Dilema Mahkamah Keluarga dalam Politik Cawe-cawe
Oleh Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
KEPUTUSAN MK tentang persyaratan umur Capres atau Cawapres yang akan dibacakan hari Senin (16/10) mendatang adalah keputusan yang seharusnya tidak dilakukan di ranah Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab MK itu memutus persoalan jika ada UU yang bertentangan atau melanggar konstitusi.
Persoalan batasan umur Cawapres dimana letak melanggar kontitusi nya? Pasal berapa UUD 1945 yang dilanggar?
Pasal 169 huruf UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (3/4/2023), para pemohon melalui Francine Widjojo menyatakan batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun. Sementara para pemohon saat ini berusia 35 tahun, sehingga setidak-tidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur 35 tahun dengan asumsi pemimpin-pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sehingga norma ini menurut para pemohon bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Padahal pada prinsipnya, negara memberikan kesempatan bagi putra putri bangsa untuk memimpin bangsa dan membuka seluas-luasnya agar calon terbaik bangsa dapat mencalonkan diri. Oleh karenanya objek permohonan adalah ketentuan yang diskriminatif karena melanggar moralitas. Ketika rakyat Indonesia dipaksa hanya memilih pemimpin yang sudah bisa memenuhi syarat diskriminatif, tentu ini menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat Indonesia yang memilih maupun orang yang dipilih,” sebut Francine.
Untuk itu para pemohon meminta Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Urusan batas umur bukan urusan MK sebab tidak ada pasal UUD 1945 yang dilanggar oleh batas umur itu kewenangan legeslatif jika MK juga berfungsi sebagai legislatif ya kacau negeri ini. Apa lagi yang mengajukan permohonan perubahan persyaratan usia cawapres itu bukan partai yang mempunyai kursi di DPR. UU Pemilu itu sudah disetujui oleh seluruh anggota DPR kemudian PSI partai yang tidak mempunyai satu kursipun di DPR bisa menggugat aturan yang sudah disetujui oleh DPR.
Persoalan syarat umur dibanding dengan presidential threshold ialah ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu gelaran pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Itu jauh lebih urgensi. Hal itu diatur dalam Pasal 222 Undang Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Undang undang ini jelas bertentangan dengan konstitusi sebab membatasi warga negara untuk menjadi pemimpin yang dijamin UUD 1945 .
Dalam Pasal 222 memberlakukan presidential threshold sebagai ambang batas yang justru membatasi jumlah calon presiden. Maka struktur Pasal 222 tidak memiliki kekonsistensian dengan Pasal 6A UUD 1945. Dalam Pasal 6A UUD 1945, tanpa angka persen. Terbuka bagi partai politik.
Jadi dibanding dengan batasan umur yang diajukan partai Garuda dan PSI jelas kedua partai ini tidak ikut membuat UU Pemilu sebab kedua partai ini tidak punya anggota DPR. Ini hal yang sangat buruk bagaimana sebuah partai yang tidak punya kursi di DPR bisa menggugat keputusan DPR tentang UU Pemilu.
Sementara Jokowi dengan politik cawe cawenya masih terus menata dinasti politiknya agar kekuasaan masih bisa dikontrol lewat tangannya melalui anaknya.
Kita sebagai rakyat akan melihat apakah Makamah Konstitusi itu tetap menjadi MK atau telah berubah menjadi Mahkamah Keluarga sebab perubahan persyaratan usia itu syarat dengan kepentingan Jokowi untuk menjadikan anaknya Gibran meneruskan dinasti kekuasaannya. (*)