Advokat Juju Purwantoro: Edy Mulyadi Tidak Layak Diadili!

Edy Mulyadi bersama tim penasehat hukumnya.

Jakarta, FNN – Sidang perdana wartawan senior Edy Mulyadi dari kantor berita Forum News Network (FNN), dilgelar Selasa (10/5/22) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Edy didakwa karena konten video miliknya di YouTube Bang Edy Chanel yang diunggahnya, memuat konten yang sebenarnya merupakan kritik positf dan kontruktif kepada rezim, perihal rencana memidahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke daerah Kalimantan Timur.

Sesungguhnya secara keseluruhan konten beberapa video tersebut, sama sekali bukan dengan maksud untuk menimbulkan permusuhan atau rasa kebencian berdasarkan Suku Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). “Ujarannya itu, juga bukan dimaksudkan atau ditujukan kepada kelompok suku di Kalimantan atau kepada seseorang siapapun,” ungkap Advokat Juju Purwantoro, Kuasa Hukum Edy Mulyadi.

Sepanjang pengalaman sebagai advokat, Juju juga 'surprised', karena baru melihat materi dakwaan Edy setebal 313 halaman. Ditambah lagi dengan  lampiran setebal 'bantal' hampir 1000 lembar (995 halaman).

Kutipan konten video yang diunggah oleh Terdakwa antara lain, judul:

Tolak Pindah Ibukota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat”. 

Indonesia Dijarah Rakyat Dipaksa Pasrah. Bersuara, Risiko Penjara”.

Cuma Bancakan Oligarki, Koalisi Masyarakat Kaltim Tolak Pemindahan IKN”.

Salah satu transkrip atau konten yang didakwaan dengan narasi: “punya gedung sendiri lalu dijual pindah ke “tempat jin buang anak” dan kalau pasarnya “kuntilanak genderuwo” ngapain gue bangun di sana”.

Didakwakan juga bahwa ujaran Edy itu: “Tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yaitu : Tidak Akurat, Tidak berimbang, Menghakimi, Melanggar asas praduga tidak bersalah, dan punya itikad buruk”.

Juga JPU beralasan, Terdakwa pada saat acara 'konpers' sebagai narasumber sekaligus pemilik akun youtube Bang Edy Channel, adalah “bukan dalam kapasitas profesi wartawan, dimana konten hanya berisi opini sepihak tanpa keberimbangan pihak lainnya melainkan kebohongan belaka, penghinaan, pencemaran nama baik, dan membangkitkan permusuhan atau kebencian, serta melanggar asas praduga tidak bersalah. Oleh karenanya Konten tersebut bukan proses jurnalistik juga bukan suatu produk jurnalistik tetapi 'gerakan politik'.”

Jika narasi atau ujaran Edy adalah 'gerakan politik' seperti didakwakan JPU, maka bisa kita katakan bahwa JPU sendiri juga sudah turut membenarkan, dakwaannya yang kental dengan unsur (nuansa) politik, bukan unsur hukum materil 'ansich'.

Sejak awal pemeriksaan (BAP) pihak penyidik, peristiwa hukum Edy yang dipersoalkan terkait proyek IKN, adalah akibat ujarannya tentang 'tempat jin buang anak'. Faktanya, ungkapan 'tempat jin buang anak' tampaknya tidak dijadikan fokus oleh JPU dalam argumentasi dakwaannya. 

Sebagai contoh, dalam dakwaannya JPU malah melebar, dan bias (absurb) kemana-mana dengan menyebut-nyebut antara lain: bisnis anak presiden Jokowi, bisnis tambang Luhut Binsar Panjaitan dan Yusril Ihza Mahendra di Kalimantan.

Menurut Juju, JPU justru tak mempertimbangkan bahwa dalam dakwaannya disebutkan juga ada keberatan dari Yati Dahlia, masyarakat/suku Balik di Sekayu Penajam Paser Utara, Kaltim, karena rencana pembangunan IKN yang tidak melibatkan masyarakat adat setempat.

Bahkan, saat ini Yati Dahlia dan sejumlah kelompok masyarakat suku Dayak Kalimantan lainnya, sedang mengajukan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang program IKN tersebut.

Oleh JPU, Edy dianggap melakukan tindakan pidana primer, dan diancam 10 tahun penjara sesuai Pasal 14 ayat (1,2), dan pasal 15 UU RI No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. 

Selanjutnya dalam dakwaan Subsider, dengan ketentuan pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU ITE No.19 tahun 2016, jo pasal 156 KUHP.

“Susungguhnya apa yang diungkapkan oleh Edy sebagai insan pers, dilindungi oleh UU tentang Pers No.40 tahun1999,” tegas Juju.

Oleh karenanya, lanjut Juju, Edy tidak layak untuk diadili, yang berpotensi menjadi peradilan yang tidak adil.

Kasus tersebut jangan sampai menjadi 'peradilan sesat', menjadi preseden buruk di negeri yang katanya berdasar hukum (rechts staat), jika seseorang menyampaikan opininya di muka umum, maka dengan mudahnya diseret ke masalah hukum.

Apalagi dalam rangka melaksanakan tugas-tugas jurnalistik, dan profesinya sebagai insan pers. Sesuai prosedur hukum, kasus Edy rersebut seharusnya menjadi kewenangan Dewan Pers untuk memediasi lebih dahulu, sebelum proses peradilan (due process of law). (mth)

323

Related Post