Harapan Permohonan Maaf Kepada Keluarga Besar Sukarno Kandas oleh Amandemen UUD
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
KETETAPAN MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang *Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno* ditetapkan 12 Maret 1967. Memang sudah cukup lama, 55 tahun silam, tetapi dampak turbulensinya terasa hingga sekarang.
MPRS ketika itu berpendapat bahwa pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul Nawaksara pada 22 Juni 1966, yang kemudian dilengkapi dengan surat presiden tentang Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967, tidak memenuhi harapan rakyat. Artinya tidak diterima oleh MPRS.
Dalam butir a pertimbangan, MPRS berpendapat bahwa Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI.
Pada prinsipnya, pencabutan kekuasaan Presiden / Mandataris MPRS oleh MPRS memang merupakan hak dan wewenang MPRS sebagai lembaga tertinggi negara, sesuai konstitusi yang berlaku ketika itu, di mana wewenang MPR(S) lebih tinggi dari Presiden. Sehingga keputusan pencabutan kekuasaan ini sah menurut konstitusi, dan tidak bisa dipermasalahkan oleh siapapun.
Peristiwa hampir serupa, tapi tidak sama, terjadi pada Presiden BJ Habibie, di mana pertanggungjawabannya tidak diterima oleh MPR pada sidang istimewa tahun 1999. Perbedaannya, MPR tidan mencabut kekuasaan Presiden Habibie, yang tetap menjabat sebagai Presiden hingga pemilihan Presiden berikutnya setelah pemilu 1999.
Tetapi Habibie sadar bahwa dukungan politik kepadanya sangat rendah sehingga yang bersangkutan memutuskan untuk mundur dari bursa pencalonan Presiden pada pemilihan berikutnya. Keputusan ini patut dihargai sebesar-besarnya, dan menempatkan Habibie sebagai negarawan sesungguhnya.
Yang menjadi persoalan bukan pemberhentian Presiden Sukarno oleh MPRS. Tetapi salah satu alasan pemberhentian tersebut yang menurut pihak tertentu sangat mencoreng dan merugikan nama Sukarno, karena dianggap mendukung G-30S-PKI.
Apalagi Pasal 6 TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tersebut berbunyi _“Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden._
Masalahnya, penyelesaian persoalan hukum tersebut tidak pernah ditindaklanjuti hingga Sukarno (Bung Karno) meninggal tahun 1970, membuat persoalan hukum ini tidak mungkin lagi dapat ditindaklanjuti setelah itu.
Setelah sekian lama berlalu, Presiden Soeharto / Mandataris MPR kemudian memberi gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Bung Hatta melalui Keputusan Presiden pada 1986. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mempertegas dengan memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta melalui Keputusan Presiden pada 2012.
Apakah gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional kepada Bung Karno ini sebagai pengakuan negara bahwa Sukarno tidak terkait peristiwa G-30-S/PKI? Apakah gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional tersebut sudah cukup memulihkan nama Bung Karno sesuai harapan para pendukung dan keluarga besar Bung Karno?
Di samping itu, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 juga sudah dibatalkan oleh TAP MPR No 1/MPR/2003, dan dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
Tetapi, ada beberapa kalangan masyarakat merasa semua itu belum cukup, dan berharap pemerintah Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada Sukarno dan keluarga besarnya karena pernah mengeluarkan TAP MPRS tersebut.
Pertanyaannya, apakah bisa? Apakah secara hierarki kelembagaan negara dimungkinkan?
Karena yang mengeluarkan TAP MPRS adalah lembaga MPR(S) yang mempunyai kedudukan dan wewenang lebih tinggi dari pemerintah (atau presiden sebagai mandataris MPR(S)), maka, logisnya, pemerintah tidak bisa minta maaf atas keputusan MPR(S) tersebut.
Karena, permintaan maaf dari pemerintah bisa mempunyai implikasi, pemerintah (seolah-olah) telah melakukan koreksi terhadap keputusan lembaga MPR yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pemerintah (ketika itu), yang mana berarti pemerintah melanggar hierarki kelembagaan negara?
Kalau ini terjadi, maka bisa menjadi preseden buruk, di mana pemerintah bisa melakukan koreksi terus-menerus terhadap lembaga MPR, yang saat ini mempunyai kedudukan sederajat. Sangat bahaya.
Karena itu, yang bisa membatalkan keputusan MPR adalah lembaga MPR itu sendiri. Artinya, TAP MPR harus dibatalkan dengan TAP MPR lagi, tidak bisa oleh undang-undang, apalagi keputusan presiden. Dan ini sudah dilaksanakan, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 sudah dibatalkan oleh TAP MPR No I/MPR/2003.
Kalau pembatalan ini belum cukup dan negara perlu minta maaf, maka yang harus minta maaf seharusnya adalah lembaga MPR. Bukan Presiden. Tetapi, akibat amandemen UUD 1945 asli sebanyak empat kali sejak 1999-2002, MPR saat ini sudah tidak bisa mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat kebijakan dan mengikat keluar.
Artinya, MPR tidak bisa minta maaf kepada pihak luar, dalam hal ini kepada Sukarno dan keluarga besarnya? Lagi pula, atas dasar apa MPR saat ini bisa menyatakan bahwa TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tersebut keliru sehingga perlu minta maaf? MPR dalam hal ini juga dalam posisi dilematis.
Agar bisa memuaskan semua pihak, maka mau tidak mau harus diadakan proses penyelesaian hukum terlebih dahulu sesuai bunyi pasal 6 TAP MPRS tersebut. Apakah mungkin? Bagaimana kalau minta fatwa Mahkamah Konstitusi
Dalam beberapa kasus permohonan uji materi terkait TAP MPR, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat tidak berwenang mengadili TAP MPR terhadap UUD. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang mengadili undang-undang terhadap UUD.
Dengan demikian, amandemen UUD 1945 sudah mengakibatkan kekosongan hukum terkait TAP MPR. Berharap pemerintah Indonesia atau negara menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga besar Bung Karno sepertinya sulit terealisasi.
Demikian sumbang pemikiran ini diberikan dengan harapan dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut untuk mengisi kekosongan hukum pasca amandemen UUD. (*)