Anies dalam Pusaran Demokrasi Siasat
Oleh: Ady Amar | Kolumnis
MENJEGAL Anies agar tak sampai mengikuti Pilkada Jakarta 2024 itu amatlah mudah. Semudah membalik telapak tangan kekuasaan yang tak menghendakinya. Lalu ketaksukaan itu dikuatkan lewat partai-partai untuk tak memilihnya.
Rezim dengan caranya yang berupa-rupa membujuk partai-partai yang punya watak opurtunistik pragmatis agar tak mengusung Anies pada Pilkada Jakarta 2024. Lewat berbagai tawaran menggiurkan yang memang sedang diharap partai-partai itu dengan beragam alasannya.
Maka tampaklah mana partai yang suka hati menutup pintu buat Anies, dan mana partai-partai yang karena sebab tertentu mesti tak memilih Anies agar selamat dari jerat hukum. Ada pula partai yang berharap dan sampai perlu ngemis bisa bergabung dalam kekuasaan agar ada kursi menteri didapatnya.
Semua keinginan partai-partai itu sepertinya akan dipenuhi oleh rezim yang berkuasa dengan syarat partai-partai itu tak mencalonkan Anies Baswedan.
Karenanya, Anies tak lagi dilihat pada elektabilitasnya yang tinggi, dan tentu tingkat keterpilihan pun tinggi. Elektabilitas Anies lewat berbagai lembaga survei memang unggul bahkan terpaut jauh dari pesaingnya, baik Ahok apalagi dengan Ridwan Kamil.
Tidak sebagaimana sebelum-sebelumnya di mana elektablitas jadi keharusan saat partai menentukan kandidat yang akan diusungnya. Elektabilitas jadi patokan untuk diusung. Tapi kali ini khusus untuk Anies pada Pilkada Jakarta elektabilitas tinggi tak dilihat. Justru sebaliknya Anies perlu dibegal agar tak lolos mengikuti Pilkada Jakarta.
Anies tak dikehendaki bisa berlaga, dan bahkan partai-partai yang semula tergabung dalam Koalisi Perubahan yang mendukungnya saat Pilpres lalu--PKS, NasDem dan PKB--ramai-ramai seperti buang badan. Tampak lebih punya kecenderungan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi KIM Plus.
Di alam demokrasi yang sehat mustahil elektabilitas tinggi tak jadi pilihan. Tak akan terjadi. Tapi tidak dalam demokrasi siasat, yang tidak saja membegal Anies tapi juga hak rakyat untuk memilihnya, itu hal yang tak aneh. Itu lah yang terlihat hari-hari ini menjelang Pilkada Jakarta.
Anies berada dalam pusaran demokrasi siasat di mana politik kekuasaan dijalankan dengan semau-maunya. Hukum tak jadi panglima, tapi tunduk pada kekuasaan politik. Hukum bisa dirubah sekehendak penguasa. Hukum jadi suka-suka semaunya. Bersamaan itu kartel muncul menempel bersinergi dengan kekuasaan. Makin serasi. Klop sudah.
Itulah yang disinyalir politisi partai NasDem Ahmad Syahroni dengan ungkapan "dewa-dewa". Menurutnya, "dewa-dewa" itu yang punya kuasa penentu, apakah Anies bisa maju atau tidak dalam Pilkada Jakarta. "Dewa-dewa" itu lah yang mendapat tempat dalam negara yang dijalankan lewat demokrasi siasat. Korbannya tidak saja Anies, tapi hak rakyat untuk memilih pemimpin yang dikehendaki pun dirampas.
Bukan cuma Anies yang jadi korban persekongkolan jahat dari sistem demokrasi siasat, tapi rakyat Jakarta khususnya yang jadi korban tak bisa memilihnya. Rakyat Jakarta yang memang telah merasakan "manisnya" kepemimpinan Anies selaku Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Karenanya menjadi wajar jika elektabilitas Anies begitu tinggi saat ia bersiap-siap maju lagi dalam kontestasi Pilkada Jakarta untuk periode ke-2 nya.
Segala upaya terus diikhtiarkan berbagai elemen masyarakat Jakarta dengan mendatangi partai yang diharapkan masih bisa disentuh nuraninya. Meski sampai saat ini nurani itu masih terkunci oleh syahwat berkoalisi dengan kekuasaan yang menggiurkan. Naudzubillah min dzalik.**