ALL CATEGORY

Pentingnya Pengesahan RUU Contempt of Court

By DR. Ismail Rumadan Peneliti Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Jakarta, FNN - Penasehat hukum menyerang dan memukul hakim di Pengadilan Negeri. Anda boleh percaya, dan boleh juga tidak percaya. Namun peristiwa yang sangat memalukan itu benar-benar terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kamis 18 Juli 2019 lalu Penasehat hukum yang menyerang majelis hakim yang sering disebut dengan yang mulia itu namanya Dasrizal. Kelakuan Dasrizal ini menambah deretan catatan buram berbagai bentuk tindakan penghinaan terhadap pengadilan yang terjadi sebelumnya. Pemukulan terhadap hakim di ruang sidang ini menunjukkan penghinaan terhadap pengadilan masih terus-menerus terjadi. Peristiwa ini boleh dibilang menuju tahap yang sangat mengkhawatirkan. Sebab, penghinaan bukan lagi semata tindakan verbal di pengadilan. Penghinaan sudah mengarah pada aksi kekerasan di dalam ruang sidang. Sasaran penghinaan tidak saja terhadap gedung atau sarana pengadilan, melainkan juga terhadap majelis hakim. Dalam beberapa catatan, tindakan penghinaan terhadp lembaga pengadilan yang pernah terjadi di Pengadilan Agama Sidoarjo. Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo M. Taufik dibunuh oleh mereka yang bersengketa di pengadilan. Palakunya anggota TNI AL Kolonel M. Irfan, yang digugat oleh mantan istrinya. Pelaku pembunuhan dan mantan istri ini sedang memperebutkan harta gono-gini Bukan itu saja kejadian penyerangan dan pemukulan terhadap hakim. Pada tanggal 29 Oktober 2010 lalu, sejumlah pengunjung sidang memukuli hakim Pengadilan Negeri Ende Nusa Tenggara Timur. Pelakunya adalah Ronald Masang, yang menuduh sang hakim melindungi tersangka. Keluarga korban meminta terdakwa dilepas agar dihakimi oleh mereka sendiri. Selain itu, serangan dan perusakan terhadap pengadilan negeri oleh sekelompok massa. Kejadian ini terjadi di Pengadilan Negeri Depok September 2013. Peristiwa yang sama juga terjadi di Pengadilan Negeri Bantul Juni 2018. Kasus-kasus tersebut di atas menggambarkan lemahnya pengaturan tentang contempt of court sebagai bentuk perlindungan terhadap lembaga peradilan Indonesia. Tindakan yang jelas-jelas merendahkan martabat dan wibawa lembaga peradilan mungkin saja akan terus terjadi. Bahkan tindakan penghinaan tersebut dianggap menjadi hal biasa dalam sebuh proses persidangan di peradilan. Lemahnya aturan hukum yang mengatur contempt of court ini tercermin dari belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur contempt of court. Perlu dipertegas bahwa sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap lembaga peradilan. Beberapa ketentuan yang ada sebagaimana diatur dalam Pasal 207, Pasal 217, dan Pasal 224 KUHP masih sangat lemah. Belum cukup untuk mengakomodir semua jenis penghinaan terhadap lembaga pengadilan. Berbeda dengan di negara-negara lain. Banyak negara di dunia yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi, sangat memberikan perlindungan yang tinggi terhadap kewibawaan hakim dan lembaga peradilan. Perlindungan terhadap wibawa dan martabat pengadilan seharusnya diatur secara ketat dalam peraturan perundang-undangan. Pada abad ke-13, di Inggris contempt of court tergolong tindak pidana yang berat. Seperti dikatakan oleh Bracton tahun 1260, There is no greater crime than contempt and disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme and to his officer. Salah satu contoh kasus di tahun 1634 pada James Williamson. James melempar batu kepada hakim yang sedang menjalankan tugasnya di ruang sidang pengadilan. James ketika itu dinyatakan bersalah hanya karena tindak pidana contempt of court. Akibatnya, James kemudian dijatuhi hukuman potong tangan. Potongan tangannya James itu digantungkan di pintu masuk pengadilan sebagai peringatan bagi anggota masyarakat luas. Hingga saat ini, di Inggris ketentuan mengenai contempt of court ini terus diberlakukan. Bahkan, pada tahun 1981, kerajaan Inggris menerbitkan undang-undang yang sangat kuat melindungi pengadilan dari pelbagai bentuk perlakuan yang dinilai dapat merendahkan harkat, martabat dan kehormatannya, yaitu ‘Contempt of Court Act 1981”. Dalam undang-undang ini, ditentukan adanya aturan pertanggungjawaban mutlak strict liability rule. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai ‘contempt of court’ yang dapat mengganggu atau mempengaruhi proses peradilan, terlepas dari ada tidaknya niat atau maksud pelaku untuk itu. Undang-undang ini mengatur secara ketat mengenai contempt in the face of the court, ‘contempt by the jurors, dan yang terpenting adalah contempt by publication. Untuk itu, dalam penerapannya, pemberlakuan Contempt of Court Act 1981 sangat berpengaruh pada pelaksanaan prinsip kebebasan pers. Bahkan di India, melalui ”Contempt of Court Act of 1971” mengatur larangan media massa mempublikasi berita yang merendahkan harkat dan martabat pengadilan sebagai suatu tindak pidana. Dalam sistem peradilan, dibedakan antara civil contempt dan criminal contempt, yaitu; a. Civil Contempt sebagai willful disobedience to any judgment, decree, direction, order, writ or other process of a court or wilfull breach of an undertaking given to a court; dan b. Criminal Contempt sebagai the publication of any matter or the doing of any other act whatsoever which: (i) Scandalises or tends to scandalize, or lowers or tends to lower the authority of, any court; or (ii) Prejudices, or interferes or tends to interfere with the due course of any judicial proceeding; or (iii) interferes or tends to interfere with, or obstructs or tends to obstruct, the administration of justice in any other manner”. Sementara itu di Hongkong tidak kalah kerasnya perlindungan kepada hakim dan lembaga peradilan. Para hakim pada semua tingkatan di Hongkong juga diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi secara langsung, dalam hal terjadi tindakan yang merendahkan martabat di pengadilan (contempt in the face of the court). Tindakan yang dipandang merendahkan martabat pengadilan seperti, insult a judge or justice, witness or officers of the court, interrupts the proceedings of the court, interfere with the course of justice. Bahkan tindakan seperti penggunaan handphone atau alat perekam tanpa izin (misbehaves in court) bisa kenakan sanksi pidana. Sedangkan di Amerika Serikat, pengaturan tentang contempt of court”dapat ditemukan dalam berbagai yurisprudensi dan perundang-undangan. Termasuk di Federal Rule of Criminal Procedure 42 dan USC 18. Contempt dapat dilakukan in the face of the court atau dilakukan secara lansgung yang disebut sebagai direct contempt of court. Namun contempt bisa juga dilakukan di luar pengadilan, yang disebut “indirect contempt of court”. Misalnya, tindakan dari pihak-pihak yang sangaja tidak menaati perintah atau putusan pengadilan. Gambaran pengaturan beragam tentang contempt of court di negara-negara yang dijelaskan di atas, menunjukan bahwa betapa pentinnya aturan hukum yang ketat terkait tindakan penghinaan terhadap pengadilan. Sudah saatnya DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Penyelenggaraan Pengadilan (Contempt of Court). Apalagi RUU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015- 2019. Pengesahan RUU contempt of court ini mejadi penting bagi pemerintah dan DPR. Tujuanya, untuk memberikan jaminan kebebasan dan kemandirian bagi para hakim dan lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan. Yang pada akhirnya marwah dan martabat pengadilan tetap terjaga dan dihormati oleh masyarakat.

FPI tidak Butuh Pujian

Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tulisan saya ini berawal dari postingan Darmaningtyas. Dari kalimat postingannya itu, kelihatan sekali ia seorang pembenci Front Pembela Islam (FPI) dan juga benci Islam. "Kalau tidak butuh pujian ya tidak usah pakai kaos FPI dong. Kalau berbuat kebaikan dengan mengenakan kaos organisasi kan secara langsung butuh pujian bahwa FPI itu peduli, " demikian kalimat dalam postingannya itu. Postingan tersebut pun mendapat hujatan dari nitizen. Mereka menghujat penulis kalimat tersebut, dan mengatakannya tidak mengerti Islam dan benci agama Islam. Nitizen pun membela FPI habis-habisan. Saya juga menuliskan komentar. Rasanya ingin ikut-ikutan menghujat sang pembenci FPI dan umat Islam itu. Akan tetapi, saya tidak menghujat. Saya mengomentarinya dengan fakta-fakta yang saya lihat di lapangan. Sebagai wartawan, saya sudah malang-melintang meliput bencana alam. Hampir semua relawan menggunakan identitas, baik berupa kaos, topi atau paling kecil pakai pita. Bahkan, ketika saya meliput peristiwa tsunami Banda Aceh Darussalam, kantor membekali saya dengan rompi bertuliskan PERS di bagian belakang. Tulisannya besar, meski saya tidak pernah memakainya saat meliput bencana di Aceh. Sebenarnya jika dalam keadaan darurat, rompi waktu itu bisa digunakan sebagai tempat makanan, minuman, senter dan peralatan lainnya, selain di tas rangsel. Rompi tersebut kini masih tersimpan di lemari. Demikian juga media lainnya, terutama televisi. Media asing lebih mencolok lagi. Mobil yang mereka gunakan pun ditempeli tulisan PRESS yang ditambahi nama medianya. Paĺang Merah Indonesia (PMI), misalnya jelas dengan atributnya. Mereka menggunakan atribut PMI bukan bermaksud agar mendapatkan pujian. Demikian juga TNI dan Polri yang menggunakan seragam, bukan ingin dipuji. "Walau pake kaos, FPI tidak butuh pujian. Buktinya saat tsunami di Aceh berbulan-bulan FPI di sana dengan kaosnya, tapi mereka tidak butuh pujian lewat media. Bahkan, Habib Rizieq satu bulan di sana dan tidur di tenda yang didirikan di areal Taman Makam Pahlawan Kota Banda Aceh, tak ada yang publikasikan. Mereka tak butuh pujian. Padahal, relawan FPI yang diterjunkan dibagi menjadi kelompok pencari mayat yang sdh busuk karena sdh berminggu-minggu, dan mereka bersama relawan dari pemerintah, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan. Tak ada pemandian mayat karena (maaf sudah busuk). Saya tahu, karena saya wartawan yang ikut meliput di Aceh (atas penugasan kantor). Beritanya juga ada, termasuk berita (yang dibuat teman kantor yg ditugaskan berikutnya), tentang bau harum kuburan, yang ternyata kuburan seorang wanita penghafal Al Qur'an yang mayatnya ditemukan oleh relawan FPI dalam keadaan utuh dan tidak bau walau sudah dua minggu meninggal dunia akibat tsunami," tulis saya mengomentari si pembenci FPI dan umat Islam itu. Saya tahu Habib Rizieq menginap di tenda yang didirikan di TMP itu. Bukan cerita, tetapi saya sempat berbincang-bincang dengan Rizieq dan Ustaz Ahmad Sobri Lubis (sekarang Ketua Umum FPI). Ya, FPI tidak butuh pujian dan publikasi. Toh, tanpa itu pun pengagum organisasi masyarakat (Ormas) Islam tersebut semakin banyak. FPI semakin terkenal dan dikenal masyarakat, tidak hanya kaum muslim, tetapi juga non muslim. FPI semakin dikenal seantero tanah air, dan bahkan di dunia. Jika ada yang membecinya itu wajar, karena sepak terjangnya yang semakin mengakar di tengah masyarakat. Jika satu orang membencinya, biasanya pengagumnya justru bertambah banyak. FPI semakin terkenal sejak aksi damai 2 Desember 2016 dan diperingati dengan sebutan Reuni 212. Aksi damai yang benar-benar super damai, karena diikuti 13 juta manusia tanpa ada kekerasan. Imam Besar Habib Rizieq Shihab langsung mengomandoi aksi yang akhirnya memenjarakan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Bahkan, HRS semakin dikagumi sejak peristiwa aksi 4 November 2016, karena meski dibombardir dengan gas air mata, ia tetap memimpin aksi dari mobil komando. Padahal, sejumlah tokoh yang ada di atas mobil, seperti Ustaz Arifin Ilham (almarhun), tumbang dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan akibat sesak napas terkena gas air mata. FPI tidak butuh pujian. Bahkan, di saat izinnya habis petinggi FPI santai saja menghadapinya. Tidak kelihatan rasa cemas dan khawatir jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya, bahkan ancaman pelarangan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. "Kami lebih fokus dalam membela umat. Persoalan izin itu kecil, dibanding masalah yang dihadapi umat," kata Ketua Umum FPI KH Ahmad Sobri Lubis. FPI tidak butuh pujian. FPI bukan anti-Pancasila dan NKRI. FPI justru sangat Pancasialis dan pendukung tegaknya NKRI. Faktanya, FPI sangat getol berdakwah terhadap bahaya komunis. Jelas, paham komunislah yang anti-Pancasila, karena komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Sedangkan sila pertama Pancasila adalah, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Dalam beberapa kesempatan mengikuti pengajian di Markas FPI, di Jalan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, saya belum pernah mendengarkan ucapan dari Habib Rizieq maupun petinggi FPI lainnya agar mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Saya juga tidak pernah mendengarkan ucapannya agar mengganti NKRI dengan yang lain. Kalaupun Habib Rizieq dan petinggi FPI menyuarakan Indonesia bersyariah, itu hanya ditujukan agar umat Islam menjauhi maksiat. Bersyariah maksudnya, jangan sampai menjual minuman keras di pinggir jalan, karena akan merusak generasi muda. Bersyariah maksudnya membentengi anak bangsa, khususnya umat Islam, terutama generasi mudanya dari narkoba. Bersyariah maksudnya menjauhkan umat Islam dari tempat maksiat, pelacuran, perjudìan, korupsi, suap, dan berbagai penyakit masyarakat lainnya yang bertentangan dengan hukum positif (KUHP, UU Anti Korupsi), apalagi dengan hukum Islam. Akan tetapi, Indonesia bersyariah itulah yang sengaja dihembuskan musuh Islam, khususnya musuh FPI, sebagai upaya menggantikannya dari Pancasila dan NKRI. Musuh FPI sangat khawatir dengan dakwah dan kampanye Indonesia bersyariah. Mereka khawatir, jika itu terlaksana, maka bisnisnya akan hancur. Bisnis minuman keras, bisnis narkoba, bisnis dunia esek-esek mereka akan lenyap seketika. Maka, mereka pun melakukan lobi habis-habisan kepada penguasa, baik melalui partai politik tertentu, aparat penegak hukum, dan bahkan preman agar FPI dibubarkan. Oleh karena itu, jika dulu bertebaran spanduk menolak FPI, cabut FPI, maka sekarang spanduk kembali bertebaran. Contoh bunyi spanduk adalah, "Masyarakat Jakarta Barat Tolak Perpanjangan Izin FPI." Spanduk konyol yang menjadi bahan tertawaan, termasuk tertawaan orang gila yang ikut dalam pemilihan presiden yang baru lewat. Menjadi bahan tertawaan, karena menyebut masyarakat satu daerah. Padahal, yang membuat spanduk itu adalah suruhan yang mendapatkan bayaran. Spanduk dibuat segelintir orang. Kalau mau balas, bisa saja orang FPI membuat spanduk tandingan. Bunyinya, "Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam dukung perpanjangan izin FPI." Tetapi, FPI tidak melakukannya. Sekali lagi petinggi FPI, pengurus, anggota dan simpatisannya santai saja dalam urusan izin itu. **

Prabowo Setelah Dicerca Habis, Kini Dipuja Habis

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Lucu sekali. Campur mau muntah. Para tokoh dan buzzer 01 tidak lagi menjelek-jelekkan Prabowo dan Partai Gerindra. Sebelum 13 Juli 2019, Prabowo diejek dan diperolok-olok. Prabowo dipojokkan dan dihina. Ada saja yang menulis panjang atau sekadar status pendek tentang reputasi Prabowo. Prabowo disebut penculik. Disebut haus kekuasaan. Dikatakan tak layak memimpin karena keluarganya saja berantakan; mana mungkin memimpin negara. Prabowo disebut temparental. Tukang gebrak meja. Suka emosi. Dan seterusnya. Banyak lagi. Ada yang memyoroti lahan HGU yang sangat luas milik Prabowo. Karena itu, omong kosong dia berbicara soal rakyat miskin. Pokonya, para petinggi 01 habis-habisan mencela dan memojokkan Prabowo. Tidak ada sama sekali kebaikan Prabowo. Bahkan, sempat didengungkan bahwa Prabowo bisa ditangkap kalau dia begitu dan begini. Banyak buzzer 01 yang mengaitkan Prabowo dengan kerusuhan 21-22 Mei, menyusul pengumuman hasil pilpres oleh KPU. Prabowo maju ke MK pun dicerca. Dihina sampai kandas. Prabowo diejek sebagai “Presiden Kertanegara” (merujuk rumah Prabowo di Jalan Kertanegara). Sekarang, semua berubah total. Setelah pertemuan Jokowi-Prabowo di Lebak Bulus (13 Juli 2019) dan pertemuan Megawati-Prabowo di Jalan Teuku Umar (24 Juli 2019), semua berbalik. Prabowo dipuja dan dipuji. Label temparamental berganti negarawan. Sebutan tak becus berubah menjadi patriot. Prabowo menjadi “rising star” (bintang tanjak). Bagi 01. Dia disebut seorang nasionalis sejati. Hanya saja selama ini dia ditunggangi oleh kelompok Islam radikal. Sekarang Ketum Gerindra, bagi 01, berubah menjadi “New Prabowo”. Harapan baru untuk stabilitas nasional. Dia dirangkul dengan harga berapa pun. Kalau perlu dengan mengorbankan siapa saja di kubu 01 yang tak rela menerima Prabowo. Queen-maker 01, Bu Megawati, memberikan gestur yang sangat meyakinkan bagi Prabowo. Ada yang menduga, Bu Mega siap meneken “blank cheque” (cek tak berbatas) untuk Prabowo. Cek itu akan diisi sendiri oleh Prabowo. Terserah Prabowo berapa banyak porsi kekuasaan yang dia inginkan. Silakan ambil kursi apa saja yang dia mau. Tak perduli apakah Surya Palah akan cukur habis brewoknya atau tidak. Tak perduli juga apakah Cak Imin akan memimpin kudeta Nahdhiyyin atau kudeta apa saja. Dan, memang tak mungkin ada yang berani kudeta walaupun kursi kabinet mereka diganti dengan bangku warungan. Begitulah gambaran tentang sambutan yang diberikan kepada Prince of Hambalang, Prabowo Subianto. Pangeran yang akan menyelamatkan Indonesia dari krisis besar. “Mungkinkah begitu?” tanya seekor kelelawar kepada katak-katak yang sedang mabuk menyaksikan drama kontemporer karya grup teater BIG BIN. Pertanyaan yang naif. Katak yang tak mabuk saja, tak bakalan tahu jawabannya. Apatah lagi katak mabuk yang ditanya oleh kelelawar. Tak mungkin. Karena mereka sama-sama korban penipuan. (Penulis adalah wartawan senior)

Bangkai Zhong Tong, Hantui Jokowi

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Gara-gara Anies Rasyid Baswedan dirisak, para pendukung Gubernur DKI Jakarta mengapungkan kembali kasus pembelian bus TransJakarta. Foto-foto ratusan bus yang teronggok di Bogor belakangan ini bertabur mewarnai jagad maya. Bus-bus ini adalah produk bermasalah hasil pembelian Pemprov DKI Jakarta di era Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Anies menjadi sasaran bully di media sosial terkait instalasi bambu Getah Getih di Bundaran HI. Karya seni karya Joko Avianto yang menghasbiskan duit Rp500 juta untuk menyambut Asian Games 2018 itu pada 17 Juli lalu dibongkar karena sudah mulai lapuk. Rupanya, bagi para pecinta rival Anies, ini menjadi pintu masuk untuk merisak gubernur pengganti Basuki alias Ahok itu. Nah, gara-gara itu, banyak juga warganet yang membela Anies. Salah satunya pemilik akun twitter bernama Irene (@IRN Official). Dia mengungkap bus mangkrak itu dalam akunnya pada 20 Juli. Di akun tersebut, ia menuliskan, "Dari kemaren itu anak kolam masih aja nyinyirin seni bambu Anies Baswedan sampe seluruh kader PSI partai sok iyeh pada ikutan nge-bully Anies. Lah, ini si Ahok buang-buang busway lu gak blow up. Seluruh busway bentuk gini belian si Ahok jadi bangke, berapa puluh T tuh duit dibuang." Akun tersebut melampirkan sebuah video yang memperlihatkan kondisi bus Transjakarta yang sudah jadi rongsok. Rupanya, sekonyong-koyong gayung pun bersambut. Sejumlah media memberitakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berniat membawa masalah tersebut ke ranah hukum. Melalui Biro Hukum, Pemrov menggugat PT Putera Adi Karyajaya, perusahaan penyedia bus yang memenangkan tender kala itu. Soalnya, Pemprov DKI sudah membayar uang muka sekitar Rp110 miliar untuk pengadaan bus itu. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nominal tersebut harus dikembalikan oleh pihak ketiga lantaran perjanjian pengadaan dengan pihak ketiga telah dinyatakan batal demi hukum. Perusahaan diminta mengembalikan 20% dari uang muka yang sudah diterima. "Kita diminta untuk meminta kepada para pihak ketiga untuk mengembalikan uang muka yang sudah disetorkan, yang sudah ditarik oleh mereka," jelas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, kepada CNBC Indonesia, Jumat (26/7). "Kami sudah menyampaikan surat ke Biro Hukum. Sedang dalam proses. Saya belum dapat laporannya ada berapa tergugat," lanjutnya. Syafrin menegaskan pada kasus ini Pemprov DKI berpedoman hasil audit BPK. BPK sendiri sudah memberi rekomendasi terhadap LHP yang sudah di tangan Pemprov DKI. Menurut dia, selama ini, upaya penagihan sudah beberapa kali dilakukan Pemprov DKI. Namun, hasilnya masih nihil, apalagi perusahaan-perusahaan penyedia bus TransJakarta telah dinyatakan pailit. "Sesuai rekomendasi BPK, ini kita laporkan ke biro hukum untuk ditindaklanjuti," kata Sjafrin. Sekadar mengingatkan, pada 2013, Pemprov DKI melakukan pengadaan bus TransJakarta sebanyak 656 unit dalam 14 paket lelang dengan nilai transaksi Rp1,1 triliun. Empat paket lelang sebanyak 125 unit senilai Rp564,93 miliar telah dibayarkan, sedangkan sisanya 531 unit dimasukkan ke dalam 10 paket lelang dan baru dibayarkan oleh Pemprov DKI sebesar 20%. Belakangan, Pemprov DKI menolak melunasi 531 unit armada bus Transjakarta itu karena dinilai bermasalah. Ratusan unit bus yang didatangkan dari China tersebut terindikasi korupsi, karena ada penggelembungan anggaran. Kemudian, ada sampel mesin berkarat pada 14 unit bus dan diduga merupakan barang bekas. Udar Pristono, Kepala Dinas Perhubungan DKI pada 2013, kemudian menjadi terpidana kasus ini. Monumen Saat ini, ratusan bus TransJakarta hasil pengadaan tahun anggaran 2013 itu teronggok di lahan depan Rumah Sakit Karya Bakti Pertiwi, Jalan Raya Dramaga, Bogor. Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta, totalnya mencapai 483 unit bus. Laporan resmi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), mencatat PT Putera Adi Karyajaya salah satu terlapor dalam Perkara Nomor 15/KPPU-I 2014 tentang Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengadaan Bus TransJakarta (Medium Bus, Single Bus, dan Articulated Bus) Tahun Anggaran 2013 di DKI Jakarta. PT Putera Adi Karyajaya, hanya satu dari 19 perusahaan yang menurut putusan KPPU terbukti dalam persekongkolan tender secara horizontal dan vertikal. Sehingga wasit persaingan usaha memberikan hukuman denda kepada pelaku pengadaan bus TransJakarta, termasuk PT Putera Adi Karyajaya, pada September 2015. KPPU memutuskan para peserta tender melanggar Pasal 22 UU 5 Tahun 1999 yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Saat Udar baru menjadi tersangka pada 2014, Koordinator Traffic Demand Management (TDM), Ahmad Syafrudin, menilai kasus ini tidak lepas dari kebijakan hulu. Dokumen pengadaan barang dan jasa yang bernilai di atas Rp1 triliun pasti diketahui Gubernur DKI Jakarta Jokowi dan Wagub Ahok. "Tidak mungkin proses tender sebesar itu tidak diketahui gubernur dan wakil gubernur," katanya. Pengadaan bus Transjakarta dan BKTB sebagai salah satu program unggulan ibu kota seharusnya mendapat pengawasan intensif dari pimpinan daerah. Apabila ada tim pengawas maupun gubernur dan wakil gubernur yang mengawasi proses pengadaan bus, mulai dari kegiatan lelang tender, maka tidak akan ada komponen bus yang berkarat. Ia menengarai Jokowi-Basuki sengaja melakukan pembiaran proses tender berjalan begitu saja. Dengan itu, maka ada pembiaran terjadinya pelanggaran hukum. Target pengadaan bus itu terbilang cepat dengan jumlah bus yang fantastis pula. Pada tahun 2014 itu, Jokowi-Ahok menargetkan pengadaan bus TransJakarta hingga 1.000 unit dan BKTB 3.000 unit. Dengan keadaan yang terdesak itu, proses pengadaan bus tidak sempurna dan terjadi penyalahgunaan anggaran. Anggaran pengadaan bus itu, mencapai 2% dari total APBD DKI 2013, yang mencapai Rp50,1 triliun. Pengadaan ribuan bus itu telah dirancang di DPRD DKI, bersama satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, serta para pengusaha. Itu sebabnya, Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi, menilai kasus korupsi ini tidak mungkin hanya dilakukan pejabat eselon III. Uchok menyebut dua tersangka itu sebagai "boneka" saja. Kini, sampah ratusan bus itu sudah menjadi monumen tentang keserakahan dan keteledoran pejabat DKI Jakarta masa lalu. Semoga saja, penyakit itu tak menular di era kini. Rakyat bisa dibohongi, tapi bus-bus itu menjadi saksi bisu.

Nasdem Mau Menjadi Oposisi, yang Benar Saja?

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Wartawan senior dan anggota Dewan Redaksi Media Group Saur Hutabarat Kamis (25/7) membuat sebuah tulisan menarik tentang pertemuan Megawati-Prabowo. Kesimpulan artikel berjudul “Megawati Ketemu Prabowo” itu berada di akhir tulisan. “Jika Gerindra dibawa PDIP masuk ke pemerintahan Jokowi jilid II, dan Jokowi menggunakan hak prerogatif menyetujuinya, semua itu sah secara konstitusional. “ “Bila itu yang terjadi, kiranya juga bagus bagi demokrasi, bagi tegaknya checks and balances, bila ada partai pengusung Jokowi yang berada di luar kabinet. Inilah kawan sejati yang memilih dari parlemen mengontrol kawan yang berkuasa di pemerintahan.” “Adakah partai macam itu? Bukan mustahil Partai NasDem mengambil pilihan itu.” Disampaikan dengan argumen yang cukup kuat, tanpa nada menggugat, artikel itu bisa dilihat sebagai sebuah sikap resmi dari Big Bos Media Group sekaligus Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (SP). Sebagai seorang petinggi Media Group, mantan wartawan senior majalah Tempo itu adalah salah satu orang dekat (inner circle) SP. Dia paham betul cara berpikir dan apa yang dimaui SP. Jadi apa yang dia pikirkan dan disampaikan ke publik dipastikan tidak jauh berbeda dan tidak mungkin bertentangan dengan sikap resmi yang akan diambil partai. Apa yang dipikirkan oleh SP, itulah yang dia tuliskan. Apalagi tulisan itu dimuat di harian Media Indonesia corong resmi dari Partai NasDem Gagasan NasDem menjadi oposisi yang disampaikan Saur, sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan. Publik bisa dengan mudah menangkap: SP tidak happy dengan acara makan siang Megawati-Prabowo. Tanda-tandanya sangat kuat dan mudah dibaca. SP sebelumnya bertemu dengan tiga orang ketua umum partai koalisi Jokowi (Golkar, PPP, dan PKB), tanpa wakil PDIP. Dia juga bertemu dan makan siang dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Pertemuan itu dihelat bersamaan dengan makan siang Megawati-Prabowo. Semua itu adalah signal-signal politik yang ditujukan kepada Jokowi dan Megawati. Ketika gagasan itu disampaikan secara eksplisit melalui sebuah opini di media resmi, masalahnya menjadi lain. SP telah menyampaikan isyaratnya secara lebih tegas, tidak tersamar, dalam bahasa yang terang, namun belum menjadi sikap resmi partai yang dipublikasikan ke publik. Kekecewaan SP sesungguhnya sangat wajar. Sebagai partai koalisi pendukung Jokowi, NasDem berhak kecewa. Setelah berjibaku mendukung Jokowi melalui kontestasi berdarah-darah, tetiba Jokowi dan PDIP malah mengajak lawan mereka bergabung ke dalam pemerintahan. Apalagi bila nanti jatah kursi yang diberikan kepada Gerindra lebih banyak, lebih penting, dan lebih basah dibanding parpol lainnya. Lengkap sudah. Pertama, praktik politik yang dilakukan oleh Jokowi dan Megawati tidak wajar dalam sebuah proses demokrasi. Benar seperti dikatakan Saur, dengan mengajak Gerindra bergabung ke dalam pemerintahan, akan menimbulkan problem serius pada proses ketatanegaraan kita. Di negara demokrasi yang benar, menganut pembagian kekuasaan. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica). Dengan bergabungnya Gerindra, koalisi pemerintah akan menguasai lebih dari 70 persen kursi di parlemen. Hal itu jelas akan menimbulkan implikasi serius pada praktik demokrasi. Mengganggu proses checks and balances Kedua, kehadiran Gerindra dipastikan akan mengganggu dan mengurangi jatah kursi parpol pendukung Jokowi. Tidak perlu malu lah membicarakan masalah ini. Absah dan halal. Kendati soal ini berkali-kali dibantah, dan SP selalu menyatakan mendukung Jokowi tanpa syarat, tapi alasan itu terlalu naif. Hanya lips service. Basa-basi seorang politisi. Di belakang layar dipastikan saat ini tengah terjadi tawar menawar, tarik menarik, dan rebutan pos-pos kementerian, jabatan yang penting dan strategis. Koran Tempo misalnya melaporkan, saat ini PDIP dan NasDem tengah bersitegang memperebutkan posisi Jaksa Agung. Tidak ada salahnya dan sangat absah dukungan politik yang diberikan oleh NasDem harus mendapat kompensasi yang setimpal. Pada awal Kabinet Jokowi Jilid I NasDem mendapat jatah tiga kursi menteri dan Jaksa Agung. Jatah itu berkurang satu, ketika Jokowi melakukan reshufle kabinet jilid I. Menko Polhukam pos yang ditempati oleh kader Nasdem Tedjo Edhy Purdijatno diganti Luhut Binsar Panjaitan. Ketiga, sudah lama diketahui SP dan Prabowo mempunyai hubungan yang tidak harmonis. Sepanjang proses pilpres berjalan, Prabowo selalu menolak diwawancarai stasiun Metro TV milik SP. Dalam berbagai kesempatan Prabowo secara demonstratif menyatakan ketidaksukaannya terhadap Metro TV di depan publik. Perseteruan ini tampaknya bisa kita runut dari kasus meledaknya bom di sebuah rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta 18 Januari 1998. Bom tesebut meledak di kamar yang disewa oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). SP bersama kakak beradik Jusuf dan Sofyan Wanandi (CSIS) dituding terlibat dalam kasus itu. SP sempat diperiksa oleh aparat militer. Saat itu Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus dan dua bulan kemudian diangkat menjadi Pangkostrad. (Mungkinkah NasDem Oposisi) Pertanyaannya sekarang : Seberapa serius “ancaman“ menjadi oposisi itu? Jawabannya sangat tergantung bagaimana Jokowi, terutama Megawati meresponnya. Manuver SP sampai saat ini boleh dibilang masih belum serius. Hanya warning yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam silat hanya jurus kembangan. Bukan serangan yang mematikan. Harus dipahami yang kecewa dengan masuknya Gerindra bukan hanya SP. Para ketua umum parpol pendukung lainnya juga sangat kecewa. Bahkan lebih khawatir. Ngeri-ngeri sedap karena jatah kursinya akan berkurang. Bukan tidak mungkin perannya di pemerintahan Jokowi juga diambil-alih Gerindra. Jangan lupa perolehan suara Gerindra pada pemilu lalu berada di urutan kedua di bawah PDIP. Koalisi PDIP-Gerindra akan menjadi duet yang mendominasi pemerintahan Jokowi. Ada beberapa alasan mengapa SP tidak mungkin begitu saja mengambil langkah secara frontal meninggalkan Jokowi, dan terutama Megawati. Pertama, hubungan SP-Megawati telah berlangsung cukup lama. Bahkan sudah sejak pemerintahan Orde Baru. Ketika Megawati menjadi salah satu oposisi utama Soeharto. SP selalu mesuport Megawati. Hubungan ini cukup menarik. SP juga dikenal mempunyai hubungan dekat dengan putra-putri Soeharto. Rosano Barack adik ipar SP adalah salah satu petinggi di Bimantara. Perusahaan itu dimiliki Bambang Trihatmodjo putra Soeharto. Apakah mungkin hanya gegara bergabungnya Prabowo ke pemerintahan , membuat SP dan Megawati melupakan persahabatan lama yang sudah terjalin. Kedua, sebelum mendirikan NasDem, SP adalah politisi Golkar. Para kader partai berlambang pohon beringin ini tidak terbiasa berada di kubu oposisi. Habitat mereka selalu berada dalam kekuasaan. Kebetulan pula sejak berdiri pada tahun 2011 dan ikut pemilu pertama kali pada tahun 2014, Nasdem langsung bergabung menjadi partai penguasa. Mereka menjadi salah satu parpol pengusung Jokowi-Jusuf Kalla. Ketiga, SP adalah politisi sekaligus pengusaha. Berada di luar pemerintahan tidak hanya membuat posisi NasDem akan kesulitan bermanuver, juga dipastikan berdampak tidak baik bagi kerajaan bisnis SP. Peran SP di NasDem sangat sentral. Eksistensi NasDem tidak lepas dari topangan hasil bisnis SP. Meminjam kalimat yang pernah diucapkan Prabowo, kondisi NasDem saat ini “Akan timbul tenggelam bersama SP.” Dengan kalkulasi semacam itu, sulit membayangkan SP akan mengambil langkah frontal: MENJADI OPOSISI! SP saat ini sedang merajuk saja. Semuanya sangat bergantung bagaimana Jokowi dan —sekali lagi— terutama Megawati menyikapinya. Kita tingal menunggu apakah jargon: A friend in need is a friend indeed, teman sejati adalah teman di waktu susah dan senang, masih berlaku juga di dunia politik. End

Poros Megawati-Prabowo Akhiri Petualangan Trio Wekwek : Hendro, Luhut & Gories

Oleh Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Pertemuan Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus menandai babak baru garis politik Jokowi. Dari Lebak Bulus dilanjutkan dengan pertemuan Teuku Umar antara Megawati dengan Prabowo. Dua pertemuan ini menandai lahirnya poros politik baru yang tidak lagi mengandalkan trio Abdullah Mahmud Hendropriyono, Luhut Binsan Pandjaitan dan Gories Mere. Saya namakan saja mereka bertiga dengan sebutan “Trio Wekwek”. Trio Wekwek selama ini menjadi arsitek utama garis politik dan kebijakan Jokowi, khususnya dalam lima tahun terakhir. Garis politik yang sengaja, bahkan terang-terangan membenturkan pemerintah Jokowi dengan kelompok Islam kanan atau yang bukan Nahdatul Ulama (NU). Trio Wekwek yang selama ini selalu dan selalu memframing wajah Islam Indonesia identik dengan Islam terorisme, Islam radikalisme dan Islam intoleransi. Mencermati para aktor yang terlibat di pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus dan Teuku Umar, yaitu Kepala BIN Budi Gunawan dan Seskab Pramono Anung, Puan Maharani, Prananda Prabowo dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, maka dipastikan Poros Teuku Umar yang menjadi arsitek utama dua pertemuan tersebut. Shohibul hajatnya adalah Teuku Umar, sebutan untuk kediaman Megawati. Tentu saja peran yang dimainkan Budi Gunawan dan Pramono Anung adalah melaksanakan perintah Megawati Soekarnoputri. Alhamdulillaah tugas dari Ketua Umum PDIP tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, bahkan meraih sukses besar. Prabowo mau dan bersedia berunding dengan Jokowi, namun hanya melalui satu pintu, yaitu Jalan Teuku Umar. Tidak lagi melalui Trio Wekwek. Publik, khususnya pendukung Prabowo belum lupa. Hanya berselang tiga hari setelah pelaksanaan Pemilihan Presiden 17 April 2019, Luhut menawarkan diri bertemu Prabowo. Luhut mengklaim diri sebagai utusan khusus Jokowi. Hasilnya tentu sudah bisa ditebak. Tanpa perlu pikir panjang, Luhut ditolak Prabowo dan semua pendukungnya. Sebuah sikap yang menunjukkan ketidaksukaan, bahkan mungkin juga kebencian dari pendukung Prabowo yang sudah di ubun-ubun kepada Luhut. Sebuah lompatan politik penting telah diraih Jokowi dari terobosan di Stasiun MRT, Lebak Bulus. Meskipun demikian, harus diakui pertemuan tersebut tidak serta-merta dapat mengubah sikap para pendukung Prabowo di akar rumput. Sikap pendukung Prabowo, terutama emak-emak militan tetap tidak bisa menerima kemenangan Jokowi sebagai Presiden 2019. Mereka beranggapan kemenangan yang didapat Jokowi melalui kecurangan yang massif, sistematis, dan terencana. Pertemuan yang diakhiri makan-makan Sate Senayan ini dilanjutkan pertemuan Megawati dengan Prabowo di Jalan Teuku Umar. Dua kali pertemuan antara Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati cukup memberikan angin segar bagi Jokowi. Paling kurang, untuk lima tahun ke depan. Saat dilantik sebagai Presiden Indonesia periode kedua tanggal 20 Oktober 2019 nanti, Prabowo diharapkan bisa hadir dan memberikan ucapan selamat kepada Jokowi. Sejak pertemuan politik stasiun MRT Lebak Bulus, tampak Trio Wekwek tidak dilibatkan. Sebuah keputusan politik yang sangat jitu dan tepat sasaran. Sebab bila Trio Wekwek atau salah satu saja yang dilibatkan, dan biasanya Luhut yang paling sibuk untuk menyodorkan diri maju ke depan, maka hampir dipastikan pertemuan tersebut tidak pernah terjadi. Pasti gagal dan gagal lagi. Mengetahui tingginya kebencian pendukung Prabowo kepada Trio Wekwek inilah yang mendorong Megawati perintahkan Budi Gunawan melakukan segala cara dan upaya, dengan kerahasiaan tingkat tinggi. Targetnya bisa ketemu langsung dengan Prabowo. Setelah ketemu, bujuk Prabowo agar mau bergabung dengan pemerintah Jokowi. Tawarkan saja cek kosong kepada Prabowo. Jokowi dan Megawati membiarkan Prabowo sendiri yang mengisi berapa nilai ceknya yang pantas. Sayangnya, cek kosong itu bukan dalam bentuk duit. Tawaran memberikan cek kosong kepada Prabowo untuk saat ini cukup ampuh meredam Prabowo. Termasuk teman-teman Prabowo di koalisi adil makmur, PKS, dan PAN. Buktinya Amin Rais yang terkenal sangat keras menentang rekonsiliasi dengan Jokowi, belakngan mulai melunak setelah ketemu Prabowo. Sikap melunaknya Amin Rais ini dengan membuat pernyataan “Kita akan mengawasi Jokowi dan Ma’ruf Amin liman tahun ke depan” Bersatunya koalisi Jokowi-Megawat dengan Prabowo ini tentu saja tidak dikehendaki Trio Wekwek. Mereka pasti tidak nyaman dengan keberadaan Prabowo di koalisi Jokowi-Megawati. Buktinya, sampai sekarang Trio Wekwek masih membisu seribu bahasa. Trio Wekwek tak berkomentar apapun tentang pertemuan Stasion MRT Lebak Bulus dan Teuku Umar. Lambat tapi pasti, peran Trio Wekwek akan digantikan Prabowo dengan teman-temannya. Paling kurang dalam mengelola pemerintahan lima tahun ke depan, Jokowi punya tambahan teman untuk didengar pendapatnya. Petualangan Trio Wekwek selama ini dengan membenturkan Jokowi dengan Islam kanan cukup membuat posisi Jokowi tidak aman. Bahkan hampir saja terjungkal. Trio Wekwek sebenarnya tidak punya posisi tawar publik. Mereka bertiga tidak punya basis politik yang kuat dibandingkan dengan Prabowo. Hendroprijono misalnya, hanya berasal dari partai politik kecil PKPI yang tidak lolos parliamentary threshold. Hendro tidak punya kursi setengah pun di DPR. Ambisi politik Hendro, selain mengamankan urusan bisnis pribadinya, selalu berupaya dengan segala cara mendorong-dorong anak dan menantu untuk menjadi pejabat negara. Diaz Hendroprijono kini jadi Staf Khusus Presiden. Menantu Jendral TNI Andika Perkasa digadang-gadang sampai jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Kelakuan Hendro ini hanya beda-beda tipis dengan Soesila Bambang Yudhoyono. SBY sekarang ini sebagian besar hidupnya hanya diabdikan untuk memperjuangkan dua putranya Edhi Baskoro dan Agus Harimurti bisa menjadi menteri. SBY sekarang rela kehilangan nama besar sebagai negarawan, asalkan anaknya Ibas dan Agus bisa jadi pejabat negara. Bedanya dengan Hendro, SBY punya Partai Demokrat, dan punya kursi DPR. Sedangkan Luhut cuma pendatang di Golkar. Luhut tidak punya kaki di akar rumput Partai Golkar. Kerjanya hanya memonopoli semua lini bisnis. Caranya dengan menakut-nakuti pejabat level bawah. Mulai dari Dirjen, Gubernur, Bupati, eselon dua, tiga dan empat di kementerian. Luhut sangat berambisi memposisikan dirinya sebagai orang kaya sepuluh besar di negeri ini. Untuk itu, semua proyek mutlak harus melibatkan perusahaan Luhut, baik langsung maupun hanya vehicle. Kepuasan Luhut lainnya adalah menempatkan orang-orang Batak menjadi pejabat negara dan bisnis di semua lini pemerintahan dan usaha. Mereka menempati posisi-posisi penting di eselon satu, dua, tiga dan empat di sejumlah kementerian. Lihat di KPK, dua orang komisoner dari Batak Kristen, yaitu Basariah Panjaitan dan Saur Situmorang. Selain itu, Luhut juga banyak menaruh orang-orang Batak di direksi dan komisaris BUMN. Selain itu mereka bertebaran juga di sejumlah perusahaan konglomerat swasta. Begitu juga dengan pejabat negara setingkat menteri. Lihat saja, Kerpala Badan Saiber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen (Purn) Hinsa Siburian. Merskipun tidak punya kemampuan dan pengetahuan apa-apa tentang siber, namun Luhut berusaha dengan segala cara meperjuangkan Hinsa Siburian menjadi kepala BSSN. Begitu juga dengan anak mantunya Mayjen TNI Maruli Simanjuntak. Maruli sekarang menjabat Komandan Pasukan Pengmanan Presiden (Dan Paspampres). Maruli yang berasal dari lulusan Akademi Militer 1992 menjadi orang pertama yang menggapai bintang dua di pundaknya. Sayangnya, yang diperjuangkan Luhut hanya terbatas orang-orang Batak Kristen atau HKBP. Rupanya hanya sebatas itu ambisi besar anak emasnya Jendral TNI (Purn) L.B Moerdani ini. Luhut juga menjadi arsitek utama masuknya tenaga kerja asing Cina ke Indonesia. Modusnya adalah pembukaan investasi kawasan ekonomi khusus. Mau lihat buktinya. Datang dan lihat pembangunan smelter untuk pengolahan nikel di beberapa daerah, seperti di Pomala Sulawesi Tengah, Konawe Sulawesi Tenggara dan Obi Maluku Utara. Dipastikan hampir 90% tenaga kerja di tiga perusahaan pemurnian nikel ini berasal dari Cina. Lain lagi dengan petualangan Komjen Polisi (Purn.) Gories Mere. Pensiunan polisi bintang tiga ini hobinya membuat penangkaran atau memproduksi teroris. Misi utamanya, mencitrakan Islam yang identik dengan kekerasan atau pembunuhan atas nama perang jihad dan sejenisnya. Untuk menciptakan horor ini, Gories tidak sendirian. Mentornya Brigjen Polisi (Purn.) Surya Dharma. Yuniornya adalah Irjen Pol. (Purn) Bakto Suprapto, Irjen Pol. Carlo Tewu, Deputi di Menkopolhukam, Irjen Pol. Petrus Golosse, sekarang Kapolda Bali, Brigjen Pol. Martinus Hukom, sekarang Wakadensus 88 Polri dan Brigjen Rahmat Wibowo, sekarang Direktur Tipid Siber Bareskrim Polri. Gories mewakili Amerika, Inggris, Asutralia dan Yahudi di Indonesia Publik negeri ini belom lupa dengan ngopi-ngopi Gories dengan pelaku bom Bali Amroji di Mall Plaza Senayan. Hanya Gories yang punya kesaktian bisa jalan-jalan dengan terhukum teroris untuk shoping dan ngopi-ngopi di mall. Padahal ketika itu Gories menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Gories dulu juga suka jalan-jalan di luar penjara dengan ratu ekstasi Zarima Mirafsur. Hobi bersama Trio Wekwek adalah mencitrakan horor tentang Islam kanan. Misalnya Islam kanan itu dekat dengan teroris, radikal, dan intoleransi. Selain itu, Islam kanan juga diidentikkan dengan kekerasan. Prilaku Trio Wekwek ini tentu berlawanan dengan garis politik koalisi Jokowi-Megawati yang selalu berusaha bisa bergandengan dengan Islam kanan. Megawati juga sangat berkeinginan mendorong Islam kanan agar lebih ke tengah. Megawati ingin mencontoi Bung Karno yang berangkulan mesra dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti di awal kemerdekaan. Bung Karno sangat dekat dengan Muhammad Natsir, Mohammad Roem dan Syafrudin Prawiranegara. Kondisi politik tiga tahun terakhir yang renggang dengan Islam kanan, mendorong Megawati untuk memperbaikinya. Apalagi menghadapi suksesi kepemimpinan di PDIP yang kemungkinan jatuh ke Puan Maharani atau Prananda Prabowo di tahun 2024 nanti. Sayangnya inilah yang sekarang renggang akibat ulah petualangan politik Trio Wekwek. End. Foto: medaninside, law-justice.co, darma henwa tbk.

NU: Wapres Itu Setara dengan Seluruh Menteri

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah Ulama dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) kultural sangat prihatin dengan permintaan “jatah” menteri oleh PBNU kepada Presiden Joko Widodo yang “memenangkan” kontestasi Pilpres 2019, 17 April 2019. Perlukah Presiden Jokowi kabulkan? Isu NU meminta jatah menteri ke Presiden Terpilih Jokowi mendapat kritik dari tokoh NU. KH Salahuddin Wahid alias Gus Solah mengatakan, NU saat ini sudah bermain politik dan sekarang NU sudah terlalu jauh untuk masuk ke dalam kegiatan politik. “Saya pikir organisasi NU terlalu jauh bermain politik. Bahkan sekarang NU minta jatah politik, itu adalah jatah partai. Kalau begitu NU mending jadi partai politik saja,” kata Gus Solah, seperti dilansir Tribunjateng.com, di Pekalongan, Rabu (17/7/19). Pernyataan Gus Sholah itu disampaikan saat menghadiri acara Halaqoh Kebangsaan Khittah 1926 di Gedung Koperasi Batik Pekajangan, Pekalongan. Menurutnya, politik NU bukanlah politik kekuasaan melainkan politik kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Halaqoh yang diadakan ini dimaksudkan untuk Ngaji Bareng tentang Khittah NU. “NU itu didirikan untuk melayani umat Islam di Indonesia, bukan untuk menguasai umat, yang dimaksud dangan kembali ke khittoh seperti itu,” jelasnya. Gus Solah bersama sejumlah tokoh penting NU seperti KH Nasihin, Kiai Thoha, Kiai Rozi dan yang lainnya menghadiri acara Halaqah Komite Khittah Nahdlatul Ulama (NU) 1926 ke-9 digelar di Gedung Koperasi Batik Pekajangan. Putri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Yenny Wahid, sendiri sudah mengingatkan petinggi NU tidak terjebak dalam politik praktis, terlebih soal jatah menteri. Hal itu disampaikannya di Silang Monas, ‎Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019). “Saya mengimbau pada petinggi NU untuk tidak terjebak pada retorika seolah dipahami kita menuntut kursi kabinet dan sebagainya,” katanya, usai menghadiri HUT Bhayangkara ke-73. Yang terpenting bagi NU adalah suara mereka didengar pemerintah. Apalagi hampir 50% lebih umat Islam mengaku berafiliasi ke NU. “Banyak lembaga survei menunjukkan hampir 50% lebih umat Islam berafiliasi dengan NU. Artinya ketika kader NU ‎ditunjuk di kabinet, ya itu jadi representasi dari sebagian besar umat,” ujarnya. NU, kata Yenny, tetap menjaga sinergi dengan pemerintah ke depan, baik dengan memiliki kader di kabinet atau tidak. Dia memastikan NU akan tetap memberikan masukan dan kritik yang membangun bagi kemajuan bangsa dan negara. “Ketika pemerintah siap, NU harus mampu kerja sama dan mampu menjaga jarak sehat,” kata Yenny. Sebelumnya, Wasekjen PKB Daniel Johan minta jatah kursi menteri partainya dengan NU dalam kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II, dipisah porsinya. “Karena memang PKB itu dilahirkan oleh NU, tapi kan PKB bukan NU, tentu itu suatu yang terpisah,” kata Daniel dalam diskusi Polemik di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/7/2019). Baik NU maupun PKB sama-sama bekerja keras dalam kampanye Pilpres 2019. Sehingga merupakan hal wajar jika keduanya mendapat porsi bagian dalam struktur kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II. “Karena NU juga menjadi bagian yang sangat bekerja keras kemarin sehingga itu dua hal yang berbeda,” ungkap Daniel. Tapi meski menyarankan jatah kursi PKB dengan NU dipisah, Daniel menyerahkan seluruh keputusan ke tangan Presiden Jokowi yang memiliki hak prerogatif. “Pada akhirnya kita serahkan kepada pak Jokowi,” lanjut Daniel. “Kami hanya menyediakan Kader terbaik, tapi nanti itu akan melalui hasil pertimbangan mendalam,” tambahnya. Sebelumnya, PKB secara terang-terangan meminta jatah 10 kursi menteri masuk ke dalam komposisi kabinet IKI jilid II periode 2019-2024. Beberapa pos menteri yang dimintanya: Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga Menteri Pertanian. Namun, khusus soal kursi Menaker, Daniel menjelaskan belum mendengar pembahasan itu di internal partai. “Mendes mungkin karena memang sudah berjalan. Kalau menaker nggak tahu belum dengar. Mudah-mudahan basis nahdliyin, yaitu petani dan nelayan,” ungkapnya. Untuk posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), tampaknya PKB tidak berminat lagi. Daniel mempersilakan pos Menporan itu diberikan kepada mereka yang masih dan punya jiwa muda. “(Menpora?) Kasih yang muda saja,” katanya sambil tertawa. Apakah karena Menpora yang dijabat kader PKB Imam Nahrawi belakangan terseret kasus suap pengucuran dana hibah KONI. Diketahui, dalam KIK pemerintahan Jokowi saat ini, pos menteri yang diisi oleh kader PKB, diantaranya Menaker Hanif Dhakiri, Menpora Imam Nahrawi, dan Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo. Sedangkan Menristekdikti Mohammad Nasir kerap disebut representasi PKB. Posisi Wapres Akankah semua permitaan PKB maupun NU itu dipenuhi Presiden Jokowi? Kalau akhirnya format rekonsiliasi Prabowo Subianto yang sudah bertemu Presiden Jokowi dan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu terealisasi, rasanya tidak mungkin. Jokowi pasti akan memasukkan juga orang-orang yang dipercaya Prabowo untuk masuk juga dalam KIK jilid II Jokowi bersama Wapres Terpilih Ma’ruf Amin. Apalagi, syarat yang telah diajukan itu berdasarkan prosentase perolehan suara Pilpres 2019, 55:44. Bagi parpol Koalisi Jokowi-Ma’ruf, ajuan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Jatah kursi menteri mereka dapat dipastikan akan berkurang banyak. Ditambah lagi, NU juga meminta jatah kepada Presiden Jokowi. Jelasnya, ini sangat berlebihan. “NU kan sudah dapat jatah Wapres (Kiai Ma’ruf Amin) yang tokoh ulama-kiai NU ternama. Masa’ masih saja kurang,” ujar ulama NU dari Jatim KH Rozy Shihab kepada Pepnews.com. Jabatan Wapres itu bisa disetarakan dengan semua posisi menteri. Artinya, posisi Wapres yang bakal dipegang Ma’ruf Amin, setelah dilantik, bisa dianalogikan sama dengan jabatan seluruh menteri dalam KIK. Jadi, sebenarnya NU sudah mendapatkan semua posisi menteri dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Sedangkan posisi Presiden, itu bisa saja dianalogikan sama dengan jabatan Wapres bersama semua posisi menteri. Jadi, NU tidak perlu meminta-minta lagi jabatan kepada Jokowi. Jadi, NU tidak perlu datang dan minta-minta ke Presiden. “Justru presidenlah yang harus datang ke NU. Karena, sesuai Khittah 1926, NU itu bukanlah partai politik. Ini yang harus dicamkan,” tegas Kiai Rozy Shihab, mengingatkan. Hal serupa disampaikan KH Abdul Malik Madani. Khittah NU itu politik kebangsaan, bukan politik praktis. NU itu ormas Islam terbesar di Indonesia dengan sejarah panjang mengawal NKRI. “NU itu seharusnya tidak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau politik kekuasaan,” ujarnya. Hal itu disampaikan mantan Katib Aam PBNU ini saat menyampaikan pandangan umum soal Khittah NU di Ponpes Tebuireng 8 Serang, Banten. Acara itu merupakan rangkaian Halaqah ke-8 Komite Khittah NU 1926 (KKNU 26). Dalam kesempatan itu, Kiai Malik menyampaikan pesan dari almarhum KH Ahmad Sahal Mahfudz. “Dalam Rapat Pleno PBNU di Universitas Ilmu Al-Qur’an (Unsiq) Kelibeber, Wonosobo, Kiai Sahal mewanti-wanti agar NU tidak bermain-main dalam politik rendahan (siyasah safilah) tetapi NU bermain dalam politik tinggi (siyasah aliyah),” ungkapnya. Yang dimaksud dengan politik tinggi di sini, lanjut Kiai Malik, bahwa NU tidak main pada tatran politik praktis, tetapi menjalankan tiga hal yang merupakan politik tingkat tinggi. Tiga hal itu adalah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik. “Politik kebangsaan menuntut NU proaktif membentengi NKRI sebagai bentuk final bagi umat Islam,” jelasnya, seperti dikutip dalam catatan “Khittah 1926 Nahdlatul Ulama”. Sementara itu, politik kerakyatan menuntut NU agar proaktif menyadarkan rakyat atas hak-haknya sebagai rakyat supaya tidak menjadi alat kekuasaan bagi elit politik. “Sedangkan etika politik, NU aktif menyebarluaskan ajaran Islam tentang etika berpolitik, termasuk menolak politik uang, suap, korupsi, dan lain-lain,” ungkap Kiai Malik. Kalau NU sudah masuk pada tataran politik kekuasaan, maka di dalamnya sarat dengan kepentingan. Selain itu, juga akan menimbulkan gesekan antara struktural dengan kultural, sehingga tidak akan pernah ada ittifaq (kesepakatan), yang ada hanya ikhtilaf (perselisihan). PBNU ketika Pilpres 2019 secara terang-terangan maupun terselubung, memobilisasi warga NU, struktur NU pada tingkatan PW sampai MWC guna mendukung salah satu paslon, penggiringan itu, menurut Kiai Malik, merupakan pelanggaran atas Khittah NU 1926. Melihat itu semua, apakah NU masih tetap ngotot ingin minta jatah jabatan kepada Presiden Jokowi, meski sudah dapat posisi Wapres? Ingat, jabatan Ma’ruf Amin di PBNU adalah Rois Syuriah! (Bersambung). ***

Dilema Jokowi Hadapi Tekanan Koalisi

Oleh: Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kasus Lawas Bus TransJakarta Tahun Anggaran 2013 tiba-tiba mencuat lagi, seolah memberi tahu kepada masyarakat, Presiden Joko Widodo yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta ternyata masih punya “kasus” yang belum tuntas. Lho, koq bisa? Tentu saja bisa, karena kala itu kasus TJ tersebut telah dipetieskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang Pilpres 2014. Jika sekarang muncul lagi sama dengan tekanan kepada Jokowi agar membatalkan rekonsiliasi dengan Prabowo Subianto. Sebuah tekanan politik yang luar biasa kepada Presiden Terpilih Jokowi. Tentunya ini sebuah pilihan yang sangat menyulitkan Jokowi sendiri. Apalagi, Koalisi Jokowi sekarang ini mulai terjadi perpecahan. Dimotori NasDem, mereka tolak rekonsiliasi. Di satu sisi, seperti ditulis Joko Edy dalam twiternya Jokoedy@joked2019 (20:50 22 Juli 19), power sharing itu sulit ditolak. “Para pemodal Cina menekan Jokowi. Mereka baru akan menurunkan dana jika Prabowo ikut di Koalisi Jokowi,” tulisnya. “Termasuk Rp 1.300 T yang belum lama ditandatangani Presiden Xi Jinping. Cina-Cina itu ketakutan terjadi gejolak, yang bisa membuat investasi mereka hangus,” lanjutnya. Di dalam negeri, “dalang” yang selama ini di belakangnya juga menekan Jokowi. Sehingga yang terjadi sekarang ini adalah pilihan pelik bagi Jokowi. Nasib rekonsiliasi kini ditentukan oleh kekuatan 2 alat sandera. Yakni hasil pertarungan antara: Bukti Pencurangan Pemilu-Pilpres 2019 versus Bukti Korupsi Bus TransJakarta TA 2013. Mana yang lebih efektif menyandera Jokowi? Keduanya jelas sangat efektif. Karena Jokowi bisa kena keduanya. Sehingga, jadinya “maju kena, mundur kena”. Menolak rekonsiliasi bisa “dihabisin” Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. Sebaliknya, jika menerima rekonsiliasi, Jokowi akan berhadapan dengan Koalisi Jokowi yang dimotori oleh Surya Paloh Cs (NasDem, Golkar, PKB, dan PPP) yang tampaknya sudah buat faksi sendiri di luar PDIP yang sudah tampak “mesra” dengan Gerindra. Tak hanya itu. Bahkan, Jokowi juga akan berhadapan dengan SBY, Luhut Binsar Panjaitan, AM Hendro Priyono, dan CSIS yang selama ini menjadi penyokong Jokowi sejak menjabat Walikota Solo. Mereka akan memakai kasus korupsi Bus TJ tersebut. Apalagi, bukti dalam persidangan kasus korupsi Bus TJ itu juga mengarah pada keterlibatan Jokowi saat menjabat Gubernur Jakarta. Korupsi pengadaan bus TJ tersebut menyeret mantan Kadis Perhubungan Permprov DKI Jakarta Udar Pristiono. Dalam persidangan, Udar akhirnya divonis hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Tragis! Udar, salah satu diantara beberapa pejabat di Pemprov Jakarta yang diseret di Pengadilan Tipikor Jakarta berkat “kebijakan” Gubernur Jokowi saat itu. Dua mantan anak buahnya, Setiyo Tuhu dan Drajad Adhyaksa, juga menjadi pesakitan. Drajad Adhyaksa adalah Pejabat Pembuat Komitmen pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2013. Sedangkan Setiyo Luhu adalah Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Dishub DKI Jakarta. Jaksa menyebutkan, kasus korupsi pengadaan bus TJ pada 2013 dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah pihak. Jaksa juga menyebut nama Direktur Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi pada BPPT Prof. Prawoto. Lembaga yang dipimpin oleh Prawoto ini disebut bertanggung jawab karena berperan sebagai perencana dan pengendali teknis serta pengawas pengadaan dalam proyek TJ. Beberapa pemenang lelang juga disebut terlibat dalam kasus ini. Pertama adalah Direktur Utama PT Korindo Motors Chen Chong Kyong. Perusahaan ini merupakan pemenang lelang pada pengadaan busway articulated (bus gandeng) paket I. Kemudian ada juga keterlibatan dari Direktur Utama PT Mobilindo Armada Cemerlang, Budi Susanto, selaku pemenang lelang pada pengadaan busway articulated paket IV. Direktur PT Ifani Dewi, Agus Sudiarso, juga disebut ikut melakukan korupsi. Perusahaan tersebut adalah penyedia barang pada pengadaan busway articulated paket V dan busway single (tunggal) paket II. Jaksa menyatakan, beberapa bentuk penyimpangan proyek pengadaan bus TJ adalah tidak terpenuhinya spesifikasi teknis; Juga, harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan sodoran harga proposal dari rekanan dan diarahkannya spesifikasi pada perusahaan tertentu, serta adanya kemahalan harga. Akibat perbuatan mereka, negara dirugikan hingga Rp 392,7 miliar. Dalam persidangan beberapa kali Udar menyebut nama Jokowi, yang kini menjabat Presiden dan menjadi Presiden Terpilih pada Pilpres 2019. Udar mengklaim proses pengadaan 14 paket bus TJ pada 2013 sudah sesuai aturan. Bahkan, ia mengaku sudah melakukan prosedur pelelangan sejalan dengan kemauan dan aturan yang dibuat oleh Jokowi, Gubernur DKI Jakarta saat itu. Saat memberikan kesaksian Udar mengaku proses pelelangan sesuai aturan. Yakni Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta. Ia mengaku, sebagai Pengguna Anggaran (PA), Udar sudah menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Drajad selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Udar mengaku cuma mengawasi penggunaan anggaran dan meneken perjanjian kontrak kerja di akhir proses. “Karena itu memang tugas saya sebagai PA,” kata Udar, seperti dilansir Merdeka.com, Selasa (4 November 2014 09:10). Udar mengatakan, proses pengadaannya juga sudah sesuai dengan visi-misi Jokowi saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, ia mengaku Jokowi sangat keras mengawasi penyerapan anggaran dalam proses pengadaan. “Program pengadaan bus TransJakarta sesuai rencana daerah. Ini visi misi Gubernur DKI Jakarta,” tegas Udar. Bahkan, katanya, “Pernah diancam oleh Pak Gubernur kalau penyerapannya kecil dibatalkan saja. Karena DKI sangat ketat tentang penyerapan anggaran. Diawasi setiap minggu,” ungkap Udar. Ia mengklaim proses pelelangan bebas dari intervensi, sebab dilaksanakan secara elektronik. Udar mengatakan, ia tak menanggung seluruh wewenang pengguna anggaran lantaran sudah diwakilkan kepada anak buahnya. “Karena terjadi delegasi wewenang, maka proses selanjutnya dilakukan mereka. Pelelangan dilaksanakan melalui electronic procurement, kecuali tatap muka pada tahap akhir karena menandatangani kontrak kerja,” sambung Udar. Kasus korupsi bus TJ itulah yang kini menjadi “momok” bagi Jokowi. Di sinilah masyarakat mulai tahu. Bahwa rivalitas pendukung Jokowi akhirnya terbaca publik. Pasca Pilpres 2019 menjelang penyusunan kabinet, rivalitas ini semakin tajam. Terutama setelah berhembus kencang isu masuknya Gerindra dalam kabinet Jokowi jilid II. Luhut berulang kali minta ketemu Prabowo, ditolak. Munculnya Kepala BIN Budi Gunawan sebagai kekuatan politik baru di balik pertemuan dua pertemuan. Yakni, Pertemuan Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati. Ketika pertemuan Prabowo-Megawati, SP bermanuver dengan bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan menebar kabar akan mengusung Anies sebagai Capres 2024. SP bermanuver karena khawatir jatahnya di kabinet akan berkurang bila Prabowo-Jokowi rekonsiliasi. Banyak pihak menyebut, PDIP sudah tak nyaman lagi bersama NasDem. Jaksa Agung yang dipegang oleh orang NasDem seringkali digunakan untuk “menghabisi” politisi selain NasDem. Sementara kader NasDem banyak yang ditangkap KPK. Terbaru, Gubernur Kepulauan Riau, Nurdin Basirun, Ketua DPW NasDem, ditangkap KPK. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito sedang dibidik KPK kasus Bowo Sidik. Selain itu banyak pula jaksa yang ditangkap KPK sebagai simbol “perlawanan” pada Jaksa Agung M. Prasetyo. Sebagian besar komisioner KPK sendiri adalah “orang-orang” SBY Cs. Kasus-kasus yang diungkap banyak menyasar kader PDIP dan NasDem. Inilah yang membuat PDIP akhirnya tak nyaman lagi dengan keberadaan Luhut di lingkaran Jokowi. Tarik menarik antara kekuatan BG, Luhut, dan SP semakin menguat saat menjelang perebutan beberapa posisi strategis di kabinet. Jokowi dilematis. Posisi makin terjepit karena kunci truf “kemenangan” Joko Widodo-Ma'ruf Amin oleh KPU dipegang oleh BG, Luhut, maupun SP, bisa saja dimainkan oleh faksi-faksi masing-masing kekuatan untuk menekan Jokowi. Belum lagi bukti pencurangan Jokowi-Ma’ruf yang kini juga dipegang oleh “kekuatan besar” yang sewaktu-waktu bisa “meledak” hingga membuat Jokowi-Ma’ruf terjungkal dari tampuk kekuasaan yang diraihnya dengan pencurangan. Rivalitas di antara politisi pendukung Jokowi-Ma’ruf ini terlihat haus kekuasaan. Jika diadu, maka mereka akan beradu cepat membawa data ke KPK. Selain itu, mereka akan selalu siap sebagai saksi pemberatan atas rivalnya itu. Tidak disadari, pertemuan Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati membuat politisi Koalisi Jokowi terpecah dan “teradu”, mereka diadu dengan tujuan untuk ungkap data korupsi lawan politik pada KPK, yang saat ini sudah siap berselancar ke KPK. Situasi itulah yang kini membuat Jokowi tertekan dalam menghadapi pilihan yang dilematis! Mungkin jawaban yang tepat adalah Mundur! ***

Mega,"Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi"

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Sumringah. Bahagia. Tidak ewuh pakewuh. Saling lempar senyum lepas. Itulah suasana yang tampak saat berlangsung pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jakarta. Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, seperti halnya ketika Presiden Joko Widodo bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Kepala BIN Budi Gunawan. Ada yang istimewa? Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Mega di Jl. Teuku Umar ini. Memang, bersamaan dengan pertemuan Teuku Umar itu, Rabu (24/7/2019) Presiden Jokowi sedang menyambut kedatangan Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar. Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti Nasdem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019. Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang. Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum Nasdem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi. Pertemuan digelar di kantor DPP Nasdem, Senin (22/7/2019). Melansir Tribunnews.com, dalam pertemuan itu, selain Surya Paloh sebagai tuan rumah, hadir Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketum PPP Suharso Monoarfa. SP menyebut Mega tidak ikut hadir, karena pertemuan tersebut berlangsung secara spontan tanpa diagendakan sebelumnya. “Ya memang kalau bisa hadir bersama bisa lebih baik. Tapi ini spontan saja kebetulan sedang kumpul di kantor Nasdem,” katanya. Ia mengakui memang tak mengundang perwakilan PDIP untuk datang ke kantornya. Namun SP menyebut tiga ketum parpol yang datang juga tak diundang. “Memang yang datang tidak diundang. Itu semua spontan datang kebetulan sekali mereka adik-adik saya,” ujarnya. Menurut SP, dalam pertemuan itu tak ada pembahasan spesifik. Masing-masing ketum parpol hanya saling bertukar pikiran terkait konsolidasi politik yang dilakukan pasca Pilpres 2019. Terkait pimpinan MPR, SP sepakat bahwa dalam paket yang diusung harus diisi oleh parpol koalisi Jokowi-Ma'ruf, bukan parpol oposisi. Hal ini disampaikan SP menanggapi Gerindra yang juga mengincar kursi Ketua MPR. “Kursi MPR idealnya tetap paket partai pengusung pemerintahan Jokowi saat ini,” katanya. Namun, terkait siapa yang mendapat jatah Ketua MPR dan tiga Wakil Ketua MPR, belum diputuskan. Seluruh parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf harus membahasnya lebih lanjut. “Kalau masing masing mau jadi ketua ya susah,” kata bos Media Group ini, seperti dilansir Kompas.com, Senin (22/7/2019). Apa yang sebenarnya terjadi di balik itu semua? Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin, jika ada yang khawatir dengan pertemuan Prabowo-Mega, Rabu (24/7/2019), itu bisa jadi partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf. Soalnya, pertemuan ini semakin membuka peluang Gerindra masuk ke dalam koalisi. “Jika Gerindra masuk koalisi, jatah menteri partai koalisi Jokowi bisa berkurang,” ungkap Ujang, seperti dikutip Tirto.id. Faktanya, jumlah partai yang mesti diakomodasi atau minimal diperhatikan Jokowi tahun ini lebih banyak. Pada Pilpres 2019 paslon nomor urut 01 ini didukung oleh 10 partai. Sementara pada Pilpres 2014, Jokowi yang didampingi Jusuf Kalla hanya diusung koalisi ramping, yaitu: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Golkar, PPP, dan PAN baru bergabung belakangan. Apalagi jika kursi menteri berbanding lurus dengan perolehan suara di pileg. Gerindra hanya kalah dari PDIP sebagai pemenang pileg. Gerindra mendapat suara 17,5 juta atau setara 12,57 persen total suara. Kabarnya, Gerindra itu mengincar kursi Kementerian BUMN dan Pertanian. Dengan kondisi demikian, tak heran jika partai pendukung Jokowi menolak Gerindra bergabung masuk dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Penolakan atas Gerindra dan parpol seperti Demokrat-PAN telah disampaikan PKB, Golkar, Nasdem, dan PPP, empat partai pendukung Jokowi selain PDIP yang lolos ambang batas parlemen. Keempat partai itu sudah berkali-kali meminta jatah menteri dari Jokowi, meski hingga kini belum jelas siapa yang akan ditunjuk Presiden Jokowi. Muhaimin bilang, selayaknya PKB dapat jatah 10 menteri. Sementara fungsionaris Nasdem Taufiqulhadi mengatakan, semestinya partainya dapat lebih banyak karena suara di pileg lebih besar. Golkar dan Nasdem pun serupa. Masing-masing dari mereka disebut-sebut meminta jatah empat dan dua kursi menteri. Ketum empat partai ini, Muhaimin, Airlangga, SP, dan Suharso, saat bertemu menyatakan sikap bahwa koalisi tak perlu diperlebar. Kata Sekjen Nasdem Johnny G. Plate, empat ketum partai ini satu suara agar sebaiknya “koalisi yang ada diperkuat saja”. Pernyataan Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari semakin menegaskan kalau pertemuan empat ketum partai itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan bergabungnya Gerindra. Eva bilang, pertemuan itu hanya reaksi dari keresahan partai koalisi atas hak prerogatif presiden dalam memilih kabinet. “Mereka sudah tahu risiko atau konsekuensi dari hak prerogatif presiden,” katanya. Selain menteri, kata Ujang, bergabungnya Gerindra juga menipiskan peluang pimpinan legislatif dipegang partai koalisi Jokowi. Gerindra terang-terangan mengincar kursi MPR. Nama Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, dimunculkan sebagai kandidat. Muzani dimajukan karena dia dianggap diterima semua fraksi. “Empat partai tersebut sedang 'mengunci' Gerindra, sebab kursi Ketua MPR bisa saja diperebutkan dengan partai itu,” ujar Ujang. Dalam ayat (2) pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2018 atau UU MD3 disebutkan bahwa pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket. Artinya, Gerindra memang bisa mendapat kursi itu setelah disetujui koalisi. Sejauh ini Gerindra juga belum membuat pernyataan resmi soal posisinya di pemerintahan Jokowi. Anggota badan komunikasi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan semua akan diputuskan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) September mendatang. “Arah koalisi Gerindra akan diambil pada September dalam Rakernas. Di situlah sikap resmi Gerindra akan diambil,” ujar Andre pertengahan Juli lalu. Namun, jika menyimak pertemuan Prabowo-Mega di Teuku Umar, tampaknya membawa “pesan khusus”. Setidaknya, selain ditujukan kepada empat parpol Koalisi Jokowi yang tidak dilibatkan dalam pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Teuku Umar, pesan khusus ini juga ditujukan pada Jokowi. Jika menolak rekonsiliasi, maka posisi Jokowi bisa rawan. Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Taruhannya adalah Jokowi-Ma’ruf gagal dilantik sebagai Presiden-Wapres 2019-2024. Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Versi KPU, paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional, tapi menang di 26 provinsi, dan tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi ini sama saja dengan melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Buah simalakama bukan? Kedua, pemilihan ulang. Kalau pemilihan ulang rasanya tidak mungkin. Selain tak ada biaya, banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo-Sandi. Maka, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Di sinilah Mega piawai dalam membaca strategi politik Prabowo sejak “dikalahkan” oleh KPU yang dikuatkan oleh MK dan MA. Sebaliknya, dengan format mengikuti hasil rekapitulasi KPU berdasar prosentase 55:54, telah membuat Koalisi Jokowi sedikit goyang. Apalagi, saat pertemuan Prabowo-Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus hingga Teuku Umar, tidak melibatkan mereka. Sebelumnya, Prabowo bersama Dewan Pembina disebut menyiapkan konsep terkait opsi soal ketahanan pangan dan ketahanan energi. Jika konsep itu diterima oleh pihak Presiden Jokowi, maka Gerindra bersedia masuk ke dalam koalisi parpol pendukung pemerintah. Apabila tidak disetujui, Gerindra akan tetap menjadi oposisi. “Tapi sebaiknya menurut saya Mas Bowo ngomong sendiri saja sama Pak Jokowi. Sehingga yang namanya dialog itu sangat diperlukan,” kata Megawati, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (24/7/2019). “Semua keputusan nanti ada di presiden terpilih karena pada Beliaulah (Presiden Jokowi) hak prerogatif itu ada, bukan pada saya,” ucap Presiden kelima RI itu. Tentunya termasuk format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo? Mengikuti Surya Paloh Cs atau Megawati! ***

Budi Gunawan, Orang Kuat Baru Indonesia

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Indonesia punya orang kuat baru. Orang itu bernama Budi Gunawan. Saat Ini dia menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Fakta itu mencuat menyusul bertemunya Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, dilanjutkan dengan kunjungannya ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. BG—begitu dia dipanggil— hadir dalam dua pertemuan tersebut. Kehadiran BG yang cukup menonjol terlihat dalam jamuan makan siang di kediaman Megawati. Yang hadir sangat terbatas. Megawati ditemani dua orang anaknya Muhammad Prananda Prabowo dan Puan Maharani Mensekab Pramono Anung, plus BG. Hal itu menunjukkan posisinya yang spesial. Kehadiran BG sempat tak dikenali. Dia tampil klimis, tanpa kumis hitam rapih yang menjadi ciri khasnya. Sejumlah tokoh yang mengerti cerita dibalik keberhasilan “operasi rahasia” itu juga mengkonfirmasi penting dan krusialnya peran BG mewujudkan semuanya. “Beliau bekerja tanpa ada suara. Alhamdulillah apa yang dikerjakan hari ini tercapai," kata Pramono Anung seusai pertemuan MRT, Sabtu (13/7/2019). Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan BG menjalankan semua peran itu atas penugasan Presiden Jokowi. Tak heran bila banyak kalangan yang memuji keberhasilan BG menjalankan “mission impossible” itu. Politisi PKS Aboe Bakar Al-Habsyi termasuk yang kagum. Agak sulit sebelumnya membayangkan Prabowo bersedia bertemu Jokowi, mengingat kontestasi politik yang sangat keras sepanjang pilpres lalu. Yang terjadi bukan hanya bertemu. Prabowo tampak ketawa-ketiwi, makan siang dalam suasana yang sangat hangat dan personal dengan Megawati. Lebih dari itu, dua kubu itu tampaknya sampai pada satu kesepakatan bakal bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Sebuah praktik politik yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah dunia, di negara demokrasi. Dua capres yang berkontestasi. Terlibat perseteruan dahsyat. Sampai bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Ratusan korban tewas, baik dari para petugas penyelenggara pemilu dan pendukung, tetiba mereka kemudian sepakat memerintah bersama. Sebuah praktik demokrasi out of the box, bahkan di luar nalar pikiran kita semua. Beyond our imagination. Semua hil yang mustahal ini bisa terwujud berkat peran seorang aktor utama bernama BG. Fakta itu menunjukkan BG mempunyai otoritas, kekuatan jaringan, kemampuan, sumber daya, dan yang paling penting: Dipercaya. Baik oleh kubu Jokowi, khususnya Megawati maupun kubu Prabowo. Tangannya menjangkau jauh ke dalam partai politik, dan pengambil keputusan di dua kubu yang berseteru. Dua kekuatan yang dalam setahun terakhir saling bertentangan secara diametral. Dua kubu yang membelah Indonesia menjadi cebong dan kampret. Dengan perannya itu, kita tidak perlu kaget bila dalam beberapa tahun ke depan BG akan memegang posisi penting dan memainkan peran yang lebih besar dalam pemerintahan Jokowi. Dia akan menggantikan peran-peran tokoh yang selama ini mendominasi pentas politik nasional seperti Luhut Panjaitan. Menjadi orang kepercayaan dan tangan kanan Jokowi. Perannya bahkan akan lebih kuat, mengingat kedekatannya dengan Megawati. Melalui PDIP Megawati adalah pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi. Tidak Terduga Barangkali banyak yang tidak menduga, BG akan mencapai posisi sentral seperti sekarang. Karirnya nyaris habis ketika dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal masa jabatan Jokowi (2015). Saat itu Jokowi sudah menominasikannya sebagai Kapolri dan DPR menyetujuinya. Jokowi ternyata menolak melantik BG ketika dia berhasil memenangkan gugatan pra-peradilan atas KPK. Dia kemudian harus “menyingkir” menjadi Kepala BIN. Jabatan sebagai Kapolri akhirnya diberikan kepada juniornya Tito Karnavian. Dengan peran baru sebagai Kepala BIN, BG lebih banyak bekerja di balik layar. Justru dengan posisinya itu dia bisa lebih banyak melakukan kerja-kerja politik, lepas dari sorotan publik. Sebuah peran yang tak mungkin dia jalankan bila menduduki posisi Kapolri. Hubungannya yang sangat dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati, membuat BG punya akses dan peran istimewa di dunia politik. Bagaimanapun PDIP adalah partai terbesar. Partai pemenang pemilu. Jokowi, seorang kadernya, seorang petugas partai menjadi presiden. Jadi Megawati menjadi semacam Godmother. Pemegang kekuasaan sesungguhnya secara informal dan secara organisasi berada di atas Jokowi. Sebagai mantan ajudan ketika Megawati menjadi presiden, kini peran BG berubah menjadi seorang “partner.” Peran yang melengkapi dan mengisi kekosongan yang dulu diperankan oleh suami Megawati, almarhum Taufik Kiemas (TK). Semasa Kakak TK —begitu dia biasa dipanggl kalangan dekatnya—masih hidup, dia menjadi semacam jembatan politik bagi Megawati. Dia bisa mempertemukan berbagai kekuatan yang berseberangan, duduk dalam satu meja. Termasuk tokoh-tokoh Islam yang sering berposisi diametral dengan PDIP dan Megawati. Latar belakang kakak TK sebagai anak tokoh Masjumi di Palembang, membuatnya tidak kesulitan menembus sekat-sekat itu. Megawati tampaknya sudah menemukan partner baru. Partner menjalankan peran yang dimainkan TK di masa lalu. Dilihat dari usia BG (60 th), jauh lebih muda dibanding Megawati (72 th), dia bukan hanya berperan sebagai partner, tapi juga bisa menjadi salah satu kader penerus kekuasaannya. Kemunculan BG di publik dan momen-momen politik penting, bisa dilihat sebagai tahap awal pengenalannya (brand awareness) kepada publik pemilih Indonesia. Jika BG dipersiapkan sebagai the next leader, dia tidak boleh terus berada di dunia remang-remang. Dunia intelijen di balik layar. Dia harus lebih sering tampil di muka publik. Dalam marketing politik dikenal rumus baku : Popularitas, disukai (likeness) dan elektabilitas. Kalau mau terpilih haruslah populer terlebih dahulu, dan kemudian disukai publik. Peta dunia persilatan politik Indonesia bakal tambah seru dan menarik. Kita sudah bisa membayangkan serunya persaingan Pilpres 2024 sejak dari sekarang. Selamat datang Pak BG. Semoga beruntung. end