Cekcok di Bandara: Pandangan Beyond The Law

Oleh Ridwan Saidi

SEJAK tahun 1978 selama empat tahun, saya menjabat Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang antara lain membidangi lingkungan hidup. Lima tahun berikutnya saya masih di Komisi X sebagai anggota saja.

Saya akrab dengan Pak Emil Salim selaku Menteri Lingkungan Hidup. Sembilan tahun berbeda pendapat sambil bersahabat, behaviour elit politik jaman itu sangat oke.

Laksamana Soedomo, Kepala Staf Kopkamtib, kalau bicara tak kehilangan humor. Ketika ada yang mengajukan pertanyaan, kenapa pemerintah tak pernah menegur perokok, apa karena cukai tembakau oke buat penerimaan negara, Pak Domo menjawab, terkait penerimaan Negara dari cukai tembakau wewenang Menkeu untuk menjawab. Saya hanya mencoba memahami kenapa banyak orang merokok. Saya tinjau home industry rokok di Jateng, pekerjanya kaum wanita. Mereka melinting rokok manual sambil garuk-garuk kéték. Pak Domo menirukan. Rupanya ini yang menyebabkan orang suka merokok. Tawa hadirin meledak.

Saya sangat sedih suatu hari menyaksikan acara debat di TV, Pak Emil sedang bicara di-potong-potong terus oleh seorang anggota DPR. Ini tak layak apalagi usia mereka jauh berbeda.

Kalau di wayang golek hal seperti itu tak terjadi karena sumber suara satu: Ki dalang.

Wayang golek juga kalau bicara harus menuding-nuding agar penonton tahu siapa yang lagi bicara: Gatotkaca apa Arjuna.

Satu dua hari ini media mewartakan angggota DPR, yang debat dengan Pak Emil, beserta ibunya sejak pesawat landing hingga ke tempat pengambilan barang di Bandara, terlibat keributan dengan seorang wanita muda. Saya tak berhak judge mana yang benar, kesan saya keributan itu sangat tidak mengenakkan putra dan ibunya. Lebih-lebih sang putra, tentu dapat dipahami. Insiden ini mungkin sulit dilupakan.

Bahasa Indonesia dan daerah tidak punya kata asli untuk perkakas kelamin dan hubungan seks. Semua resapan. Pada dasarnya peradaban Indonesia halus. Menjadi kasar, terutama dalam perpolitikan, selama 20 tahun terakhir. Kekasaran itu merusak keseimbangan semesta alam.

Maka akan terjadi re-equilibrium. Bisa skala personal, bisa juga nasional.

*) Budayawan

235

Related Post