Di Tengah Gempuran Buzzer, Kini Anies Tak Terbendung

Oleh: Abdurrahman Syebubakar

Jakarta, FNN - Sejak Anies Baswedan terjun ke perpolitikan Jakarta melalui kontestasi pilgub DKI pada 2017, sebagian warga yang dipengaruhi buzzer bayaran dan sektarian, membentuk barisan yang tugasnya merundung dan memfitnah Anies.

Anies, yang karena mendapat dukungan sebagian kalangan Islam politik selama kampanye, dituduh menunggangi politik identitas. Padahal, Anies juga mendatangi komunitas-komunitas non-muslim meminta dukungan. Dan ketika memenangkan pertarungan secara dramatis melawan Ahok yang main politik uang atas dukungan para taipan, Anies menjadi musuh besar mereka sampai hari ini.

Hasil analisis data elektoral pilgub DKI 2017 oleh Syebubakar (2021) mengungkap bahwa sentimen politik identitas bukan faktor penentu kemenangan Anies. Lebih karena terkuaknya kebobrokan cagub petahana Ahok selama memimpin ibukota dan kecurangannya dalam pilgub. Puncaknya, ketika tim Ahok tertangkap basah menebar paket sembako secara masif – bertruk truk di masa tenang, menjelang pencoblosan.

Akibatnya, mayoritas swing-voters dan undecided-voters serta sebagian pemilih non-sosiologis Ahok, dengan pertimbangan rasional, menjatuhkan pilihan pada Anies.

Sementara, elektabilitas kedua pasangan cagub, sebelum pencoblosan, tidak terpaut jauh, dengan selisih elektabilitas masih dalam rentang margin of errors. Dengan kata lain, mereka dalam posisi seimbang.

Fakta elektoral juga menunjukkan mayoritas mutlak kalangan non-muslim menjatuhkan pilihan pada Ahok. Sementara pemilih muslim terbagi dua secara merata, untuk Ahok dan Anies.

Yang mengejutkan, bukan hanya warga Jakarta yang terlibat kubu-kubuan secara emosional, tapi juga warga di luar Jakarta. Tak heran, orang menyebut kontestasi Anies-Ahok sebagai pilgub rasa pilpres. Terlebih, Ahok menjadi pertaruhan hidup mati para taipan dan rezim Jokowi, menyangkut mega proyek reklamasi teluk Jakarta.

Kompetisi Anies melawan Ahok berlangsung di tengah prahara penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Kendati Anies netral, kelompok anti demokrasi (hiper-nasionalisme, pluralisme represif, dan Islam-fobia, dengan perlindungan rezim Jokowi dan oligarki) menganggap Anies mengambil keuntungan dari insiden ini. Saking emosinya, mereka tak segan memfitnahnya sebagai pendukung khilafah dan “Islam radikal.”

Belakangan, perbagai kalangan di Jakarta menyadari mereka telah salah nilai, setelah terbukti Anies memperlakukan semua kelompok agama secara adil melalui kebijakan dan program afirmatif yang inklusif. Hasilnya, Anies menerima Harmony Award Tahun 2020 dari Kemenag karena sukses melakukan harmonisasi kehidupan beragama di Jakarta.

Tetapi buzzer bayaran terus memelihara dendam politik hingga sekarang. Apa pun yang dilakukan Anies langsung diserang secara membabi buta dan irasional. Kepemimpinan Anies yang mumpuni – akuntabel, kredibel, rasional, dan simpatik, bukannya mengembalikan akal sehat, malah membuat mereka semakin kalap.

Sementara, karena kinerja gemilang, Anies telah menerima lusinan penghargaan dalam dan luar negeri selama tiga tahun kepemimpinannya. Bandingkan dengan Ahok yang hanya mendapat tiga penghargaan dalam negeri selama tiga tahun kepemimpinannya. Itupun penghargaan yang memang rutin diterima DKI Jakarta sebagai ibukota negara.

Atas semua fakta tersebut, para buzzer bayaran dan haters Anies tutup mata. Tak henti-hentinya, mereka mencari celah untuk membunuh karakter Anies yang mendapat perhatian dunia internasional karena reputasi intelektualitas dan kinerjanya memimpin Ibukota. Ia pun diundang berceramah di pusat-pusat kota dunia untuk berbicara tentang isu-isu yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional.

Dalam menghadapi pandemi covid-19, Anies didaulat bicara di antara gubernur dan walikota seluruh dunia tentang pengalamannya mengatasi corona di Jakarta yang dianggap sukses.

Belum lama ini, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Jejaring C40 Cities untuk Perubahan Iklim, Anies menyampaikan pidato singkat selama 2 menit dalam dialog yang dihadiri Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan delegasi asosiasi kota besar dunia. Anies menyampaikan usulan kepada PBB untuk membantu kota-kota di dunia mengatasi dampak perubahan iklim, dan usulan itupun langsung disetujui oleh Sekjen PBB Antonio Gutteres.

Sementara itu, pendukungnya serta kalangan yang berpikir rasional dan obyektif makin yakin dengan kualitas seorang Anies yang telah teruji menghadapi segala godaan dan cobaan memimpin Jakarta.

Bagaimana ia tampil dengan terobosan-terobosan gemilang untuk melayani dan meningkatkan kualitas hidup warganya, serta memperindah Ibukota. Banyak yang berdecak kagum, mengapa ia begitu berhasil menata kota yang rumit ini dan menyejahterakan warganya tanpa caci maki seperti Ahok.

Dengan tidak menafikkan adanya “persoalan lama” Ibukota, seperti banjir dan polusi udara, di bawah kepemimpinan Anies, kemiskinan yang sudah sangat rendah terus berkurang, demokrasi pulih setelah diacak acak Jokowi dan Ahok, pembangunan manusia tumbuh pesat, potensi korupsi redup, oligarki surut, kohesi sosial membaik, penampilan fisik Jakarta makin indah, dan kemacetan berkurang.

Selain itu, keberanian politik Anies melawan super-oligarki dengan menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta juga patut diapresiasi, meskipun akhir-akhir ini terjadi kontroversi reklamasi Ancol yang proses pengembangan, pengelolaan dan peruntukannya sangat berbeda.

Sementara, pada masa kepemimpinan Ahok, tingkat kemiskinan di Jakarta meningkat, demokrasi babak belur, oligarki meluas, dan korupsi merajalela. Laporan keuangan DKI semasa Ahok pun belum pernah mendapat penilaian WTP dari BPK.

Terbukti kejujuran, kesantunan, dan kecerdasan Anies jauh lebih bertenaga untuk memajukan kota dan membahagiakan warganya. Inilah sebabnya mengapa pendukung Anies dan kalangan yang melek politik rasional merasa telah menjatuhkan pilihan yang tepat ketika memilihnya dulu.

Alhasil, orang-orang yang masih dendam pada Anies, terutama buzzer bayaran, tentu akan mengeksploitasi semua isu untuk menjatuhkan Anies, tak peduli apa yang dikakukan Anies masuk akal dan bermanfaat bagi orang banyak. Maklum, target mereka adalah mencegah Anies ikut kontestasi pilpres 2024.

Namun, sejauh ini upaya mereka melakukan pembunuhan karakter Anies gagal total. Publik lebih menilai kualitas personal Anies, serta menyaksikan dan merasakan hasil kerja nyatanya selama ini.

Komunitas internasional pun mengapresiasi kinerja gubernur yang satu ini. Salah satu kinerja Anies yang mencolok adalah penanggulangan covid-19. Sampai-sampai rezim Jokowi yang amburadul dan menjadi pelindung Ahok pun terpaksa mengekor pada inisiatif-inisiatif Anies, meskipun selalu terlambat.

Dus, pertarungan pilpres 2024 mendatang tidak akan lepas dari sosok Anies. Dia menjadi salah satu capres terfavorit, bahkan terkuat dari kalangan non-parpol. Sejumlah survei elektabilitas selalu menempatkan Anies di 3 tokoh dengan elektabilitas tertinggi capres 2024, dan sering kali menempati urutan teratas, menyalip para elit parpol yang menjadi jagoan rezim Jokowi dan para taipan.

Yang pasti, potensi keterpilihan Anies untuk bertarung dalam pilpres 2024 tidak terbendung. Terlebih nanti mendapat endorsement dari parpol atau gabungan parpol.

Kebencian sebagian orang, terutama kelompok yang buta politik and masih terjerat politik identitas, tidak akan mampu menghalangi Anies memimpin dan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan yang sangat dalam akibat salah urus rezim saat ini.

Penulis adalah Dewan Pengurus IDe

407

Related Post