Ahli Asal Inggris Jelaskan Ganja Medis dalam Uji Materi UU Narkotika
Jakarta, FNN - Ahli obat-obatan dari Imperial College London di Inggris, David Nutt, menjelaskan penggunaan ganja medis yang cukup aman untuk kebutuhan penanganan penyakit tertentu.
"Ganja medis tidak hanya digunakan secara luas, tetapi juga aman," kata Nutt sebagaimana disampaikan ulang oleh penerjemah Miki Salman dalam sidang uji materi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin.
Nutt menyebut, banyak negara yang telah memanfaatkan ganja medis bagi pelayanan kesehatan dan diatur dalam regulasinya, seperti Jerman, Italia, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Israel, dan Australia.
Ia menekankan ganja medis memiliki sifat unik dan mengatakan, dokter spesialis di Inggris juga diizinkan untuk memberikan resep tersebut.
Dalam penjelasannya, zat tetrahidrokanabinol (THC) maupun kanabidiol (CBD) yang terkandung dalam ganja medis bermanfaat dalam penanganan pasien anak yang menderita epilepsi hingga pasien penyakit neuropati.
Nutt memaparkan data statistik dan penelitian dari penanganan pasien kedua penyakit tersebut dan menunjukkan bahwa perawatan ganja medis memberikan efek yang lebih baik dibandingkan penggunaan obat-obatan konvensional lainnya.
"Saya berusaha menunjukkan bahwa di Inggris ada bukti sangat kuat terkait efektivitas ganja medis dan ada banyak sekali bukti yang membuat zat ini dikategorisasi ulang karena memiliki sifat-sifat khasiat medis yang unik," ujar Nutt.
Ia hadir sebagai ahli yang dihadirkan pemohon bersama dengan dua ahli lainnya dalam sidang tersebut, yakni Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, Asmin Fransiska, serta guru besar kimia bahan alam Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, Musri Usman.
Pemohon uji materi penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a dan pasal 8 ayat (1) UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Dalam sidang sebelumnya pada 20 April 2021, pemohon menyampaikan narasi ilmiah sehubungan dengan perbandingan dari negara-negara lainnya di dunia yang menggunakan terapi ganja sebagai bagian dari pengobatan untuk penderita cerebral palsy atau lumpuh otak.
Menurut pemohon, ketentuan penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika golongan I.
Sementara itu, dalam sidang pada hari Selasa (10/8), Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya, yang mewakili pemerintah menjelaskan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia.
Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.
Sidang selanjutnya akan diselenggarakan pada hari Selasa (14/9) mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan dari tiga orang ahli pemohon berikutnya. (mth)