Bernegara Nggak Asyik Lagi di Tengah Keserakahan Oligarki
Oleh: Gde Siriana - INFUS
PERSOALAN bangsa dan negara yang menyebabkan penderitaan rakyat, akar masalahnya adalah keserakahan para Oligarki.
Kehadiran oligarki yang mengendalikan seluruh elemen kekuasaan mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif hingga berimplikasi pada rakyat Indonesia, tentu bukan hal yang terjadi begitu saja.
Sangat mungkin bila kehadiran oligarki berangkat dari filosofi korporasi yaitu "time is money". Tiap detik berupaya mengakumulasikan kekayaannya. Mereka tumbuh menjadi oligarki apabila kekayaannya kemudian menjadi sumber daya kekuasaan.
Transaksi gelap antara pemilik modal yang ingin mempertahankan kekayaan dengan oknum pemerintah yang ingin mempertahankan kekuasaan, berimplikasi pada setiap kebijakan. Tidak ada kebijakan yang luput dari kepentingan oligarki. Demikian juga sebaliknya, penguasa mencari manfaat materi (rent-seeking) dari kebijakannya. Sehingga keadaan ini menjadi hubungan ketergantungan, simbiosis mutualisme.
Praktek rent-seeking kian menggurita, menyusup ke setiap lini kebijakan strategis yang mempengaruhi sistem bernegara dan kesejahteraan rakyat. Namun ketergantungan tersebut hanya bertumpu pada kelompok tertentu, yang tidak memberikan manfaat bagi rakyat.
Dalam konsep negara kesejahteraan, demokrasi adalah pilar utama. Tak ada cara lain melaksanakan demokrasi yang benar, selain bersandar pada konstitusi dan supremasi hukum tanpa tebang pilih.
Pengawasan terhadap kekuasaan juga harus dilakukan setiap detik, karena transaksi gelap itu bisa terjadi kapan saja. Hanya civil society (masyarakat madani) yang punya spirit untuk mengawasi kekuasaan setiap detik.
Selama civil society terus dilemahkan; masyarakat dibelah, organisasi rakyat dibeli, mahasiswa & akademisi dibungkam, dan spirit demokrasi dikerdilkan dengan cara memanipulasi kesadaran & membunuh keberanian rakyat, maka tidak akan pernah kita mengalahkan oligarki.
Kalau udah gini, gak asik lagi bernegara di tengah-tengah keserakahan oligarki. (*)