77 Tahun Indonesia: Ambruknya Etika Pejabat Publik

Oleh Ubedilah Badrun | Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

SALAH satu cara terbaik pada momentum 77 tahun Indonesia merdeka adalah melakukan semacam kontemplasi, melakukan evaluasi, merenung tentang hakikat bernegara. Untuk apa sesungguhnya negara Indonesia berdiri? Mau dibawa kemana hampir 300 juta rakyat Indonesia saat ini?

Sejak awal merdeka, para pendiri republik ini telah menegaskan bahwa negara ini berdiri memiliki tujuan yang jelas. Dalam pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwa tujuan negara Indonesia berdiri adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta dalam upaya perdamaian dunia. Tujuan negara ini secara etik substantif sangat mulia, untuk menjadikan warga negara betul-betul sebagai manusia, atau memanusiakan warga negara.

Dengan tujuan itu siapapun pejabat publik, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif memiliki tanggungjawab besar untuk mewujudkan tujuan negara itu. Secara etik, tujuan itu mengikat siapapun pejabat publik. 

Dalam praktek empiriknya saat ini kita patut mengajukan pertanyaan penting, apa kabar etika pejabat publik saat ini ?

Etika Publik

Alat ukur paling penting untuk menilai etika pejabat publik adalah dengan mencermati indikator-indikator penting dari apa yang disebut sebagai etika publik.

Dalam banyak literatur etika publik itu dimaknai sebagai standar  norma yang menentukan baik atau buruk,  benar atau salah dari perilaku, tindakan, maupun keputusan pejabat publik dalam rangka menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik.

Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban etik untuk melindungi keselamatan warga negara sebagai manusia, melindungi nyawanya bukan memusuhinya, apalagi membunuhnya.

Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban etik untuk memajukan kesejahteraan warga negaranya, memudahkan segala urusan warga negaranya, bukan menyusahkanya,  memiskinkannya atau hobi memperlebar jurang (gap) antara yang kaya dengan yang miskin dengan mengutamakan warga kelas elit yang akses ekonominya lebih dimudahkan dalam segala urusan. Bukan pula mengkorupsi uang yang seharusnya untuk rakyat miskin.

Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban etik  untuk membuat semua warga negara mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, yang murah dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban untuk membuat warganya hidup damai dan merasa aman dan nyaman dalam pergaulan sosial antar sesama warga negara maupun dalam pergaulan internasional.

Saya merenung jika saja pejabat publik di negeri ini betul-betul belajar tentang urgensi etika publik, betapa bangsa dan negara ini akan luar biasa mengalami kemajuan. Sebab dalam etika publik orientasi utama pejabat adalah kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak.

Pada pelajaran dasar etika publik dalam pemerintahan, telah banyak diingatkan oleh para ahli ternama dibidang etika publik. Misalnya dalam Introduction to Government Ethics, John P.Pelissero mengingatkan dengan jelas bahwa The role of government and its officials is to serve the public interest with ethical awareness and ethical actions. When governments serve the public interest and avoid engaging in behavior that promotes any private interests, they are acting for the common good.

Pejabat itu pelayan publik yang melayani publik dengan kesadaran etis dan tindakan etis, meniadakan kepentingan pribadinya, bertindak untuk kebaikan bersama (common good).

Ambruknya Etika Pejabat Publik

Kematian warga negara akibat kekerasan aparat seberapapun jumlahnya, meski satu orang, itu adalah persoalan besar kemanusiaan. Sebab alasan apapun kekerasan yang mengakibatkan kematian adalah pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia (HAM).

Kita semua masih ingat dalam episode ini kematian warga negara   akibat kekerasan aparat bertubi-tubi terjadi. Dari peristiwa di Bawaslu RI pada 22 Mei 2019, hingga aksi #reformasidikorupsi sepanjang september 2019. Media internasional BBC mencatat pada episode 2019 ada 50 demonstran tewas saat unjuk rasa. Setahun kemudian petistiwa KM 50 yang menewaskan 6 pengawal Habib Riziq Shihab pada 7 Desember   2020 terjadi. Komnas HAM menyebutnya penembakan itu sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).

Kini peristiwa terbaru muncul, ditembaknya Brigadir Joshua di rumah pejabat pada 8 Juli 2022. Mirisnya itu terjadi dilingkungan institusi aparat. Semua peristiwa tersebut secara etik kemanusiaan menunjukan titik terendah perlindungan terhadap warga negara, sebuah episode ambruknya etika dan moral pejabat publik.

Ambruknya etika pejabat publik pada episode ini terjadi juga pada kasus korupsi pejabat publik. Dari korupsi dikalangan pejabat penegak hukum, korupsi dikalangan anggota parlemen, hingga korupsi di lembaga eksekutif. Ambruknya etika pejabat publik dalam kasus korupsi ini terjadi begitu vulgar karena yang dikorupsi uang bantuan sosial yang seharusnya dipergunakan untuk rakyat miskin yang sedang alami penderitaan dan musibah akibat pandemi Covid-19. Korupsi itu dilakukan oleh Menteri Sosial dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 5 Desember 2020.

Ambruknya etika pejabat publik juga terlihat dari aktor korupsinya yang tidak hanya sedang menjabat sebagai anggota parlemen tetapi juga pengurus inti bendahara ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Miris, prihatin dan kita semua yang masih menggunakan akal sehat tentu sedih melihat keadaan ini.

Wajah ambruknya etika pejabat publik juga makin terlihat ketika publik tidak lagi didengar aspirasinya. Elit pejabat telah menutup telinganya dari kritik publik, misalnya dari aspirasi penolakan publik terhadap revisi UU KPK, UU Ciptaker, RUUKUHP, hingga kritik publik terhadap merajalelanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang rapotnya masih merah dengan skor 38 adalah fakta bahwa etika pejabat republik ini memang sedang ambruk.

Besaran jumlah uang yang dikorupsi pada episode ini juga sangat fantastik. Nilainya bukan ratusan milyar tetapi puluhan triliun bahkan kalkulasi ICW dan KPK mencatat total nilainya bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Itu uang rakyat, dari pajak rakyat dan dari utang yang dibebankan kepada rakyat. Nurani pejabat koruptor ini memang rusak dan ambruk. Lebih ambruk lagi moral bangsa ini ketika elit politik  menganggap perilaku seperti itu dianggap biasa. Sementara ditengah rakyat ada warga yang bunuh diri karena di PHK, bahkan ada warga yang bunuh diri karena hidup susah  dan sakit-sakitan. 

1212

Related Post