Amandemen Bukan Sesuatu yang Tabu, Tapi Harus Komperhensif
Jakarta, FNN - Amandemen UUD 1945 bukan sesuatu yang tabu. Menjadi lumrah jika pikiran dan wacana itu secara periodik mewarnai dinamika politik Indonesia. Mengingat sudah dua dekade usia amandemen terakhir. Namun jika amandemen ingin direalisasikan, maka tidak bisa hanya parsial. Amandemen harus komperhensif. Merefleksikan kepentingan bangsa dan negara. Bukan kepentingan kelompok yang temporer.
Pandangan itu disampaikan oleh Koordinator Panitia Musyawarah DPD, Tamsil Linrung dalam sambutannya ketika membuka agenda focus group discussion (FGD) Panmus DPD di Bandung. Menurut senator asal Sulawesi Selatan ini, diantara problem yang hangat jadi sorotan di tengah wacana amandemen adalah soal presidential threshold dan penataan kewenangan DPD.
"Setting aturan menggiring skenario pembatasan kontestan Pilpres, mengakibatkan polarisasi politik yang sangat tajam. Masyarakat terbelah. Sistem politik menciptakan dinamika yang bising tapi tidak subtansial," papar Tamsil. Padahal, dengan membuka ruang kontestasi seluas-luasnya, termasuk melalui jalur capres independen, republik ini diuntungkan. Kontestasi lebih kompetitif. Selain itu, imbuhnya, bakal muncul banyak kandidat serta mencegah keterbelahan politik.
Ketua Kelompok DPD di MPR ini juga menyoroti sistem ketatanegaraan yang dinilai tidak pada format ideal. Menurutnya, demokrasi perwakilan bikameral masih jauh dari harapan. Hasil kajian MPR selama 10 tahun terakhir, bahkan merekomendasikan penataan kewenangan DPD. “Para ahli yang telah kita ajak berdiskusi di MPR, juga memandang kiprah DPD sebagai representasi daerah perlu diberi ruang proporsional. DPD dapat menguatkan legitimasi produk legislasi serta meneguhkan peran pengawasan dan akuntabilitas budgeting yang diputuskan parlemen," imbuhnya.
Tamsil memandang wacana Amandemen UUD jadi momentum untuk mengkomunikasikan hal tersebut secara politik. Sejauh ini, DPD terus melakukan roadshow ke kampus-kampus. Berdialog dan mendengar pendapat serta masukan para rektor, pakar dan akademisi.
Pakar hukum tata negara, Indra Perwira yang hadir sebagai narasumber berpendapat, DPD tidak harus berlomba dalam membuat UU. Tapi fokus pada pengawasan hak-hak daerah.
Akademisi Universitas Padjajaran ini juga menyoroti banyak kewenangan daerah yang ditarik lagi ke pusat, sehingga terkesan ada upaya menyeragamkan semua daerah melalui keputusan-keputusan politik pemerintah pusat. Menurutnya, pemerintah harus menjaga keberagaman daerah. Karena eksistensi bangsa Indonesia adalah kerelaan daerah yang beraneka ragam untuk menjadi NKRI.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Pasundan, Atang Irawan menilai wacana amandemen dengan agenda utama Pokok Pokok Haluan Negara berpotensi mempersempit ruang gerak DPD. "PPHN menjadi monolitik. Milik MPR," imbuhnya. Karena itu, Atang menyarankan agar DPD menimbang lagi wacana PPHN yang kini bergulir di kajian internal MPR. (JD)