Gatot Nurmantyo: Perang Asimetris yang Sejak Dulu Saya Khawatirkan, Terjadi Hari Ini
Jakarta, FNN - Panglima TNI periode 2015-2017 Jend TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo tak bisa menyembunyikan kesedihannya pasca turunnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Inpres ini merupakan implementasi dari Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Presiden juga menerbitkan Keppres No. 4 tahun 2022 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
"Saya sedih, khawatir, dan galau karena ini konsep gerakan komunis gaya baru dengan melakukan perang asimetris. Sejak 26 Agustus 2022 saya sudah merenungkan Keppres ini. Sekarang ditindaklanjuti dengan Inpres No. 2/2023. Ini sungguh ajaib," kata Gatot dalam Diskusi Publik bertajuk "Dendam Politik Di Balik Inpres 02/2023," Kamis, 13 April 2023 di Sekretariat KAMI Jakarta.
Gatot mengingatkan bahwa ia pernah berbicara di depan mahasiswa tentang perlunya mewaspadai akan adanya bahaya komunisme.
"Di UI waktu itu saya sudah ingatkan soal kekhawatiran negara dalam 25 tahun ke depan" katanya.
Pihak luar kata, Gatot melalui boneka di Indonesia akan menguasai Indonesia tanpa harus melakukan peperangan fisik. Mereka melakukan investasi besar-besaran, membeli UU, menciptakan konflik, membudayakan hedonisme, menguasai media massa dan sarana informasi strategis, mengadudomba antar lembaga khususnya TNI dan Polri, kemudian kerdilkan peran TNI.
Tak hanya itu kata Gatot, mereka juga akan mencari calon pemimpin boneka, memecah belah partai, jatuhkan citra Indonesia di dunia internasional, jadikan Indonesia pasar narkoba, mem-framing dengan Islam dengan isu radikalisme dan intoleransi, serta menciptakan kebiasaan tawuran antar-pelajar.
Di sektor poltik dan pemerintahan, mereka juga akan menyusupkan kader anak PKI ke kementerian, ormas, partai, LSM dan institusi negara lainnya.
"Hasilnya amandemen UUD 1945. Saat ini kita rasakan hasil proxy war dan memasuki perang baru neo cortex war,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Instruksi Presiden tersebut ditujukan kepada 19 menteri dan kepala lembaga, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Menteri Kesehatan.
Selain itu, juga kepada Menteri Sosial, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Pertanian, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima TNI dan Kapolri.
Kepada mereka, Presiden meminta untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM yang meliputi dua hal.
Pertama, memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara adil dan bijaksana. Kedua, mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi.
Perang asimetris dengan senjata teknologi informasi dan telekomunikasi berdampak lebih luas dan bisa menyerang masuk dalam relung-relung kehidupan bermasyarakat serta bernegara baik itu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial maupun budaya serta pertahanan.
Diskusi Publik berjudul Dendam Politik PKI di Balik Inpres Nom 02 tahun 2023? Adapun pembicara yang bakal hadir antara lain: dengan menghadirkan pembicara Dr.H.Ichsanuddin Noorsy, BSc.SH. MSi (Pengamat Ekonomi), Dr. Anhar Gonggong, MA (Pakar Sejarah), Rum Aly (Jurnalis), Dr. Mulyadi (Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Dr. Refly Harun, SH, MH, LLM (Pakar Hukum Tata Negara), dan Jend. TNI (Purn) Gatot Nurmantyo (Panglima TNI 2015-2017).
Gatot menganggap Keppres itu tak ada urgensinya karena persoalan PKI sesungguhnya sudah selesai. Apalagi proses pembentukan tim yang tidak transparan, di mana seharusnya melibatkan DPR untuk membentuk Tim Adhoc.
“Tim hanya terdiri dari 12 orang, waktunya hanya 126 hari untuk bisa menyelesaikan pelanggaran HAM Berat dari 1965 hingga 2003. Ajaibkan,” katanya heran.
Gatot meyakini Keppres itu arahnya ABRI (TNI dan Polri) karena sampelnya tahun 1965-66. Sementara sejarah mencatat bahwa dalam peristiwa 1965 seluruh pimpinan TNI dihabisi PKI.
Mulyadi, dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia menduga ada dua skenario dalam kasuss PKI ini, pertama pelunasan janji terhadap pendukung Pemilu sebelumnya. Politik elektronik yang terjadi di bawah tangan, kasar gelap kekuasaan. Kedua sebagai cipta kondisi untuk 2024.
“Ini harus dibawa ke DPR. Ini lebih berbahaya dari UU Pencucian uang. Ini soal nasib bangsa. Kenapa harus menunjuk 12 orang, yang sesungguhnya Komnas HAM punya anggota sendiri.
“DPR harus panggil mereka. Siapa mereka. Yang disasar kok hanya peristiwa 1965. Itu bukan pelanggaran HAM, itu konflik politik, maka resolusi politik. Sebelum anda katakan korban harus nyatakan pelakunya dulu. Komunisme mainannya darah dan dendam,” paparnya.
Peristiwa 65 itu kata Mulyadi menunjukkan bahwa ada masalah internal di pemerintahan kala itu. “Ini konflik politik yang dilakukan Soekarno yang gagal wujudkan Nasakom,”pungkasnya.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan ngeri juga apa yang disampaikan Pak Gatot. Sebab tidak ada ideologi yang mati. Selalu ada ruang untuk bangkit lagi selama ada ruang.
Anhar menambahkan bahwa sepanjang 77 tahun bangsa Indonesia membuat aturan, tapi pada saat yang sama melanggar aturan.
“Yang kita sepakati bersama adalah Pancasila. Itu saja yang dijalankan. Kalau kita selalu bertengkar, kapan selesainya? Tidak ada negara yang maju ketika para pemimpinnya bertengkar terus. Peristiwa 65 adalah yang paling sensitif. Apa yang disampaikan Gatot kalau terjadi, republik bisa hilang. Mudah-mudahan gak terjadi,” tegasnya.
Sementara Rum Aly jurnalis 66 menegaskan bahwa dari sisi hukum Keppres itu batal demi hukum karena tidak berdasar pada kebenaran. Rum Aly menyarankan penyelesaian secara sosiologis.
Ichsanuddin Noorsy mengingatkan bahwa temuan Komnas HAM Juni 2012 bukan alat bukti hukum. Validitas dan akurasinya tidak bisa menguji atas temuan Komnas HAM. Noorsy juga mempertanyakan apakah Tim PPHAM memiliki kapasitas seperti syarat badan resolusi konflik? Lalu tindakan 12 pelanggaran itu memakai konstitusi yang mana?
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, secara prosedural Tim ini sudah batal sebab tidak jelas obyeknya, siapa pelaku siapa korban. Refly menyarakan Keppres berikut turunannya itu dibatalkan saja.
“Batalkan Keppres ini dan semua produk turunannya. Datang ke PTUN batalkan Keppres 17/2022. Atau pakai tekanan politik,” paparnya.
Di akhir diskusi Gatot menghimbau kepada seluruh rakyat Indonesia dan seluruh instansi pemerintah serta mahasiswa mengadakan diskusi tentang Keppres ini. Tujuannya untuk mencari kebenaran, demi persatuan dan kesatuan Indonesia.
Diskusi diawali dengan pembacaan puisi oleh Adhie Massardi berjudul Markobar: Mari Korupsi Bareng (sws)