Gerakan Mahasiswa 2019: Manusia Bodoh dan Kuda Tunggang?
Oleh : Hersubeno Arief
Jakarta, FNN - “Ditunggangi” menjadi kosa kata itu paling banyak disematkan kepada aksi mahasiswa 2019.
Anehnya kosa kata yang sangat disukai oleh penguasa Orde Baru itu, kali ini tidak hanya digunakan oleh penguasa dan para pendukungnya. Kelompok-kelompok oposisi tertentu dengan senang hati menggunakannya.
Pendukung pemerintah mencoba menggunakan mantra lama yang sukses pada Pilpres 2019: Aksi mahasiswa kali ini ditunggangi oleh kelompok khilafah dan radikal!
Stigma ini disematkan dalam aksi mahasiswa di Yogya dengan tajuk: Gejayan Memanggil.
Tujuannya untuk mengaborsi gerakan mahasiswa dan menimbulkan ketidak-percayaan publik.
Sebaliknya beberapa kelompok oposisi juga mengamati dengan waspada dan curiga. Mereka mencurigai gerakan mahasiswa ini dimanfaatkan rezim pemerintah.
Tujuannya untuk mengalihkan perhatian publik dari beberapa isu yang tengah mendera pemerintah.
Berbagai teori konspirasi dikembangkan. Salah satu argumennya: mengapa tiba-tiba mahasiswa bergerak tak terbendung.
Selama ini kemana saja? Pasti ada yang menggerakkan.
Apes benar! Menjadi mahasiswa dalam posisi serba salah. Diam saja ketika terjadi hiruk pikuk politik, dibullly. Begitu turun ke jalan dicurigai.
“Mahasiswa itu bukan manusia bodoh,” ujar Ketua BEM Universitas Gajah Mada (UGM) Atiatul Muqtadir (Fatur) dalam talkshow ILC TV One Selasa (24/9).
Siapapun menyaksikan para ketua BEM mahasiswa saat tampil di ILC bersama Fatur, pasti sepakat dengannya.
Fatur tampil memukau dan menjadi trending di dunia maya. Basis argumentasinya jelas. Sikapnya terhadap isu nasional yang dipersoalkan juga jelas dan tegas.
Perbedaan generasi
Mengapa sampai muncul kecurigaan terhadap aksi mahasiswa, terutama dari kelompok-kelompok oposisi tertentu?
Pendekatan secara sosiologis bisa membantu kita menjawabnya. Penjelasannya adalah adanya perbedaan sosiologis antar-generasi. Generation gap.
Latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda antar-generasi, membuat respon mereka juga berbeda ketika menghadapi sebuah situasi.
Dua orang penulis asal Amerika Serikat William Strauss dan Neil Howe yang pertamakali memperkenalkan Generation Theory.
Berdasarkan pembagian Strauss dan Howe setidaknya ada tiga generasi yang saat ini aktif di dunia bisnis, politik, pemerintahan, dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia.
Generasi Baby boomer (1946-1966). Generasi X (1965-1980). Generasi Milenial (1981-1994). Mereka berada di puncak kekuasaan.
Lingkaran kekuasaan di seputar Presiden Jokowi didominasi oleh generasi baby boomer.
Figur seperti Megawati, Wiranto, Luhut Panjaitan, Hendropriyono, termasuk Presiden Jokowi adalah generasi ini.
Mereka adalah generasi pasca Perang Dunia II. Cenderung berorientasi pada pencapaian dalam karir secara konsisten.
Mereka juga jauh dari era digital. Kalau toh mengenal dunia digital, mereka masuk kategori imigran digital.
Mereka juga hidup di era otoriter (Orde Baru) dan kemudian memasuki masa transisi demokrasi (Reformasi 1998). Jadi mereka adalah imigran demokrasi.
Generasi ini adalah double imigran. Digital sekaligus demokrasi.
Sebagian lainnya adalah Generasi X dan Generasi Milenial. Mereka masuk dalam kelompok native digital, namun dari sisi demokrasi adalah imigran.
Mahasiswa yang kini turun ke jalan, adalah Generasi Z (1995-2010). Termasuk dalam kelompok ini pelajar Sekolah Teknk Menengah (STM) yang pada hari Rabu (25/9) ikut berunjukrasa ke Gedung DPR.
Mereka adalah generasi native digital, sekaligus native demokrasi.
Begitu lahir sudah terintegrasi dengan dunia digital dan demokrasi sekaligus.
Latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda, membuat mereka juga berbeda dalam merespon peristiwa dan keadaan.
Bagi generasi imigran demokrasi, bila sudah masuk ke dunia politik, pemilu sudah dilaksanakan, maka sebuah negara dianggap sudah demokratis.
Persoalan HAM, kebebasan pers, dan berbagai kebebasan individual tidak masuk dalam hitungan.
Mereka beranggapan, indikator kepedulian mahasiswa bila terlibat dalam politik praktis.
Ketika mahasiswa seperti tak peduli ketika generasi yang lebih tua, turun ke jalan selama pilpres, maka mereka dianggap apolitis.
Bagi generasi Z, demokrasi tidak hanya sebatas parpol dan kontestasi pemilu. Banyak fitur demokrasi yang seharusnya bisa dimaksimalkan.
Mulai dari kebebasan individu, berekspresi, penghargaan terhadap ras, gender, agama, pemerintahan yang demokratis, sampai penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi dan kolusi.
Hal itu menjelaskan mengapa begitu muncul satu isu bersama, yakni pelemahan KPK, aksi mahasiswa bermunculan. Mulai dari kota-kota besar, sampai dengan kota-kota kecil di seluruh Indonesia. Isu-isu lain, hanya isu ikutan.
Aparat keamanan, generasi tua tiba-tiba menjadi bingung. Makanya kemudian muncul pertanyaan: Siapa yang menggerakkan? Kok tiba-tiba muncul sangat massif.
Jawaban yang paling mudah, menoleh pada referensi lama. Gerakan-gerakan semacam ini hanya bisa terjadi bila ada mobilisasi massa. Ada bandar, dan ada yang menunggangi.
Yang tidak mereka pahami, dalam dunia digital, isu-isu semacam itu dengan mudah didesiminasi dan disebarluaskan. Mereka juga dengan cepat berkoordinasi dan membangun gerakan.
Aksi 212 adalah contoh lain, betapa isu populis yang menyentuh kepentingan orang banyak, bisa menggerakkan publik dengan sangat mudah dan cepat.
Jangan dicari-cari, siapa yang menggerakkan, menjadi bandar, dan siapa yang menungganginya. Tidak akan ketemu. Karena memang tidak ada.
Andai saja para orang tua yang curiga ini tak lupa, atau pernah membaca puisi Khalil Gibran. Mereka tidak perlu mengernyitkan kening. Apalagi sampai harus nyinyir.
Anakmu, bukanlah milikmu.
Anak adalah kehidupan,
Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
Karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri. End