Enam Prajurit TNI Tewas Ditembak OPM, Jokowi Dulu Malah Undang Majelis Rakyat Papua, bukan DPD Papua
Jakarta, FNN – Enam prajurit TNI gugur di tangan Organisasi Papua Merdeka yang kini diubah namanya menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di wilayah Mugi-Mam Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, Papua. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) bahkan mengklaim pasukan ini telah menembak mati 9 prajurit TNI dan merampas 9 pucuk senjata pada Sabtu, 15 April 2023.
TNI yang ditembak mati adalah dari Satuan Tugas Batalyon Infanteri Yonif Raider 321/Galuh Taruna (Yonif R 321/GT). Mereka bukan sedang melakukan operasi terhadap OPM, melainkan sedang bertugas melakukan operasi SAR pilot Susi Air di wilayah tersebut.
Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting sangat menyesalkan peristiwa itu. Ia berharap kejadian ini merupakan kejadian yang terakhir.”Pertama saya ucapkan duka cita yang mendalam kepada prajurit TNI dalam menjalankan tugas di Papua. Harapan kita semua, ini peristiwa yang terakhir,” katanya kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief Senin, 17 April 2023.
Lebih jauh Ginting minilai pemerintah ragu-ragu dalam mengatasi Papua. “Ini jelas bias antara kebijakan pemerintah dengan DPR sehingga pemerintah ragu-ragu dalam bertindak," paparnya.
Belum lagi kata Ginting keraguan pemerintah dalam menyelesaikan masalah Papua seakan setengah hati. “Bagaimana Presiden Jokowi justru menerima MRP (Majelis Rakyat Papua). Ini sebetulnya bom waktu yang ditinggalkan oleh Belanda. Mengapa Presiden Jokowi bukan menerima DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan itu resmi konstitusional, kok malah MRP. Ini kesannya pemerintah tidak tegas dalam hal ini,” katanya geram.
Keraguan Jokowi lainnya kata Ginting adalah soal penerapan isu Hak Asasi Manusia (HAM). “Begitu juga dengan keragu-raguan dalam bertindak karena ada isu HAM, menurut saya ini bisa ditangkal dengan dilihat - siapa yang menggelontorkan. Rata-rata yang menggelontorkan LSM LSM luar negeri,” aparnya.
Ginting menegaskan bahwa dalam kasus Papua ini peristiwa sesungguhnya adalah pembebasan sandera Pilot Phillips Marthen dari Selandia Baru yang kasusnya sudah berlangsung 2 bulan tetapi belum terselesaikan.
Ginting menyarankan mustinya pemerintah ingat bahwa sejumlah negera membiarkan terbentuknya organisasi dan LSM di sejumlah negara yang menyetujui gerakan Papua Merdeka seperti Selanida baru.
“Selandia Baru adalah negara yang paling banyak LSMnya, ada 12 organisasi pendukung OPM. Tak hanya itu, Negara-negara commonwealth Inggris, ada 8 organisasi di Belanda, Amerika, Kanada, Inggris, Prancis, Swis, Nepal dan negara-negara Pacific. Bisa jadi organisasi-organisasi di Selandia Baru main mata dengan OPM,” tegasnya.
Ginting juga miris melihat respons yang lambat dari aparat TNI, padahal yang menjadi korban prajurit TNI. “Kita sayangkan peristiwa ini kemudian yang menjadi korban adalah prajurit TNI. Kita bisa lihat dalam peristiwa yang sekarang ini, bagaimana Kepala Penerangan Kodam Cendrawasih gamang untuk bicara, Kadispenad juga tidak bersuara, begitu juga Kapuspen TNI dia mengatakan hingga pukul 14.00 WIB yang diterima hanya 1 korban. Ini tidak biasa,” tegasnya.
Menurut Ginting, biasanya kalau hanya 1-2 korban, Kepala Penerangan Kodam Cendrawasih dengan cepatnya mengumumkan, begitu juga Kadispenad, dan juga Kapuspen TNI sehingga wartawan juga melihat ini ada sesuatu yang disembunyuikan.
“Kita lihat kemarin 16 April 2023 adalah ulang tahun ke-71 Kopassus. Kesannya ada disembunyikan karena Kopassus sedang ulang tahun dan barangkali ini sebuah peristiwa yang memalukan jika itu betul-betul terjadi sampai ada 6 prajurit gugur, bahkan OPM pun sudah mengklaim menembak 9 prajurit TNI. Tim ini kan terdiri dari 20 personel prajurit Batalyon Infanteri Rider 321 Divisi Infanteri 1 Kostrad dan 16 dari Kopassus. Kalau ini benar, klaim OPM 9 prajurit disandera, ini mau diapakan. Ini sebuah pengumuman yang membanggakan bagi OPM dan sebaliknya memalukan bagi TNI,” katanya geram.
Oleh karena itu Ginting menyarankan agar pemerintah sangat serius mengatasi persoalan Papua. “Kita harus betul-betul kembali duduk bersama jangan sampai prajurit TNI gugur saat menjaga kedaulatan,” katanya.
Ginting mengingatkan pola penanganan masalah era dulu. “Seharusnya pemerintah mau belajar bagaimana TNI mengatasi persoalan PKI Madiun atau DI/TII di Jawa Barat. Nah, lagi-lagi yang harus kuat itu intelijennya. Zaman Pak Harto adalah intelijen minded yang didahulukan di daerah operasi,” paparnya.
Menurut Ginting, yang harus dilakukan memang fungsi intelijen, pertama penyelidikan, kedua pengamanan, dan ketiga penggalangan.
“Dengan gugurnya Kepala BIN Daerah Papua beberapa waktu lalu, itu menandakan bahwa ini sudah lampu merah. Artinya intelijen kita lemah, harusnya bisa memetakan mana masyarakat yang pro merah putih dengan masyarakat yang pro-OPM. Setelah bisa dibedakan, informasi dari interijen diberikan kepada satuan tempur dan satuan teritorial. Yang pro kepada Republik Indonesia dibina oleh Satuan Teritorial, yang belum, harus digalang oleh intelijen, kemudian dipisahkan dengan kelomppk bersenjata, lalu satuan tempur yang memukulnya. Jadi harus ada tiga bagian. Inteijen harus dipertanyakan ke mana Sandi Yudha kita?,” tanyanya.
Ginting sungguh merasa heran mengapa bisa gagal memetakan mana masyarakat yang pro Republik Indonesia dan mana yang pro OPM. ”Tidak bisa hanya mengandalkan satuan tempur kalau data intelijen tidak kuat. Akhirnya seperti ini yang terjadi. Bisa dibilang untuk menghajar musuh – dalam perang gerliya - harus tiga kali lipat, dalam pengertian untuk mengalahkan 1 batalyon harus dikalahkan dengan 3 batalyon. Ini 1 peleton, berarti kemungkinan yang dihadapinya adalah 1 kompi pasukan OPM. Nah inilah yang seharusnya bisa kita pelajari seperti ketika kita melawan Belanda,” tegasnya.
Dulu, kata Ginting pejuang kemerdekaan Republik Indonesia berkolaborasi dengan rakyat dalam mengusir penjajah.
“Dalam perang gerilya TNI dilindungi oleh rakyat dan diberikan logistik oleh rakyat, juga diberikan informasi oleh rakyat, saat pasukan Belanda mengejar. Ini seharusnya sama dengan yang dilakukan masyarakat Papua terhadap OPM. Kalau tidak bisa, artinya kita belum bisa merangkul masyarakat mereka,” pungkasnya. (sws)