Nasib Jokowi Akan Seperti Sukarno dan Soeharto, Tumbang!
Rancangan UU KPK tampak sangat jelas digeber untuk mengejar setoran. Pengesahannya undang-undang seperti kejar tayang saja. Malah bisa dilang, kerja DPR seperti maling yang dikerjar hansip. Mana mungkin lembaga legislatif yang tinggal memiliki masa dinas tiga minggu bisa obyektif membahas sebuah produk perundang-undangan.
Oleh Dimas Huda
Akhirnya mahasiswa turun juga. Gerakan mahasiswa ini kali diharapkan dapat meredam sikap ugal-ugalan politisi di Senayan, juga Istana. Gerakan-gerakan lain boleh disepelekan, tapi jangan menganggap enteng gerakan mahasiswa. Mengabaikan gerakan yang diinisiasi kelompok intelektual muda sama saja dengan bunuh diri.
Kini, gelombang demo mahasiswa kian massif. Mereka menolak pemberlakuan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK. Mahasiswa juga menolah materi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau (RKUHP).
Tentang UU KPK baru mereka menilai, hanya mengebiri kekuatan KPK dalam memberantas korupsi. Sedangkan RKUHP dinilai terlampau dalam merecoki hak sipil. Selain itu, kembali menghidupkan pasal ancaman hukuman terhadap presiden yang merupakan warisan kolonial.
Sejarah membuktikan, pada tahun 1966 gerakan mahasiswa sukses menumbangkan Presiden Sukarno. Demikian halnya pada 1998, mahasiswa yang menduduki gedung DPR berhasil menggulingkan Presiden Soeharto dari singgasana yang sudah didudukinya selama 32 tahun. Mangacu pada fakta itu, jangan sekali-sekali mengabaikan gerakan mahasiswa. Tak berlebihan jika suara mahasiswa diidentikkan dengan suara rakyat.
Jika para calon pemimpin masa depan sudah bersuara, tentu karena hati nurani rakyat sudah terusik. Korupsi yang marak sejak era Orde Baru terus berlangsung hingga hari ini. Dan hingga kini hanya KPK satu-satunya lembaga penegak hukum yang mendapat tempat di hari masyarakat untuk menegakkan keadilan. Maka, begitu institusi pimpinan Agus Rahardjo dilemahkan, pantaslah sdaja jika mahasiswa menggelar aksi demo di berbagai kota besar.
Kejar Setoran
Terlebih Rancangan UU KPK tampak sangat jelas digeber untuk mengejar setoran. Pengesahannya undang-undang seperti kejar tayang saja. Malah bisa dilang, kerja DPR seperti maling yang dikerjar hansip. Mana mungkin lembaga legislatif yang tinggal memiliki masa dinas tiga minggu bisa obyektif membahas sebuah produk perundang-undangan.
Saat mengirim surat presiden menyetujui pembahasan RUU KPK, Presiden Joko Widodo sebenarnya punya waktu 40 hari untuk membahas dan meneliti materi bakal produk hukum itu. Tapi rupanya desakan dari parpol pendukung maupun parpol yang menjadi lawannya di pemilu lalu lebih didengar.
Parpol memang punya kepentingan paling pekat di RUU KPK. Sepanjang 2004-2019 tercatat 255 anggota DPR dan DPRD masuk penjara lantaran korupsi. Ini angka kelompok koruptor paling tinggi dibandingkan birokrat, penegak hukum dan direksi BUMN.
KPK juga makin tak pandang bulu. Sejumlah ketua partai politik dicokok. Kini setidaknya sudah ada lima ketum parpol yang diantar KPK menghuni hotel prodeo. Paling mutakhir tentulah Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Ia diciduk KPK di Surabaya, Jumat (15/3). Pria yang kerap disapa Romy itu diamankan atas dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama.
Pimpinan partai politik pertama yang diciduk KPK adalah Luthfi Hasan Ishaaq. Anggota DPR sekaligus Presiden PKS periode 2009-2014 ini diciduk oleh petugas KPK pada Rabu, 30 Januari 2013. Luthfi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus suap pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian. Atas perbuatannya, Luthfi digancar dengan vonis hukuman 16 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.
Pasien KPK selanjutnya, Anas Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat ini ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat, 22 Februari 2013. Anas terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek pembangun GOR Hambalang. Anas divonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subside 3 bulan kurungan penjara.
Bos partai selanjutnya Suryadharma Ali. Ketua Umum PPP ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana haji. Politisi yang juga menjadi Menteri Agama itu divonis 6 tahun penjara dan denda Rp330 juta subside 2 bulan kurungan. Usai melakukan banding, masa tahanan Suryadharma justru diperberat menjadi 10 tahun penjara.
Selanjutnya Setya Novanto. Ketua Umum Golkar ini ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi e-KTP. Mantan Ketua DPR ini divonis menjalani hukumn 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subside 3 bulan kurungan.
Ranah Sipil
Keberpihakan pemerintah dan para “wakil rakyat” terhadap koruptor kian nyata dengan RUU Pemasyarakatan yang menyusul segera disahkan. Revisi atas UU Pemasyarakatan usul inisiatif DPR mempermudah bebas bersyarat dan remisi koruptor.
RKUHP setali tiga uang. Pemerintah memperlakukan calon perangkat hukum maha penting ini sama dengan RUU KPK. Tak meneliti secara mendalam materi yang diaturnya. Padahal banyak pasal yang mengusik ranah sipil diatur RUU itu. Salah satunya lurah bisa mengambil sanksi berdasarkan hukum adat terhadap pasangan non suami isteri.
Tak kalah pentingnya pasal tentang penghinaan presiden. Pasal ini asli warisan kolonial dan sejatinya sudah dihapus oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Dihidupkannya pasal ini memicu kecurigaan pemerintah akan bertindak represif terhadap yang mengkritik kebijakan presiden. Belum lagi dengan diaturnya tindak pidana korupsi di RUU ini, otomatis melucuti sifat kejahatan luar biasa yang diatur oleh UU Tipikor.
Saatnya pemerintah waspada. Mahasiswa sudah bergerak. Suara mahasiswa adalah suara rakyat. Tak perlu mengulang nasib tragis presiden sebelumnya: Sukarno dan Soeharto.
Penulis adalah Wartawan Senior