Telur Busuk di Ujung Tanduk KPK
Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut.
Oleh Dimas Huda
Jakarta, FNN - Kendati dalam satu eraman, telur-telur itu tak selalu bisa menetas semua. Ada kalanya, di antara telur itu sebagian menjadi telur busuk. Begitu juga dalam sebuah organisasi. Tidak semua kader terlahir sebagai kader yang bisa diandalkan. Kadang kala lahir kader busuk.
Itu pula yang dialami banyak organisasi massa Islam. Nahdlatul Ulama atau NU, misalnya. Organisasi terbesar di Indonesia ini banyak melahirkan rokoh-tokoh yang bisa diandalkan, tokoh-tokoh bangsa yang mengharumkan nama NU, bangsa, negara, dan tentu saja agama. Namun tak sedikit juga dari rahim NU lahir kader yang tidak bisa diharapkan.
Di era kini, era kepemimpinan Joko Widodo, sejumlah kader NU --anak-anak muda NU-- berkesempatan di garda depan dalam kepemimpinan nasional. Mereka bertabur di banyak partai. Mereka hebat-hebat.
Nah, dari yang hebat-hebat itu ada juga yang bermasalah. Tengok saja, pengumuman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (18/9). Kader NU yang juga kader Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Imam Nahrawi, mendapat medali tersangka korupsi dari KPK. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar terkait dengan penyaluran bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Tahun Anggaran 2018.
Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkap bahwa selain menerima uang sebesar Rp14,7 miliar terkait dana hibah melalui asisten pribadinya Miftahul Ulum, Menpora Imam juga meminta uang sejumlah Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016- 2018. "Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora," ujar Alexander, dalam konferensi pers, Rabu (18/9).
Masuknya nama Imam dalam jeratan KPK harusnya tidak mengejutkan lagi. Soalnya, Imam sudah sering disebut dalam tiap sidang kasus duit KONI. Hal yang mengagetkan tentu, waktu penetapan itu. Waktu yang oleh Imam boleh jadi tak disangka-sangka.
Seperti kita tahu, penetapan tersangka bagi Imam dilakukan KPK setelah disahkannya revisi UU KPK oleh DPR RI. Penetapan itu juga dilakukan pascapimpinan KPK menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, ini adalah hal yang menyesakkan dada bagi Imam, keputusan itu dilakukan pada saat dirinya, juga pimpinan KPK, sudah berada di ujung kekuasaannya. Jabatan Menpora bagi Imam berakhir pada akhir bulan depan, sedangkan pimpinan KPK, termasuk Alexander, berakhir pada Desember tahun ini.
Tiga Kali Mangkir
Memang, nama Imam sudah jauh-jauh hari disebut-sebut terlibat dalam kasus tersebut. Awalnya, jaksa KPK yang mengungkap keterlibatan Menteri Imam. Hanya saja, duit yang dituduhkan tak sebesar yang diungkap Alexander. Sang Jaksa hanya membeberkan daftar pembagian dana hibah yang sejumlah Rp3,4 miliar. Daftar para penikmat itu dibuat Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy. Nama Imam ada di deretan nomor satu dalam daftar.
Sekadar mengingatkan, kasus ini bermula dari penangkapan sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Selasa, 18 Desember 2018. Setelah penangkapan itu, lembaga antirasuah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah Hamidy dan Bendahara Umum KONI Jhonny E. Awuy sebagai tersangka pemberi suap.
Tiga orang tersangka lain dari Kemenpora, yaitu Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen di Kemenpora, Adhi Purnomo, dan Staf Kementerian Kemenpora, Eko Triyanto. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Sedangkan khusus penyelidikan tentang keterlibatan Imam dilakukan KPK sejak 25 Juni 2019. Imam sudah dipanggil sebanyak tiga kali yakni pada 31 Juli, 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019. Hanya saja, ia tidak menghadiri pemanggilan tersebut. KPK memandang telah memberikan ruang yang cukup bagi Imam untuk memberikan keterangan dan klariflkasi pada tahap penyelidikan.
Kader PKB, Santri NU
Imam memang baru tersangka. Semoga saja dia tidak korup. Korupsi itu perbuatan yang kejam. Ah, mana mungkinlah Imam berbuat begitu. Dia kan kader PKB. Dia kan santri NU. Nama dengan titel lengkap Imam adakah Dr. H. Imam Nahrawi, S.Ag., M.KP. Pria ini sebelumnya adalah Sekretaris Jenderal DPP PKB. Saat mahasiswa, lelaki kelahiran Bangkalan, 8 Juli 1973, ini aktif sebagai bagian dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Tapi, bagaimana jika Imam benar melakukan itu. Jika benar begitu, maka publik bisa mengambil pelajaran bahwa telur dalam satu eraman memang tak selalu menetas semua. Ada kalanya, sebagian telur menjadi telur busuk.
Lagi pula, Imam tidak sendiri. Penetapan tersangka atas diri Imam oleh KPK ini hanya menambah daftar kader NU yang kena jeratan KPK saja. Sebelumnya, Muhammad Romahurmuziy atau Romy terkena OTT KPK. Eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mulai disidangkan dalam kasus jual beli jabatan.
Kita tahu, siapa Romy. Dia adalah kader NU tulen. Dia putra Prof. Dr. K.H. M. Tochah Mansoer, Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga, pendiri sekaligus ketua pertama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Ia juga cicit pendiri NU Abdul Wahab Hasbullah.
Kini, banyak pihak berharap, Iman dan Romy menjadi yang terakhir bagi kader NU yang berurusan dengan KPK. Sayangnya, publik sudah menerka, Lukman Hakim Saifuddin bisa-bisa menyusul. Menteri Agama ini adalah kader NU. Pada tahun 1988-1999 ia berkiprah di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris.
Sama dengan Romy, Lukman terbelit dalam kasus jual beli jabatan. Keterlibatan Lukman terekspos setelah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Haris Hasanudin, didakwa oleh KPK telah menyuap Romy dan Lukman untuk memuluskan dirinya menduduki jabatan sebagai kepala kantor wilayah.
Haris mengaku dirinya memberi Lukman Rp10 juta pada 9 Maret 2019 di Jombang. Tatkala KPK menggeledah ruang kantor Lukman, penyidik menemukan uang Rp180 juta dan US$30 ribu. Selanjutnya penyidik menyita uang US$30 ribu di laci ruang kerja Menag itu. Jika dirupiahkan, maka duit sebanyak itu bernilai sekitar Rp423 juta. Jadi, total duit berupa dolar dan rupiah itu menjadi sekitar Rp603 juta. FC
Awalnya, tidak jelas duit dari mana yang tersimpan di laci itu. Dari pengakuan Lukman, uang itu adalah akumulasi dari dana operasional menteri yang diperolehnya. Baik itu dari honorarium yang diterima dari berbagai kegiatan seperti ceramah dan pembinaan, dan urusan lain di dalam dan luar kementerian agama. Sebagian dari uang itu juga menurutnya adalah dana sisa perjalanan baik ke luar atau pun dalam negeri.
Soal duit US$30 ribu, asal-usulnya baru terungkap pada Rabu, 26 Juni 2019. Kala itu, Lukman dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi terdakwa Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur, Haris Hasanuddin.
Lukman menyebut uang US$30 ribu tersebut pemberian Atase Agama Arab Saudi, Syekh Ibrahim, terkait kegiatan MTQ Internasional yang digelar di Indonesia. "Itu dari keluarga Amir Sultan, karena rutin keluarga Raja mengadakan MTQ Internasional Indonesia," jelasnya. Duit itu diberikan di ruang kerja Menag pada Desember 2018.
Sungguh sangat disayangkan karier politik kader-kader muda NU ini diwarnai tragedi yang jelas memalukan. NU adalah ormas Islam yang amat keras melawan korupsi. NU memandang korupsi adalah kejahatan berat. Hukum bagi koruptor, menurut NU, adalah potong tangan sampai hukuman mati. Fatwa ini dikeluarkan dalam Mubes NU pada 2012.
"Kami tetap meminta praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan," pinta Sekretaris Jendral PKB, M Hasanuddin Wahid, Rabu (18/9) terkait status tersangka Imam Nahrawi. Ya, semoga saja Imam tak bersalah. Itulah yang mestinya ia buktikan. Sudah sepantasnya NU atau PKB melakukan pembelaan pada kadernya. Lagi pula, KPK bukanlah malaikat yang selalu benar. Atas dasar itu, tidak semua telur yang berada di ujung tanduk KPK adalah telur busuk.
Penulis adalah Wartawan Senior