangkap Cina

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Mahathir mengakui, “Sudah terlambat.” Malaysia tidak bisa lagi lepas dari perangkap utang China. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, denda pembatalan proyek sangat mahal. Kedua, persentase pengerajaan proyek-proyek tsb sudah lumayan besar. Ketiga, proyek-proyek itu memang diperlukan tetapi tidak semuanya urgen. Salah satu dorongan yang paling kuat bagi Dr M (begitu beliau sering disingkat oleh media massa) untuk merebut kekuasaan dari PM Najib Razak adalah soal RRC yang ‘merajalela’ di Malaysia. Investasi RRC memang sangat besar di negara tetangga kita itu. Setidaknya ada 11 proyek raksasa yang dibiayai dengan utang dari RRC. Pada hari-hari pertama terpilih sebagai PM tahun lalu, Tun Mahathir mengirimkan pesan keras kepada Beijing tentang keinginan dan tekad beliau untuk mengendalikan arah perjalanan Malaysia. Caranya ialah dengan membatalkan proyek-proyek besar China. Mahathir sungguh-sungguh ingin melepaskan Malaysia dari jeratan utang RRC. Dan dia malah sempat mengatakan kepada Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, agar menghindarkan jebakan utang RRC. Mahathir juga mengatakan Najib Razak menggadaikan Malaysia kepada China. Malangnya, Malaysia sendiri akhirnya tak bisa lepas dari cengkeraman China. Paling banter Mahathir hanya bisa merundingkan kembali proyek-proyek besar untuk memperkecil biayanya. Salah satu yang bisa dipangkas adalah Jalur Kereta Pantai Timur (East Coast Rail Link, ECRL). Biaya ECRL yang semula ditetapkan 15.7 miliar USD diperkecil menjadi 10.7 miliar USD. Mahathir sangat ingin mengendalikan investasi RRC karena melihat pengalaman banyak negara lain. Negara-negara itu terpaksa menyerahkan proyek-proyek vital kepada RRC karena tak sanggup membayar cicilannya. Sebagai konsekuensinya, pihak RRC harus dibolehkan mengelola pelabuhan, bandara, jalan tol atau jaringan kereta api sebagai ganti pembayaran cicilan utang. Inilah yang terjadi di Djibouti, Angola, Sri Lanka, Pakistan, Montenegro (di Eropa timur), dan sejumlah negara lain. RRC-lah yang mengatur syarat dan ketentuan pengelolaan fasillitas-fasiitas penting itu. Mereka bisa saja membawa warga China ke negara-negara itu sebagai staf atau pekerja biasa. Perlu diketahui bahwa pembangunan pelabuhan, jalan tol, dan rel kereta api pasti akan selalu ditawarkan RRC. Bahkan mereka bantu dengan pinjaman lunak (soft loan). Mengapa? Karena jaringan transportasi (dara, laut, dan udara) sangat vital bagi ambisi proyek global China yang disebut Belt and Road Initiative (BRI). Tujuan utama BRI adalah untuk menyebarluaskan ‘business parks’ (pusat perindustrian) RRC ke seluruh penjuru dunia. Negara-negara yang ‘takluk’ ke dalam desain besar hegemoni ekonomi ini hampir pasti akan terjerat utang yang berkepanjangan. Jerat utang itulah yang digunakan RRC untuk mengendalikan negara-negara ‘jajahan BRI’. Tidak saja kendali ekonomi, tapi pasti juga kendali politik. Semoga Indonesia masih bisa diselamatkan oleh Presiden Prabowo Subianto. *Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)

Lima Alasan Mengapa Jokowi Sudah Pasti Kalah

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Hingga hari ini kubu Jokowi dan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih mencoba meyakinkan rakyat, Jokowi menang. Upaya ini seperti menegakkan benang basah. Publik sudah paham, menyaksikan sendiri, dan yang paling penting sangat meyakini Prabowo menang. Secara de facto Indonesia sudah mempunyai presiden baru. Tinggal menunggu secara de jure. Apa saja alasannya sehingga publikasi massif quick count manipulasi dan intimidasi pikiran ( mind games ) publik melalui aplikasi Situng KPU, tak ada gunanya. Pertama, kalau sudah menang mengapa harus curang? Alasan ini tidak bisa dibantah dengan dalih apapun. Kecurangan rekapitulasi dengan modus menggelembungkan suara Jokowi dan mengempiskan suara Prabowo ini terjadi sangat massif. Levelnya sudah tidak masuk akal. Dalam satu TPS suara pemilih maksimal hanya 300 orang. Namun kita menyaksikan ada satu TPS di Bali jumlah pemilih Jokowi lebih dari 1.000 orang. Banyak juga rekap data pemilih menunjukkan Jokowi menang melebih jumlah total suara pemilih, baik yang sah maupun tidak sah. Meminjam istilah Rocky Gerung, hanya orang dungu yang percaya dengan kecurangan yang dungu semacam itu. Kecurangan semacam ini tidak perlu terjadi, jika Jokowi benar menang. Hanya akan mencoreng kemenangan Jokowi, dan memberi peluang Prabowo menggugat. Hanya ada satu alasan mengapa mereka melakukan kecurangan. Jokowi kalah. Jadi agar bisa menang dengan perolehan suara 54 persen seperti dikatakan sejumlah lembaga survei, agar bisa sesuai dengan Situng KPU, kecurangan lah jawabannya. Kedua, dari sisi teritorial banyak provinsi yang semula dikuasai Jokowi, pada pilpres kali ini jatuh ke tangan Prabowo. Pada Pilpres 2014 Jokowi menang di 24 provinsi. Sementara pada Pilpres 2019 dia hanya berhasil menang maksimal di 16 provinsi. Pada Pilpres 2014 Jokowi menang di Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Bali, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar, Maluku, Papua, Papua Barat plus Luar negeri. Pada Pilpres 2019 Prabowo berhasil merebut Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalbar, Sulsel, Sultra, dan Maluku. Jokowi bisa tetap menang dengan syarat memperoleh suara di atas 70 persen untuk Jateng dan Jatim. Untuk Jateng itu bisa dilakukan. Mereka bisa kontrol sepenuhnya. Di Kabupaten Boyolali misalnya, saksi Paslon 02 diintimidasi. Prabowo tidak mendapat suara sama sekali di banyak TPS. Tapi untuk Jatim hal itu tidak mungkin dilakukan. Apalagi di Madura. Ketiga perolehan Jokowi pada Pilpres 2014 hanya 53.15 persen. Angka itu diperoleh saat Jokowi sangat populer dan banyak orang yang menggadang-gadangnya akan menjadi Ratu Adil. Sebaliknya Prabowo saat itu tidakpopuler. Citranya buruk karena dirusak dengan berbagai kampanye hitam. Kini posisinya terbalik. Jokowi ditolak dimana-mana, kampanyenya selalu sepi dan terpaksa melakukan mobilisasi besar-besaran. Mereka hanya mau datang bila dibayar. Sebaliknya Prabowo menjadi figur yang diharapkan dapat mengubah Indonesia. Kampanyenya meledak dimana-mana. Banyak yang Ikhlas menyumbangkan uangnya untuk kampanye Prabowo. Dibandingkan dengan Jokowi pada Pilpres 2014, antusiasme warga mendukung Prabowo pada pilpres kali ini jauh lebih gempita. Bagaimana mungkin perolehan suara Jokowi bisa lebih tinggi dibandingkan dengan Pilpres 2014. Sangat bertentangan dengan akal sehat dan nalar publik. Sebagai produk, Jokowi adalah produk gagal, “barang reject.” Jadi tidak mungkin perolehan angkanya melebihi Pilpres 2014. Pasti ada yang salah. Ini penghinaan terhadap akal sehat. Sebagai bukti Jokowi adalah “barang reject,” dia kalah telak di 8 dari 9 TPS di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jakarta Timur. Ini adalah bukti telak yang tidak bisa dibantah. Keluarga pasukan paling dekat dan paling dipercaya Jokowi saja, emoh dengannya. Keempat bila sudah menang mengapa Jokowi sangat ingin bertemu dengan Prabowo. Mengapa Luhut menggunakan berbagai cara untuk bisa bertemu Prabowo? Seharusnya Jokowi bersabar, menikmati kemenangan. Tunggu sampai tanggal 22 Mei setelah KPU menyelesaikan rekapitulasi manual. Setelah itu sebagai pemenang dia tinggal mengundang Prabowo. Tidak perlu memohon-mohon, memuji-muji Prabowo seperti yang dilakukan oleh Luhut. Kelima sampai saat ini belum ada satupun kepala negara/kepala pemerintahan mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi. Hal ini sangat berbeda dengan Pilpres 2014, saat itu sejumlah kepala negara langsung menghubungi Jokowi dan memberi ucapan selamat. Soal ucapan selamat kepada Jokowi ini sempat muncul upaya disinformasi melalui media. Salah satunya dilakukan oleh laman detik.com. Pada hari Kamis (18 /4) pukul 16:47 WIB detik.com memuat berita dengan judul : Sudah 21 Kepala Negara Ucap Selamat ke Jokowi, Erdogan Juga akan Telepon. Dalam berita itu dikutip seakan Jokowi sudah mendapat ucapan selamat atas kemenangannya. Wartawan detik.com bahkan melaporkan mereka menyaksikan dan mendengar sendiri ketika Jokowi menerima telefon dari PM Singapura Lee Hsien Loong. “Dari obrolan tersebut, terdengar pembahasan hasil hitung cepat lembaga survei. ”Yes, ninety nine percent yes PM Lee,” kata Jokowi soal akurasi hitung cepat lembaga survei,” tulis detik.com. Lucunya detik.com juga menautkan video ketika Jokowi menerima telefon dari Lee. Sepanjang percakapan Jokowi hanya menyampaikan kata-kata yang pendek. Thank you PM Lee. Thank you PM Lee. Disambung dengan kata-kata “ ya..ya.” Satu-satunya kalimat yang cukup panjang diucapkan Jokowi —setelah tampak berpikir sejenak— “I will decide tomorrow”. Silakan cek tautan detik.com berikut: https://news.detik.com/berita/d-4516379/sudah-21-kepala-negara-ucap-selamat-ke-jokowi-erdogan-juga-akan-telepon Usut punya usut, telefon dari para kepala negara sahabat itu berupa ucapan selamat kepada bangsa Indonesia karena berhasil melaksanakan pemilu dengan sukses dan damai. Bukan ucapan selamat atas kemenangan Jokowi. Hal itu adalah basa-basi tata krama biasa dalam pergaulan internasional. Sejumlah negara adidaya seperti Cina, Rusia, dan AS juga belum mengeluarkan pernyataan resmi apapun soal hasil Pilpres Indonesia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Morgan Ortagus melalui akun@Statedeptspox juga hanya menyampaikan ucapan selamat kepada bangsa Indonesia. Bukan Jokowi: Congratulations, #Indonesia on completing national and legislative elections. The spirited campaigns and robust participation by Indonesia’s public, civil society, and media underscore the strength and the dynamism of Indonesia #Democracy. Morgan Ortagus ✔@statedeptspox Congratulations, #Indonesia, on completing national and legislative elections. The spirited campaigns and robust participation by Indonesia’s public, civil society, and media underscore the strength and dynamism of Indonesia’s #democracy. Akun resmi Presiden @Jokowi mencuit: PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Mahathir Mohamad, dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan dan sejumlah kepala negara, kepala pemerintahan negara sahabat telah menelpon saya. Mereka menyampaikan selamat kepada rakyat Indonesia atas Pemilu 2019 yang lancar dan damai.” Clear akun resmi Jokowi juga tidak sama sekali menyinggung ucapan selamat karena sudah terpilih kembali. Berita yang muncul di detik.com itu diduga semacam berita advetorial (iklan) dari TKN Jokowi-Ma’ruf. Di kalangan media dikenal dengan istilah native ads, alias konten berbayar Anggaran untuk operasi media dan penyebaran disinformasi semacam itu sangat besar. Jadi tidak perlu kaget bila di media online nasional banyak berita yang aneh-aneh. Sekali lagi kalau memang sudah menang, ngapain sampai segitunya? Hanya orang yang sudah kalah, orang panik, yang mau melakukan hal-hal aneh dan tidak masuk akal semacam itu. end