Edy Mulyadi Terlalu Nekat Sih, Padahal Ia Bukanlah Arteria Dahlan
Nasib Edy Mulyadi menjadi tak seindah Arteria Dahlan, sepertinya demikian. Tapi semuanya belum berakhir. Masih akan diuji jika ia nantinya harus berperkara di pengadilan, apakah istilah yang diucapnya itu benar penghinaan atau sekadar istilah untuk menggambarkan tempat yang jauh dan terpencil.
Oleh Ady Amar, Kolumnis
HUKUM mestinya berdiri sama tinggi sama rendah. Artinya, tidak ada yang boleh diistimewakan, pun tidak ada yang boleh mendapat perlakuan hukum buruk dengan tidak semestinya. Equality before the law itu asas hukum, persamaan yang sama dihadapan hukum.
Konsekuensi negara asas hukum, itu memunculkan persamaan yang sama antarindividu dihadapan hukum. Itu menjadi syarat mutlak. Hukum menjadi panglima tanpa boleh ada aspek lain yang coba mengebiri/mengecilkan perannya.
Hukum menjadi kekuatan mutlak yang tidak dapat diintervensi kepentingan lainnya. Semua tunduk dan taat hukum. Siapa pun ia, meski dengan jabatan tinggi sekalipun, tidak diistimewakan kekhususan di hadapan hukum.
Karenanya, hukum tidak dapat dikendalikan oleh kepentingan politik dan eksosbudhankam sekaligus. Hukum punya posisi tertinggi, yang menjaga nilai-nilai keadilan menjadi seimbang. Intervensi atas hukum oleh politik kekuasaan, biasanya demikian, itu awal hukum menjadi lunak pada kelompok tertentu.
Lunak pada kelompok tertentu, namun keras pada kelompok lainnya. Itu awal mula asas hukum mulai diintervensi kepentingan politik. Hukum jadi alat kepentingan mereka yang tengah berkuasa.
Hukum mulai tertatih-tatih kehilangan marwahnya. Hilang wibawanya. Sejak itu hukum mustahil bisa diharapkan adil pada semua pihak. Asas persamaan dihadapan hukum, itu sekadar teori tanpa bisa ditemukan dalam realita hukum para pencari keadilan.
Hukum sebagai panglima, itu sekadar retorika pemanis. Seolah negara tetap berasas pada hukum. Padahal hukum sudah tidak lagi berdiri tegak, bisa diharap menghasilkan keadilan semestinya. Muncul hukum "suka-suka", hasil intervensi politik kekuasaan.
Adalah menjadi hal biasa jika terlihat, pada kasus hukum yang sama, muncul perlakuan hukum dengan putusan hukum berbeda. Ada yang langsung diproses, ada pula yang tidak diproses. Kasusnya dibiarkan menguap.
Ditandai argumen ditingkat penegak hukum, bahwa sudah ditemukan dua alat bukti untuk naik ke tingkat penyidikan, dan lalu ditahan. Tapi pada kasus yang (hampir) sama, muncul argumen belum ditemukan alat bukti. Bahkan yang bersangkutan pun lenggang tanpa harus dimintai keterangan sebagai saksi.
Ketidakadilan terus ditampakkan tanpa malu-malu, seolah nalar publik sudah dianggap mati, sehingga tak mampu berargumen tentang hukum dan keadilan. Dan hari-hari ini, pada waktu hampir bersamaan muncul dua kasus yang motifnya hampir sama. Keduanya diduga bermotif penghinaan.
Pertama, kasus Arteria Dahlan yang dianggap menghina bahasa Sunda. Muncul kemarahan etnis Sunda dari berbagai kalangan dan strata sosial. Arteria akhirnya meminta maaf, meski pada awalnya alot untuk meminta maaf. Sampai saat ini, Arteria Dahlan, yang anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan, belum pernah diperiksa sebagai saksi.
Sedang kasus yang (hampir) sama, yaitu kasus penghinaan, dan itu penghinaan pada pulau Kalimantan. Edy Mulyadi pelakunya, pribadi yang kritis pada penguasa. Menurut selebaran surat pemanggilannya, yang viral di jagat maya, ia dipanggil sebagai saksi pada Jumat, 28 Januari. Dipanggil Jumat, mengisyaratkan Jum'at kramat, isyarat untuk ditahan.
Edy Mulyadi memang bukan Arteria Dahlan, itu jelas. Kasusnya pun bukan SARA. Tapi perlakuan hukum yang didapat keduanya tidaklah sama. Pada keduanya, pada satu peristiwa yang (hampir) sama, tapi muncul perlakuan hukum yang tidak sama. Arteria Dahlan, meski kasusnya dianggap SARA, tapi diperlakukan tanpa harus menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Itu tidak berlaku pada Edy Mulyadi. (Jika saja surat pemanggilan Kepolisisan yang beredar itu benar adanya).
Arteria Dahlan "bermukim" pada kubu partai besar pendukung pemerintah. Karenanya, jika muncul anggapan ada perlakuan khusus atasnya, itu sah-sah saja. Apapun itu, bisa disebut intervensi kekuasaan, dan itu politik. Maka, hukum dihadapan kekuasaan menjadi tumpul. Tak mampu menjangkau seorang Arteria Dahlan.
Edy Mulyadi pasti tidak sama dengan Arteria Dahlan. Ia bukan anggota DPR-RI, cuma pernah nyaleg di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia orang bebas yang tergolong nekat, yang berani masuk ke wilayah sensitif. Sehingga, istilah ujarannya pada pulau Kalimantan (tempat) "jin buang anak", itu menjadi persoalan yang ditiup menjadi besar. Dikenakan sebagai penghinaan.
Nasib Edy Mulyadi menjadi tak seindah Arteria Dahlan, sepertinya demikian. Tapi semuanya belum berakhir. Masih akan diuji jika ia nantinya harus berperkara di pengadilan, apakah istilah yang diucapnya itu benar penghinaan atau sekadar istilah untuk menggambarkan tempat yang jauh dan terpencil.
Edy Mulyadi terlalu nekat, sih. Padahal ia bukanlah Arteria Dahlan. Ia bukanlah siapa-siapa, yang punya cantolan politik yang kuat. Kasihan juga melihatnya. Tapi mau apa lagi. Duh, Gusti. (*)