Bajingan Politik dan Idealisme Akademik
Oleh Hafid Abbas | Mantan Ketua Komnas HAM RI dan Promotor Dr HC Nelson Mandela dari UNHAS 2005
SEMOGA gelora perlawanan intelektual dan kebebasan berpendapat tidak akan pernah redup di dunia akademik hingga kapan pun.
Istilah “Bajingan Tolol” pertama kali diungkapkan oleh Rocky Gerung di awal Agustus 2023, sebagai satu ungkapan untuk mengkritik satu kebijakan yang dinilai merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.
Kritikan yang dilontarkan itu terjadi ketika ada kebijakan yang hendak memberikan hak penguasaan lahan IKN selama 190 tahun kepada investor asing. Kritikan yang sama, juga muncul ketika terdapat kebijakan penggusuran paksa warga di Pulau Rempang yang sudah menghuni pulau itu selama berabad-abad. Alasannya, warga pulau itu tidak memiliki bukti kepemilihan yang sah hak atas tanah yang dihuninya meski mereka sudah berada di pulau itu secara turun temurun dari abad ke abad.
Namun, mengapa pemerintah hendak memperuntukkan Pulau Rempang bagi orang China yang hendak membangun pabrik kaca. Tentu saja warga China juga tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah di Pulau itu.
Kebijakan seperti itu dalam pandangan Rocky adalah “kebijakan tolol” dan pengambil kebijakan yang nyata-nyata menyengsarakan rakyat disebut Rocky “bajingan”.
Kembali kepada istilah “Bajingan.” Suatu hari saya bersama Daoed Joesoef sebagai pembicara di satu acara Diskusi Ilmiah yang diinisiasi oleh Kompas-Gramedia (Juni 2011). Beliau bercerita ketika ia dipercaya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) oleh Presiden Soeharto atas rekomendasi Bung Hatta. Lalu, Daoed bercerita lagi tentang Bung Hatta, mengapa ia terpilih menjadi Wakil Presiden padahal beliau tidak begitu aktif di organisasi politik seperti halnya Bung Karno. Jawabannya ternyata karena Bung Hatta selalu aktif menulis di media terutama tentang arah perjuangan Indonesia Merdeka.
Meski Bung Hatta tinggal dan belajar di Belanda selama lebih sepuluh tahun (1921-1932), dan hidup di pengasingan Belanda di Digul dan Banda Naira (1932-1941) ketika kembali ke Indonesia, tetapi ia tidak pernah berhenti menulis di koran-koran yang memperluas cakrawala pembacanya, seperti: pertarungan kekuasaan di kawasan Pasifik, Indonesia Merdeka haruslah mendayung di antara dua karang, tidak mendekat ke blok sosialis atau ke blok kapitalis, dst.
Pikiran-pikiran Hatta ternyata telah mendasari arah perjuangan para tokoh pejuang kemerdekaan.
Tidak lama setelah bersama Daoed Joesoef, saya membaca artikelnya yang muncul di kolom Opini Kompas, “Politikus di Zaman Edan” yang terbit pada 2 Juli 2011.
Pada bagian awal artikel itu, Daoed mengangkat situasi pasca pasukan Italia menaklukkan pasukan Etiopia. Dikemukakan bahwa “setelah angkatan perang Italia berhasil menduduki Etiopia pada 1935, tokoh- tokoh negeri Afrika Timur itu— yang telah membantu kemenangan—diundang Benito Mussolini naik ke pesawat terbang (joy flight).
Mereka menerima undangan itu karena menganggapnya sebagai bukti penghargaan atas jasa mereka bagi kemenangan dan kejayaan Italia.
Setelah terbang di atas Laut Merah, Mussolini memerintahkan supaya semua tokoh Etiopia itu dibuang keluar pesawat tanpa parasut. Atas pertanyaan para jenderalnya, mengapa Generalisimo berbuat demikian, sang diktator fasis menjawab, Kepada negerinya sendiri mereka berkhianat, apalagi kelak kepada Italia. Sekali orang berjiwa pengkhianat, dia akan terus menjadi pengkhianat seumur hidupnya.”
Daoed Joesoef selanjutnya mengungkapkan bahwa, sekarang, praktik kepemimpinan politik kita di tingkat lokal dan nasional malah cenderung mengembangkan jiwa pengkhianatan itu.
Sebagai ilustrasi, menjelang Pemilu atau Pilkada, begitu banyak tokoh-tokoh politik yang begitu nyata berkhianat tanpa rasa malu meninggalkan partai lama yang telah membesarkannya dan berpindah ke partai baru yang diimpikan untuk membesarkannya.
Daoed Joesoef di artikelnya menganologikan tokoh-tokoh seperti itu bagai “Bajing Loncat” dengan menyingkirkan dan menyerang kawan lama yang telah membantunya memenangkan ambisi politinya di masa lalu, dan melompat ke zona kekuasaan politik baru. Pengkhianat seperti itu disebut “Bajingan” seperti pengkhianat Etiopia yang layak dibuang satu per satu ke laut seperti yang dilakukan oleh Benito Mossalini pada 1935.
Dunia politik praktis seperti itu tentu berbeda dengan iklim kehidupan akademik di Kampus yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran ilmiah dan hubungan kesejawatan yang kondusif.
Idealisme Akademik
Ada satu kesan di satu acara kenegaraan, saya ditugasi memberikan orasi ilmiah di hadapan Presiden Abdurrahman Wahid, bersama seluruh anggota kabinetnya, yang juga dihadiri oleh para korps diplomatik dari sejumlah perwakilan negara-negara sahabat dan Badan PBB dan puluhan ribu orang di Istiqlal pada 5 November 1999. Pada orasi itu, ada kutipan saya dari Mahatma Gandhi:
“We must remember that truth has many sides and it is ever changing. What appear to be true today may not be true tomorrow. Or what appears to be truth to us does not necessarily appear to be the truth to others. We cannot therefore say that we possess the truth and that our understanding on truth is the right one.”
Kebenaran sesungguhnya memiliki banyak sisi, dan sisi-sisi kebenaran itu bisa saja berubah setiap saat sesuai dengan sudut pandang. Apa yang kita anggap benar hari ini belum tentu benar di hari esok. Karenanya, akademisi haruslah mampu menilai beragam sisi kebenaran itu, sehingga muncul toleransi bahwa pandangannya bisa saja keliru jika dilihat dari sudut pandang berbeda.
Dengan kaidah-kaidah itu, seorang akademisi akan lebih rendah hati dan lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan.
Namun yang tidak boleh berubah adalah akademisi harus tetap berpijak di pelataran kebenaran faktual (evident based). Jika terdapat pandangan-pandangan yang berisi kebohongan, maka etika akademik harus ditegakkan.
Di dunia kedokteran, seorang dokter dalam melakukan diagnosa satu penyakit, ia tetap saja terbuka jika ada diagnosa dokter lain (differential diagnosis), atau melakukan diagnosa ulang tentang penyakit itu.
Karenanya, warga Kampus dalam menyuarakan pandangan-pandangan ilmiahnya, UNESCO memberi panduan pada publikasinya “Policy Paper for Change and Development in Higher Education”, (Paris: UNESCO, 1995, p. 42):
University is a community whose members, being fully committed to the principles of academic freedom, are engaged in the pursuit of truth …..”
Ketika Soedjatmoko, Rektor Universitas PBB Tokyo (1980-1987), baru kembali ke tanah air, saya dua kali mendampingi Conny R Semiawan, (Rekor IKIP Jakarta ketika itu) ke kediamaan Soedjatmoko yang disapanya Bung Koko. Ada dua hal yang menarik dari dialog dengan Koko.
Pertama, Koko melihat sumber persoalan besar satu bangsa ketika para ilmuwannya larut dalam budaya konformitas (culture of conformity).
Mereka tidak lagi kritis menyuarakan nurani intelektualnya untuk kepentingan bangsanya. Jika ini terjadi maka bangsa itu cenderung bergerak ke arah otoritarian karena tertutup dari pandangan-pandangan kritis. Dampak lainnya, bangsa itu tidak akan maju karena dasar pengambilan kebijakan-kebijakan strategisnya bermutu rendah, tidak berasal dari kajian ilmiah.
Karenanya, Koko berpesan agar kampus tetaplah kritis menyuarakan pandangan keilmuannya meski harus berbeda dengan suara penguasa. Ciri kehidupan akademik memang selalu dinamis karena menghendaki perubahan yang lebih baik. Sedangkan ciri kekuasaan eksekutif sebaliknya karena mempertahankan comfort zone dan stabilitas, takut kalau kursi empuk kekuasaannya hilang. Koko mengapresiasi Emil Salim karena meski ia berada di lingkaran kekuasaan, tetapi ia tetap tegar menyuarakan pandangan intelektualnya.
Kedua, Koko melihat semakin melebarnya kesenjangan sosial di banyak negara di Asia. Ia mencontohkan India, ilmuwannya terlihat menjauh dari persoalan bangsanya, seperti persoalan kemiskinan. Pemerintahnya menikmati kenyamanan kekuasaan, tetapi masyarakatnya dibiarkan hidup sengsara di alam keterbelakangannya.
Ini berbeda dengan Jepang yang dinilai Koko, para ilmuwannya dan pemerintahnya selalu bergandengan tangan. Kampus bagai otaknya negara yang selalu memberi masukan berharga kepada politisinya dalam setiap pengambilan kebijakan bagi kemajuan bangsanya.
Jepang juga menjunjung tinggi etika dan “budaya malu.” Karenanya tidak mengherankan jika pada 1 Maret 2021, Reuter memberitakan kalau Juru Bicara Perdana Menteri Jepang, Makiko Yamada, mantan Menteri Dalam Negeri mengundurkan diri karena malu ketahuan telah ditraktir makan malam di satu restoran mahal oleh seorang pengusaha. Bagi orang Jepang, lebih baik mundur atau bunuh diri daripada hidup dengan rasa malu.
Sebagai figur akademisi, senang mengenang ketokohan Deliar Noer, Winarno Surakhmad dan Conny R Semiawan yang pernah memimpin IKIP Jakarta pada eranya masing-masing. Mereka tetap bersuara kritis pada setiap pengambilan kebijakan politik pemerintah jika kebijakan itu dinilai tidak tepat.
Pada Juni 1974, Deliar Noer diberhentikan sebagai Rektor karena bersuara kritis terhadap tindakan represif pemerintah dalam penanganan Peristiwa Malari. Setelah dilarang mengajar di seluruh Indonesia, ia menerima tawaran Universitas Nasional Australia dan dosen tamu di Universitas Griffith. Bahkan, Deliar pernah memilih berseberangan dengan Soeharto dan mendukung Petisi 50.
Semoga gelora perlawanan intelektual dan kebebasan berpendapat tidak akan pernah redup di dunia akademik hingga kapan pun. (*).