ALL CATEGORY

Mahasiswa, Ternyata Kalian Murni dan Serius

Dalam sejarah politik Indonesia, mahasiswa telah membuktikan dirinya sebagai komponen yang sangat menentukan. Itulah sebabnya para penguasa sepanjang zaman selalu memperhitungkan eksistensi mahasiswa. Dan itulah pula sebabnya ada penguasa yang berusaha agar mahasiswa tidak ikut dalam hiruk-pikuk perpolitikan. Sebab, mahasiswa dianggap sebagai penghambat tujuan busuk mereka. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Dalam tulisan kemarin, saya merasa agak ragu terhadap derap langkah para mahasiswa yang berunjuk rasa di Jakarta dan berbagai kota lainnya. Ternyata kalian murni prihatin melihat kondisi negara. Alhamdulillah, kalian bukan mahasiswa hasil kooptasi. Bukan mahasiswa bayaran. Kalian murni terpanggil untuk ikut melakukan perbaikan. Setelah mengamati kronologi sejumlah unjuk rasa (unras), saya sekarang berkeyakinan bahwa para mahasiswa Indonesia telah menyadari posisi mereka sebagai ahli waris negara ini. Sebagai ahli waris, tentu mereka mempunyai kewajiban dan hak atas Indonesia. Mereka wajib mengawal dan mempertahankan negara ini. Sebaliknya, mereka berhak mengetahui apa-apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola negara ini. Mereka juga berhak menyampaikan protes terhadap kesewenangan para penguasa. Mahasiswa adalah komponen bangsa yang paling relevan mempertanyakan kebijakan-kebijakan penguasa. Pertama, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki intelektaulitas yang cukup untuk mengamati dan menafsirkan langkah-langkah yang ditempuh oleh para penguasa. Kedua, mereka adalah generasi penerus yang akan melanjutkan pengelolaan negeri ini. Para mahasiswa memikul tanggung jawab moral untuk mewakili rakyat. Mereka adalah segmen bangsa yang memiliki banyak kelebihan untuk mengambil posisi sentral dalam setiap proses politik. Mereka memiliki ketajaman berpikir dan stamina fisik yang prima. Dua hal ini sangat diperlukan dalam menghadapi kesewenangan para penguasa. Baik itu kesewenangan eksekutif maupun kesewenangan legislatif Dalam sejarah politik Indonesia, mahasiswa telah membuktikan dirinya sebagai komponen yang sangat menentukan. Itulah sebabnya para penguasa sepanjang zaman selalu memperhitungkan eksistensi mahasiswa. Dan itulah pula sebabnya ada penguasa yang berusaha agar mahasiswa tidak ikut dalam hiruk-pikuk perpolitikan. Sebab, mahasiswa dianggap sebagai penghambat tujuan busuk mereka. Ada penguasa yang mencoba membungkam mahasiswa melalui berbagai cara. Misalnya, dengan siasat akademik. Mahasiswa diwajibkan ini dan itu supaya tak sempat mengamati cara negara ini dikelola. Ada juga yang mencoba memanjakan mahasiswa dengan berbagai stimulus. Tapi, kodrat alami mahasiswa tak bisa dibendung. Mereka adalah anak-anak muda yang sedang membina kapasitas intelektulitas. Pembinaan intelektualitas inilah yang kemudian membawa mahasiswa sampai ke ruang sosial dan politik. Dari sinilah mereka memulai pengamatan sosial-politik. Belakangan ini, mahasiswa kelihatannya mendeteksi sesuatu yang aneh terkait dengan pengelolaan negara. Naluri sosial-politik mereka bekerja. Mereka tersentak oleh sengatan kesewenangan penguasa. Sebagai contoh, mereka pun melihat keganjilan dalam proses revisi UU tentang KPK. Publik non-mahasiswa lebih dulu menilai bahwa revisi itu akan menghasilkan pelemahan lembaga antikorupsi itu. Para mahasiswa sepakat dengan temuan publik. Kalangan mahasiswa terkoneksi dengan suasana penentangan revisi UU KPK itu. Mereka juga sependapat bahwa langkah Presiden Jokowi menyetujui pelemahan KPK itu adalah tindakan yang melawan aspirasi rakyat. Restu Jokowi itu frontal dengan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi musuh keadilan dan kesejahteraan. Keikutsertaan mahasiswa dalam sepekan ini di arena gelar aspirasi tentulah akan memperkuat upaya untuk meluruskan cara berpikir para penguasa. Bahkan, mahasiswa sangat diharapkan menjadi pemeran utama dalam rangkaian koreksi terhadap kekeliruan penguasa. Sebab, bangsa dan negara ini adalah warisan untuk mereka. Mahasiswa berhak memantau dan memastikan agar negara ini tidak dikelola sesuka hati oleh para penguasa. Sebab, para mahasiswalah yang nantinya akan merasakan dampak buruk jika negara dikelola secara semberono. Mari kita berikan dukungan penuh kepada para mahasiswa. Mereka kini terpanggil untuk ikut menyelamatkan negara ini dari kesewenangan para penguasa. Kepada aparat keamanan kita meminta supaya tidak berlebihan dalam menghadapi para mahasiswa yang hanya ingin menyampaikan aspirasi mereka. Mereka bukan musuh negara. Kita doakan agar perjuangan untuk menjaga kedaulatan negara dan menegakkan keadilan, tidak terlalu berat. Amin, Allahumma amin! Penulis adalah Wartawan Senior

RUU Pertanahan Adalah RUU Perampasan Hak Pribadi

Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Rancangan UU Pertanahan (RUU Pertanahan) dilihat dari sudut konstitusi merupakan RUU yang buruk sekali. Nalar dibalik sejumlah pasal (rancangan) cukup jelas sangat primitif. Mereflesikan logika tipikal perencanaan sosial ekonomi yang umumnya para kapitalis. Memutarbalikan konsep rule of law. Ini manipulatif. Ada dua sebab pada level konseptual yang menunjukan RUU ini manipulatif. Pertama, RUU ini hendak disodorkan pada level tertentu sebagai sarana rekayasa social. Targetnya, menciptakan tatanan hukum pertanahan yang lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Tetapi jalan fikiran ini terlihat tidak lebih hanya sebagai cover politik. Mengapa begitu? Karena sejumlah pasal dalam RUU ini cukup jelas terlihat menyimpang dari prinsip-prinsip hak dalam UUD 1945. Begini logikanya. UUD mengakui hak bagi setiap orang. Hak ini terbagi ke dalam dua kategori besar. Kedua, kategori itu adalah hak yang bersifat alamiah dan hak diberikan oleh undang-undang. Hak yang bersifat alamiah, misalnya hak untuk memperoleh keturunan melalui keturunan yang sah. Hak untuk hidup, tidak disiksa dan lainnya. Hak ini tidak bisa dicabut oleh siapapun. Berbeda dengan hak alamiah, adalah hak yang dinyatakan ada karena diberikan oleh undang-undang. Biasanya disebut dengan hak yang bersifat parsial. Karena sifatnya sebagai hak yang parsial itu, maka hak ini oleh UUD dikualifikasi sebagai hak yang dapat dicabut. Menurut UUD 1945, pencabutan atau pembatasan atas hak ini hanya bisa dilakukan bila diatur dalam undang-undang. Pada titik ini muncul sebab kedua, yaitu orang-rang yang menandai Rancangan Undang-Undang (RUU) adalah ini buruk seburuknya manusia. Bahkan sanagt berbahaya. Bagaimana logikanya? Logikanya adalah karena hak hanya bisa dicabut dengan menggunakan undang-undang, maka buatlah undang-undang sebagai dasar untuk pencabutan atas hak itu. Jalan fikiran inilah yang ada dibalik sejumah pasal dalam RUU Pertanahan sekarang. Fakta inilah yang mungkin menjadi sebab tambahan protes dari mahasiswa . Ini Bentuknya Pasal 48 ayat (8) dalam RUU Pertanahan, sejauh yang tersebar di beberapa media berisi ketentuan: Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data pertanahan, kecuali informasi yang dikecualikan sesuai peraturan perundangan. Kelak bila pasal ini disahkan, maka muncul masalah hukum. Masalahnya adalah “informasi” jenis apa, yang dikecualikan? Nama pemegang hak seperti apa yang dikecualikan? Hak apa yang dikecualikan? Hak guna usaha seperti apa yang dikecualikan? Tidakkah hak guna usaha itulah yang saat ini muncul sebagai masalah terebesar dalam dunia penguasaan tanah? Sejauh ini hak guna usaha hanya diberikan kepada perorangan dan korporasi yang berusaha dibidang pertanian dan perkebunan. Selalu begitu dalam sejarahnya. Usaha perkebunan berada di atas lahan dalam jumlah puluhan ribu hektar. Umumnya pemegang hak ini adalah perserorangan yang berduit besar. Praktis mereka adalah pengusaha berskala besar. Norma itu memberikan pilihan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan. Kelak setelah disahkan pemerintah, dengan kewenangan yang diberikan undang-undang membuat dapat peraturan yang mengecualikan hak guna usaha. Pengecualian itu termasuk pemegang hak guna usaha sebagai informasi yang dikecualikan. Mereka, dengan demikian terlindungi, dalam makna mendapatkan privilege hukum untuk tidak diketahui orang. Kebijakan ini jelas sangat buruk dan primitif. Pasal 95 RUU Pertanahan ini seperti yang telah beredar di media berisi rumusan: “Setiap orang, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun serta denda sebanyak-banyaknya 15.000.000(lima belas juta rupiah)”. Betul rumusan ini bersifat materil (delik materil). Delik yang dalam ilmu hukum dianggap telah ada sebagai perbuatan jahat bila akibat yang dilarang telah terjadi. Betul itu. Akibat yang dilarang dalam pasal ini adalah “sengketa atau konflik.” Tetapi apa yang dimaksud dengan “permufakatan jahat” dan apa yang dimaksud dengan “sengketa atau konflik.” Sanbgat tidak jelas dan karet tafsirannya. Ketidak jelasan norma-norma itu menjadi ketukan lembut untuk setiap penegak hukum merumuskan sendiri setiap peristiwa sebagai “permufakatan.” Tidak itu saja. Mereka juga dapat merumuskan sendiri setiap peristiwa untuk dikategori sebagai akibat permufakatan itu. Akibat itu apakah berupa sengketa atau konflik? Bahkan setiap persitiwa dapat dikategori “sengketa atau konflik” berdasarkan defenisi bikinan sendiri penegak hukum. Inilah yang sangat berbahaya sekali. Seharusnya dirumuskan secara jelas keadaan-keadaan yang dikategori sebagai sengketa dan atau konflik. Seharusnya pula dirumuskan secara jelas peristiwa-peristiwa yang dikategori sebagai “sengketa dan atau konflik. Rumusan yang jelas adalah cara hukum mencegah penyalahgunaan wewenang. Mereka para penegak hukum, dengan rumusan hukum yang jelas dan tegas, dipaksa untuk tidak menggunakan interpretasi sendiri yang sangat subjetif. Rumusan-rumusan di atas jelas berbahaya. Namun masih ada rumusan berikut ini jauh lebih berbahaya. Pasal 91 sejauh yang telah beredar, berisi ketentuan: “pemilik tanah yang menolak atau setiap orang yang menghalangi aparatur penegak hukum bidang pertanahan pada bidang tanahnya sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (4) huruf c dipidana paling lama 2 (dua) tahun serta denda Rp. 5.000. 000., (lima juta) rupiah”. Pasal ini jelas lebih berbahaya dari undang-undang yang dibuat untuk melegalkan pekentingan kekuasaan pejajah. Atau mungkin juga sebaliknya. Ada diantara penguasa pejajah yang bisa saja tidak menghendaki pasal-pasal seperti ini dalam produk undang-undang yang dibuat pejajah. Pasal ini sepertiunya terlihat hendak melindungi pemilik tanah. Tetapi tidak dalam prinsipnya. Mengapa? Untuk memperjelasnya, saya mengajukan satu kasus hipotetik. Kasusnya beini, “dalam hal seorang pengusaha hendak menguasai tanah dengan hak guna usaha (HGU) yang biasanya selalu luas, lalu tanah yang hendak dikuasainya itu meliputi bidang tanah yang telah dikuasai orang lain, maka orang yang bidang tanahnya tercakup dalam rencana HGU itu tidak dapat mempertahankannya”. Pengukuran atau penyelidikan atas luas tanah oleh aparatur pertanahan itu tidak dapat dicegah. Bila dicegah, apapun argumen yang digunakan, tindakan pencegahan itu tetap dikategori secara hukum sebagai tindakan menghalangi. Bisa dihukum minimal lima tahun. Hebat sekali kan ? Merampas Hak Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Dunia ilmu hukum memberitahukan kita bahwa kapitalis biasanya mengandalkan hukum sebagai alat untuk merampas hak orang, melipatgandakan hak, melipatgandakan asset, memperluas pasar dan memproteksi pasar. Kapitalis-kapitalis rakus dan tamak ini, dalam sejarahnya, selalu begitu. Mereka, sekali lagi, selalu memanggil hukum untuk menjaga, memburu dalam semangat mengonsetrasikan setiap jengkal sumberdaya ekonomi. Kapitalis tamak cukup cerdas membungkam penentang mereka dengan argumen rule of law dan demokrasi. Rule of law dan demokrasi diandalkan sebagai tatanan yang memungkinkan, memanggil siapa saja yang tumbuh dan menjadi sejahtera. Rule of law, selalu dalam pandangan saya, adalah konsep indah dan berkelas pada level kulit. Itu karena substansinya dapat dituliskan dengan berbagai macam gagasan. Satu dan lainnya tak beriringan dengan nilai-nilai dasar sebuah masyarakat. Hukum karena isinya selalu dapat ditulis sesuka hati oleh para perencana sosial dan ekonomi. Maka hukum juga dapat digunakan, dalam semangat merampas, mengalihkan kekayaan orang kaya ke orang miskin. Caranya, adalah dengan memperkenalkan program jaringan pengaman sosial, bahkan subsidi. Cara ini yang ditandai Frederick Bastiat, ekonom Prancis abad ke-19 yang ditahbiskan sebagai ekonom pembela tanpa batas terhadap pasar bebas. Dalam posisi itu, Frederick terang-terangan dan lantang mengeritik penggunaan hukum yang membenarkan proteksi dan subsidi. Baginya proteksi dan subsidi adalah cara perampasan hak orang kaya untuk dialihkan ke orang miskin. Cara ini tidak masuk akal. Menurutnya, cara yang tepat adalah membiarkan semua orang bebas dalam setiap usahanya. Dalam kecakapannya mengeritik hukum, Fredericl menandai hukum telah terlalu sering digunakan melampaui fungsi alamiahnya. Tetapi apapun itu, pembatalan pengesahan RUU Pertanahan harus disambut gembira. Andai saja tidak dibatalkan, maka RUU itu sepenuhnya berfungsi sebagai sarana perampasan hak. Itu karena tabiat politik yang tersedia ditengah kehidupan politik yang sepenuhnya elitis, tidak bakal menempatkan kapitalis sebagai korban utama RUU in. Pembatalan pengesahan RUU ini disisi lain terlihat sebagai keberhasilan paling nyata, walau mungkin tak disadari, bahwa tipuan halus rule of law berhasil dikenali dan dihentikan

Nasib Jokowi Akan Seperti Sukarno dan Soeharto, Tumbang!

Rancangan UU KPK tampak sangat jelas digeber untuk mengejar setoran. Pengesahannya undang-undang seperti kejar tayang saja. Malah bisa dilang, kerja DPR seperti maling yang dikerjar hansip. Mana mungkin lembaga legislatif yang tinggal memiliki masa dinas tiga minggu bisa obyektif membahas sebuah produk perundang-undangan. Oleh Dimas Huda Akhirnya mahasiswa turun juga. Gerakan mahasiswa ini kali diharapkan dapat meredam sikap ugal-ugalan politisi di Senayan, juga Istana. Gerakan-gerakan lain boleh disepelekan, tapi jangan menganggap enteng gerakan mahasiswa. Mengabaikan gerakan yang diinisiasi kelompok intelektual muda sama saja dengan bunuh diri. Kini, gelombang demo mahasiswa kian massif. Mereka menolak pemberlakuan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK. Mahasiswa juga menolah materi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau (RKUHP). Tentang UU KPK baru mereka menilai, hanya mengebiri kekuatan KPK dalam memberantas korupsi. Sedangkan RKUHP dinilai terlampau dalam merecoki hak sipil. Selain itu, kembali menghidupkan pasal ancaman hukuman terhadap presiden yang merupakan warisan kolonial. Sejarah membuktikan, pada tahun 1966 gerakan mahasiswa sukses menumbangkan Presiden Sukarno. Demikian halnya pada 1998, mahasiswa yang menduduki gedung DPR berhasil menggulingkan Presiden Soeharto dari singgasana yang sudah didudukinya selama 32 tahun. Mangacu pada fakta itu, jangan sekali-sekali mengabaikan gerakan mahasiswa. Tak berlebihan jika suara mahasiswa diidentikkan dengan suara rakyat. Jika para calon pemimpin masa depan sudah bersuara, tentu karena hati nurani rakyat sudah terusik. Korupsi yang marak sejak era Orde Baru terus berlangsung hingga hari ini. Dan hingga kini hanya KPK satu-satunya lembaga penegak hukum yang mendapat tempat di hari masyarakat untuk menegakkan keadilan. Maka, begitu institusi pimpinan Agus Rahardjo dilemahkan, pantaslah sdaja jika mahasiswa menggelar aksi demo di berbagai kota besar. Kejar Setoran Terlebih Rancangan UU KPK tampak sangat jelas digeber untuk mengejar setoran. Pengesahannya undang-undang seperti kejar tayang saja. Malah bisa dilang, kerja DPR seperti maling yang dikerjar hansip. Mana mungkin lembaga legislatif yang tinggal memiliki masa dinas tiga minggu bisa obyektif membahas sebuah produk perundang-undangan. Saat mengirim surat presiden menyetujui pembahasan RUU KPK, Presiden Joko Widodo sebenarnya punya waktu 40 hari untuk membahas dan meneliti materi bakal produk hukum itu. Tapi rupanya desakan dari parpol pendukung maupun parpol yang menjadi lawannya di pemilu lalu lebih didengar. Parpol memang punya kepentingan paling pekat di RUU KPK. Sepanjang 2004-2019 tercatat 255 anggota DPR dan DPRD masuk penjara lantaran korupsi. Ini angka kelompok koruptor paling tinggi dibandingkan birokrat, penegak hukum dan direksi BUMN. KPK juga makin tak pandang bulu. Sejumlah ketua partai politik dicokok. Kini setidaknya sudah ada lima ketum parpol yang diantar KPK menghuni hotel prodeo. Paling mutakhir tentulah Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Ia diciduk KPK di Surabaya, Jumat (15/3). Pria yang kerap disapa Romy itu diamankan atas dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama. Pimpinan partai politik pertama yang diciduk KPK adalah Luthfi Hasan Ishaaq. Anggota DPR sekaligus Presiden PKS periode 2009-2014 ini diciduk oleh petugas KPK pada Rabu, 30 Januari 2013. Luthfi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus suap pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian. Atas perbuatannya, Luthfi digancar dengan vonis hukuman 16 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar. Pasien KPK selanjutnya, Anas Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat ini ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat, 22 Februari 2013. Anas terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek pembangun GOR Hambalang. Anas divonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subside 3 bulan kurungan penjara. Bos partai selanjutnya Suryadharma Ali. Ketua Umum PPP ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana haji. Politisi yang juga menjadi Menteri Agama itu divonis 6 tahun penjara dan denda Rp330 juta subside 2 bulan kurungan. Usai melakukan banding, masa tahanan Suryadharma justru diperberat menjadi 10 tahun penjara. Selanjutnya Setya Novanto. Ketua Umum Golkar ini ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi e-KTP. Mantan Ketua DPR ini divonis menjalani hukumn 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subside 3 bulan kurungan. Ranah Sipil Keberpihakan pemerintah dan para “wakil rakyat” terhadap koruptor kian nyata dengan RUU Pemasyarakatan yang menyusul segera disahkan. Revisi atas UU Pemasyarakatan usul inisiatif DPR mempermudah bebas bersyarat dan remisi koruptor. RKUHP setali tiga uang. Pemerintah memperlakukan calon perangkat hukum maha penting ini sama dengan RUU KPK. Tak meneliti secara mendalam materi yang diaturnya. Padahal banyak pasal yang mengusik ranah sipil diatur RUU itu. Salah satunya lurah bisa mengambil sanksi berdasarkan hukum adat terhadap pasangan non suami isteri. Tak kalah pentingnya pasal tentang penghinaan presiden. Pasal ini asli warisan kolonial dan sejatinya sudah dihapus oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Dihidupkannya pasal ini memicu kecurigaan pemerintah akan bertindak represif terhadap yang mengkritik kebijakan presiden. Belum lagi dengan diaturnya tindak pidana korupsi di RUU ini, otomatis melucuti sifat kejahatan luar biasa yang diatur oleh UU Tipikor. Saatnya pemerintah waspada. Mahasiswa sudah bergerak. Suara mahasiswa adalah suara rakyat. Tak perlu mengulang nasib tragis presiden sebelumnya: Sukarno dan Soeharto. Penulis adalah Wartawan Senior

Mungkinkah Jokowi Lengser Melalui Gerakan Mahasiswa ?

Penderitaan masyarakat itu dimulai dari harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak. Pemaksaan dalam pelaksanaan pembayaran iuran BPJS. Ada juga bencana asap di Sumatera dan Kalimantan yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang tidak bisa ditangani secara efektif. Selain itu, kerusuhan di Papua yang kerap meletus yang diakibatkan adanya diskriminasi. Oleh Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi dan Ma'ruf Amin tinggal beberapa saat lagi. Jika tidak ada halangan dan perubahan mereka akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 2019. Namun apakah gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa hari terakhir ini, bisa menggagalkan pelantikan Jokowi-Ma'ruf hingga memakzulkan (impeach) Presiden? Banyak kalangan meyakini bahwa reformasi kembali akan terulang. Ya namanya Reformasi Jilid II. Sama halnya seperti peristiwa bulan Mei 1998, pada Reformasi Jilid II juga tidak mustahil akan mampu melengserkan Jokowi dari kursi Presiden. Suasana sekarang ini persis seperti situasi kondisi tahun 1998 menjelang lengsernya rezim Orde Baru. Maraknya aksi demo di berbagai daerah di Tanah Air, menyebabkan kalangan elite Istana kalang kabu dan mendadak mengadakan rapat. Akhirnya bulan Mei 1998, rezim Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun tumbang juga dirobohkan oleh Gerakan People Power Bersatu. Yakni kekuatan mahasiswa dari berbagai civitas akademika dan rakyat sipil bersatu. Gejala kepanikan yang sama muncul lagi sekarang. Inilah yang dinamakan Dejavu Reformasi. Hari Senin (23/9), Jokowi mengumpulkan sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri dan jajaran Istana Merdeka, Jakarta. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut rapat ini akan membahas situasi terkini. Wajar kalau Jokowi panik karena aksi demonstrasi mahasiswa merebak di sejumlah daerah di Indonesia memprotes rencana pemerintahan Jokowi dan DPR yang mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang. Demo digelar serentak di Riau, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, hingga Papua hari Senin (23/9). Di Yogyakarta, mahasiswa yang bergabung dengan pekerja, pelajar, dan aktivis masyarakat sipil menggelar demo di Pertigaan Gejayan. Demo bertajuk #GejayanMemanggil ini bahkan menjadi topik terpopuler Twitter di Indonesia. Semua elemen yang bergerak dalam aksi #GejayanMemanggil tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak. Mereka mengusung tujuh tuntutan. Di antaranya mendesak RKUHP ditunda, revisi UU KPK yang baru disahkan, mengadili elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dan menolak pasal-pasal bermasalah RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan. Aksi mahasiswa pada Hari Senin itu, dilanjutkan kembali pada Selasa (24/9). Kali ini bukan hanya para mahasiswa tetapi juga diikuti unsur masyarakat sipil lainnya seperti kelompok tani dan kaum buruh. Gelombang aksi demonstrasi ini tidak bisa dibendung lagi karena dibawah rezim Jokowi ini, masyarakat makin merasakan berbagai penderitaan. Penderitaan masyarakat itu dimulai dari harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak. Pemaksaan dalam pelaksanaan pembayaran iuran BPJS. Ada juga bencana asap di Sumatera dan Kalimantan yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang tidak bisa ditangani secara efektif. Selain itu, kerusuhan di Papua yang kerap meletus yang diakibatkan adanya diskriminasi. Pasca reformasi, peta politik-ekonomi negara justru didominasi oleh kaum borjuasi lokal. Melalui kartel politik dan oligarki parpol, elite politik telah membajak demokrasi. Salah satunya melalui pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik dan media massa. Praktek oligarki parpol dan kartel politik ini juga berkontribusi pada perusakan lingkungan yang akhirnya menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Contoh lain dominasi oligarki parpol saat ini bisa dilihat dari berbagai kejadian akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019 menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Selain itu, supremasi hukum sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif (DPR). Pasal-pasal ini meliputi aturan mengenai makar, kehormatan presiden, Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), hukum yang hidup di masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai sana. Saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif. Hadirnya RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan dipaksakan. Tahun 2019, reformasi tepat berumur 21 tahun. Sayangnya upaya perubahan bangsa kepada kemajuan justru menemui kemunduran telak akibat beragam kebijakan yang mengkorup agenda-agenda Reformasi. Beragam kebijakan Pemerintah dan DPR, semakin bertentangan dengan pokok-pokok reformasi sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No.X Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Negara. Dalam konteks itu, para mahasiswa yang hari-hari ini turun ke jalan menilai pemerintah dan DPR tidak belajar dari beragam kesalahan yang dilakukan rezim Orde Baru. Pemerintah dan DPR justru membuai serangkaian kebijakan yang mendorong negara pada sistem pemerintahan yang korup, otoriter, dan menciptakan ekonomi yang eksploitatif. "Atas dasar itu, kami turun kejalan untuk menyampaikan beragam tuntutan yang menjadi keresahan bersama Rakyat Indonesia," kata seorang mahasiswa Yogyakarta dalam orasinya. TAP MPR No.X Tahun 1998 secara tegas menyatakan bahwa praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan masalah yang terjadi selama rezim era Orba. Oleh karena itu kemudian disiapkan sarana dan prasarana serta program aksi dan agenda reformasi bagi tumbuhnya suasana yang sehat dan bebas dari praktek KKN. Sebelumnya program dan agenda tersebut ada kemajuan melalui reformasi birokrasi, pengesahan UU Tipikor, dan pembentukan KPK. Sayangnya, pada 2019 beragam kemajuan yang telah diupayakan dalam pemberantasan KKN tersebut menghadapi pukulan besar. Beragam pembentukan regulasi dan kebijakan termasuk Revisi UU KPK, RUU KUHP, Undang-Undang Pemsyarakatan, dan pemilihan Pimpinan KPK yang bermasalah. Ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap upaya pemberantasan KKN telah dilakukan secara sistematis melalui pelemahan kewenangan dan independensi KPK dalam memberantas KKN, pelemahan ancaman pidana, pelemahan sanksi terhadap koruptor, dan merusak KPK dengan pemilihan orang-orang bermasalah didalamnya. Saat ini NKRI dalam keadaan bahaya karena kebijakan Presiden dan DPR telah menghilangkan kepercayaan rakyatnya. Jika ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DPR terus berlanjut, dikhawatirkan akan munculnya gelombang civil disobedience yang massif. Para mahasiswa dan masyarakat sipil telah mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak mengkorup reformasi dan tidak mengembalikan kultur rezim Orde Baru dalam penyusunan kebijakan. Sekali lagi saya mengingatkan, jika pemerintahan Jokowi dan DPR tidak merespon tuntutan para mahasiswa dengan tepat, Anda harus rela untuk lengser atau dilengserkan masyarakat. Wallahu a'lam. Penulis adalah Wartawan Senior

Tegasnya KPK, Koruptor Kubu Koalisi Juga Disikat!

Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jawa Timur (Jatim). Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid. Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya. Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK sebagai tersesangka. Imam diduga menerima gratifikasi senilai Rp 26,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora. Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut. Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy. Selian itu, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto. Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana juga jadi tersangka. Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum dua tahun delapan bulan penjara. Sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara satu tahun delapan bulan. Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen KPK dalam pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, KPK mengungkapkan, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1. Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB. Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur. “KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019). Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur. Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun. Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019). Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun. Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar). Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto. Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP. Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella. Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun. Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung. Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta). I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016. Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi. Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul. Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya. Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut. Bravo KPK! Penulis adalah Wartawan Senior

Cucu Pak Jokowi dan Cucu Pak Bakar Hutla

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Alhamdulillah, cucu Pak Jokowi itu sangat beruntung punya cucu tersayang. Namanya, Jan Ethes. Tiga hari lalu, 21 September 2019. Pak Jokowi mentwitkan salah satu keberuntungan cucu kesayangan beliau itu. Begini bunyi twit Pak Jokowi lewat akun resmi beliau Joko Widodo @Jokowi: “Jalan-jalan pagi di sekitar Istana Bogor bersama Jan Ethes, melihat kuda, kambing, dan rusa merumput di pelataran. Ngomong-ngomong, Jan Ethes paling suka binatang apa?” Senang sekal, tentunya. Tidak ada asap di Istana Bogor. Udaranya ‘clear’ dan bersih. Langitnya selalu biru. Banyak pepohonan besar dan kecil. Dijaga ketat. Tidak ada yang berani bikin karhutla di situ. Tak perlu pakai masker seperti yang harus digunakan oleh para cucu Pak Bakar Hutla. Nama Pak Bakar Hutla diplesetkan orang menjadi pembakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan. Tapi, tidak apa-apa. Kita sebut saja cucu Pak Bakar Hutla sesuai plesetan itu, menjadi cucu Karhutla. Cucu Pak Jokowi memang selalu beruntung. Semua serba ada. Serba bagus dan serba sehat. Ada tim dokter kepresidenan kalau kesehatan Jan Ethes terganggu. Tak perlu pakai BPJS. Tidak seperti para cucu Karhutla. Kalau mereka sakit, tidak ada tim dokter kejelataan yang membantu. Tidak seenak Jan Ethes yang punya tim dokter kepresidenan. Di Istana Bogor banyak rusa yang sehat-sehat dan gemuk-gemuk. Ada kambing dan kuda. Luar biasa! Pasti sangat menghibur bagi Jan Ethes. Entah kapan para cucu Karhutla bisa menikmati langit biru dan udara segar seperti di Istana Bogor. Memang hebat! Tidak ada hewan piaraan Istana Bogor yang kepanasan. Tak seperti pengalaman satwa liar di hutan yang sedang terbakar di Sumatera dan Kalimantan. Di Istana Bogor, hewan-hewan terawat bagus. Sejuk di bawah pepohonan rindang. Tak pernah merasakan bara api. Jan Ethes pastilah belum pernah melihat binatang liar yang mati di tengah karhutla. Tapi, para cucu Karhutla sudah tahu berita ular piton besar yang terpanggang. Dan banyak lagi binatang yang gosong akibat karhutla. Istana Bogor memang sempurna. Sempurna untuk apa saja. Termasuk untuk memikirkan dan menyusun kebijakan yang bisa membuat orang jera melakukan karhutla. Tapi, Pak Bakar Hutla harus bersabar dan maklum. Kesempurnaan Istana Bogor pada saat ini masih digunakan untuk memikirkan dan menyusun kebijakan yang bisa membuat Jan Ethes selalu senang. Jadi, harap dipahami. Para cucu Karhutla masih bisa menunggu. Pada waktunya nanti, kesempurnaan Istana Bogor akan menjangkau karhutla. Sama-samalah kita maklumi. Pelan-pelan dan bertahap. Untuk saat ini, yang kecil-kecil dulu, termasuk Jan Ethes yang juga masih kecil. Belum waktunya memikirkan yang besar-besar. Mohon jangan ada komentar bahwa Istana Bogor belum mampu memikirkan yang besar-besar. Penulis adalah Wartawan Senior

Bukan Menggantang Asap, Tapi Menggantung Penyebab Asap

By Asyari Usman Ada pepatah lama dan orisinal Melayu yang berbunyi, “Bagaikan Menggantang Asap”. Makna peribahasa ini lebih kurang adalah pekerjaan sia-sia yang dilakukan di atas landasan pemikiran yang abnormal. Orang yang menggantang asap adalah manusia-manusia yang dikuasai oleh hayalan. Mereka adalah orang-orang yang tersisih dari pergelutan akal sehat. Note: gantang adalah alat ukur atau sukat yang berbentuk silinder, terbuat dari besi. Kalau pernah melihat liter yang biasa digunakan oleh pedagang eceran beras atau minyak tanah, gantang pun seperti itu. Cuma, volume atau isi gantang itu lima (5) liter. Mengapa menggantang asap sia-sia? Mengapa disebut hayalan? Pertama, tentu saja karena asap tak bisa digantang. Tidak bisa disukat. Kedua, karena asap tidak punya nalai nominal. Pekerjaan menggantang asap menggambarkan watak manusia yang tidak paham ‘konsep manfaat’. Dan manusia tak memiliki kemampuan untuk memikirkan ‘konsep manfaat’ itu. Dia juga tidak bisa membedakan ‘hayalan’ dan ‘realitas’. Karena itu, tidak mengherankan kalau Anda menemukan stetmen bahwa kondisi asap di Riau tidak separah yang diberitakan, dan bahwa langit Riau sudah biru. Stetmen ini adalah hayalan di tengah realitas. Mereka berhayal kondisi asap di Riau tidak parah, padahal masih sangat berat. Mereka berhayal langit Riau biru, padahal masih abu-abu pekat. Itulah salah satu contoh menggantang asap. Yaitu, membuat stetmen yang sia-sia. Mengeluarkan stetmen berdasarkan hayalan. Kalau begitu, bagaimana cara menggantang atau menyukat asap karhutla (pembakaran hutan dan lahan) di Riau dan Kalimantan agar tidak sia-sia? Jawabannya: jangan Anda berhayal mau menyukat atau menggantang asap karhutlanya. Yang perlu Anda sukat atau Anda gantang adalah penyebab hakiki asap karhutla itu. Penyebab hakiki asap itu bukan karhutla, melainkan pemilik dan pengelola hutla (hutan dan lahan). Mereka itulah yang sesungguhnya sumber asap karhutla yang sekarang membuat jutaan orang menderita. Para pemilik dan pengeola hutla itulah yang perlu Anda sukat. Mereka juga perlu Anda gantang. Dalam arti, Anda usut (sukat), terus Anda masukkan ke dalam gantang (dikurung dalam penjara). Jika setelah Anda usut (sukat) tapi tak cukup gantang (penjara) yang tersedia, mudah saja. Anda hanya perlu mengganti huruf ‘a’ kedua di dalam kata ‘gantang’ dengan huruf ‘u’. Sehingga, ‘gantang’ menjadi ‘gantung’.Jadi, para penyebab hakiki asap karhutla akan digantung. Tidak sekadar digantang. Dengan begini, penggantian huruf ‘a’ dengan huruf ‘u’ malah akan lebih efektif untuk mengubah makna ‘menggantang asap’ menjadi realitas yang realistis. Dan juga akan lebih setimpal dan berkeadilan. Sehingga, nantinya, pekerjaan menggantang asap dalam mengatasi asap karhutla, tidak lagi hayalan. Kita ubah menjadi pekerjaan yang nyata dan bermanfaat. Tidak lagi berhayal langit biru di tengah asap tebal. Tetapi langsung nyata menggantung para pelaku karhutla. Penulis adalah Wartawan Senior

Aktor Karhutla Masih Sama Dengan Yang Mengemplang BLBI

Pak Presiden, modus yang digunakan oleh pemilik lahan perkebunan ini sebenarnya serupa dan sebangun dengan praktik menggerogoti dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Waktu dan tempatnya saja yang berbeda. Orangnya, kemungkinan tidak berbeda jauh dengan pelaku pengemplang BLBI Oleh Fuad Bawazier Menghadapi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), presiden diiringi para petinggi negeri turun ke area kebakaran. Presiden Jokowi seperti biasanya, foto-foto di lokasi dan disebar ke media. Sayangnya maaf, rakyat tidak terkesan Pak Jokowi. Rakyat bosan dengan publikasi yang model beginian. Toh kebakaran seperti ini terus berlangsung. Negara juga harus mengeluarkan uang banyak untuk mengatasinya. Rakyat yang menderita dan menjadi korban. Kami baru akan terkesan bila kedatangan presiden mampu mengakhiri kebakaran. Bukan sekadar selfie Ria. Luar negeri diam-diam maupun terang-terangan mengeluh dan memaki pemerintah Indonesia. Mereka yakin bahwa kebakaran itu adalah ulah pemilik lahan . Diduga pemilik lahan dari kalangan pengusaha atau kerja sama “Peng-Peng”. Bahkan kabarnya ada pemiliknya sebagian besar dari Malaysia dan Singapore. Singkatnya, pemerintah kurang berdaya menghadapi para “Peng-Peng” ini. Dengan kejadian ini, luar negeri semakin mendapatkan landasan atau alasan kuat untuk mengembargo minyak goreng kelapa sawit. Karena itu tampaknya luar negeri akan meningkatkan tekanannya pada produk sawit dari Indonesia. Saya sendiri sebenarnya sedang mencari alternatif minyak goreng selain sawit. Upaya ini sebagai antisipasi kalau minyak goreng sawit tidak laku di dalam maupun di luar negeri. Mau tidak mau pemerintah dan pengusaha sawit akan lebih maksimal menggunakannya. Sebagai alternatif lain untuk sawit, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM). Triliunan dana yang terkumpul dari sawit, diharapkan bisa lebih transparan penggunaannya. Dengan begitu, semoga bisa bermanfaat bagi Indonesia. Dana puluhan triliun dari sawit juga bisa digunakan untuk ongkos pemadaman kebakaran hutan dan lahan sekarang ini terjadi. Jangan pakai dana dari APBN atau APBD yang lagi cekak untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan. APBN dan APBD itu uangnya rakyat. Dan sebagiannya dari utang pula. Tidak semua rakyat terlibat dalam pembakaran lahan dan hutan. Masa rakyat yang menjadi korban dan menderita, malah yang harus bayar ongkos pemadamannya. Jadi harus dari dana sawit puluhan triliun yang terkumpul. Kepolisian mengumumkan ratusan orang sudah ditetapkan sebagai tersangka pembakaran hutan dan lahan. Maaf, kami juga tidak terkesan meskipun ribuan yang dijadikan tersangka. Selama kebakaran dari tahun ke tahun seperti sekarang masih terus terjadi. Pengumuman penetapan ratusan tersangkan oleh polisi itu hanyalah “ritual tahunan setiap ada kebakaran hutan dan lahan”. Publik juga tahu bahwa yang ditangkap kebanyakan orang suruhan atau orang bayaran. Ingat bahwa satu tertangkap, ribuan yang siap menggantikan. Maklum, sekarang sedang banyak-banyak pengangguran. Kejaksaan Agung juga mengumumkan sekian ratus tersangkan pembakaran hutan dan lahan. Mereka akan segera diajukan ke pengadilan. Maaf, rakyat juga tidak terkesan. Karena kebakaran tetap berlangsung dari tahun ke tahun. Petinggi lain minta rakyat bersabar dengan musibah yang datang dari Allah SWT. Maaf, rakyat bukan saja tidak terkesan, tetapi malah sinis. Rakyat percaya bahwa di balik semua kebakaran hutan dan lahan ini kepentingan bisnis “Peng-Peng”. Pak Presiden, modus yang digunakan oleh pemilik lahan perkebunan ini sebenarnya serupa dan sebangun dengan praktik menggerogoti dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Waktu dan tempatnya saja yang berbeda. Orangnya, kemungkinan tidak berbeda jauh dengan pelaku BLBI Mereka, para “Peng-Peng” pelaku BLBI, membakar industri perbankan. Mereka juga memperoleh keuntungan besar dari uang BLBI. Pemerintah memadamkan Krisis Moneter (Krismon) dengan menggunakan dana APBN. Pelakunya ketawa-ketiwi karena tidak terjamah oleh hukum. Mereka yang dihukum dari kejahatan BLBI hanya kroco-kroco sebagai simbol dan tumbal kecil saja. Tidak berbeda banyak dengan kejadian Karhutla sekarang. Jangan-jangan aktor intelektualnya, paling tidak sebagiannya masih sama dengan pelaku BLBI. Masih yang itu-itu juga. Hukum lumpuh dan takut menghadapi mereka yang berkekuatan finansial kuat. Mereka itu pelan-pelan berubah menjadi kekuatan politik di belakang layar. Konon mereka sekarang menjadi “sangat sakti” karena telah “banyak berjasa”. Entah jasa mereka itu apa? dan kepada siapa? Bapak Presiden Jokowi, penderitaan rakyat dari para bayi, dan anak sekolah. Bukan sampai disitu saja, sebab penderitaan itu sampai para orang tua. Selain itu, hewan serta lingkungan juga banyak binasa. Kerusakan itu sudah banyak dibahas dari kebakaran hutan dan lahan yang dahsyat ini. Media juga mengungkapkan bahwa pemerintah dan rakyat seakan tidak berdaya dan hanya bisa pasrah. Penguasanya tidak mampu bekerja, tetapi ingin tetap menjabat di pemerintahan. Tidak ada budaya malu karena gagal. Apalagi budaya mengundurkan diri. Sejak lama, sekurangnya sejak awal Bapak Jokowi menjabat presiden, saya sudah mengusulkan agar dibikin aturan bahwa semua hutan, lahan, ladang yang terbakar otomatis disita menjadi milik negara. Kalau regulasi ini yang diterapkan, maka insya Allah tidak akan ada kebakaran atau pembakaran lagi. Tidak akan ada lagi pemilik lahan yang menyuruh orang upahan untuk membakar hutan dan lahan. Para pemiliknya akan menjaganya baik-baik. Takut kalau terbakar nanti, bisa disita oleh negara. Aturan ini, bisa saja berbentuk Perpu ataupun Peraturan Pemerintah (PP). Pemerintah juga tidak perlu was-was atau membuang uang untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan karena ulah manusia. Namun saya sarankan, sejak awal aturan atau kebijakan yang tegas. Saya sendiri sudah menduga bahwa pemerintah tidak akan berani menjalankannya karena takut atau ewuh pakewuh dengan para Peng-Peng pemilik lahan. Padahal bila yang kebijakan tegas itu diberlakukan, maka dipastikan akan didukung penuh oleh rakyat. Biaya yang dikeluarkan pemerintah juga dipastikan sangat murah. Namun ceritanya menjadi lain bila kedaulatan pasar sudah diatas kedaulatan negara. Kini sudah waktunya negara membuat sikap yang keras dan tegas. Negara harus menetapkan semua lahan yang terbakar kembali menjadi milik negara. Semoga kali ini presiden bernyali menghadapi Peng-Peng. Amin amin amin Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Mantan Menteri Keuangan

Telur Busuk di Ujung Tanduk KPK

Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut. Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - Kendati dalam satu eraman, telur-telur itu tak selalu bisa menetas semua. Ada kalanya, di antara telur itu sebagian menjadi telur busuk. Begitu juga dalam sebuah organisasi. Tidak semua kader terlahir sebagai kader yang bisa diandalkan. Kadang kala lahir kader busuk. Itu pula yang dialami banyak organisasi massa Islam. Nahdlatul Ulama atau NU, misalnya. Organisasi terbesar di Indonesia ini banyak melahirkan rokoh-tokoh yang bisa diandalkan, tokoh-tokoh bangsa yang mengharumkan nama NU, bangsa, negara, dan tentu saja agama. Namun tak sedikit juga dari rahim NU lahir kader yang tidak bisa diharapkan. Di era kini, era kepemimpinan Joko Widodo, sejumlah kader NU --anak-anak muda NU-- berkesempatan di garda depan dalam kepemimpinan nasional. Mereka bertabur di banyak partai. Mereka hebat-hebat. Nah, dari yang hebat-hebat itu ada juga yang bermasalah. Tengok saja, pengumuman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (18/9). Kader NU yang juga kader Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Imam Nahrawi, mendapat medali tersangka korupsi dari KPK. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar terkait dengan penyaluran bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Tahun Anggaran 2018. Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkap bahwa selain menerima uang sebesar Rp14,7 miliar terkait dana hibah melalui asisten pribadinya Miftahul Ulum, Menpora Imam juga meminta uang sejumlah Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016- 2018. "Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora," ujar Alexander, dalam konferensi pers, Rabu (18/9). Masuknya nama Imam dalam jeratan KPK harusnya tidak mengejutkan lagi. Soalnya, Imam sudah sering disebut dalam tiap sidang kasus duit KONI. Hal yang mengagetkan tentu, waktu penetapan itu. Waktu yang oleh Imam boleh jadi tak disangka-sangka. Seperti kita tahu, penetapan tersangka bagi Imam dilakukan KPK setelah disahkannya revisi UU KPK oleh DPR RI. Penetapan itu juga dilakukan pascapimpinan KPK menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, ini adalah hal yang menyesakkan dada bagi Imam, keputusan itu dilakukan pada saat dirinya, juga pimpinan KPK, sudah berada di ujung kekuasaannya. Jabatan Menpora bagi Imam berakhir pada akhir bulan depan, sedangkan pimpinan KPK, termasuk Alexander, berakhir pada Desember tahun ini. Tiga Kali Mangkir Memang, nama Imam sudah jauh-jauh hari disebut-sebut terlibat dalam kasus tersebut. Awalnya, jaksa KPK yang mengungkap keterlibatan Menteri Imam. Hanya saja, duit yang dituduhkan tak sebesar yang diungkap Alexander. Sang Jaksa hanya membeberkan daftar pembagian dana hibah yang sejumlah Rp3,4 miliar. Daftar para penikmat itu dibuat Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy. Nama Imam ada di deretan nomor satu dalam daftar. Sekadar mengingatkan, kasus ini bermula dari penangkapan sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Selasa, 18 Desember 2018. Setelah penangkapan itu, lembaga antirasuah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah Hamidy dan Bendahara Umum KONI Jhonny E. Awuy sebagai tersangka pemberi suap. Tiga orang tersangka lain dari Kemenpora, yaitu Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen di Kemenpora, Adhi Purnomo, dan Staf Kementerian Kemenpora, Eko Triyanto. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan khusus penyelidikan tentang keterlibatan Imam dilakukan KPK sejak 25 Juni 2019. Imam sudah dipanggil sebanyak tiga kali yakni pada 31 Juli, 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019. Hanya saja, ia tidak menghadiri pemanggilan tersebut. KPK memandang telah memberikan ruang yang cukup bagi Imam untuk memberikan keterangan dan klariflkasi pada tahap penyelidikan. Kader PKB, Santri NU Imam memang baru tersangka. Semoga saja dia tidak korup. Korupsi itu perbuatan yang kejam. Ah, mana mungkinlah Imam berbuat begitu. Dia kan kader PKB. Dia kan santri NU. Nama dengan titel lengkap Imam adakah Dr. H. Imam Nahrawi, S.Ag., M.KP. Pria ini sebelumnya adalah Sekretaris Jenderal DPP PKB. Saat mahasiswa, lelaki kelahiran Bangkalan, 8 Juli 1973, ini aktif sebagai bagian dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tapi, bagaimana jika Imam benar melakukan itu. Jika benar begitu, maka publik bisa mengambil pelajaran bahwa telur dalam satu eraman memang tak selalu menetas semua. Ada kalanya, sebagian telur menjadi telur busuk. Lagi pula, Imam tidak sendiri. Penetapan tersangka atas diri Imam oleh KPK ini hanya menambah daftar kader NU yang kena jeratan KPK saja. Sebelumnya, Muhammad Romahurmuziy atau Romy terkena OTT KPK. Eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mulai disidangkan dalam kasus jual beli jabatan. Kita tahu, siapa Romy. Dia adalah kader NU tulen. Dia putra Prof. Dr. K.H. M. Tochah Mansoer, Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga, pendiri sekaligus ketua pertama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Ia juga cicit pendiri NU Abdul Wahab Hasbullah. Kini, banyak pihak berharap, Iman dan Romy menjadi yang terakhir bagi kader NU yang berurusan dengan KPK. Sayangnya, publik sudah menerka, Lukman Hakim Saifuddin bisa-bisa menyusul. Menteri Agama ini adalah kader NU. Pada tahun 1988-1999 ia berkiprah di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris. Sama dengan Romy, Lukman terbelit dalam kasus jual beli jabatan. Keterlibatan Lukman terekspos setelah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Haris Hasanudin, didakwa oleh KPK telah menyuap Romy dan Lukman untuk memuluskan dirinya menduduki jabatan sebagai kepala kantor wilayah. Haris mengaku dirinya memberi Lukman Rp10 juta pada 9 Maret 2019 di Jombang. Tatkala KPK menggeledah ruang kantor Lukman, penyidik menemukan uang Rp180 juta dan US$30 ribu. Selanjutnya penyidik menyita uang US$30 ribu di laci ruang kerja Menag itu. Jika dirupiahkan, maka duit sebanyak itu bernilai sekitar Rp423 juta. Jadi, total duit berupa dolar dan rupiah itu menjadi sekitar Rp603 juta. FC Awalnya, tidak jelas duit dari mana yang tersimpan di laci itu. Dari pengakuan Lukman, uang itu adalah akumulasi dari dana operasional menteri yang diperolehnya. Baik itu dari honorarium yang diterima dari berbagai kegiatan seperti ceramah dan pembinaan, dan urusan lain di dalam dan luar kementerian agama. Sebagian dari uang itu juga menurutnya adalah dana sisa perjalanan baik ke luar atau pun dalam negeri. Soal duit US$30 ribu, asal-usulnya baru terungkap pada Rabu, 26 Juni 2019. Kala itu, Lukman dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi terdakwa Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur, Haris Hasanuddin. Lukman menyebut uang US$30 ribu tersebut pemberian Atase Agama Arab Saudi, Syekh Ibrahim, terkait kegiatan MTQ Internasional yang digelar di Indonesia. "Itu dari keluarga Amir Sultan, karena rutin keluarga Raja mengadakan MTQ Internasional Indonesia," jelasnya. Duit itu diberikan di ruang kerja Menag pada Desember 2018. Sungguh sangat disayangkan karier politik kader-kader muda NU ini diwarnai tragedi yang jelas memalukan. NU adalah ormas Islam yang amat keras melawan korupsi. NU memandang korupsi adalah kejahatan berat. Hukum bagi koruptor, menurut NU, adalah potong tangan sampai hukuman mati. Fatwa ini dikeluarkan dalam Mubes NU pada 2012. "Kami tetap meminta praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan," pinta Sekretaris Jendral PKB, M Hasanuddin Wahid, Rabu (18/9) terkait status tersangka Imam Nahrawi. Ya, semoga saja Imam tak bersalah. Itulah yang mestinya ia buktikan. Sudah sepantasnya NU atau PKB melakukan pembelaan pada kadernya. Lagi pula, KPK bukanlah malaikat yang selalu benar. Atas dasar itu, tidak semua telur yang berada di ujung tanduk KPK adalah telur busuk. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak Menteri Lukman : RRC Paling Senang Sejarah Perang Jihad Dihapus

Pak Menteri Lukman. Hampir semua atau 90% perintah untuk perang melawan pejajajah ketika itu datang dari mulutnya para Sultan, Kiayai dan Ulama. Para Sultan selain menjadi penguasa atas Negara dan Wilayah Kesultanannya, mereka juga kaligus pemuka agama kepada rakyatnya. Mereka menjadi Imam dan Khalifah kepada umat di wilayah Kesultanannya. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kita tinggalkan sebentar hiruk-pikuk revisi UU KPK dan RKHUP. Ada satu hal yang tak kalah mengerikan. Mohon maaf, tulisan ini terpaksa panjang. Tak tanggung-tanggung. Gerakan untuk mengacak-acak Islam dan umat Islam garis lurus kelihatannya dipimpin langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Dia akan menghapus materi tentang perang jihad di dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Belum lama ini, Lukman Hakim pula yang membantah bahwa pemerintah Jokowi akan menghapuskan sama sekali pendidikan agama Islam. Bukan hanya materi perang. Menurut para petinggi Kementerian Agama (Kemenag), penghapusan materi perang dari SKI dimaksudkan agar Islam tidak lagi dikait-kaitkan dengan perang. Logika seperti ini tentu bertentangan dengan sejarah peperang sepanjang zaman. Lihat saja, siapa-siapa yang terlibat Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), dan perang-perang lain setelah itu? Ingat Perang Korea (1950-1953). Kemudian Perang Vietnam yang berlangsung 20 tahun (1955-1975). Perang Falkland atau Malvinas antara Inggris dan Argentina (1982). Apakah orang Islam yang melakukan perang-perang dahsyat ini? Siapa yang menggunakan bom nuklir pertama yang membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki? Jawabanya: Amerika Serikat. Siapa yang melancarkan serangan mendadak ke Pearl Harbour yang memicu Amerika menjatuhkan bom nuklir itu? Jawabannya: Jepang. Apakah orang Amerika dan orang Jepang itu beragama Islam dan mereka belajar sejarah perang Islam sehingga menjadi suka berperang? Jawabannya: tak mungkin. Terus, apakah Hitler beragama Islam ketika dia menyatakan perang melawan sekutu dan Rusia? Dan apakah negara-negara sekutu dan Rusia beragama Islam? Apakah orang Inggris dan Prancis yang melancarkan perang terhadap Hitler, juga beragama Islam? Perang Korea antara Korea Utara dan Korea Selatan, apakah mereka yang berperang itu orang Islam? Pak Lukman dan para petinggi di Kemenag tampaknya perlu lebih jeli lagi. Perlu hati-hati melihat sejarah terjadinya peperangan di dunia. Agar tidak keliru menyimpulkan bahwa materi perang dalam sejarah Islam akan memebuat para siswa atau mahasiswa yang beragama Islam menjadi suka berperang. Apakah tidak ada perang di negara-negara Islam? Ada. Tidak dibantah. Tapi Pak Lukman dan para kolega perlu membaca ulang apa yang memicu umat Islam melancarkan perang. Ambillah contoh perang Palestina-Israel. Bukankah ini disebabkan penindasan zionis Israel? Contoh lain adalah perang India-Pakistan. Bukankah ini contoh bahwa umat Islam Pakistan tak sudi ditindas oleh India. Begitu juga Perang Kashmir. Bukankah ini terjadi karena India ingin menguasai wilayah milik kaum muslimin? Contoh yang dekat dengan kita adalah ragkaian perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, Jepang, dan Inggris. Pak Lukman masih ingat bagaimana kejamnya para penjajah kafir yang menindas bangsa Indonesia? Yang memeras umat Islam? Mengapa Pak Menteri Agama tidak melihat bahwa perang yang menghasilkan kemerdekaan Indonesia itu dilancarkan di segenap pelosok negeri berkat pengetahuan mereka tentang sejarah Nabi Muhammad melawan penindasan orang kafir Quraish? Orang kafir Quraish tidak mau kebiadaban mereka diberantas oleh Rasulullah SAW. Kafir Quraish tak rela keadilan dan HAM ditegakkan oleh misi ajaran Islam. Di bumi Indonesia, orang Belanda, Jepang, Inggris juga Portugis tidak rela kebiadaban mereka dilawan oleh umat Islam. Pak Lukman jangan sampai lupa bahwa perlawanan itu dilancarkan oleh para ulama dan umat. Ada Pengeran Diponegoro, ada Tuanku Imam Bondjol, ada Kapitan Pattimura, ada Tjut Njak Dhien, Tjut Njak Meutia, Sultan Hasanuddin, Andi Abdullah Bau Massepe, Nyi Ageng Serang. Semua mereka ini adalah pejuang Islam, beragama Islam. Mereka mengobarkan semangat jihad fi-sabilillah melawan kafir penjajah. Pak Lukman Hakim, jangan lupa pula perlawanan terhadap penjajah yang dilancakan oleh Pangeran Antasari. Ada juga Teungku Tjik Di Tiro Muhammad Saman dan Keumalahayati di Aceh. Ada Depati Amir di Bangka, Raden Inten II di Lampung. Terus, ada La Maddekelleng, Sultan Nuku Muhammad Amiruddin di Tidore, ada Padjonga Daeng Ngalle, Raja Haji Fisabilillah di Riau. Selanjutnya, Pak Menteri ingat juga perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dilancarkan oleh Ronggong Daeng Romo, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, dan lain-lain. Ada Supriyadi di Blitar melawan pasukan Jepang, dan ada Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Para pejuang Islam yang mengobarkan semangat perlawanan karena mereka paham tentang kewajiban melawan penindasan. Coba lihat catatan tentang Teuku Umar, Tuanku Tambusai, atau Halim Perdanakusuma. Mereka ini berjihad untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah yang menindas dengan biadab dan sadis. Entah siapa-siapa lagi yang tak mungkin disebutkan satu per satu di sini. Masih banyak lagi Pak Lukman. Hampir semua atau 90% perintah untuk perang melawan pejajajah ketika itu datang dari mulutnya para Sultan, Kiayai dan Ulama. Para Sultan selain menjadi penguasa atas Negara dan Wilayah Kesultanannya, mereka juga kaligus pemuka agama kepada rakyatnya. Mereka menjadi Imam dan Khalifah kepada umat di wilayah Kesultanannya. Para panglima perang di medan pertempuran melawan penjajah 90% adalah anaknya para Sultan atau Pengeran, anaknya para Kiayai atau Gus serta murid-murid mengajinya para ulama. Kalimatnya perintahnya cuma satu “Perang Melawan Penjajah adalah Jihad”. Kayakinannya gugur di medan perang melawan penjajah, insya Allah mati syahid, sehingga dijamin masuk syurga. Apakah Anda, Pak Menteri Agama, akan menyembunyikan kisah-kisah heroik para pahlawan kemerdekaan ini? Dan juga sekian banyak kisah perang di zaman Rasulullah SAW? Apakah semua ini tidak akan Anda ceritakan kepada generasi berikutnya? Bijakkah Anda dan para kolega di Kemenag menghapuskan cerita patriotis para pejuang itu? Apa tujuan Anda, Pak Lukman? Anda hapuskan itu hanya karena teori yang tak berdasar bahwa pengetahuan anak-anak tentang perang di masa Nabi akan membuat mereka suka perang. Entah dalil siapa yang Anda gunakan. Entah pesanan dari mana yang sedang Anda tunaikan. Pak Lukman Hakim, sebaiknya peperangan dalam Islam tidak Anda hapuskan dari buku sejarah. Kalau Anda hilangkan, berarti Anda sedang mencoba menciptakan orang-orang Islam yang berjiwa penghamba. Itu berarti Anda ingin melihat kaum muslimin mudah diinjak-injak orang asing. Tindakan Anda itu sangat berbahaya bagi ketahanan negara dan umat. Penghapusan itu hanya akan menyenangkan pihak-pihak yang ingin menjajah Indonesia dalam banyak arti. Penjajahan ekonomi maupun penjajahan fisik. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa Anda, Pak Menteri, ingin melihat orang Islam tidak akan melawan kalau RRC menjajah Indonesia, kelak. Sebab, China sangat ‘gemes’ melihat Indonesia yang empuk dan punya segalanya. Anda tahu apa dan siapa yang menjadi hambatan RRC untuk menguasai Indonesia? Kalau Anda tak tahu atau pura-pura tidak tahu, saya tuliskan jawabanya di sini. Hambatan RRC nantinya untuk merajalela di Indonesia ini adalah Islam dan umat Islam yang kuat dan tak takut mati. Umat Islam yang memiliki semangat jihad fi-sabilillah. Ketika Anda, hari ini, menghapuskan materi perang dari buku-buku sejarah Islam, itulah yang didambakan oleh RRC atau pihak asing lainnya. RRC ingin melihat orang Islam yang tidak melawan penjajahan. Mereka ingin melihat orang Islam yang tidak tahu dan tidak punya nyali untuk melawan. Anda, Pak Lukman, berpikir bahwa penghapusan materi itu akan melahirkan umat Islam yang bertoleransi, cinta damai, dlsb. Sungguh Anda keliru besar. Kalau Anda mencatat berbagai percikan kekerasan yang melibatkan segelintir orang Islam, sesungguhnya itu semua dipicu oleh ketidakadilan dan kesewenangan vertikal dan horizontal. Bukan karena orang Islam belajar tentang sejarah perang. Penulis adalah Wartawan Senior