ALL CATEGORY
Referendum Papua, Mungkinkah?
Keinginan mereka merdeka masih mix antara perluasan otonomi sebesar besarnya demi kemakmuran rakyat (rakyatnya yang merdeka bukan Papua) vs merdeka. Namun, setelah Theys di bunuh di era Presiden Megawati, beberapa tahun kemudian, Toha Alhamid mengatakan pada saya, Bangsa Papua sudah sulit untuk bersama Indonesia. By Dr. Syahganda Nainggolan Sabang Merauke Circle Jakarta, FNN - Jokowi telah melakukan "touring" di Papua. Dengan sepeda motor yang canggih, beberapa tahun lalu. Berbagai pembangunan juga dibanggakan Jokowi bahwa dia sebagai pemilik prestasi terbesar membangun jalan yang terpanjang selama Papua bersama Indonesia. Buzzer2 Jokowi malah memposting2 jalanan yang indah mirip di negara2 maju sebagai jalan yang dibangun Jokowi di Papua. Rakyat Papua juga mencintai Jokowi dengan memilih Jokowi sebagai capres hampir 100%. Apakah rakyat Papua lalu semakin cinta Indonesia? atau cinta NKRI? Setelah dinyatakan bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969? Saya baru saja melihat video ribuan atau puluhan ribu massa di depan kantor Gubernur Papua Barat. Pada acara kemarin, seorang ibu berpidato. Ibu itu mengatakan bahwa anak-anak Papua yang di Jawa adalah anak-anak yang dia lahirkan, bukan anak monyet. Dia berkeringat membesarkan anak-anak itu. Dalam keringat itu mengalir darah Papua. Tapi mengapa Jawa dan NKRI menindas anak-anak Papua? Lalu ibu itu meneriakkan yel-yel, setelah berhenti menghela nafas. Teriaknya dlanjutkan dengan kata “Papua”, puluhan ribu rakyat langsung meneriakkan jawaban, "MERDEKA”. Setelah itu sambutnya lagi dengan kata “Referendum”, sahutan massa, “YES” Teriakan Merdeka yang saya lihat bukan seperti 21 tahu lalu. Ketika saya menanyakan hal tersebut kepada almarhum Theys Eluay dan Toha Al Hamid. Beberapa hari sebelum Theys Eluay dibunuh, pemimpin Bangsa Papua itu bersama sekjennya, Toha Alhamid sempat makan siang bersama almarhum Adi Sasono, Yorrys R, dan saya. Keinginan mereka merdeka masih mix antara perluasan otonomi sebesar besarnya demi kemakmuran rakyat (rakyatnya yang merdeka bukan Papua) vs merdeka. Namun, setelah Theys di bunuh di era Presiden Megawati, beberapa tahun kemudian, Toha Alhamid mengatakan pada saya, Bangsa Papua sudah sulit untuk bersama Indonesia. Menurut Toha Alhamid, seluruh negara-negara Melanesia di Pasifik dan jaringan Gereja di Amerika semakin bulat mendukung Papua berpisah. Paska kematian Theys, kecenderungan Papua tidak pernah lagi mix antara merdeka vs atau ragu-ragu. Kecenderungan keinginan merdeka semakin dominan. Bendera-bendera Merah Putih sudah dibakar sebagain mereka. Olivia Tasevski dalam "West Papua's Quest for Independence", July 2019, the Diplomat, menjelaskan detail dukungan yang semakin besar kepada gerakan Papua Merdeka. Ketua partai oposisi Inggris dari Partai Buruh, Jeremy Corbyn dan Richard Di Natali dari Senator Parlemen Australia diantara figur utama pendukung itu. Benny Wenda, pemimpin Papua Merdeka (ULMWP/United Liberation Movement of West Papuan), mengklaim telah mendapat dukungan dari 1,8 juta jiwa rakyat Papua dalam petisi yang ditujukan ke PBB. Petisi untuk menuntut pengusutan pelanggaran HAM dan menuntut pula kemerdekaan. Petisi itu sudah diterima ketua PBB bagian Human Rights, Michelle Blachelet. Disamping itu, Benny juga telah berhasil meyakinkan negara2 Pasifik untuk ikut dalam pertemuan rutin mereka MSG (Melanesia Spearhead Group). Di sisi lain, dukungan Israel terhadap Papua semakin nyata. Beberapa tahun lalu, Papua mengibarkan bendera Israel ke seluruh penjuru Papua, sebagiannya resmi. Sikap resmi ini diperkuat lagi oleh pernyataan Sekda Papua baru baru ini tentang tanah Papua sebagai tanah Israel. Meskipun Israel, Inggris, Australia dan Amerika tidak melibatkan negara dalam relasi dukungan terhadap Papua merdeka. Namun gerakan rakyat dan elit dari negara-negara tersebut mengindikaiskan kedekatan gerakan Papua Merdeka dengan mereka. Sejauh pembahasan ini, kita sudah melihat bahwa kehendak rakyat Papua untuk merdeka, khususnya lima tahun belakangan ini semakin menggila. Lalu bagaimana kita harus berbuat? Sikap lembut Jokowi terhadap Papua selama lima tahun ini, kecenderungannya akan mengantar pada sebuah situasi kompromistis. Selain tentunya balas jasa dukungan orang orang Papua hampir 100 persen dalam pilpres mendukung Jokowi. Jaman Suharto, situasi Papua tenang dan terkendali, karena Suharto melakukan cara kekerasan mempertahankan Papua. Sedangkan masa sebelum Jokowi, beberapa institusi dalam negara memanfaatkan "gerakan jihadis Islam" sebagai milisi sipil berperang atau ancaman memerangi kelompok-kelompok seperatis. Dulu ada "Laskar Jihad" pimpinan Ustadz Ja’far Umar Thalib. Laskar-laskar seperti ini sudah distigma sebagai radikalisme, ISIS dan pembuat kerusuhan. Sehingga akhirnya, situasi separatisme di Papua hanya akan dilawan oleh tentara. Namun, siapkah tentara diterjunkan ke Papua? Tantara tentu sangat siap untuk berperang. Masalahnya tinggal pada Jokowi. Jika Jokowi percaya pada kehendak rakyat, maka referendum bukanlah jalan yang "haram". Negara demokrasi seperti Inggris pun mempersilakan Bangsa Skotlandia untuk melakukan jejak pendapat untuk merdeka tahun lalu. Kenapa kita tidak? Persoalannya adalah apakah kasus Timor Timur akan terulang? Ketika Habibie, Presiden yang dianggap lemah, mempersilakan referendum Timor Timur, akhirnya propinsi ke 27, kala itu, lepas dari Indonesia. Apalagi muncul pertanyaan, bagaimana kalau Papua minta referendum lalu Aceh dan Maluku menuntut yang sama? Semuanya sekarang tergantung Jokowi, dan bersifat urgen. Opsi Jokowi dapat berupa : 1. Menyerang gerakan Papua Merdeka dan anasir-anasirnya secara massif. 2. Jokowi melakukan referendum rakyat Indonesia untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan Referendum Rakyat Papua. 3. Memberi ijin Referendum Papua Sambil menunggu keputusan Jokowi, lembaga saya Sabang Merauke Circle, nasibnya diujung tanduk. Karena Sabang dan Merauke mungkin saja hilang. Tinggal Circle nya saja. End
Bukan Soal GBHN, Tapi Soal Moralitas dan Kapasitas
Presiden kalian tebirit-birit. Dia menyerahkan banyak urusan kepada beberapa orang saja. Pembangunan infrasturktur dan pengembangan ekonomi dilaksanakan acak-acakan, tanpa pedoman. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Perdebatan hangat tentang kesinambungan pembangunan, tidak menyentuh persoalan fundamental yang kita hadapi. Banyak yang berpendapat ketiadaan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) membuat penjabaran kekuasaan pemerintahan menjadi amburadul, akhir-akhir ini. Yang lainnya mengatakan, berbagai klausul UUD 1945 juga menjadi masalah. Sesungguhnya, bukan itu yang menjadi persoalan. Bukan GBHN. Bukan juga isi UUD 1945. Masalah besarnya adalah moralitas dan kapasitas pemimpin. Kapasitas politisi. Itu yang menjadi problem utama. Inilah yang absen. Inilah yang menyebabkan politik Indonesia menjadi kacau. Sebaik apa pun GBHN dan UUD, tidak ada artinya kalau para politisi dan pimpinan negara tidak punya moralitas dan kapasitas. Sehebat apa pun GBHN, di tangan orang yang ‘brainless’ tetap saja tidak ada gunanya. Begitu pula UUD. Jadi, presiden tanpa GBHN bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah kalian tak punya moralitas. Kalian curangi proses pilpres sehingga dimenangkanlah orang yang tidak berkapasitas. Yang tidak bisa apa-apa. Kalian atur lembaga pelaksana pemilu agar capres kalian menang. Inilah yang menjadi masalah mendasar. Capres yang bagus kualitasnya kalian rekayasa menjadi kalah. Padahal, jelas-jelas capres yang dikalahkan itu punya kemampuan dan dipilih oleh mayoritas rakyat. Kalian singkirkan capres yang memiliki visi pembangunan jangka panjang. Yang paham tentang kesinambungan. Kalian paksakan capres yang berambisi jangka pendek. Yang tidak paham meletakkan dasar-dasar pembangunan yang bervisi jauh ke depan. Sekarang, kalian salahkan ketiadaan GBHN. Capres berkapasitas yang dipilih mayoritas, kalian paksa kalah. Berantakanlah. Kesapakatan mayoritas rakyat, kalian batalkan dengan kekuasaan kalian. Rakyat mengatakan capres ini mampu mendefinisikan pembangunan yang berkelanjutan. Tapi kalian intervensi semua lembaga pemilu, lembaga peradilan, dan lembaga kekuasaan lainnya agar capres pilihan mayoritas itu tidak menang. Akibatnya sangat fatal. Negara ini terombang-ambing. Rajut sosial compang-camping. Perekonomian dan pembangunan morat-marit. Presiden kalian tebirit-birit. Dia menyerahkan banyak urusan kepada beberapa orang saja. Pembangunan infrasturktur dan pengembangan ekonomi dilaksanakan acak-acakan, tanpa pedoman. Inilah pilihan kalian, ahli pencitraan. Tidak ada kapasitas. Dan berada di bawah kendali koalisi. Koalisi yang hanya memikirkan dana parpol dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada. Kalau presiden memiliki kapasitas, dia tak akan mengutamakan pencitraan untuk ditayangankan di televisi. Tak ada moral, nol kapasitas. Dia tidak tahu bahwa dia tak mampu. Tapi kalian paksakan terus. Tanpa moral, kalian paksakan kemenangannya. Dan tanpa moral juga, dia terima kemenangan syubhat itu. Tanpa kapasitas, dia jalankan jabatan yang direbut secara brutal itu. Sekarang, kalian mulai ragu. Pembangunan tanpa visi. Tidak ada arah. Tak jelas apa yang ingin dicapai dalam 20-25 tahun ke depan. Dia tak punya bayangan. Asyik dengan angan-angannya sendiri. Itulah akibat ketiadaan moralitas dan kapasitas. Tidak ada rasa malu ketika rakyat memberikan aba-aba “sudah cukuplah Anda”. Inilah yang disebut tak bermoral. Setelah dipaksakan terus, pengelolaan negara menjadi amburadul. Inilah pertanda nol-kapasitas. Moralitas sangat krusial. Itulah yang membuat proses pemilihan pemimpin dan rekrutmen politik menjadi relatif bersih di mesin demokrasi Barat. Pencurangan suara adalah dosa besar bagi mereka. Orang yang melakukan itu akan hilang dari peredaran. Karir mereka selesai. Moralitas politisi di negeri lain didukung oleh moralitas dua pilar demokrasi lainnya. Yaitu, media massa dan sistem peradilan. Di sana, tidak akan pernah terjadi media massa mendiamkan para politisi bejat. Meskipun media tsb adalah pendukung ideologi partai si politisi bejat itu. Di sini, media massa mainstream terang-terangan melindungi para politisi busuk yang mereka sukai. Begitu juga sistem peradilan mereka. Tidak bisa dicampuri oleh siapa pun. Tidak akan pernah ada kontak antara pemegang kekuasaan dengan para hakim. Apalagi intimidasi. Di negeri ini, kelihaian menipu atau mencurangi pemilihan dianggap sebagai kehebatan. Para politisi tak merasa risih ketika kekalahan mereka, dengan segala cara, mereka balikkan menjadi kemenangan. Inilah yang sekarang mencelakakan Indonesia. Pada usia 70 tahun tempo hari, seharusnya Indonesia memiliki pemimpin yang cerdas, kuat, dan jujur. Yang lahir dari proses seleksi demokratis tanpa rekayasa dan intervensi. Dia lahir dari pergelutan kapasitas di bawah sorotan tajam media massa. Kalau pemimpin punya moralitas, dia pasti menghindarkan perbuatan korup. Dan jika dia punya kapasitas, dia akan mampu dan mengerti menjalankan pemerintahan. Dengan sendirinya, dia paham tentang konsep pembangunan yang berkesinambungan. Dia tahu tujuannya dan paham cara mencapainya. Tanpa GBHN. Jadi, sekali lagi, semua ini bukan soal GBHN. Melainkan moralitas dan kapasitas. Kalau kedua aspek ini eksis, insyaAllah Indonesia akan memiliki pemimpin yang hebat dari segala sisi. (19 Agustus 2019)
Pepesan Kosong Kabinet Jokowi-Ma’ruf
Mana mungkin Golkar, PKB, dan Nasdem bersedia mendapat jatah satu kursi sama dengan parpol lain, termasuk yang tidak lolos parlemen seperti Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Menyimak penjelasan Presiden Jokowi kepada para pimpinan media soal komposisi kabinet, hampir dapat dipastikan banyak parpol yang bakal gigit jari. Apalagi partai pendukung paslon 02 yang ingin merapat ke pemerintah. Termasuk Gerindra. Jangan terlalu terbuai mimpi mendapat banyak jatah kursi, konon pula pos-pos kementerian yang basah dan prestisius. Bisa masuk dan mendapat pos alakadarnya saja, sudah sangat beruntung. Seperti pengakuan Jokowi, susunan kabinetnya sudah final. Ada menteri yang berusia di bawah 30 tahun. Ada yang berusia antara 30-40 tahun. Keduanya berasal dari kalangan profesional. Jokowi mengklaim, rekam jejak manajerialnya, bagus. “Profesional akan mendapat porsi 55 persen, dan parpol 45 persen,” ujarnya. Dengan rumus tersebut, berarti kalangan parpol hanya akan kebagian 15 kursi. Maksimal 16 kursi. Hal itu sesuai dengan ketentuan UU jumlah kementerian sebanyak 34. Mari berhitung berapa kira-kira jatah menteri yang akan didapat masing-masing parpol. Pada Pilpres 2019 Jokowi-Ma’ruf diusung oleh 9 parpol : PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI. Belakangan Gerindra diajak masuk. Jadi setidaknya akan ada 10 partai di koalisi pemerintah. Bila ditambah dengan Demokrat yang sudah menyatakan mendukung pemerintah, jumlahnya 11 parpol. Ketua Umum PDIP Megawati dengan tegas minta Jokowi memberikan jatah kursi terbanyak kepada partainya. Permintaan yang sulit ditolak. Bagaimanapun Jokowi adalah kader dan petugas partai. Seandainya jatah kursi menteri disamakan dengan kabinet Jokowi-JK, maka setidaknya ada lima menteri asal PDIP. Menko PMK Puan Maharani, Mensekab Pramono Anung, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Menkumham Jasona Laoly. Oh iya tolong diingat, barangkali ada yang lupa, atau tidak tahu. Masih ada satu orang lagi ternyata, yakni Menkop Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Dengan PDIP mendapat jatah yang sama, maka tinggal tersisa 10-11 kursi. Bila benar Gerindra mendapat tawaran tiga orang menteri, maka jumlah yang tersisa untuk partai lain, tinggal 7-8 menteri. Sangat tidak masuk akal. Mana mungkin Golkar, PKB, dan Nasdem bersedia mendapat jatah satu kursi sama dengan parpol lain, termasuk yang tidak lolos parlemen seperti Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI. Lebih tidak mungkin lagi Golkar, PKB, dan Nasdem bersedia diberi kursi lebih sedikit dari Gerindra. (Masih tarik menarik) Dengan kalkulasi semacam itu, kendati Jokowi menyatakan susunan kabinet sudah final, namun sesungguhnya di balik layar masih jauh dari final. Sedang terjadi negosiasi, tarik menarik, dan tekan menekan menekan antar-kubu pendukung Jokowi. Sikap Ketua Nasdem Surya Paloh yang belakangan sering sangat kritis terhadap pemerintah, adalah bagian dari proses itu. Ujungnya bisa bertemu dan tetap berada dalam kabinet. Atau kalau sampai tidak menemukan titik temu, berada di luar kabinet. Berada di luar kabinet adalah opsi yang pasti sangat dihindari oleh parpol pendukung Jokowi-Ma’ruf. Yang berada di luar koalisi saja ingin masuk, masakan yang di dalam malah keluar. Impossible. Hil yang mustahal. Di luar parpol, perlu dicatat banyak kepentingan politik lain yang bermain di seputar Jokowi. Mulai dari kepentingan bisnis lokal maupun internasional, kelompok kepentingan di dalam negeri, dan kepentingan politik asing, terutama negara-negara adidaya seperti AS dan China. Representasi kelompok kepentingan itu bisa tercermin dari berbagai figur “non” parpol seperti Luhut Panjaitan, AM Hendropriyono, Gories Mere, Moeldoko, Sri Mulyani, Rini Soemarno dan beberapa figur lainnya. Sebagian dari mereka adalah proxy. Mereka harus tetap bertahan di lingkar kekuasaan, agar akses dan kepentingan mereka tetap terjaga. Hanya dengan begitu kartu mereka juga tetap hidup dan punya nilai politis dan bisnis. Tak bisa dipungkiri, di luar parpol kelompok kepentingan ini mempunyai peran besar dalam “kemenangan” Jokowi. Hal itu pasti sangat dipahami oleh Jokowi. Kelompok-kelompok kepentingan ini semuanya harus bisa diakomodasi oleh Jokowi. Pos kementerian yang diisi oleh para profesional, tidak selalu dapat diartikan mereka bebas dari kepentingan politik dan bisnis. Bisa saja mereka adalah profesional yang berafiliasi dengan parpol, kepentingan bisnis lokal maupun multinasional, kepentingan kelompok agama dan kelompok tertentu, dan kepentingan negara-negara asing. Menyadari banyaknya kepentingan semacam itu, maka sangat wajar bila para petinggi parpol kini tengah berjibaku, menggunakan berbagai macam cara untuk mengamankan kursinya. Khusus bagi Gerindra, bila akhirnya hanya mendapat pos satu atau maksimal dua kementerian, maka harga politik yang harus dibayar sangat mahal. Kecuali bila mendapat kompensasi berupa pos-pos lain di luar kabinet dan konsesi bisnis yang memadai. Lebih parah lagi kalau sampai Gerindra sama sekali tidak jadi mendapatkan kursi. Itu namanya ribut-ribut rebutan pepesan kosong. Dalam politik memang tidak ada Nasi Goreng yang gratis. End
Melawan Megawati, Jokowi Terpapar Radikal?
Presiden Joko Widodo terpapar paham radikal? Jika mengacu pada perbedaan pendapat dan berseberangan itu dianggap radikal, maka Jokowi bisa dikategorikan terpapar radikal karena berbeda sikap dengan PDIP. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rencana amandemen terbatas UUD 1945 yang sebelumnya disepakati DPR, tampaknya bakal ditolak Presiden Joko Widodo. Sikap Presiden Jokowi ini jelas berseberangan dengan PDIP, parpol pengusung5 utama saat Pilpres 2014 dan 2019. Dia mengisyaratkan menolak amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menghidupkan kembali, menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN. “Saya ini kan produk pemilihan langsung,” ujarnya saat makan siang bersama para pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019, seperti dilansir oleh Tempo.co, Rabu (14/8/2019). Jokowi menyatakan, GBHN juga tidak diperlukan lagi. Alasannya, zaman bergerak dengan cepat dan dinamis sehingga harus direspons dengan cepat. Menurutnya, GBHN tak memiliki kemampuan untuk menjawab perkembangan zaman tersebut. Jokowi kemudian menuturkan, arah pembangunan sebenarnya sudah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Nasional (RPJMN dan RPJPN).MPR merancang amendemen kelima UUD 1945 sejak tahun lalu. Rencana perubahan konstitusi didasari keinginan sejumlah parpol untuk menghadirkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mereka berpendapat GBHN penting untuk menyelaraskan visi dan misi pembangunan. Mayoritas partai di parlemen dikabarkan telah menyepakati amendemen terbatas ini. Masa jabatan parlemen periode 2014-2019 yang sudah hampir habis membuat pembahasan tersebut dilimpahkan kepada anggota MPR periode 2019-2024. Dalam rekomendasi hasil Kongres V PDIP di Denpasar, partai yang dipimpin Megawati itu juga kembali menegaskan perlunya amandemen UUD 1945 untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional dengan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, amendemen terbatas merupakan tanggung jawab partainya memberikan arah dan kepastian pembangunan nasional. Menurutnya, amendemen tersebut justru akan menjadi warisan kepemimpinan Jokowi yang visioner. “Pak Jokowi itu kader PDIP, apa yang telah dilakukan presiden justru akan menjadi dasar bagi rancangan haluan negara tersebut,” kata Hasto lewat keterangan tertulis, kemarin. Hasto juga menjamin amendemen tersebut tak akan melemahkan sistem presidensial. Ketum DPP Partai NasDem Surya Paloh menilai, wacana amandemen terbatas UUD 1945 perlu kajian lebih lanjut. Ia menyatakan, partainya di parlemen akan melihat seberapa jauh urgensi dari wacana amendemen tersebut. “Saya pikir dalam pengkajian, kalau tidak menutup kemungkinan NasDem lihat mana jauh lebih berarti,” ungkap Surya Paloh, seperti dilansir Tribunnews.com, Kamis (15/8/2019). “Kita ikut segera lakukan amendemen UUD, kita kembali ke UUD 1945 seutuhnya, atau terima model dan sistem demokrasi yang seperti ini dengan segala konsekuensi?” lanjut Surya Paloh. Satu diantara wacana amandemen terbatas adalah menghidupkan kembali GBHN. Ia menilai jika amandemen itu membuat negara lebih baik, dia akan mendukung hal itu. Sebaliknya, jika tidak baik, menurutnya, tak perlu ada yang diubah. “Jika kita anggap ini sudah paling bagus, semakin mendekati cita-cita kemerdekaan, ngapain diubah? Tapi kalau ancam negara kesatuan, kita ini hanya berikan kebebasan berserikat yang dipaparkan dengan kelompok radikalisme, sekali lagi radikalisme, dan garis keras, perlu kita kaji,” ucapnya. Sebelumnya, MPR masa kepemimpinan Zulkifli Hasan (2014-2019) akan mengeluarkan rekomendasi untuk mengamandemen terbatas UUD 1945. Khususnya, pasal yang mengatur eksistensi dan kedudukan MPR. Yang intinya agar MPR diberikan kembali wewenang untuk menetapkan GBHN atau pembangunan nasional semesta berencana. Rekomendasi tersebut nantinya akan diberikan kepada MPR periode selanjutnya, 2019-2024. “Kita sudah sepakat perlunya amandemen terbatas UUD 1945. Jadi, karyanya MPR sekarang pokok-pokok pikiran perlunya amandemen terbatas, ada bukunya, ada karyanya,” katanya, Rabu (24/7/2019). Selain amandemen soal GBHN, ternyata Presiden Jokowi juga menyatakan tidak setuju atas wacana agar pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan lagi sebagai kewenangan MPR RI, bukan dipilih langsung oleh rakyat. Wacana itu sedang membahana seiring adanya usulan UUD 1945 diamandemen agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, dan pengembalian pemberlakuan GBHN. Kata Jokowi, sistem pilpres secara langsung yang telah diterapkan sejak 2004 sudah tepat. “Saya ini terpilih jadi presiden melalui sistem pemilu langsung, jadi kenapa harus kembali ke sistem yang lama,” tukas Jokowi. Menurutnya, sistem pilpres langsung seperti kekinian sudah tepat, tak lagi perlu diubah, apalagi dikembalikan pada mekanisme perwakilan. Ia justru mengkhawatirkan, kalau sistem pilpres kembali memakai mekanisme keterwakilan via voting anggota MPR, bisa menimbulkan reaksi beragam dari berbagai kalangan sehingga membuat kegaduhan politik. *Kapitalis Radikal* Surya Paloh menyebutkan bahwa sistem bernegara Indonesia menganut sistem kapitalis yang liberal. Ia mengatakan itu ketika memberikan kuliah umum di Kampus UI, Jakarta Pusat, yang bertajuk “Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan”. “Ketika kita berkompetisi (dalam pilpres dan pilkada), wani piro. Saya enggak tahu lembaga pengkajian UI ini sudah mengkaji wani piro itu saya enggak tahu, praktiknya yang saya tahu money is power, bukan akhlak, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan ilmu pengetahuan juga. Above all, money is power,” kata Surya Paloh, Rabu (14/8/2019). Artinya, lanjut dia, sebenarnya Indonesia malu-malu kucing untuk mendeklarasikan sebagai negara kapitalis yang liberal. “Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal, itulah Indonesia hari ini,” jelas Surya Paloh. Tokoh nasional ini pun menyayangkan sistem politik yang cenderung kapitalis dan liberal di Indonesia, di mana tidak mendapat perhatian para akademisi. Padahal, realitas di Indonesia saat ini bertentangan dengan Pancasila. “Tidak ada pengamat, lembaga penelitian dan lembaga ilmiah tidak memperhatikan. You tahu enggak bangsa kita ini adalah bangsa yang kapitalis hari ini. You tahu enggak bangsa kita ini bangsa yang sangat liberal hari ini,” katanya. “Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila. Tanpa kita sadari juga, kalau ini memang kita masuk dalam tahapan apa yang dikategorikan negara kapitalis,” papar Surya Paloh, seperti dilansir Republika.co.id, Rabu (1/8/2019). Menurut dia, saat ini Indonesia terlalu bersahabat dengan pragmatisme transaksional. Kita bertikai satu sama lain. Kita dekat dengan materialistik, kita bersahabat dengan pragmatisme transaksional, kita pakai jubah nilai-nilai religi. “Tapi kita sebenarnya penuh hipokrisi (munafik),” ujar Surya Paloh. Ia juga mempertanyakan apakah masyarakat Indonesia mampu mempertahankan NKRI ini karena sistem yang tumbuh dan berkembang adalah non-Pancasila. “Ada ideologi baru yang ditawarkan, entah apa bentuknya, saya minta penelitian dari UI,” pinta Surya Paloh tanpa menyebutkan ideologi yang dimaksud. Namun, dari narasi yang sering diucapkan pejabat, biasanya khilafah. Menurut pengamat politik Dedi Kurnia Syah, penyataan Surya Paloh tentang Indonesia yang sekarang menganut sistem negara kapitalis yang liberal bukan lagi bersandar pada ideologi Pancasila. Bagian dari motif politik NasDem untuk tidak didepak dari koalisi. Jadi, pernyataan Surya Paloh ini memiliki maksud terselubung untuk menyerang pemerintah. “Hemat saya, statement SP secara konteks bisa saja benar, dan ini adalah sikap kritis politisi. Meskipun di belakang itu, ada semacam motif politik untuk menyerang pemerintah,” ujarnya. “Termasuk serangan terhadap PDIP sebagai mitra koalisi yang juga menaungi Presiden,” ujar Dedi Kurnia di Jakarta, Kamis (15/8/2019). Menurutnya, ada dua alasan dimana Surya Paloh yang secara terang-terangan berani mengeluarkan statement tersebut. “SP bicara dalam kapasitas politisi, dia memahami antara realitas dan konsep yang hanya dipahami di atas kertas,” ujarnya. Kedua, relasi Surya Paloh tengah di ambang keretakan antara Presiden Jowi dengan Nasdem itu sendiri. Terlebih, hingga saat ini baik Surya Paloh maupun Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pamer kekuatan di internal koalisi. “Secara politik menjadi penanda jika hubungan SP dan Presiden dalam kondisi tidak baik, termasuk juga relasinya dengan mitra koalisi secara khusus PDIP,” tegas Dedi Kurnia, seperti dilansir PolitikToday.com, Kamis (15/8/2019). Keditakharmonisan Surya Paloh (NasDem) dengan Megawati (PDIP) jelas akan berpengaruh pada posisi sebagai Presiden Terpilih pada Pilpres 2019. Apalagi, terkait dengan amandemen UUD 1945, Jokowi “berseberangan” dengan PDIP. Jika Jokowi tidak hati-hati, bukan tidak mungkin Megawati akan memobilisasi kekuatannya bersama parpol sevisi di DPR untuk “menghadang” Jokowi di MPR. Lho, koq bisa? Politik itu dinamis, Bro! Bisa saja petanya berubah setiap saat! ***
Serangan Siber Bisa Hancurkan Perekonomian Indonesia
Apanya yang terpercaya jika rekening saja tidak aman karena bisa berkurang tanpa diambil pemiliknya, dan bertambah tanpa harus bersusah payah mengumpulkan uang lalu menyetorkannya. Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sabtu, 20 Juli 2019, sejumlah pemilik rekening Bank Mandiri mengeluh, saldo tabungannya berkurang. Tentu ada juga yang kaget, karena saldonya bertambah. Kabarnya, akibat peristiwa itu, bank plat merah tersebut mengalami kerugian triliunan rupiah. Selain itu, masih ada pemilik rekening yang saldo tabungannya bertambah belum mengembalikannya. Totalnya lumayan banyak. Ahad, 4 Agustus 2019, listrik padam/mati akibat gangguan transmisi Jawa-Bali. Akibatnya, listrik di Jakarta, Banten dan sebagian besar Jawa Barat mati total rata-rata 10 jam. Padam terjadi di daerah atau wilayah yang memiliki posisi strategis, baik secara ekonomi, sosial, keamanan dan politis. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) rugi Rp 90 miliar, ditambah tanggungan mengganti kerugian 22 juta pelanggan, yang diperkirakan mencapai Rp 900 miliar lebih. Total sementara PLN harus menanggung beban sekitar Rp 1 triliun, akibat gangguan transmisi yang kabarnya karena kayu sengon. Itu baru kerugian dari sisi PLN. Akan tetapi, dana penggantian dankerugian itu harus diawasi ketat, karena bisa-bisa angkanya di mark-up atau digelembungan. Sedangkan kerugian konsumen sulit dihitung. Sebab, berapa banyak usaha kecil, menengah dan bahkan besar tidak bisa beroperasi karena sangat tergantung pada listrik. Berapa banyak anak sekolah yang tidak bisa belajar karena listrik mati, sementara lilin sulit diperoleh. Berapa banyak anak yang tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI), karena ASI yang biasa disimpan di kulkas ( ibunya bekerja) menjadi basi. Banyak Misteri Dua peristiwa yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut masih menyimpan sejumlah misteri. Sebab, hingga sekarang, belum ada penjelasan resmi yang transparan atau terbuka penyebab pasti kedua peristiwa tersebut. Artinya, keterangan resmi yang dikeluarkan setelah dilakukan investigasi yang melibatkan pihak lain, terutama pihak kepolisian. Keterangan yang keluar dari Bank Mandiri adalah karena sistem teknologi informasinya terganggu. Jika TI-nya terganggu, itu karena apa? Apakah karena kurang perawatan, peralatan yang digunakan sudah daluarsa? Jika itu yang terjadi, siapa yang harus bertanggungjawab? Mengapa bisa terjadi untuk sebuah bank besar seperti Mandiri? Banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Direksi Bank Mandiri. Banyak misteri yang belum terungkap dari peristiwa yang dialami bank yang terkenal dengan moto, "Terdepan, Terpercaya Tumbuh Bersama Anda," itu. Apanya yang terpercaya jika rekening saja tidak aman karena bisa berkurang tanpa diambil pemiliknya, dan bertambah tanpa harus bersusah paya mengumpulkan uang lalu menyetorkannya. Pihak Mandiri membantah jika peristiwa tersebut akibat serangan hacker. Akan tetapi, banyak yang tidak percaya akan bantahan itu. Sebab, gangguan tersebut terjadi karena adanya sistem yang bekerja tidak baik. "Perubahan kemarin terjadi karena semacam multifuntion hadware. Dalam kesempatan ini data nasabah tidak ada yang hilang. Semua aman, " ucap Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri, Hery Gunardi, ketika menjelaskan peristiwa buruk yang dialami bank itu. Betul data nasabah aman. Yang tidak aman itu isinya alias saldonya. Kok bisa saldo nasabah berubah? Masak sekelas bank yang memiliki aset Rp 1.206 (angka 2018) triliun itu bisa terganggu TI-nya? Apa tidak ada dana pemeliharaan rutin atau dana pembelian perangkat baru? Bobol Bank Lain Tidak menutup kemungkinan, kasus yang menimpa Bank Mandiri akan terjadi pada bank lainnya, terutama bank plat merah. Kasus pembobolan ATM juga dulunya dialami sedikit bank. Tapi lama-lama dialami banyak bank, terutama bank besar, karena pembobolnya melibatkan orang dalam bank. Kasus berkurangnya saldo nasabah di Bank Mandiri hendaknya menjadi peringatan keras yang tidak bisa dianggap main-main oleh pemangku kepentingan perbankan, terutama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai sebuah objek yang sangat vital di sektor perekonomian, kasus Bank Mandiri harus mendapatkan perhatian dan pengamanan dari kepolisian, terutama yang menangani cyber atau siber. Sebab, perampokan uang nasabah tidak lagi dilakukan secara konvesional (meski masih ada). Kasus perampokan nasabah dengan cara ditodong sepulang mengambil uang dari bank, kasus menggembosi ban mobil nasabah, sudah semakin jarang terjadi. Yang sering muncul, ya pembobolan ATM dan pembobolan rekeningnya secara canggih. Kasus terakhir ini bisa semakin sering terjadi lagi seiring dengan kecanggihan teknologi. Mengapa? Patut diduga, kasus Bank Mandiri sebagai uji coba terhadap pertahanan perbankan nasional. Uji coba untuk mengganggunya. Jika pada akhirnya ditemukan gangguan yang dilakukan secara sengaja (baik dari orang dalam), apalagi dari luar (bisa bank pesaing atau bisa juga ulah asing dan aseng), maka betapa lemahnya sistem keamanan perbankan kita. Jika uji coba ini berhasil, tidak menutup kemungkinan akan terjadi gangguan terhadap sistem perbankan nasional secara berturut-turut. Hal itu akan menyebabkan perekonomian nasional porak-poranda. Misalkan, tiba-tiba sistem dalam ATM atau yang berhubungan dengan uang elektronik atau E-Money diganggu dalam waktu sehari atau dua hari atau seminggu. Akibatnya, berapa banyak masyarakat yang tidak bisa berbelanja. Bahkan, mereka yang tidak memegang uang kontan -- karena telah mempercayakan transaksi lewat E-Money -- bisa kelaparan. Mau belanja atau makan di warung sederhana tak punya uang kontan, kalau makan atau belanja di restoran atau swalayan tidak bisa karena jaringan sedang terganggu. Ya, peristiwa yang terjadi pada Bank Mandiri dan PLN perlu dicermati. Perlu investigasi yang lebih mendalam. Pihak-pihak yang bertanggunggajawab di kedua BUMN itu jangan buru-buru mengeluarkan pernyataan yang menganggap persoalannya spele. Lakukan investigasi -- jika perlu investigasi independen -- sehingga terbongkar borok-borok yang sebenarnya. Bank Mandiri dengan jumlah nasabah 83,5 juta masih rentan diganggu. Saya belum mendengar keterangan dari direksinya, apakah kasus yang baru menimpa Mandiri menyebabkan nasabah eksodus ke bank lainnya. Atau barangkali, kasus Mandiri itu menyebabkan masyarakat semakin rajin menyimpan uangnya di bawah bantal, membeli emas, menyimpan dalam bentuk mata uang asing atau tabungan dalam investasi lainnya. *
Gandhi, Spirit Swadesi dan Perang Dagang Indonesia-Tiongkok
Gandhi mengajarkan gerakan swadesi, maksudnya “makan dan pakai apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Dalam bahasa sederhana, konsep swadesi menurut Gandhi mengarah pada Swarajya (kemerdekaan). Dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule), yang bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance). Oleh Haris Rusly Moti Jakarta, FNN - Garam dan Mahatma Gandhi tak bisa dipisahkan. Gandhi dan para pengikutnya pernah melakukan civil disobedience. Mereka memprotes monopoli garam oleh pemerintah kolonial Inggris. “Satyagraha” adalah salah satu ajaran Gandhi tentang civil disobedience atau pembangkangan sipil. Gandhi memperkenalkan ajaran pembangkangan sipil yang dilakukan secara damai, tanpa kekerasan, disebut “ahimsa”. Kata orang Jawa “ndilalah”, kebutulan pada tahun 1930, di waktu Gandhi melancarkan protes itu. Ketika itu juga sedang terjadi the great depression (depresi akbar) yang mengguncang negara-negera kapitalis imperialis, Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di Indonesia pada tahun 1929 itu, “ndilalah” Bung Karno juga ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Ketika itu Bung Karno masih 28 tahun. Pada 30 Desember 1930 itu, ketika “gempa malaise” meruntuhkan pasar-pasar saham di negeri barat. Di dalam ruang sidang, Bung Karno dengan lantang membacakan pledoinya. Di depan hakim pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, Bung Karno meneriakan: “Indonesia Menggugat”. Dua tahun sebelumnya, 1928. Satu tahun sebelum gempa ekonomi the great depression. Di atas tanah negeri Belanda, Bung Hatta lebih dulu diadili. Ketika itu, Bung Hatta masih berumur 26 tahun. Bung Hatta membacakan pembelaannya di depan pengadilan dengan judul yang menantang negara penjajah, “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij). Dalam pidato pembelaan itu, Bung Hatta mengecam keras kejahatan dan kekejaman pemerintahan kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia. Berbeda sudut pandang dengan pledoinya Bung Karno, yang menentang penghisapan dan penindasan oleh sistem kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Gandhi dan Spirit Swadesi Jika mengacu pada ajaran Hindu, maka sosok Gandhi dapat saja dikatakan sebagai salah satu bentuk reinkarnasi spirit Wisnu. Wisnu pernah reinkarnasi di dalam wujud Rama yang menentang Rahwana raja durjana. Pada episode yang lainnya, Wisnu juga pernah reinkarnasi di dalam wujud Sre Kresna dalam kisah Mahabarta. Reinkarnasi Wisnu dalam berbagai wujud biasanya dikaitkan dengan ketidakseimbangan kehidupan akibat keserakahan, penghisapan dan penindasan. Reinkarnasi Wisnu mengandung misi menegakan kembali keseimbangan kehidupan, meluruskan kembali yang dibengkokan. Kata Wisnu dalam wujud Sre Kresna kepada Arjuna, “...kapanpun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, aku pasti turun menjelma. Demi tegak kembali kebenaran, aku sendiri akan menjelma dari zaman ke zaman\". Keserakahan kapitalisme serta eksploitasi kolonialisme dan imperialisme di Asia dan Afrika adalah sebab utama yang mengakibatkan runtuhnya keseimbangan kehidupan umat manusia. Kata Qur’an, “...dan langit telah ditinggikannya dan Dia letakkan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu…” (surat Ar-Rahman). Pada waktu itu, di India, melalui Undang-Undang Garam, pemerintah kolonial Inggris membuat kebijakan untuk memonopoli produksi dan penjualan garam. UU Monopoli Garam itu diantaranya melarang kaum pribumi di India untuk memproduksi atau menjual garam. Rakyat India kemudian dipaksa membeli garam dari tangan pemerintah kolonial Inggris. Harga garam ketika itu dibanderol sangat mencekik. Mahal tak terjangkau. Itu akibat monopoli dan pengenaan pajak penjualan yang sangat tinggi. Momentum itu membangkitkan Gandhi. Bersama 79 orang pengikutnya, Gandhi kemudian melakukan longmarch. Dimulai dari tempat tinggalnya di Sabarmati Ashram di Gujarat menuju kota Dandi di pesisir Laut Arab. Sekitar 387 kilometer jauhnya. Banyak kaum pribumi yang kemudian ikut bergabung dalam perjalanan panjang longmarch itu. Pada tahap berikutnya, Gandhi dan para pengikutnya kemudian melancarkan protes dengan cara membuat sendiri garam dari air laut. Gerakan pembuatan garam yang dipelopori oleh Gandhi itu segera meluas menjadi sebuah gerakan nasional. Rakyat di sejumlah wilayah lain di India juga mengikuti gerakan Gandhi tersebut. Gandhi mengajarkan gerakan swadesi, maksudnya “makan dan pakai apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Dalam bahasa sederhana, konsep swadesi menurut Gandhi mengarah pada Swarajya (kemerdekaan). Dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule), yang bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance). Gandhi menuliskan “...satu negara yang rakyatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangannya secara mandiri, tidak akan bisa mencapai atau menikmati Swarajya (kemerdekaan) yang sesungguhnya...” Pada prinsipnya, sebuah bangsa yang tidak mandiri secara ekonomi, mustahil dapat berdaulat secara politik. Karakter dan kepribadian bangsa itu juga otomatis hancur dengan sendirinya jika senantiasa bergantung secara ekonomi, baik ketergantungan modal maupun produk bangsa lain. Gandhi bukan yang pertama melancarkan gerakan swadesi. Istilah swadesi memang dari Gandhi. Namun spirit dan metode gerakan swadesi itu sendiri sebetulnya diinspirasi oleh “Lokmanya” Bal Gangadhar Tilak, seorang pejuang kemerdekaan India. “Lokmanya” adalah sebutan penghormatan untuk Tilak, artinya “pemimpin rakyat yang terkasih”. Tilak yang mempelopori gerakan pasif melawan kolonialisme Inggris, antara tahun 1900-1905. Bentuk gerakan pasif itu adalah boikot produk Inggris. Diantaranya Tilak mengajak tuan-tuan tanah untuk tidak menjual kapas hasil panen ke Inggris. Bentuk yang lainnya adalah mengajak rakyat untuk tidak membeli, memakan dan memakai produk industri Inggris. Aksi boikot terhadap produk Inggris yang dipelopori Tilak ketika itu mendapat dukungan luas secara nasional. Kaum cendekiawan, tuan-tuan tanah, saudagar besar dan kecil, emak-emak, hingga rakyat jelata, buruh dan tani mendukung dan terlibat dalam gerakan itu. Aksi boikot produk Inggris itu dilatarbelakangi oleh kebijakan yang mengharuskan penjualan kapas hasil perkebunan milik tuan-tuan tanah ke pemerintah kolonial Inggris dengan harga yang sangat murah. Kapas hasil perkebunan di India itu kemudian diolah oleh industri di Inggris menjadi tekstil dan produk tekstil, lalu dijual kembali ke India dengan harga yang sangat mahal. Perang Dagang dengan Tiongkok Spirit swadesi yang dilancarkan oleh Gandhi dan Tilak itu perlu dikobarkan kembali di negeri kita saat ini. Ketika bangsa Indonesia dibanjiri oleh produk impor, khususnya dari Tiongkok. Memang dulu, baik Bung Karno maupun Bung Hatta, pernah mengkritik “copy paste” metode gerakan swadesi itu oleh sejumlah pejuang kemerdekaan. Di zaman itu, Bung Karno memang tidak setuju dengan metode gerakan swadesi, atau boikot produk penjajah. Menurut Bung Karno, gerakan swadesi tidak menemukan alas teori yang kuat untuk dipraktekan di Indonesia pada tahun-tahun itu. Kata Bung Karno, kolonialisme Belanda di Indonesia adalah bentuk kolonialisme paling primitif yang membumihanguskan industri di dalam negeri Indonesia. Akibatnya industri di dalam negeri Indonesia tidak tumbuh seperti di India. Belanda ketika itu bukanlah sebuah negara industri. Karena itu, Belanda hanya menjadikan Indonesia sebagai sumber eksploitasi bahan mentah untuk dijual ke Eropa. Sejumlah industri di dalam negeri Indonesia yang pernah tumbuh sebelumnya justru musnah di era penjajahan Belanda. Karena itu, kata Bung Karno, kita tidak mungkin mencapai kemerdekaan atau “swarajya” melalui metode swadesi. Berbeda dengan India, yang dijajah oleh Inggris, sebuah negara industri maju. Sebagai negara industri, Inggris selain menjadikan India sebagai sumber eksploitasi bahan mentah, seperti kapas, dll. Inggris juga menempatkan India sebagai pasar bagi produk industrinya. Karena itu, Inggris juga membutuhkan meningkatnya daya beli di tanah jajahan. Maka tumbuhlah sejumlah industri, seperti industri pertanian, industri baja, industri tekstil. Pabrik-pabrik tumbuh untuk menyerap lapangan pekerjaan. Institusi pendidikan untuk mendidik rakyat juga didorong oleh pemerintahan kolonial Inggris. Tenaga terdidik dan terampil itu akan dijadikan sebagai penopang industri, yang akan turut mendongkrak daya beli masyarakat. Ketika Tilak melancarkan boikot produk Inggris untuk mencapai kemerdekaan, gerakan ini menemukan alas teoritiknya. Gerakan ini ditopang oleh basis kekuatan politik dari industri dalam negeri India yang sedang tumbuh, yaitu kaum terpelajar, tuan-tuan tanah, saudagar, pengrajin kecil, petani dan buruh yang dirugikan oleh kebijakan kolonialisme Inggris. Bagaimana dengan keadaan bangsa kita saat ini? Ketergantungan bangsa kita pada modal (utang) dan produk asing (impor) telah memasuki tahap yang mulai mencelakakan bangsa kita sendiri. Industri nasional milik anak-anak bangsa kita sebelumnya mulai tumbuh dan mekar. Namun kini, industri itu mulai runtuh berkeping-keping digempur oleh kebijakan perdagangan bebas, paket kebijakan liberalisasi investasi, hingga liberalisasi impor. Sebetulnya sejak ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA) efektif dijalankan pada tahun 2010, mulai saat itu industri nasional kita tidak bisa lagi tegak berdiri di kaki sendiri. Produk China seperti tekstil, makanan, minuman, kosmetik, fiber sintetis, elektronik (kabel) dan peralatan listrik, kerajinan rotan, permesinan, besi serta baja merajalela pasar dalam negeri. Semuanya hampir dipasarkan dengan harga murah (low price), lebih murah ketimbang produk dalam negeri kita. Kini sejumlah industri nasional, baik milik kaum pribumi maupun punya orang tionghoa, yang telah runtuh itu mulai diubah menjadi gudang-gudang untuk menampung produk barang impor, terutama produk impor yang datang dari negeri Tiongkok yang sedang membanjiri pasar kita. Sama sekali tidak ada perlindungan atau proteksi dari pemerintah yang berkuasa. Padahal, di dalam Pembukaan UUD 1945 diantaranya telah mengamanatkan salah satu tujuan membentuk pemerintah negara Indonesia, yaitu “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Perwujudan amanat konstitusi tersebut di bidang ekonomi adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi atau memproteksi industri nasional kita dari gempuran produk industri asing. Pemerintah juga wajib melindungi pekerja nasional dari serbuan pekerja dari Tiongkok. Karena itu, tidak salah jika gagasan penulis untuk mendorong pemerintah melancarkan perang dagang Indonesia dengan Tiongkok sebagai bentuk baru dari gerakan swadesi. Perang dagang Indonesia dengan Tiongkok yang disertai gerakan boikot produk Tiongkok sangat tepat dan menemukan alas teoritik maupun legitimasi konstitusionalnya. Sekali merdeka, tetap merdeka!! * Haris Rusly Moti, Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 dan Pemrakarsa Intelligence Finance Community
Perlu Diaudit: Kekayaan Para Mantan Presiden, Wapres, Menteri, Dirut BUMN
Audit dan pemeriksaan kekayaan itu akan membersihkan para mantan pejabat negara dari sangkaan negatif publik. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sambil merenungkan makna kemerdekaan Indonesia yang ke-74, pantas juga kita diskusikan sangkaan negatif terhadap para mantan presiden, wapres, menteri, dan para pejabat tinggi lainnya. Yaitu, kecurigaan terhadap harta kekayaan mereka. Ada baiknya sangkaan negatif itu segera dilenyapkan. Untuk menghilangkan kecurigaan itu, tampaknya perlu diusulkan agar kekayaan para mantan pejabat tinggi diaudit. Deperiksa, diselidiki secara detail. Dengan langkah audit ini, para mantan pejabat tinggi tidak lagi menjadi sasaran kecurigaan dan gosip. Sebagai contoh, semua rekening bank mereka dan sanak keluarga mereka diperiksa. Semua tansaksi diteliti dan ditelusuri oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bersama-sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PPATK bisa mengungkap semua transaksi. Bisa dipastikan publik sangat mendukung. Dan para mantan pejabat pun pasti lega. Karena mereka bisa menunjukkan integritas dan nama baik mereka. Audit dan pemeriksaan kakayaan itu akan membersihkan para mantan pejabat negara dari sangkaan negatif publik. Begitu pula dengan para mantan menteri, pejabat setingkat menteri, dirut BUMN, dlsb. Setelah audit menyatakan mereka bersih, maka tim penyelidik khusus (TPK) bisa mengumumkan kepada publik bahwa kekayaan para mantan pejabat tinggi negara, tidak perlu diragukan. Rekening mereka dan sanak keluarga mereka sudah periksa. Terbukti bersih dari transaksi yang mencurigakan. Dengan begini, masyarakat tahu bahwa orang-orang yang disangsikan harta kekayaannya ternyata tidak bersalah. Mengapa audit ini perlu dilakukan? Kebijakan pemerintah untuk memulihkan perekonomian dan keuangan akibat krisis moneter 1998, sangat rentan untuk dikorupsi. Salah satunya adalah proses reformasi dan penyelamatan sektor perbankan. Waktu itu, banyak bank yang terancam gulung tikar. Negara mengambil tindakan untuk menertibakan sistem perbankan dan menolong bank-bank yang sedang kolaps. Masa-masa pemerintahan para presiden yang silih berganti setelah kejatuhan Pak Harto, adalah periode yang sangat labil. Sangat banyak peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sebagai contoh adalah kebijakan Presiden Megawati Soekarnoputri ketika menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk obligor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI dikeluarkan untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan uang (likuiditas) menyusul krisis moneter 1997-1998 itu. Untuk memantau BLBI, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) beberapa bulan sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Megawati berakibat fatal, kata mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie. “SKL sangat berbahaya dan akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Akan mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar," kata Kwik saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi BLBI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 5 Juli 2018. Kwik bersaksi untuk terdakwa eks-Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung, yang kemudian dihukum 15 tahun penjara. Namun, anehnya, Syafruddin Temenggung akhirnya dinyatakan bebas oleh MA setelah menerima permohonan kasasi dari terpidana. Tetapi, Syafruddin tetap disebut melakukan korupsi. KPK mendakwa Syafruddin telah merugikan negara Rp 4.58 triliun lewat penerbitan SKL. Kwik, sebagai menteri yang berintegritas di kabinet Megawati, tiga kali menentang penerbitan Inpres 8/2002. Tapi, kata Kwik, akhirnya dia dikalahkan oleh suara para menteri lain yaitu Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, Menteri Keuangan Boediono (yang kemudian menjadi wapres di era SBY), Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan Jaksa Agung MA Rahman. Kwik, tampaknya, punya firasat yang kuat tentang kemungkinan peluang korupsi di balik SKL untuk para obligor BLBI. Sebab, SKL dapat saja diterbitkan untuk obligor (penerima BLBI) yang pura-pura kooperatif tetapi sebetulnya mereka penipu. Audit BPK menemukan 95% dana BLBI atau sekitar 144 triliun sulit dipertanggungjawabkan. Ternyata, dalam penyelidikan ulang kasus BLBI, pihak KPK bisa membuktikan korupsi sebesar 4.5 triliun rupiah. Kwik Kian Gie benar. Sekarang ini, publik masih ingin mengetahui secara tuntas dan transparan apakah Inpres 8/2002 itu memberikan keuntungan pribadi atau tidak kepada para pejabat tinggi waktu itu. Khususnya kepada para menteri yang “mengeroyok” Kwik di sidang kabinet. Atau, apakah Syafruddin Temenggung sendirian yang mengantungi korupsi BLBI sebesar 4.5 triliun itu? Kelihatannya, kecil kemungkinan Syafruddin menggarap sendirian uang BLBI sebanyak 4.5 triliun. Sangat tidak mungkin. Jika demikian, apakah para pejabat tinggi yang disebut-sebut mendukung penerbitan Inpres 8/2002 patut disangka ikut menikmati korupsi BLBI? Kita berharap KPK akan terus menggiring kasus ini ke sana. Jelas sekali ada suasana yang sangat “menggairahkan” di sekitar penerbitan Inpres 8/2002 tsb. Lantas, bagaimana dengan posisi Presiden Megawati di pusaran kasus korupsi BLBI? Wallahu a’lam. Yang pasti, kita menghendaki agar Bu Mega dinyatakan bebas dari “virus BLBI”. Yakni, dinyatakan tidak terlibat penyelewenangan dana BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank swasta yang mengalami masalah waktu itu. Dalam rangka menyatakan bebas “virus BLBI” itulah kita mendorong agar Bu Megawati melakukan pemeriksaan sukarela di KPK. Pemeriksaan di KPK itu termasuklah meneliti dengan cermat semua rekening atas nama Bu Mega dan sanak keluarga dekat beliau. Dengan begini, akan bisa dipastikan Bu Mega tidak tersangkut. Sekali lagi, ini penting dilakukan agar sangkaan-sangkaan negatif terhadap Bu Mega terkait kasus korupsi BLBI, bisa dituntaskan. Langkah ini akan memberikan kebaikan kepada Bu Mega sendiri. Adik beliau, Ibu Rachmawati, termasuk yang meminta agar KPK memeriksa Bu Mega. Kalau penyelidikan dilaksanakan, maka semua kekayaan finansial beliau bisa dipastikan statusnya. Dalam skandal BLBI, juga perlu diperiksa jejak transaksi keuangan mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-jakti, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, dan mantan Jaksa Agung MA Rachman. Tidak hanya Megawati dan para pejabat di era beliau yang perlu diteliti sejarah keuangan mereka. Rakyat juga ingin agar mantan Presiden SBY pun merelakan diri untuk diperiksa semua rekening bank pribadi beliau dan seluruh sanak keluarga. Ini sangat baik dilakukan agar keterkaitan nama Pak SBY dengan skandal Bank Century (BC) bisa diselesaikan tuntas untuk selamanya. Sehingga, tidak perlu ada lagi keraguan terhadap kekayaan finansial dan kekayaan aset beliau. Dalam kasus korupsi BC, Robert Tantular (RT) terbukti di pengadilan sebagai pihak yang mencuri dana talangan BC sebesar ratusan miliar rupiah. RT sendiri menegaskan bahwa dia tidak tahu ke mana dana FPJP (fasilitas pinjaman jangka pendek) sebanyak 6.7 triliun itu mengalir. Seperti dikutip koran online Kompas-com edisi 24 April 2014, RT meminta agar dana talangan itu diusut tuntas. "Rp 6,7 triliunnya ke mana dong? Ini yang enggak pernah dibuka," ujar Robert saat bersaksi di sidang terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 24/4/2014. Yang juga perlu diselidiki adalah kekayaan mantan Wapres Boediono. Sebab, beliau menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) ketika terjadi skandal Bank Century. Dengan cara audit transparan itulah kita, mungkin, bisa melepaskan diri dari bayang-bayang skandal BLBI dan Bank Century. Untuk selamanyna. Ini tidak bisa dianggap remeh. Rakyat akan mengenang mereka semua dengan memori yang buruk kalau tidak ada penelitian tuntas yang mengukuhkan nama baik mereka.*** (18 Agustus 2019)
KSAD Akhiri Polemik, Mahfud Sayembara Tauhid!
Masalah Enzo makin melebar setelah Mahfud meminta supaya TNI memecatnya dari Akmil. Mahfud lupa bahwa Bendera Tauhid itu adalah Bendera Rasulullah yang selalu ada dalam setiap bacaan sholat. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN -Apresiasi patut diberikan kepada KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa. Akhirnya TNI telah memutuskan untuk mempertahankan calon perwira Enzo Zenz Allie. Menurut Jenderal Andika, taruna Akmil yang dipersoalkan karena sempat dicurigai terlibat HTI ini, lulus dalam tes obyektif lanjutan yang dilakukan untuk mengukur kadar kesadaran bernegara Enzo. “Kami, Angkatan Darat, memutuskan, untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie dan semua taruna Akademi Militer yang kami terima beberapa waktu lalu, sejumlah 364 orang,” ujar Jenderal Andika di Mabes TNI AD, Jakarta, Selasa, 13 Agustus 2019. Jenderal Andika menyampaikan, berdasarkan hasil tes obyektif lanjutan, indeks moderasi bernegara Enzo adalah 5,9 dari tujuh. Enzo, seorang WNI yang juga keturunan Perancis, mendapat persentase skor 84 persen. “Enzo (ketika) dilihat dari indeks moderasi bernegara, itu ternyata kalau dikonversi menjadi persentase, itu memiliki nilai 84 persen,” lanjut Jenderal Andika, seperti dilansir Viva.co.id, Selasa (13/8/2019). Menurut Jenderal Andika, tes obyektif lanjutan yang dilakukan pada Enzo, bisa dipastikan akurasi dan validitasnya. TNI telah bertahun-tahun juga menggunakan instrumen tes untuk memastikan kesadaran bernegara para taruna. “Akurasi, validasi, bisa dipertanggungjawabkan, karena sudah digunakan beberapa tahun,” ujar Jenderal Andika. Nama Taruna Enzo Zenz Allie menjadi viral ketika video percakapan menggunakan bahasa Prancis dengan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto diunggah di medsos. Fisiknya yang rupawan membuat blesteran Prancis-Indonesia itu akhirnya banyak mendapat sorotan. Video yang diunggah Puspen TNI dalam akunnya di Instagram menyebut bahwa Enzo adalah remaja yang berbakat. Putra almarhum Jean Paul Francois-Siti Hajjah Tilaria itu menguasai lima bahasa: Indonesia, Arab, Inggris, Prancis, dan Italia. Remaja 18 tahun itu juga mengantongi sejumlah penghargaan lari dan renang serta memiliki fisik kuat. Berdasarkan uji seleksi, dia dinyatakan lulus seleksi Akmil 2019. Namun, tak lama setelah itu, muncul foto Enzo dengan membawa bendera Tauhid. Foto Enzo membawa bendera Tauhid itu kemudian diunggah seorang netizen. Bendera yang “diindentikkan” dengan Bendera HTI yang dibawa cowok tampan berprestasi ini pun seketika menjadi kontroversi. Pakar Hukum Tata Negara Prof. Mahfud MD yang juga anggota Dewan Pengarah BPIP ini sampai berkomentar bahwa TNI kecolongan dengan menerima Enzo sebagai salah satu dari 364 Taruna Akmil yang lolos seleksi. Masalah Enzo makin melebar setelah Mahfud meminta supaya TNI memecatnya dari Akmil. Mungkin Mahfud lupa bahwa Bendera Tauhid itu adalah Bendera Rasulullah yang selalu ada dalam setiap bacaan sholat. Jadi, jauh sebelum HTI terbentuk, kalimat tauhid itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Yang terpapar paham radikal itu sebenarnya adalah yang berani membakar bendera tauhid, sebab siapapun, yang anti agama itu cuma paham komunis anti Pancasila. Kepala Sekolah Ponpes Al Bayan, Deden Ramdhani, juga membantah blasteran Prancis itu anggota HTI. Deden mengatakan, pesantren yang diasuhnya juga bercorak ahlussunnah wal jamaah (aswaja) serta menyatakan setia kepada NKRI. “Sebagai lembaga tentu pemahaman kami ahlussunnah wal jamaah dan NKRI harga mati,” kata Deden Ramdhani saat ditemui wartawan di Anyer, Serang, Banten, Rabu (7/8/2019). Deden menilai santrinya tak mungkin masuk Akmil jika punya keterkaitan dengan HTI. Sebab, seleksi di TNI begitu ketat. “Enzo sudah jelas Pancasilais dan cinta NKRI,” ujarnya. Ibunda Enzo, Siti Hadiati Nahriah, bahagia putranya lolos seleksi Akmil TNI. Karena, dia mengatakan menjadi prajurit TNI adalah cita-cita Enzo sejak kecil. Sayembara Mahfud Polemik Enzo telah membuat Mahfud MD akhirnya membuat sayembara. Di akun sosmed twitter-nya Mahfud mentwit sayembara “Mahfud MD Bakal Kasih Rp 10 Juta ke Pihak yang Bisa Buktikan Dirinya Anti-Bendera Tauhid”. Adalah Prof. Katana Suteki yang langsung merespon tantangan Mahfud. Suteki justru tantang balik Mahfud yang merasa yakin tidak pernah mempermasalahkan Bendera Tauhid. Menurut Suteki, ia sejak awal tidak pernah mempersoalkan Bendera Tauhid ini. “Kalau saya sendiri memang dari awal tidak pernah mempersoalkan Bendera Tauhid ini, tapi saya malah dituduh terpapar radikalisme dan terkait organisasi radikal. Piye jal? Pusing kan?” begitu komentar Suteki dalam akun FB-nya. “Sebagai bukti bahwa Prof Mahfudz tidak mempersoalkan Bendera Tauhid, apakah kira-kira beliau sebagai Pimpinan BPIP sanggup menyandang Bendera Tauhid di pundaknya seperti yang saya lakukan berikut ini?” tantang Suteki. Mestinya berani karena tidak ada persoalan dengan Bendera Tauhid. Mahfud ditantang, bila berani menyandang Bendera Tauhid di pundaknya seperti yang Suteki lakukan, “Akan saya “aturi hadiah” sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) – maaf sesuai dengan kemampuan saya saat ini – tunai.” Menurut Suteki, apakah dengan menyandang bendera Tauhid ini lalu dirinya akan dikatakan Terpapar Radikalisme? “Jika saya berdalih pada pendapat Prof Mahfudz, seharusnya dengan menyandang Bendera Tauhid ini tidak boleh dikatakan bahwa Prof Suteki terpapar tadikalisme. Begitu kan logika berpikir yang benar?” tegas Suteki. Sebelumnya, seorang warganet juga menantang Mahfud untuk mengibarkan Bendera Tauhid dengan imbalan Rp 18 juta. Awalnya, si pemuda ini menantang Mahfud dengan nilai sebesar Rp 12 juta, lebih besar Rp 2 juta daripada sayembara Mahfud. “Sayembara pak, sy ksh 12jt kalau bapak pake pose begini. Saya yakin bapak tidak anti kalimat tauhid. Gpp pak, sy lagi kere... Tp bslah saya carikan 12jt asal bapak buktikan dgn begini.. jadi clear bapak tdk anti kalimat tauhid,” tulis @ArLex_Wu di akun twitternya. Ia kemudian mentwit lagi jika total sayembara menjadi Rp 18 juta. “Pak @mohmahfudmd total sayembara jadi 18jt. Ada kawan2 yg ikutan nyumbang. Piye pak?” tulisnya meralat tawaran nilai sayembara yang disampaikan sebelumnya. Bahkan, belakangan, ada juga yang sampai berani menawarkan sayembara dengan nilai yang setara dengan gaji Mahfud di BPIP lebih dari Rp 100 juta. Semoga Mahfud segera sadar diri bahwa tidak sepatutnya Bendera Tauhid disayembarakan. Rasanya tidak perlu cari bukti “Dirinya Anti-Bendera Tauhid”. Karena setiap Muslim ketika meninggal nanti kerandanya pasti ditutupi kain bertuliskan kalimat Tauhid! Dan, untungnya Jenderal Andika sudah mengakhiri polemik Enzo. Bravo TNI! ***
Siapa Bilang Mereka Sudah Merdeka?
Masih banyak yang meminta-minta di jalanan. Masih banyak yang terpaksa menghuni kandang hewan. Makan seadanya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sebagaimana ritual mewah-meriah setiap tahun di Istana Negara, Istana Gubernur, Istana Bupati, Istana Walikota, hari ini juga akan berlangsung peringatan kemerdekaan RI ke-74. Dengan segala tayangan kehebatan segelintir orang. Mereka itulah yang sudah lama dan sudah banyak menikmati kemerdekaan. Mereka datang ke Istana dengan kendaraan supermewah. Dengan busana serba baru dan ‘high class’. Tas tangan puluhan juta. Sepatu belasan juta. Jam tangan ratusan juta. Mereka telah lama menikmati kemerdekaan di atas penderitaan rakyat miskin. Ada yang menyandang sebutan konglomerat, pengusaha besar, presiden, mantan presiden, ketua DPR, menteri, mantan menteri, ketua MA, ketua MK, dirut BUMN, komisaris BUMN, gubernur, bupati, anggota badan-badan negara, para petinggi berbintang yang memiliki piaraan, dan banyak lagi. Mereka memiliki kekayaan tunai miliaran, belasan miliar, puluhan miliar, ratusan miliar, sampai triliunan. Mereka itulah yang sudah merdeka. Merdeka dari kekurangan. Merdeka dari kesulitan hidup. Yang telah lama merdeka dari panas terik matahari. Merdeka menikmati fasilitas perawatan medis kelas dunia. Merdeka menggunakan pesawat jet pribadi, terbang dengan first class, business class. Duduk-duduk di lounge bandara dengan sajian makanan-minuman serba mewah dan melimpah-ruah. Merekalah yang telah mengumpulkan kekayaan pribadi dengan berbagai cara. Cara yang halal, setengah halal, atau dengan segala cara. Banyak mereka yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang haram dan sangat tidak terhormat. Merekalah yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri. Membeli rumah atau apartemen mewah di kota-kota mahal. Memiliki rekening bank dalam dollar, pound-sterling, euru, yuan, yen, dll. Berliburan secara reguler dengan fasilitas serba luks. Merekalah yang sudah lama merdeka. Telah lama merdeka menipu rakyat, memeras rakyat, menzalimi rakyat. Tetapi, setelah 74 tahun, masih banyak rakyat Indonesia yang belum merdeka. Belum merdeka dari kemiskinan. Belum merdeka dari kesulitan hidup dan himpitan ekonomi. Belum merdeka dari profesi pemulung sampah. Belum merdeka dari status gelandangan. Masih banyak yang meminta-minta di jalanan. Masih banyak yang terpaksa menghuni kandang hewan. Makan seadanya. Tidak bisa menikmati air bersih. Masih banyak yang harus berdagang asongan pada usia sekolah. Atau terpaksa putus sekolah demi membantu keluarga. Masih banyak yang belum merdeka di tengah kemeriahan upacara dan acara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2019 ini. Petani kecil, petani buruhan, petani sawit dan karet satu hektaran atau lebih kecil lagi, masih belum merdeka dari kesewenangan harga. Semua petani kecil masih belum merdeka dari apa yang disebut dengan bangga sebagai ‘mekanisme pasar’ oleh para liberalis-kapitalis. Silih berganti pemeritah membanggakan prestasi mereka. Ada yang bangga dengan proyek-proyek infrastruktur utangan. Bangga dengan tol laut dan tol darat yang sama sekali tidak terkait dengan rakyat miskin. Bangga mengundang investor RRC yang membawa tenaga kerja mereka sendiri. Bangga dengan BUMN yang seharusnya memakmurkan rakyat tetapi malah menyusahkan. Ada yang bangga membantu bank-bank pengkhianat dengan uang BLBI, tapi akhirnya ratusan triliun lenyap begitu saja dan kasusnya dianggap kedaluarsa. Ada yang bangga membantu Bank Century 6.7 tirliun tapi ternyata sebagian besar ditilap oleh penerima bantuan. Hari ini, rakyat miskin tidak berubah. Mereka tak mampu meng-upgrade dan meng-update status hidup mereka. Mereka masih bergelut di sekitar beras 2 kilo sehari. Masih terus kucing-kucingan dengan penagih sewa rumpet (rumah petak) 600 ribu sebulan di daerah atau sejuta di Jakarta. Itulah rakyat Anda, wahai para penguasa yang sedang merayakan hari kemerdekaan. Mereka itulah saudara sebangsa dan setanah air Anda, wahai para konglomerat, wahai para pengusaha kaya-raya. Hari ini, sebagai basa-basi nasionalisme, kalian teriakkan “Merdeka!” dengan kepalan tinju. Tapi mereka, rakyat kecil itu, seseungguhnya belum merdeka seperti kalian. Siapa bilang mereka sudah merdeka? (17 Agustus 2019)
Tata Kelola Kelistrikan Nasional
Pemerintah sudah menetapkan angka 21 juta pelanggan yang terkena dampak pemadaman listrik massal ini. Sebagian tentu terhenti kegiatan ekonominya dan kerugian mereka ada yang bisa dihitung. Namun, tidak semuanya bisa diselesaikan dengan pendekatan hitungan pemakaian KWH. Oleh Tamsil Linrung Wakil Ketua Komisi VII DPR Anggota DPD RI terpilih Periode 2019-2024 Jakarta, FNN - Selama belasan jam listrik di Jakarta, Jawa Barat dan Banten padam, sehingga wilayah ini disekap gelap dan sinyal seluler menghilang. Tak mengherankan bila masyarakat teriak. Deretan peristiwa yang terjadi pada Minggu, 4 Agustus 2019 lalu tampaknya tak bakal terlupakan. Bagaimana bisa tiba-tiba aliran listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) terputus tanpa pemberitahuan? Industri, pelaku ekonomi kerakyatan atau Usaha Kecil dan Menengah (UKM), hingga masyarakat rumah tangga dirugikan atas kejadian ini. Aneka respon dilontarkan pasca kejadian tersebut, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut meluapkan kemarahannya. Presiden menginstruksikan agar PLN membenahi sistem kelistrikan dan yang tak kalah ditekankan adalah ganti rugi kepada para pelanggan atau konsumen. Namun, hal yang menjadi pertanyaan banyak orang di luar sana adalah bagaimana skema penebusan kelalaian yang merugikan secara masif ini? Solusi yang ditawarkan pemerintah memang sudah ditentukan. Terdapat acuan yang mengatur ganti rugi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Aturan ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 27 tahun 2017. Pasal 6 beleid ini mengatur secara teknis dan rigid. Kendati begitu, kita perlu menganalisis lebih jauh terkait landasan penghitungan kerugian ini, apakah sudah mencerminkan rasa keadilan atau tidak? Perlu digarisbawahi bahwa karakteristik konsumen listrik di Indonesia beraneka ragam. Di antara mereka ada yang sangat tergantung aktivitasnya dengan pasokan listrik. Pemerintah sudah menetapkan angka 21 juta pelanggan yang terkena dampak pemadaman listrik massal ini. Sebagian tentu terhenti kegiatan ekonominya dan kerugian mereka ada yang bisa dihitung. Namun, tidak semuanya bisa diselesaikan dengan pendekatan hitungan pemakaian KWH. Cara yang mendekati rasa keadilan bagi publik adalah mencacah jumlah konsumen yang terhenti kegiatan ekonominya, terutama para pelaku UKM dan selanjutnya menghitung berapa kerugian materiilnya. Selain itu, secara kualitatif tak sedikit masyarakat terdampak, namun tidak terkait dengan kegiatan ekonomi. Misalnya yang terganggu mobilitas, komunikasi atau aktivitasnya. Kerugian yang bersifat imateriil. Pertanyaan kembali muncul, apakah mereka yang terdampak secara imateriil mendapat ganti rugi? Lantas bagaimana mengukur kerugian mereka? Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius demi asas keadilan. Kerugian imateriil ini tentu tidak dapat dikompensasi dengan pendekatan KWH. Kalkulasi kerugian tidak bisa dipatok dengan pendekatan rigid. Namun, sebagai konsumen, mereka berhak dan wajar menentukan besaran kerugian. Nilainya tak bisa ditentukan oleh UU 30/2009 tersebut. Ringkasnya, kerangka solusi penggantian akibat pemadaman listrik yang saat ini jadi acuan tidak adil jika hanya menghitung masa henti atau konsumsi KWH. Untuk itu, atas nama keadilan dan kemanusiaan, PLN harus memperlihatkan pertanggungjawaban yang proporsional. Pijakan pertanggungjawaban harus merefleksikan semangat keadilan dan profesionalisme sebuah institusi yang menghargai konsumennya. Lebih dari itu semua, persoalan pemadaman listrik atau black out ini merupakan tantangan agar PLN berpikir jauh ke depan. Perusahaan pelat merah ini harus memastikan problem serupa tidak terulang lagi. Pasalnya, sejarah mencatat bahwa pada tahun 2002 dan 2005 pernah terjadi pemadaman listrik total di Jawa dan Bali selama enam jam. Artinya, ini repetisi. Dari kejadian tersebut mestinya PLN sudah menyiapkan back up plan sehingga tak lagi berpikir konvensional atau gagap saat kejadian seperti ini berlangsung Otonomi energi Pelajaran berharga dari kasus ini adalah terkait tata kelola energi nasional. Memang kita masih berkutat pada masalah klasik, yakni soal tata kelola energi yang masih amburadul dan belum dirancang untuk melangkah ke masa depan. Ketika utilisasi listrik menyergap semua sektor kehidupan, ternyata Indonesia masih menghadapi rezim listrik byarpet. Lemahnya, tata kelola energi nasional ini terlihat misalnya dari progres pengembangan bauran energi ke energi baru terbarukan (EBT) yang belum begitu menggembirakan. Padahal, EBT adalah masa depan energi dunia. Bangsa-bangsa di seluruh dunia berlomba beralih ke energi yang tetap menjaga langit biru ini. Bahkan, bangsa sekelas China sekalipun, kontributor muntahan emisi karbon terbesar di dunia ini tercatat sebagai investor terbesar di sektor EBT. Sebesar 45% investasi energi terbarukan global tercatat berada di negeri Tirai Bambu tersebut. Kemudian, bagaimana dengan Indonesia yang memiliki potensi pengembangan EBT yang amat besar? Mulai dari tenaga air, angin, panas bumi, hingga surya Indonesia memilikinya. Pemerintah telah menyusun Dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 yang mencanangkan penggunaan EBT di Indonesia sebesar 23% dari total bauran energi nasional sampai tahun 2025. Harapannya bisa meningkat menjadi 31% pada 2050. Ini merupakan realisasi dari Paris Agreement, yakni persetujuan yang disepakati dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2015 di Paris. Paris Agreement efektif berlaku pada 2020 hingga 2030. Ketika itu, kami di pimpinan Komisi VII menjadi bagian dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP21) di Paris. Salah satu poin kesepakatan adalah upaya menekan peningkatan suhu bumi di atas dua derajat celsius. Isu ini menjadi perhatian semua negara. Perubahan iklim ini tentu menarik. Apalagi, akhir-akhir Ibu Kota kita yaitu DKI Jakarta jadi sorotan karena kualitas udaranya yang ternyata sangat tercemar. Polusi dan pemadaman listrik adalah bukti konkret bahwa masalah tata kelola energi kita memang masih menghadapi jalan terjal yang juga terkait erat dengan isu perubahan iklim. Di sektor EBT yang diharapkan jadi garda terdepan, saat ini baru terealisasi 12,3% untuk pembangkit listrik. Padahal, bila melihat sumber-sumber EBT yang tersebar di berbagai wilayah, target ini mestinya bisa dicapai lebih cepat. Bahkan, memungkinkan pusat pasokan energi terdistribusi lebih merata ke daerah. Dampak turunan yang kita harapkan adalah daerah punya kemandirian energi. Bahkan bila EBT sudah jadi rezim kelistrikan di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, pengelolaan energi bisa saja diotonomkan ke daerah. Tujuannya, tata kelola energi terpusat yang biasa dikeluhkan oleh daerah bisa teratasi dengan adanya otonomi energi. Untuk mewujudkan terobosan tersebut, tentu harus ada penyesuaian regulasi. Tapi, ini gagasan menarik agar daerah terpacu mengeksplorasi sumber energi alternatif yang memungkinkan bisa dipasok ke daerah lain. Dengan demikian, kemandirian energi dapat terwujud. and