Jika kita saksikan dengan teliti, ada yang harus diwaspadai oleh capres cawapres Prabowo Sandi. Meski sudah bisa diraba siapa yang bakal unggul, namun mereka tetap harus hati-hati. Maklum, yang dihadapi capres unik dan luar biasa.
Bisa dipastikan tabiat petahana dalam menjegal lawan debat akan terulang kembali. Mari kita lempar lamunan kita ke belakang, 5 tahun yang lalu. Publik masih ingat Debat Capres 2014, di mana pasangan Jokowi-Kalla “sukses” menjebak pertanyaan yang tak disangka oleh pasangan Prabowo Hatta, yakni tentang Piala Adipura.
Capres Prabowo-Hatta kurang lengkap menjelaskan tentang Piala Adipura, lalu diperjelas oleh pasangan Jokowi-Kalla. Mereka hadir sebagai “ahli” Piala Adipura yang sesungguhnya sudah dihafal sebelumnya. Mereka berhasil “mempermalukan” pasangan Prabowo-Hatta di mimbar debat.
Pola yang mereka lakukan adalah memberikan umpan pertanyaan yang diperkirakan lawan tidak tuntas menjawabnya lalu dijelaskan secara panjang lebar oleh pemberi umpan. Mereka menempatkan diri seakan-akan hebat dan menguasai masalah. Apalagi didukung Tim Hore yang ada di belakang pasangan andalannya itu sudah siap dengan celoteh, bunyi-bunyian, dan keplok-keplok. Bahkan, kalau diizinkan mereka akan membawa drum atau petasan. Mereka akan meneriaki dan membuat bising capres lawan, mana kala jawaban yang kurang pas.
Mereka ingin menciptakan kesan bahwa pasangan Jokowi-Kalla adalah pasangan yang pintar dan pasangan Prabowo-Hatta adalah pasangan yang bodoh. Upaya ini berhasil didukung pula oleh pasukan buzer di media sosial yang menggorengnya setiap detik. Inilah kemenangan licik capres Jokowi-Kalla dalam debat capres tahun 2014.
Agaknya pola ini berhasil mengelabuhi publik dan kini diulang dalam debat capres 2019. Lihat saja pada debat pertama 17 Januari 2019.
Capres petahana mempersoalkan kuota perempuan di tubuh Partai Gerindra yang tidak konsisten. Pertanyaan yang sesungguhnya naif, sebab apa urusannya presiden dengan internal partai Gerindra. Ini debat capres bukan debat calon ketua umum partai. Namun demikian Prabowo menjawab dengan elegan bahwa tuduhan itu tidak benar. Di Gerindra, kata Prabowo pengurusnya banyak yang perempuan, bahkan ada sayap Perempuan Indonesia Raya. UU menyaratkan 30 persen kuota perempuan, tetapi di Gerindra bahkan hampir 40 persen. Mendengar penjelasan ini Jokowi tidak bisa membantahnya. Malah membandingkan dengan kabinet, bahwa baru kali ini menteri luar negeri dijabat perempuan.
Serangan kembali dilancarkan pada debat capres kedua 17 Februari 2019, Joko Widodo bertanya infrastruktur apa yang akan dibangun Prabowo untuk mendukung unicorn yang ada di Indonesia. Jokowi tidak jelas menyebutkan kata unicorn, yang terdengar adalah yunikon. Oleh karena itu Prabowo mempertegas spellingyang benar dan bertanya balik “unicorn yang online-online itu?” Jokowi bilang iya, meski tampak ogah-ogahan menjawabnya. Prabowo tak mau terjebak dalam istilah yang tidak terdengar dengan jelas. Setelah jelas, ia kemudian menjawab dengan tuntas, apa yang ditanyakan Jokowi. Jokowi lalu menambahi apa yang sudah disampaikan Prabowo.
Pada debat ketiga, 17 Maret 2019 giliran antarcawapres yang diadu. Pada segmen saling bertanya, cawapres 01 Kyai Marif mengajukan pertanyaan tentang stunting. Cawapres 02 Sandiaga Uno dengan cermat dan jelas memaparkan istilah stunting, di mana suatu kondisi kekurangan gizi kronis pada anak, yang sudah ada sejak dalam kandungan hingga masa awal anak lahir.
Sandi menjelaskan masalah stunting di Indonesia sudah gawat darurat, di mana 2/3 anak kurang asupan gizi, oleh karena itu butuh kerja bersama antar-pemeritah dan masyarakat. Kyai Ma’ruf pun mengangguk-angguk pertanda mafhum mendengar jawaban Sandi.
Strategi jebakan kembali dilontarkan oleh capres 01 Jokowi pada debat keempat, 30 Maret 2019. Jokowi mengajukan pertanyaan, “Pemerintah sedang menggalakkan Dilan (digital dan melayani). Apa yang Bapak ketahui tentang Mol Layanan Publik? Kalimat ini disampaikan dengan suara yang agak lirih. Waktu yang diberikan moderator adalah 2 menit, tetapi hanya dipakai sekitar 30 detik saja. Masih ada waktu 1,5 menit untuk membuat pertanyaan yang lebih jelas dan merangsang, tetapi tidak digunakan. Pun demikian cukup puas bagi Prabowo untuk memberi kuldum (kuliah dua menit) kepada Jokowi tentang layanan yang efektif dan efisien. Lagi-lagi Jokowi cuma menambahkan apa yang sudah dijelaskan Prabowo.
Inilah bahaya laten debat, bisa muncul tiba-tiba dan menjebak. Mungkin mereka berharap lawan debat akan gelagapan dan terbata-bata dalam menjawab. Tahun 2014 Jokowi dan pasukannya boleh saja bangga dengan pola jebak-menjebak. Tapi di 2019 ini, taktik mereka gagal total, justru mereka yang terjebak, panik, gelagapan, dan vertigo akut.
Kepanikan dimulai ketika massa kampanye pendukung 01 selalu miskin peserta. Panggung lengang dan bangku kosong menjadi pemandangan yang lumrah bagi kampanye Jokowi Maruf.
Pada 09 April 2019, kampanye Jokowi di 3 tempat semua mengecewakan. Start dari Kerawang, Jawa Barat. Massanya hanya 2 ribuan. Dari Karawang dilanjutkan ke Bandung Di sini lebih menyedihkan lagi karena dari pagi sampai siang – menurut istilah urang Bandung, cuma check sound terus alias acara tidak dimulai karena massanya sedikit. Ketahuan sepi, Jokowi batal ke Bandung, ia kemudian melanjutkan kampanyenya ke Solo, Jawa Tengah. Eh Stadion Sriwedari cuma berisi sepertiganya. Kalah jauh dari kampanye Prabowo hari berikutnya, 10 April 2019.
Di Padang Sumatera Barat, Jokowi juga takut datang. Ia gelagapan, lalu mengutus menteri pemilik dwi kwarganegaraan Archandra Tahar. Kehadiran Wamen ESDM pun tak manarik minat urang awak. Padahal ada 11 bupati yang dikerahkan.
Di ibukota, tepatnya di GOR Ciracas Jakata Timur, kampanya Jokowi bikin spot jantung dan vertigo. Koran-koran menyebut kampanye sepi, sementara masyarakat sekitar menyebut GOR seperti rumah hantu. Wajar jika Hendropriyono, konon misuh-misuh. Semua tiba-tiba gelagapan, tak seindah yang dilukiskan di media sosial.
Perjuangan terakhir pemuja Jokowi bakal ditunjukkan dalam kampanye di Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Sabtu 13 April 2018. Mereka bertekad mengumpulkan massa melebihi kampanye Prabowo-Sandi 7 April 2019 lalu yang mencapai lebih dari 1 juta massa.
Bus-bus disiapkan, makanan digratiskan. Karyawan BUMN dan swasta – meski libur – diwajibkan hadir, jika tidak akan diberi sanksi. Massa diimpor dari Banten, Bogor, Cianjur, Jateng, Jogja, dan Jatim. Mereka dihadirkan dan difasilitasi menggunakan bus kota. Tidak lupa uang saku sudah disiapkan.
Hehe rakyat Jokowi lupa, kesejahteraan bukan diukur dari seringnya diberi makan nasi bungkus atau dilempari recehan di jalanan. Kesejahteraan harus bisa dirasakan semua lapisan masyarakat dengan sistem yang baik. Bukan sekadar bagi-bagi hadiah dan bagi-bagi duit, apalagi musiman.
Mereka juga menghadirkan 500-an artis. Hitungan mereka sederhana, setiap artis memiliki ratusan ribu follower yang kelak akan memadati Senayan. Andalan mereka adalah Slank dan berharap seperti 5 tahun lalu. Padahal itu sudah basi, sudah tidak menarik lagi. Selama 5 tahun ini, kita sudah bisa membaca siapa Slank. Slankers yang dulu berbeda dengan Slankers sekarang.
Massa Jokowi diperintah untuk memakai baju warna seragam, mereka tak boleh memakai atribut partai.
Instruksi ini justru mengundang pertanyaan: ke mana partai-partai koalisi, apakah mereka sudah pasrah atau mereka tidak mau mendukung Jokowi lagi?
Entahlah, yang jelas kampanye Jokowi di GBK tidak bermakna apa-apa, berapapun yang hadir. Massa mengambang sudah menentukan pilihan saat Ustad Abdul Somad mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo. Sementara massa yang semula pendukung Jokowi sudah mengalihkan dukungan kepada Prabowo saat terbongkarnya kejahatan surat suara sudah dicoblos di Malaysia. Dari hasil penggerebegan ada puluhan ribua surat suara yang dicoblos untuk pasangan 01 dan anggota legislatif dari Nasdem Davin Kirana, putra dari Rusdi Kirana. Ini jahat.
Publik juga makin antipati terhadap capres 01 setelah tahu bahwa Rusdi Kirana adalah bekas calo tiket pesawat di Bandara. Berkat kerja kerasnya, pebisnis Tionghoa itu berhasil merapat ke Partai Kebangkitan Bangsa dan menggelayut ke istana. Dengan posisi ini ia berhasil membeli Bandara Halim Perdana Kusuma, bandara legendaris milik TNI AU yang jatuh dengan mulus ke swasta asing – Temasek – sebuah BUMN milik Singapura.
Oleh Jokowi, Rusdi didapuk menjadi Dubes RI di Malaysia, jabatan yang biasanya diemban oleh tentara atau polisi. Miris Bro.
Mudah-mudahan, Pak Prabowo bisa mengonfirmasi Jokowi dalam debat pamungkas besok malam, tentang model nasionalisme seperti apa yang hendak dikembangbiakkan Jokowi. End.