FPI, HTI, PKI, PDI-P, Mana Yang Lebih Berbahaya?
by Tjahja Gunawan
Jakarta, FNN - Kamis (07/01). Di tengah gencarnya aksi pencitraan yang dilakukan Mensos Tri Rismaharini atau Risma, di dunia maya khususnya Twitter yang sedang ramai dan menjadi trending topic adalah tagar bubarkan PDI-P. Itu menjadi trending topic Twitter pada hari Senin 4 Januari 2021.
Topik tersebut awalnya diunggah oleh seorang netizen dengan akun @PutraErlangga_ yang menampilkan foto Mantan Mensos Juliari Peter Batubara. Sebelum tagar ini muncul, Pakar Hukum Refly Harun juga pernah membahas keinginannya untuk melihat pemerintah membubarkan partai yang suka korupsi, meski tidak menyebutkan nama partainya.
“Udeh Pantas Ni Tagar Jadi Tersangka TT, #BubarkanPDIP, Apakah Anda Setuju..?,” tulis akun twitter @PutraErlangga_ hari Senin, 4 Januari 2021, pukul 10.27 WIB.
Di hari Senin itu, tidak kurang dari 14.300 cuitan yang menggunakan hastag ‘Bubarkan PDIP’.
Isi cuitannya rata-rata tentang luapan kemarahan warganet karena beberapa kader partai berlambang banteng itu terlibat korupsi, diantaranya anggota PDI-P Harun Masiku dan Mantan Mensos Juliari Peter Batubara yang juga Wakil Bendahara PDIP.
Seperti diketahui, Harun Masiku merupakan nantan calon anggota legislatif dari PDIP yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan tersangka dirinya terkait kasus dugaan suap terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
Suap tersebut dilakukan Harun Masiku agar dirinya dapat menggantikan Nazarudin Kiemas yang telah meninggal dunia untuk lolos ke DPR-RI dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Namun, hingga kini Harun Masiku masih buron dan menghilangkan diri. Sementara nantan Mensos Juliari Peter Batubara sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan bansos di wilayah Jabodetabek.
Parpol Korupsi, FPI Dibubarkan
Mantan Mensos Juliari Batubara diduga telah melakukan korupsi Rp 17 Miliar yang dia gunakan untuk keperluan pribadinya sendiri. Selain hastag ‘Bubarkan PDIP’ yang trending di twitter, petisi yang berjudul ‘Bubarkan PDIP Partai Anarkis’ di laman Change.org pun kembali muncul ke permukaan. Petisi ini telah ditandatangani oleh 109.488 orang dari target 150.000 orang.
Alih-alih membubarkan partai korup, pemerintah justru malah membubarkan Ormas Islam FPI. Kenyataan ini jadi mengherankan masyarakat. Betapa tidak, yang korupsi kader parpol tapi yang dibubarkan malah FPI. Dengan logika ini saja masyarakat bisa menilai rezim pemerintah sekarang sudah berlaku tidak adil, membubarkan Ormas semaunya tanpa diketahui kesalahan hukumnya melalui proses persidangan. Masyarakat yang bukan bagian dari Ormas Islam pun, akan menaruh simpati dengan FPI. Apalagi sebelum ormas ini dibubarkan, didahului dengan pembunuhan secara keji terhadap enam laskar FPI.
Oleh karena itu wajar kalau sekarang ada tuntutan terhadap pembubaran PDI-P. Masyarakat sudah banyak melihat praktek-praktek ketidakadilan saat ini. Untuk itu hal yang terkait dengan korupsi yang dilakukan kader PDI-P harus diselidiki sampai tuntas dan dihukum secara adil. Dalam kaitan ini, KPK didesak untuk bisa menyelidiki secara tuntas kasus korupsi Bansos yang dilakukan Wakil Bendahara PDIP Juliari Batubara.
Desakan tersebut antara lain disampaikan Jaringan Pemuda Islam (JPI) yang melakukan aksi ke Kantor KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu siang (6/1). JPI mendesak agar KPK memeriksa putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka terkait dugaan keterlibatan di kasus dugaan suap bansos Covid-19 berupa sembako untuk wilayah Jabodetabek 2020.
Ketua Umum JPI, Yaban Ibnu mengatakan, aksi dilakukan untuk merespons pemberitaan yang menyebutkan adanya dugaan keterlibatan Gibran dalam perkara yang menjerat Juliari Peter Batubara selaku Mensos. Dalam pemberitaan Tempo disebutkan bahwa, Gibran telah memberikan rekomendasi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) kepada Juliari Batubara untuk mengerjakan pengadaan goodybag dalam distribusi bansos.
"Kami meminta KPK untuk segera memeriksa 'anak Pak Lurah' yaitu Gibran Rakabuming atas dugaan keterlibatan korupsi dana bansos," ujar Yaban Ibnu kepada Kantor Berita Politik RMOL di lokasi aksi unjuk rasa, Rabu siang (6/1).
Selain itu kata Yaban, pihaknya juga meminta KPK untuk menindaklanjuti keterlibatan oknum-oknum lainnya yang disebut dalam investigasi majalah Tempo edisi 21-27 Desember 2020 yang berjudul "Korupsi Bansos Kubu Banteng". "KPK berani bongkar, KPK hebat," pungkasnya. Aksi yang mendesak KPK untuk memeriksa Gibran juga telah dilakukan oleh Pergerakan Masyarakat Madani (Permadani), Selasa siang (5/1).
Pemberitaan aksi masyarakat ke Gedung KPK tersebut memang tidak seramai pemberitaan aksi blusukan Mensos Risma, salah satu orang yang dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Aksi pencitraan Mensos baru ini seolah ingin menutup kasus kejahatan korupsi yang dilakukan mantan Mensos Juiari Batubara.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengalihkan isu korupsi bansos. Tidak hanya melalui aksi pencitraan yang dilakukan Mensos Risma tetapi dengan aksi politik kekuasaan yang dilakukan pemerintah terhadap Ormas Islam. Setelah membubarkan Front Pembela Islam (FPI), belum lama ini tiba-tiba rezim Jokowi memecat Asep Agus Handaka Suryana sebagai Wakil Dekan Bidang Sumberdaya dan Organisasi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Dia dipecat secara sepihak karena dianggap mempunyai latar belakang yang terkait dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kenapa saya menyebut ini pemecatan sepihak ? Ya karena tidak dilakukan melalui proses peradilan yang fair dan terbuka. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui keterlibatan Asep Agus Handaka di HTI. Tiba-tiba sekarang dipreteli jabatannya di Kampus Unpad. Perguruan tinggi negeri seperti Unpad yang sudah berdiri cukup lama seharusnya lebih mengedepankan aspek keterbukaan serta tata cara berpikir logis dan ilmiah. Tidak membuat keputusan yang merugikan civitas akademika Unpad. Dari kasus ini menunjukkan kepada kita sebagai masyarakat bahwa sekarang ini dunia perguruan tinggi sudah tidak memiliki indepedensi. Perguruan tinggi sudah menjadi kepanjangan kepentingan penguasa dan pemilik modal. Dengan begitu, intervensi politik kekuasaan bisa menimpa kampus manapun terutama PTN.
Mengingat pemecatan terhadap Asep Agus Handaka tidak dilakukan secara terbuka melalui proses hukum di pengadilan, masyarakat pun jadi bertanya-tanya. Apa sebenarnya kesalahan hukum Asep Agus Handaka ? Apakah salah dia pernah ikut sebagai anggota HTI? Kapan dia ikut terlibat di ormas tersebut? Bukankah HTI sudah dibubarkan pemerintah sejak tàhun 2017 ?
Katakanlah Asep Agus Handaka mantan anggota HTI, kenapa dia dilarang menjabat di kampus negeri seperti Unpad ? Sementara para mantan anggota PKI boleh mencalonkan diri sebagai pejabat baik di DPR maupun di pemerintahan ? Pertanyaan selanjutnya, apakah HTI pernah membunuh para santri dan kiai seperti yang dilakukan PKI pada tahun 1948 dan 1965 ?
Mana yang lebih berbahaya, FPI, HTI, PKI atau PDI-P ? Apakah waras jika ormas Islam seperti HTI atau FPI yang selama ini hanya menjalankan dakwah amar ma'ruf nahi munkar serta aktivitas kemanusiaan lainnya, tiba-tiba dibubarkan tanpa melalui proses hukum yang adil ?
Sementara PDI-P yang jelas-jelas memiliki banyak kadernya yang terlibat tindak pidana kejahatan korupsi malah justru dibiarkan dan tidak dibubarkan. Saat ini PDIP memang merupakan partai yang sedang berkuasa, sehingga logika politiknya sulit untuk bisa membubarkan partai ini. Tapi kalau melihat sejarah tumbangnya rezim Orde Baru, desakan masyarakat terhadap pembubaran Golkar sebagai partai penguasa waktu itu, terjadi setelah rezim Orba tumbang tahun 1998. Namun desakan masyarakat itu pun tidak terwujud karena Golkar bisa dengan cepat bermetamorfosis dan ganti baju menjadi Partai Golkar.
Sekarang akankah desakan terhadap pembubaran PDI-P akan terus bergulir ? Atau desakan ini baru akan bergulir kencang nanti setelah rezim ini berakhir seperti halnya yang dialami Golkar pasca tumbangnya rezim Orde Baru ? Kita lihat saja nanti. Wallohu a'lam bhisawab.
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.