Dewan Pers: Channel YouTube Hersubeno Point Produk Jurnalistik

Jakarta, FNN - Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ahmad Djauhar menegaskan, channel YouTube Hersubeno Point merupakan produk jurnalistik, karena berada di bawah FNN (Forum News Network) yang merupakan perusahaan pers.

Ahmad Djauhar menegaskan, media, meskipun media sosial, sepanjang itu di-address atau menjadi bagian dari kerja resmi perpanjangan tangan dari semua media dan itu bagian dari proses kerjanya, itu masuk yurisdiksi wilayah perlindungan UU Pers (UU Nomor 40 Tahun 1999) tentang Pers).

"Jadi itu merupakan bagian dari produk pers. Itu sudah kami sampaikan beberapa kali. Memang FNN ini hobi sekali bikin quote unquote - kontroversi begitu, tapi itu bagus," katanya dalam Webinar berjudul #Savehersu, Jurnalistik dalam Ujian, Sabtu 18 September 2021.

Webinar menghadirkan pembicara Ahmad Djauhar dari Dewan Pers, Hersubeno Arief dari FNN, Rony Talapessi dari DPD PDIP DKI Jakarta, dan M. Isa Ansori sebagai moderator. Namun sampai Webinar usai, Ronny Talapessi tidak hadir.

Djauhar mengingatkan, di era demokrasi yang sudah disepakati bersama, kita wajib konsekuen. "Jadi, gini lho, saya ingin sampaikan terlebih dahulu bahwa kita telah berkomitmen memasuki alam demokrasi sepenuhnya. Konsekuensi alam demokrasi itu, menulis apa pun itu boleh, tidak ada yang dilarang, sepanjang tulisan atau apa pun kabar itu, sepanjang ada verifikasinya. Jurnalisme itu adalah semua hal yang terverifikasi. Itu bedanya dengan media sosial murni. Media sosial murni itu ibaratnya seperti warung kopi universal. Warung kopi, tetapi skalanya mendunia, siapa pun boleh melemparkan topik apa pun, tanpa dia harus bertanggungjawab. Makanya, harus ada rambu-rambu, oleh karena itu ada UU," ujarnya.

Menurut Djauhar, UU ITE sebenarnya bukan untuk mengatur kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara. "UU ITE namanya saja Internet dan Transaksi Elektronik. Ini sebetulnya dulu dibentuk untuk kepentingan Kementerian Perdagangan, tetapi saya tidak tahu semua hal di Indonesia bisa dipolitisasi dan dibelokkan ke politik sehingga malah lebih banyak untuk menjerat kebebasan berekspresi," katanya.

Djauhar menegaskan, produk berita yang dipublikasikan oleh Hersubeno Arief merupakan produk jurnalistik. "Tadi seperti yang disampaikan Bung Hersu, Dewan Pers melihatnya bahwa ini sudah memenuhi aspek jurnalisme," katanya.

Bahkan, lanjut Djauhar, Hersu sudah memberikan pernyataan pada kesempatan pertama dengan memberikan semacam breaking news, dan sebagainya. "Kalau di media cetak harus tertulis. Di media cetak konfirmasi bahkan bisa dilakukan esok harinya ketika sudah melewati deadline, yang penting pada kesempatan pertama," paparnya.

Berkaitan dengan status FNN, Djauhar banyak mendapat pertanyaan masyarakat. "Yang sering ditanyakan adalah, FNN itu sudah perusahaan pers atau belum? Nah, kebetulan saya membawahi penelitian, pendataan, dan klasifikasi pers, saya jelaskan sekali lagi bahwa FNN sudah mengajukan aplikasi untuk mendatakan dirinya. Mendatakan ya, bukan mendaftarkan, karena Dewan Pers bukan seperti Kementerian Penerangan zaman dulu," tegasnya.

Menurut Djauhar ada kemudahan untuk mendatakan diri di Dewan Pers. "Jadi sekarang media itu bebas, mau mendatakan dirinya atau tidak

itu terserah. Tetapi, Dewan Pers memberikan kesempatan seluas- luasnya, silahkan, sudah zamannya. Silahkan swalayan, silahkan mengisi aplikasi kalau memang ingin mengurus sebagai perusahaan terverifikasi. Akan tetapi, yang harus diingat adalah amanat UU bahwa perusahaan pers yang penting akta perusahaannya mendeklarasikan dirinya adalah perusahaan pers. Juklaknya itu yang bikin masyarakat pers secara nasional melalui Dewan Pers. Akan lebih baik kalau dia melengkapi persyaratan ini... ini... ini. Jadi dia menjadi perusahaan pers yang istilah teman-teman di forum ini adalah perusahaan pers yang kaffah, komprehensif lengkap dengan persyaratannya," paparnya.

Dalam pantauan Djauhar, saat ini banyak perusahaan pers asal bikin dengan modal dengkul. Hal semacam itu tidak bisa dibenarkan. Perusahaan pers harus menggunakan modal yang cukup, modal uang, SDM (Sumber Daya Manusia), kecerdasan, dan sebagainya.

Diakui Djauhar, sejak reformasi seolah- olah setiap orang merasa bebas menjadi wartawan, semua orang boleh bikin media. Tetapi mereka lupa terhadap berbagai ketentuan yang mengikat bahwa misalnya, di UU bahkan perusahaan pers harus menjamin kesejahteraan karyawan dan wartawannya. Tidak boleh misalnya, ini terjadi di berbagai daerah. Dia merekrut koresponden di mana-mana, tetapi mereka dijadikan konfortter.

"Konfortter ini istilah Belanda. Polpoter itu mencari iklan, mencari pemasukan bagi media itu. Enak benar yang bikin media, dengan modal kecil lalu menyuruh orang mencari uang. Pemilik modal tinggal ongkang-ongkang kaki. Ini kategori pemerasan terhadap karyawan atau wartawannya. Tidak bisa seperti itu," katanya.

Diakui Djauhar bahwa FNN memang belum sepenuhnya melengkapi aplikasi secara penuh karena sejumlah persyaratannya belum penuh. Tetapi intinya kami melihat bahwa FNN didirikan oleh perusahaan pers yang secara otomatis masuk yurisdiksi sebagai perusahaan yang dapat beroperasi dan memperoleh perlindungan hukum.

Dalam posisi ini lanjut Djauhar, menjadi kontroversi, ketika kemarin Kementerian Keuangan juga melaporkan produk FNN (maksudnya Majalah Forum Keadilan-red) yang memang itu produk opini yang diadukan oleh Kementerian Keuangan. "Tadinya mereka sebelumnya juga sudah menanyakan apakah ini diterbitkan oleh perusahaan pers atau bukan, ya kami jawab bahwa itu perusahaan pers. Kalau perusahaan pers penyelesaiannya di Dewan Pers bukan di kepolisian atau pengadilan. Jadi, kita harus tahu hak dan kewajiban masing-masing," tegasnya.

Djauhar menekankan, jika ada masalah pemberitaan maka mediasi terlebih dahulu melalui Dewan Pers. "Pada prinsipnya produk jurnalistik tidak boleh dikriminalisasi. Orang cuma salah ngomong saja, cuma kesalahan, dan kekeliruan biasa, bukan kesalahan fatal. Produk jurnalistik harus semuanya melalui proses verifikasi. Kasus Hersu sudah melakukan itu. Bahwa itu tidak diberitakan sekaligus, tidak masalah, itu kan model. Model bisa macam-macam," paparnya.

"Sekali lagi saya tegaskan, berkaitan dengan sengketa pemberitaan seharusnya penyelesaiannya sesuai UU Pers melalui Dewan Pers. Soal tidak memuaskan, itu relatif. Saran saya Perusahaan Pers harus segera melakukan verifikasi ke DP biar mendapat perlindungan hukum secara utuh," ucapnya. (sws)

542

Related Post