Ekonomi Indonesia dalam Bahaya, Pejabat Cari Kambing Hitam
Oleh: Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Di hadapan Komisi XI DPR, Sri Mulyani mengatakan bahwa ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh “tinggi”, maksudnya di atas 6 persen, karena terkendala kualitas SDM (Sumber Daya Manusia).
Padahal, pertumbuhan ekonomi periode 1970-1980 di era Pak Harto dapat mencapai di atas 7 persen, 8 persen, bahkan mencapai 10 persen di tahun 1980.
Pertumbuhan tinggi di era Pak Harto ini dapat dicapai di tengah kondisi SDM Indonesia yang sangat terbatas. Tahun 1971, jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mempunyai jenjang pendidikan SLA ke atas (SLA, akademi, universitas) hanya 2,35 persen dari jumlah penduduk.
Bahkan jumlah penduduk di tingkat universitas banya 115.116 orang saja, atau 0,14 persen. Tetapi Pak Harto tidak mengeluh.
Oleh karena itu, alasan Sri Mulyani bahwa pertumbuhan ekonomi terhambat kualitas SDM tidak dapat diterima sepenuhnya, karena alasan ini hanya mengada-ada, dan bertentangan dengan fakta yang ada.
Alasan Sri Mulyani ini hanya mencari kambing hitam untuk menutupi ketidakmampuan dan kehagalan meningkatkan pertumbuhan ekonomi “tinggi” (padahal cuma sekitar 6 persen saja).
Oh satu lagi. Sri Mulyani juga mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa “tinggi karena terhambat tabungan di Indonesia sangat rendah untuk bisa mendukung keperluan investasi.
Masih periode 1970-1980. Tabungan masyarakat ketika itu jauh lebih rendah dari tabungan masyarakat saat ini. Rasio tabungan (% PDB) pada 1970 hanya 10,63 persen, dan 1980 naik menjadi 29,17 persen. Tetapi, faktanya, pertumbuhan ekonomi periode 1970-1980 mencapai di atas 7-8 persen. Sedangkan rasio tabungan (% PDB) saat ini mencapai 39,3 persen.
Sekali lagi, alasan dan pernyataan Sri Mulyani terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa tinggi, sangat tidak masuk akal dan mengada-ada.
Sri Mulyani nampaknya tidak mengerti mengenai pertumbuhan ekonomi dan variabel yang mendukungnya.
Artinya, Indonesia dalam bahaya, karena perekonomian Indonesia dikelola oleh pihak yang tidak berkompeten, yang hanya mencari kambing hitam untuk menutupi kegagalannya. (*)