Catatan Olympiade Tokyo 2020: Indonesia Perak dan Perunggu, Emasnya buat China

Bukankah kita membuka kesempatan seluas-luasnya tenaga kerja dari China bahkan di saat pandemi? Harusnya China juga memberi peluang bagi atlet-atlet Indonesia berlatih dan memetik pengalaman di sana. Suatu yang dahulu kerap dilakukan oleh atlet-atlet tenis meja, lompat indah Indonesia dan beberapa cabang lain yang memang atlet-atlet terbaik dunianya dari negara tirai bambu tersebut.

Oleh Rahmi Aries Nova

SALUT atas raihan Kontingan Indonesia di ajang Olympiade Tokyo 2020 hingga Senin (26/7). Lewat dua lifternya Windy Cantika Aisah dan Eko Yuli Irawan, Indonesia meraih satu medali perak dan satu perunggu.

Bagi Eko itu medali keempat di ajang paling bergengsi di dunia. Setelah sebelumnya meraih perunggu di Bejing (2008) dan di London (2012), Eko berhasil meraih perak di Brasil (2016), dan ia ulangi lagi di Tokyo. Kini ia memegang rekor sebagai atlet Indonesia peraih medali olimpiade terbanyak!

Windy juga tak kalah berkilaunya. Tampil kali pertama di olimpiade, Juara Dunia Yunior itu mampu naik podium di Tokyo Internasional Forum pada Sabtu (24/7). Atlet asal Bandung tersebut berhak atas medali perunggu, yang ia kalungkan sendiri (sesuai protokol covid).

Masa depan Windy yang baru berusia 19 diperkirakan masih panjang. Seperti tradisi medali di cabang angkat besi, tradisi bonus miliaran rupiah pun bakal jadi milik mereka.

Sementara medali emas dari dua nomor itu (kelas 49 kg putri dan 61 kg putra) tersebut jadi milik lifter Cina lewat Hou Zhizui dan Li Fabin.

Selisih angkatan Windy dan Zhizui cukup jauh. Jika Zhizui angkatan snacth-nya 94 kg, clean and jerk 116 kg, total 210 kg, angkatan total Windy 194 kg (snacth 84 kg, clean and jerk 110 kg). Peraih medali perak dari India, Chanu Saikhom Mirabai mencatat angkatan 87 kg snacth, 115 kg di clean and jerk (total angkatan 202 kg).

Li Fabin bahkan memecahkan dua rekor olimpiade dalam angkatan clean and jerk 172 kg, dan total angkatan 313 kg. Eko hanya mampu menguntitnya di total angkatan 302 kg (snacth 137 kg, clean and jerk 165 kg). Peraih medali perunggu dari Kazakhstan Igor Son mencatat 131 kg untuk angkatan snatch, 163 kg clean and jerk, total angkatan 294 kg.

China menjadi momok yang menakutkan di cabang angkat besi. “Tidak peduli siapa yang mereka kirim, siapa nama mereka, mereka akan mengalahkan kami,” kata mantan atlet angkat besi Finlandia, Karoliina Lundahl dalam sebuah artikel di insidethegames.biz.

“Di kejuaraan dunia, kita semua pasti akan melihat daftar peserta, kalau tidak ada huruf (CHN) di nomor yang Anda ikuti, Anda akan mengadakan perayaan kecil,” ungkap Lundhal lagi. Maksudnya jika tidak ada lifter China, nomor yang diikuti artinya harapan meraih medali bisa lebih besar.

Begitu perkasanya China di cabang tersebut. Mengapa kita tidak berguru ke negara mereka? Mengapa tidak mengirim lifter-lifter kita untuk berlatih di China?

Bukankah kita membuka kesempatan seluas-luasnya tenaga kerja dari China bahkan di saat pandemi? Seharusnya China juga memberi peluang bagi atlet-atlet Indonesia berlatih dan memetik pengalaman di sana. Suatu yang dahulu kerap dilakukan oleh atlet-atlet tenis meja, lompat indah Indonesia dan beberapa cabang lain yang memang atlet-atlet terbaik dunianya dari negara tirai bambu tersebut.

Berlatih dari kota ke kota di China selama setahun (persiapan SEA Games 1997). Atau jika tidak mampu membiayai atlet-atlet kita ke sana, mengapa tidak meminta bantuan China mengirim pelatih-pelatih terbaiknya ke Indonesia?

Karpet merah lebih layak kita gelar untuk pelatih-pelatih China yang mau mengangkat prestasi olahraga Indonesia, ketimbang untuk tenaga-tenaga kerja mereka yang hanya ingin mengeruk tambang-tambang berharga kita, yaitu tambang tembaga, nikel, dan emas pastinya. **

Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id.

268

Related Post