Bendung Anies, Jokowi Dorong KIB Segera Deklarasikan Capres

Presiden Joko Widodo bersama tokoh Golkar di acara puncak HUT ke-58 Golkar. (Foto: BPMI Setpres/ Rusman)

PRESIDEN RI Joko Widodo berpesan terkait siapa yang akan dipilih Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk Pilpres 2024. Pesan tersebut disampaikan Jokowi dalam sambutannya pada puncak perayaan HUT ke-58 Golkar di Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (21/10) malam.


“Saya denger-denger dan saya melihat tiap hari itu Pak Airlangga Hartarto (Ketua Umum Golkar) tuh rangkulan terus dengan Pak Mardiono (Plt Ketum PPP M. Mardiono) dan Pak Zulkifli Hasan dari PAN. Jangan hanya rangkul-rangkulan terus,” ujar Jokowi.

“Tapi saya yakin sebentar lagi pasti akan segera menentukan [bakal capres dan/atau cawapres yang akan didukung untuk Pilpres 2024], kita tunggu saja,” lanjutnya.

Dalam kesempatan itu, secara umum Jokowi mengimbau dalam memilih capres pada 2024 mendatang tak boleh sembrono. Dia pun mengibaratkan pemilu itu seperti memilih pilot yang akan menerbangkan pesawat dengan rakyat Indonesia sebagai penumpangnya.

Sebelumnya, Airlangga dalam sambutan untuk HUT partainya memamerkan bahwa KIB sudah memiliki tiket 'premium' untuk mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) di Pilpres 2024 mendatang.

Pernyataan itu disampaikan Airlangga di hadapan Presiden Jokowi, Ketum Partai NasDem Surya Paloh, Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan sejumlah elit parpol lainnya saat berpidato di acara puncak HUT ke-58 Partai Golkar di Jakarta International Expo (JIEXPO), Jakarta Pusat.

Menurut Airlangga, tiket 'premium' yang dimiliki KIB itu bisa berubah menjadi tiket VIP bila mendapatkan bantuan dari petinggi parpol lain.

Apa yang sebenarnya terjadi di Golkar dan KIB sehingga membuat Presiden Jokowi berkomentar seperti di atas itu? Berikut dialog wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (22/10/2022).

Halo-halo Bung Rocky, ini kita ketemu di akhir pekan. Hari ini Sabtu, ini enaknya ngomongin apa nih kalau akhir pekan begini.

Ya, akhir pekan kita ngomong hal yang ringan, yang basa-basi.

Ya, yang basa-basi kemarin saya lihat Anda mulai ngomong-ngomong yang ringan tuh. Saya nggak tahu ngomong ringan atau berat untuk ketemu Bang Haji Rhoma Irama. Bakal bikin obrolan bareng sama Bang Haji ya.

Ya, kemarin saya mampir dari Sukabumi terus lewat jalan Depok situ, ingat bahwa Bang Roma itu pernah ngajak saya dari 2-3 bulan lalu.

Jadi, saya mampir saja di situ dan Rhoma Irama bercerita banyak sebetulnya, karena dia bukan cuma musisi, dia juga politisi. Dia bahkan beberapa kali diinterogasi oleh dulu namanya Laksus di zaman orde baru, waktu peristiwa Priok, dia juga diperiksa terkait peristiwa Amir Biki.

Banyak cerita inside soal Istana juga, tapi ada hal-hal yang memang hanya Rhoma dan Istana Pak Harto yang tahu soal-soal itu. Tapi, dia cerita kisi-kisinya. Lebih dari itu, Rhoma selalu gembira melihat politik tumbuh lagi. Karena saya bilang ya politik dan musik itu sama-sama ekspresi bebas gitu.

Jadi kalau orang ekspresikan dalam politik, ada yang lewat lirik. Itu uniknya Rhoma Irama. Kan kehidupan Rhoma ini sudah dibahas ada yang mungkin jadi disertasi. Jadi, dia fenomenal betul.

Soal Ulang Tahun Golkar

Oke. Kita ngobrolin ini agar nggak terlalu serius ngomongin politik. Tapi tentu saja orang mencermati tadi malam, Pak Jokowi hadir dalam ulang tahun ke-58 Golkar, dan namanya juga ulang tahun partai politik jadi kita pasti melihat isyarat-isyarat politik yang muncul di situ.

Saya setidaknya mencatat empat hal di situ. Pertama, Pak Jokowi masih membahas soal ijazahnya karena di situ ada Bang Akbar Tanjung dan mengingatkan bahwa dia itu teman sekolahnya Ibu Nina Akbar Tanjung waktu SMP.

Kedua, mengingatkan ini kelihatannya nyindir Pak Surya Paloh, karena di situ kalau milih capres itu jangan sembrono. Wah, ini kalimatnya “sembrono” itu serius digunakan di kalimat itu. Ketiga, saya kira ini berkaitan mengingatkan KIB ini, kenapa KIB enggak segera deklarasi ya, gitu.

Walaupun jangan cepet-cepet, tapi ya jangan rangkul-rangkulan terus, kata Pak Jokowi. Keempat, beliau mengingatkan bahwa ini karena tadi berkaitan dengan track record presiden harus jelas, ini nggak boleh sembarangan dan beliau melihat Pak Airlangga ini sudah punya jam terbang yang tinggi, gitu kata Pak Jokowi.

Saya jadi kemudian menyimak apa sih yang disampaikan oleh Pak Erlangga sebelumnya, oh dia mengingatkan bahwa dia berterima kasih sudah diberi waktu, diberi kesempatan magang di kabinetnya Pak Jokowi. Jadi waktunya naik kelaslah. Kira-kira begitulah empat poin. Saya enggak tahu kalau Anda punya catatan lain.

Ya, ini namanya gayung bersambut, tapi bisa saja gayungnya bocor. Jadi, nggak bisa mandi juga tuh. Tetapi peristiwa-peristiwa semacam ini kan kita anggap ya ada bagian basa-basi, ada bagian sensasi saja tuh. Kan nggak ada yang penting sebetulnya di situ selain Golkar mau mengatakan dia sudah melakukan konsolidasi itu.

Dan, konsolidasi Golkar dipamerkan di depan partai-partai yang lain. Itu artinya semacam eh gua sudah segini loh. Kan itu memang kalau kita lihat Golkar ini partai modern, enggak ada intrik di dalam enggak bisa diselesaikan internal. Kalau partai lain kan intriknya dibawa ke pengadilan.

Jadi, Golkar sebenarnya tumbuh dengan rasionalitas. Golkar berupaya untuk memperlihatkan kembali kemampuan teknokratik dia tuh. Jadi, dari segi kapasitas teknokratik itu Golkar berlebih.

Demikian kira-kira inti yang ingin diterangkan oleh Golkar di depan presiden dan partai lain bahwa mereka siap menjadi instrumen teknokratik dari negeri ini dan itu ada sejak zaman Orde Baru.

Itu yang continue di dalam Golkar sendiri. Yang diskontinyu adalah tradisi Golkar untuk mengucapkan pikiran supaya orang tahu posisi dia di mana. Dulu Golkar di zaman Akbar Tanjung lebih frontal mengucapkan pikiran, tapi kemudian makin lama makin zig-zag. Jadi, pragmatisme Golkar akhirnya dilihat sebagai opportunistik sebetulnya.

Pragmatisme itu bagus bagi Golkar yang paham bahwa program mendahului leader. Dan, kalau leader-nya ada itu bagus betul. Zaman dulu Pak JK (Jusuf Kalla) jelas ada arahnya atau zaman Akbar Tanjung lebih lagi.

Nah, Pak Airlangga harus kasih sinyal pada Pak Jokowi supaya Pak Jokowi paham arahnya. Tapi, Pak Jokowi langsung menuntut saja. Ini kalian pro Ganjar atau Erlangga sebetulnya yang mau diucapkan.

Tapi Golkar dalam hal itu kan pintar untuk menyembunyikan maksudnya tuh. Dan, pasti akan ada tokoh Golkar lain yang berbicara tidak sejalan dengan yang dibicarakan oleh Airlangga. Itu biasa tuh.

Nanti akan dianggap oh iya, itu Airlangga menyatakan diri akan meneruskan proyek-proyek Pak Jokowi, tapi yang lain faksi lain bilang enggak, Airlangga kita mau jadikan presiden, tidak perlu lewat KIB, misalnya. Karena KIB itu bisa jadi jebakan.

Jadi, hal-hal begituan yang kira-kira, ini kan nggak ada yang final. Jadi, penyebab dari basa-basi ini semuanya karena kita tidak final. Karena itu, publik mungkin lebih suka melihat aspek personal, dan Presiden kemarin itu menyebutkan nama istri Pak AkbarTanjung.

Lalu orang ingatkan lagi, wah kayaknya masih baper nih Pak Presiden karena persidangan masih ditunda, dan orang masih nunggu kehadiran Pak Jokowi dengan ijazahnya di pengadilan. Itu justru yang membuka ingatan orang bahwa Pak Jokowi, Anda masih ditunggu loh di Pengadilan. 

Saya lihat pidato Presiden itu di dalam bahasa tubuh presiden ada semacam kegamangan karena menanti keputusan KIB. Padahal Presiden bisa paksa saja kan. Jadi, masalahnya Golkar semacam menyimpan agenda baru bahwa dia melihat ada perubahan dalam arah politik publik.

Gairah pada Anies itu bertambah, lalu Ganjar akhirnya menekatkan diri untuk berlawanan dengan Ibu Megawati. Jadi, kira-kira Golkar sekarang punya second opinion terhadap dirinya sendiri. Nah, itu kira-kira yang ingin dimintakan kejelasan oleh Pak Jokowi.

Itu sebabnya kenapa KIB ini kan semacam keanehan dalam politik Indonesia. Semua ada di dalam kontrol Pak Jokowi, tapi bikin-bikin KIB. Itu kira-kira atas suruhan Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi kerepotan sendiri itu. KIB lama-lama membentuk koloni sendiri. Kan itu masalahnya.

Koloni itu bisa berbeda dengan hal yang dibayangkan awal oleh Pak Jokowi. Jadi, kecemasan Pak Jokowi karena “hanya rangkul-rangkulan” itu justru disebabkan karena Pak Jokowi membiarkan KIB itu tumbuh sebagai koloni di dalam kabinet, sehingga Pak Jokowi akhirnya mengingat bahwa salah seorang bekas ketua Golkar istrinya adalah sahabat Pak Jokowi.

Jadi, netizen pindah fokus lagi, oh itu masalahnya sehingga Pak Jokowi menyebutkan Ibu Nina karena persidangan tentang status ijazah Pak Jokowi masih berlangsung dan akan lama itu. Ini satu event dua peristiwa.

Saya juga menangkap itu, karena pada pidatonya Pak Airlangga mengingatkan bahwa tiket dari KIB itu premium karena udah di atas PT 20%. Kalau nambah lagi ini tinggal tinggal VIP. Artinya kan kalau tiketnya VIP ya mesti mendapat treatment yang juga VIP, kan kira-kira begitu yang disampaikan.

Ya. Dan saya melihat bahasa tubuh-bahasa tubuh di situ berupaya menduga KIB ke mana. Yang paling cemas sebetulnya adalah Pak Surya Paloh karena sudah ambil tiket duluan tapi kurang premium. Kira-kira begitu.

Mungkin Pak Surya Paloh merasa kalau tunggu sebentar mungkin dapat tiket premium, walaupun Anies premium di tingkat dukungan massa. Dukungan rakyat premium, bahkan VIP. Tapi karena Nasdem yang akhirnya ragu-ragu untuk melihat atau untuk mempromosikan Anies sebagai antitesa, ya publik merasa ya ini gua beli premium tapi kok disuruh nonton di luar lapangan.

Kira-kira begitu kan. Lebih buruk lagi kalau ada tiket premium tapi penuh, lalu pasang televisi nonton di luar lapangan. Ini kira-kira keadaan politik Indonesia. Anies Baswedan tumbuh dengan baik di rakyat, tetapi Nasdem yang mendorong Anies justru kembali menjadi konservatif. Kan itu intinya.

Nah, Golkar membaca itu. Jadi, mungkin Golkar anggap ya sudah, sama kita saja. Jadi, sangat mungkin juga Airlangga Hartarto – Anies. Atau ya macam-macamlah, Go Anies. Kira-kira begitu.

Go Anies sudah mulai ada nih. Ada foto-foto anak-anak muda yang memakai baju kuning dan Go Anies dan kabarnya Akbar bakal deklarasi besok. Ini pasti elemen-elemen di dalam tubuh Golkar meskipun tidak menyatakan nama Golkar.

Ya, saya kira itu sinyalnya. Kan orang tahu Go Anies artinya orang tahu ya Anies Golkar. Tapi, semua ini sinyal-sinyal untuk memancing di air keruh. Karena ketidakpastian. Kan semua tidak pasti. Mereka nggak mau yang pasti kan?

Ya, sampai sekarang saya juga masih berpikir kenapa tanggung banget ya langkahnya Nasdem itu. Kenapa dia kemudian tiba-tiba ketika sudah sangat maju, kan ini bagaimanapun juga keberanian Nasdem itu luar biasa dengan mencalonkan Anies dan kita tahu ada bayang-bayang Firli Bahuri di belakang. Kan itu operasi intersep dari Nasdem terhadap KPK.

Tapi kenapa tanggung, jalan kok tiba-tiba mundur lagi, dan itu yang membuat kemudian kelihatan Airlangga jadi lebih baik sama Airlangga, gitu.

Ya, itu yang mungkin disindirkan oleh Pak Jokowi, karena itu, jangan cepat-cepat tapi kemudian salah pilih. Kira-kira begitu sindiran Pak Jokowi kepada Nasdem.

Walaupun sudah berupaya seluruh aparat Nasdem sekarang di front line mengatakan ya sudah, kami tetap Anies, tapi tetap mendukung Pak Jokowi sampai akhir masa jabatan. Ya tentu saja, mana ada partai yang nggak mendukung Pak Jokowi, mau kena sprindik apa.

Tapi, sebetulnya publik mau lihat Nasdem ini kok tiba-tiba jadi jadi ngeyel yang nggak ada arah, gitu kan. Apa takut? Begitu sebetulnya. Jadi, terjadi reaksi balik dari relawan yang sudah pasang persneling 3 ternyata Nasdem sebagai partai pendukung retrait, pasang mundur. Itu intinya kan.

Itu adalah sifat dari politik yang nggak ada kepastian sebetulnya. Kalau Nasdem dari awal pasti ya dia promosikan bahwa Anies dan wakil presidennya yang sudah dipilih Anies kita deklarasikan. Kan selesai masalahnya.

Ini akibat masih nyari-nyari sponsor atau mungkin amplopnya kurang tebal, belum tebal, transaksi belum terjadi. Sebetulnya kalau saya rumuskan Nasdem artinya takut lagi pada ancaman Pak Jokowi. Dan itu menimbulkan demoralisasi pada relawan-relawan. Kan relawan menganggap kami berdiri di belakang Nasdem. Lah, Nasdem-nya mundur. Ya bagaimana relawan mau maju tuh. Tabrakan dong.

Saya kira sebenarnya di luar itu kita juga melihat bahwa Pak Jokowi memang sudah punya agenda sendiri di luar PDIP. Dia sekarang merasa berada di atas anginlah, kira-kira posisinya begitu.

Ya, jadi pertemuan kemarin Golkar itu 2 hal dipastikan: pertama Pak Jokowi merasa nggak perlu lagi berbasa basi dengan PDIP atau telepon-teleponan sama Bu Mega. Karena dia tahu bahwa KIB itu bisa ditumbuhkan sebagai alternatif juga akhirnya.

Nah, di KIB, tentu yang paling senior adalah Airlangga. Dan PPP yang kemarin kasak-kusuk untuk mendukung Ganjar itu juga akhirnya apa? Itu secara ideologis, secara historis, enggak ada PPP mendukung Ganjar yang dari segi apapun nggak cocok dengan paradigma PPP sebagai partai Islam dan partai yang harusnya tunggu dalam posisi oposisi gitu. Kan itu intinya tuh.

Jadi percuma sebetulnya PPP itu berupaya manuver di depan Pak Jokowi kalau publik tidak melihat koneksi ideologis antara Ganjar dan PPP. Itu masalahnya tuh. Nah itu yang kemudian dibaca dengan baik oleh Golkar. Golkar menang banyak kemarin.

Jadi, selamat ulang tahun sambil pesta-pesta kecillah. Karena Pak Jokowi kelihatannya juga punya second opinion terhadap siapa yang akan meneruskan legacy dia. Nah, di situ kalau Golkar manuver itu tidak diragukan. Kemampuan Golkar untuk sepak kiri sepak kanan, padahal dia tahu jalan yang dia harus tempuh, itu keahlian oportunis dari Golkar. (ida/sws)

467

Related Post