Rusuh Papua, Belajarlah dari Timor Timur
Tidak ada pidato kenegaraan (presidential address). Menyampaikan langkah-langkah apa yang akan diambil pemerintah. Sebuah pidato resmi yang ditujukan kepada bangsa dan negara menghadapi kondisi darurat. Sebuah kegentingan yang memaksa.
Oleh Hersubeno Arief
Jakarta, FNN - Eskalasi kerusuhan di Papua terus meningkat. Situasinya sudah mencapai tahap berbahaya. Sangat mengkhawatirkan.
Di Kabupaten Deyai, Papua unjukrasa berakhir rusuh. Sejumlah petugas dan warga tewas.
“Dari TNI ada tiga orang. Satu meninggal dunia, dua luka dan sekarang masih kritis. Sedangkan dari aparat kepolisian ada empat luka-luka. Masyarakat satu yang meninggal, juga tewas karena kena panah dan senjata-senjata dari masyarakat sendiri," kata Menkopolhukam Wiranto di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/8).
Gambar-gambar prajurit TNI dan Polri yang roboh bersimbah darah dengan kepala tertusuk panah, beredar luas di media sosial. 10 pucuk senjata SS 1 milik TNI dikabarkan dirampas oleh pengunjukrasa.
Banyak yang geram. Mendidih darahnya menyaksikan gambar -gambar itu. Sejumlah bangunan milik pemerintah, swasta, pertokoan dan pasar dibakar. Ribuan warga mengungsi.
Bendera Bintang Kejora secara serentak dikibarkan di beberapa tempat di Indonesia. Termasuk di depan Mabes TNI, bahkan di depan Istana Merdeka. Simbol kedaulatan bangsa Indonesia.
Ratusan mahasiswa Papua, sebagian bertelanjang dada dan melukis wajahnya dengan Bintang Kejora bebas menari-nari di depan istana. Seolah tampil dalam sebuah festival kesenian dan budaya.
Mereka menyanyikan lagu perlawanan dengan syair //Papua bukan Merah Putih// Papua Bintang Kejora/ Bintang Kejora. //Baru-baru /Kau Bilang Merah Putih!//
Seorang orator membakar semangat para pengunjuk rasa. Ketika dia meneriakkan “Papua!” Dijawab secara serentak “Merdeka!”
Sangat disayangkan respon pemerintah sangat tidak memadai. Normatif dan terkesan tidak mengerti apa yang harus dibuat. Bingung sendiri.
Diplomasi dan komunikasi publik pemerintah sangat dangkal.
Mendagri Tjahjo Kumolo mengingatkan, “menyampaikan aspirasi boleh, asal jangan anarkis.” Kepala Staf Presiden Moeldoko mengingatkan agar tidak menyikapi secara berlebihan dan emosi.
Presiden Jokowi hanya mengulang kata-kata yang itu-itu saja. Menunjukkan pemahaman serta sensitivitas yang rendah. Mama papa, pace, mace, anak-anak Papua bla….bla….”
Tidak ada pidato kenegaraan (presidential address). Menyampaikan langkah-langkah apa yang akan diambil pemerintah. Sebuah pidato resmi yang ditujukan kepada bangsa dan negara menghadapi kondisi darurat. Sebuah kegentingan yang memaksa.
Seolah keinginan rakyat Papua melepaskan diri dari Indonesia, merupakan soal kecil. Bukan persoalan serius. Hanya sikap merajuk dari salah satu provinsi karena diperlakukan tidak adil, dan selalu diabaikan.
Alih-alih berkantor atau setidaknya membuka posko darurat di Papua, sebagai bentuk keseriusan. Presiden masih bersikap business as ussual. Presiden Jokowi dan sejumlah pejabat negara masih sempat-sempatnya tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan ulah pelawak Kirun yang tampil dalam pertunjukan wayang di Alun-alun Kota Purworejo, Jateng, Kamis (29/8) malam.
Sejumlah kalangan sudah menyerukan situasi di Papua sangat gawat. Sebuah situasi yang jauh lebih serius bila dibandingkan dengan saat provinsi Timor-Timur lepas dari Indonesia.
Papua bisa menjadi pintu masuk disintegrasi bangsa. Indonesia bisa terjerembab dalam Balkanisasi. Terpecah-pecah menjadi banyak negara. Seperti yang terjadi pada negara eks Yugoslavia.
Seorang jenderal senior yang sangat berpengalaman dalam berbagai operasi separatisme di Timtim, Aceh, dan Papua menggambarkan, “ Papua ini induknya. Timtim anaknya.”
Jadi persoalan Papua ini harus disikapi dengan effort yang jauh lebih serius, terencana, dan komprehensif dibandingkan Timtim. Jangan dianggap main-main. Jangan malah ketawa-ketiwi.
Diplomat senior Dino Patti Djalal mantan juru bicara Pemerintah RI dalam proses jajak pendapat di Timtim mengingatkan betapa pentingnya belajar dari kesalahan lama.
Secara halus, namun tegas dia mengingatkan, bangsa Indonesia, khususnya pemerintah yang berkuasa saat ini mengambil pelajaran yang sangat mahal dari lepasnya Timtim.
“Pelajaran dari era Timor Timur, berkaitan dengan politik identitas, diplomasi, strategi militer, politik lokal, budaya, pemuda, pendidikan, penanganan wartawan dan LSM asing, dan banyak lagi,” tulisnya.
(Potensi Papua lepas sangat besar)
Dibandingkan dengan Timtim, potensi Papua lepas dari Indonesia jauh lebih besar. Secara ekonomi, politik, maupun pertarungan geopolitik global, posisi Papua lebih menarik dan menentukan.
Dari sisi ekonomi potensi sumber daya alam Papua jauh lebih menggiurkan. Mulai dari tambang, energi, hutan, potensi kelautan, wisata Dll.
Yang sangat kasat mata adalah keberadaan tambang emas PT Freeport di Timika. Papua adalah harta karun yang menjadi incaran dunia.
Negara adidaya AS sangat berkepentingan di Papua. Negara tetangga dekat Australia juga. Cina sebagai pesaing AS diam-diam juga sudah mengincarnya.
Setelah menguasai tambang nikel di Sulawesi Tenggara, bersiap-siap masuk Kalimantan karena adanya proyek infrastruktur pemindahan ibukota, Cina pasti ingin membuat lompatan baru ke Papua.
Secara geopolitik global, Papua menjadi perebutan dan pertarungan negara-negara adidaya dunia.
Sangat terbuka kemungkinan kerusuhan dan huru-hara di Papua merupakan ekses dari kian dekatnya Poros Jakarta-Beijing. Termasuk rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur.
Jangan dilupakan, masalah Papua tidak lepas dari gelombang persaudaraan ras Melanesia (Melanesian Brotherhood). AS, Inggris dan Australia menjadi salah satu penyokong dan “pelindung” 16 Forum Negara Kepulauan Pasifik ( Pasifik Island Region).
Dengan didukung negara-negara Afrika —karena persamaan warna kulit—Forum Negara Kepulauan Pasifik ini bisa memainkan peran penting dalam lobi-lobi kemerdekaan Papua di PBB.
Lemahnya kualitas kepemimpinan nasional, rendahnya legitimasi pemerintah karena adanya tudingan pilpres yang curang, rusuh dan tuntutan kemerdekaan di Papua, membuat Indonesia berada di ujung tanduk.
Situasinya kian diperburuk oleh kohesi bangsa yang rendah dan rentan. Diam-diam banyak tokoh, cerdik pandai dan warga Indonesia bersikap masa bodoh.
Mereka malah berharap rusuh di Papua menjadi pintu masuk kejatuhan rezim Jokowi.
Dalam bahasa Jawa sikap semacam ini sering digambarkan dengan sebuah kata, “ Rasakno! Kapokmu Kapan!”
Sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Secara rasa bahasa, kata yang mendekati barangkali adalah “Syukurin! Rasain! Kan sudah saya ingatkan berkali-kali!”
Sebuah sikap yang sangat disayangkan. Tapi apa boleh buat, harus kita akui dengan jujur, begitulah adanya.
Papua, Dont Leave Me, Please! End