HRS Diduga “Dikriminalisasi”, Pertanda Pemerintah Semakin Panik?

by Mochamad Toha

Surabaya FNN - Selasa (08/12). Terlepas dari banyaknya kontroversi, FPI dan Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) merupakan fenomena politik di Indonesia.

Terbaru, sejak kepulangannya, setelah “bermukim” di Arab Saudi selama 3,5 tahun, HRS kembali menjadi sebuah kontroversi.

Membawa jargon “Revolusi Akhlak”, kini HRS kembali “dibidik” Pemerintah RI lagi. Sejumlah upaya yang diduga “kriminalisasi” HRS pun dilakukan. Pertanyaannya: Mengapa HRS?!

Awalnya, HRS akan dibidik dengan “Klaster Petamburan” terkait dengan kerumunan massa saat menikahkan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat, setelah kedatangan HRS.

Sebelumnya diketahui, Satgas Penanganan Covid-19 beberapa waktu lalu menyebut muncul klaster penularan virus corona (Covid-19) di wilayah Petamburan. Hal ini kemudian dibantah oleh epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).

Menurut Epidemiolog Pandu Riono, berdasarkan data yang dimiliki FKM-UI, kenaikan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta tersebit berasal dari klaster keluarga usai libur panjang 28 Oktober-1 November 2020.

Meski terjadi kerumunan saat HRS pulang, belum ada klaster kerumunan Petamburan yang tercatat.

“Menurut saya enggak ada klaster Petamburan, yang positif memang banyak, tapi enggak ada kaitannya dengan klaster kerumunan itu. Kalau klaster keluarga yang berlibur, itu ada,” kata Pandu Riono, kutip CNNIndonesia.com, Selasa (24/11).

Pandu mengatakan, lonjakan kasus di DKI Jakarta justru berasal dari aktivitas libur panjang ketimbang kerumunan HRS. Dari data yang ia miliki tersebut, belum ada laporan kasus positif Covid-19 akibat kerumunan yang terjadi di Petamburan dan Tebet.

Dan, bahkan, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang terjadi karena kerumunan massa saat kedatangan Rizieq.

“Bahwa, menurut FKM-UI dari data yang ada belum ditemukan klaster akibat kerumunan di Petamburan dan Tebet, kenaikan kasus di Jakarta lebih mungkin terjadi akibat dampak libur panjang,” ujarnya, seperti dilansir Detik.com, Rabu (25 Nov 2020 06:27 WIB).

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyampaikan hasil tracing terhadap warga yang mengikuti kegiatan terkait kerumunan massa HRS, mulai dari Petamburan, Tebet, hingga Megamendung. Kemenkes menyebut di Tebet ditemukan 50 orang positif Corona.

Dari hasil tracing dan testing pada sejumlah kejadian tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan PCR di Lakesda 21 November ditemukan di Tebet total 50 kasus positif, dan di Petamburan sebanyak 30 kasus dan di Megamendung terdapat 15 sedang menunggu hasil pemeriksaan.

Itu disampaikan Plt Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes dr. Muhammad Budi Hidayat, dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube BNPB Indonesia, Minggu (22/11/2020).

Bisa disebut, upaya “menjaring” HRS lewat tracing dan testing di Petamburan itu ternyata gagal. Termasuk yang di Megamendung, gagal pula menjerat HRS dengan membuat klaster baru: Klaster Megamendung!

Apakah “pemburuan” atas HRS berhenti sampai di sinikah? Tidak! Melalui tangan Walikota Bogor Bima Arya, HRS diburu ke RS Ummi di Kota Bogor saat HRS dirawat di sini. Dengan dalih ingin mengetahui hasil Swab HRS, Bima memaksa RS Ummi “transparan”.

Ngototnya Walikota Bima Arya menuntut pemeriksaan ulang tes swab terhadap HRS sudah keterlaluan. Bima Arya bahkan rela mondar-mandir ke RS Ummi, untuk memaksa manajemen RS menuruti keinginannya.

Tak hanya itu. Ia bahkan melaporkan RS Ummi ke polisi dengan tuduhan menghalang-halangi pemeriksaan dan pemberantasan Covid-19.

Padahal Dirut RS Ummi, Andi Tatat, sudah mengumumkan, termasuk kepada media, bahwa hasil tes swab HRS negatif. Habib hanya kelelahan karena kegiatan bertubi-tubi usai kepulangannya dari Saudi. Hasil tes juga sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala ke arah Covid-19.

Sejumlah UU tentang Rumah Sakit, UU Kesehatan, bahkan UU Keterbukaan Publik sudah mengatur soal ini dengan benderang. Intinya, melarang membuka informasi kesehatan pasien ke hadapan publik.

“Jadi, kenapa Bima ngotot terus? Adakah tangan-tangan kekuasaan yang menekan dia? Atau, dia sedang menjalankan tugas untuk mengamankan jabatannya?” tukas Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi), Edy Mulyadi.

Bahkan, Bima meminta HRS melakukan tes “swab ulang”. Menurut Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Anton Tabah, Bima Arya tidak memiliki hak untuk mendesak atau memaksa HRS melakukan tes Covid-19 untuk kedua kalinya.

“Negara itu telah membagi habis tupoksi pada masing-masing lembaga supaya profesional, bertanggung jawab, pasti dan tepat. Soal kesehatan seperti swab itu tupoksi dokter, bukan tupoksi walikota,” ujar Anton Tabah, seperti dilansir RMOL.com, Sabtu (28/11/2020).

UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU 29/2004 tentang Perlindungan Pasien, Anton menjelaskan sejumlah hak yang bisa didapat seseorang yang menjadi pasien.

Ada hak kenyamanan, hak keamanan, hak keselamatan, hak atas informasi yang jelas, jujur mengenai kondisi pasien, hak didengar pendapat pilihan keluhan, hak mendapat advokasi, hak diperlakukan secara adil, benar dan tidak diskriminatif.

Bahkan, Anton menyebutkan hak perlindungan pasien yang tercantum di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.

“Dalam pasal 52 (UU Praktik Kedokteran) lebih jelas lagi, antara lain hak tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter lain atau second opinion. Jadi, seandainya perlu swab ulang dari dokter lain itu harus permintaan pasien yang bersangkutan, bukan dari pihak lain.”

Dalam konteks pemeriksaan Covid-19 HRS, Anton Tabah justru mengapresiasi sosok ulama tersebut. Karena, swab testnya dilakukan secara mandiri.

“Dan kata Direktur Utama RS Ummi Bogor Andi Tatat, ‘dari hasil screning tim kami, HRS tak terkena Covid. Beliau dalam keadaan sehat walafiat, segar, hanya kelelahan’. Tegas Dirut tersebut,” ungkap Anton Tabah.

Ketua Presidium MER-C dr. Sarbini Abdul Murad dalam rilisnya, Sabtu, 28 November 2020, menyebutkan, terkait dengan HRS yang mempercayakan kepada MER-C untuk melakukan pemeriksaan dan pengawalan kesehatan.

MER-C mengirim beliau untuk beristirahat di RS. Tapi, mendapatkan perlakuan yang kurang beretika dan melanggar hak pasien dari Walikota Bogor yang melakukan intervensi terhadap tim medis yang sedang bekerja, sehingga menganggu pasien yang sedang beristirahat.

“Selain itu Walikota juga tidak beretika dalam mempublikasi kondisi pasien kepada publik, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dan keresahan bagi masyarakat,” kata dr. Sarbini Abdul Murad.

Menurutnya, seharusnya Walikota Bogor itu mempercayakan hal ini kepada RS dan Tim Medis yang menangani karena tim medis mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dan tak perlu dilakukan untuk menangani pasien.

Diuber Polisi

Tampaknya polisi masih bersikeras mengejar HRS. Penegakan hukum ini dinilai tak adil dan terlihat politis, terkait pemanggilan HRS oleh Polda Metro Jaya dalam dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.

Demikian dikatakan Direktur HRS Center Abdul Chair Ramadhan dalam pernyataan, seperti dikutip Suaranasional, Senin (30/11/2020).

Abdul Chair menyebut, HRS telah membayar denda administratif Rp 50 juta sesuai dengan peraturan Pemprov DKI Jakarta. Menurut asas “nebis in idem”, maka seharusnya terhadap HRS tidak dapat dilakukan proses hukum.

Maka, “Penyidikan lebih bermuatan politis ketimbang yuridis dan oleh karenanya cenderung dipaksakan,” jelas Abdul Chair.

Penerapan hukum yang tidak berimbang ini adalah bentuk penyimpangan (deviasi) asas “equality before the law” dan “kepastian hukum yang adil” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia.

Ia mengatakan, masuknya Pasal 160 KUHP dalam proses penyidikan Protokol Kesehatan – termasuk, tetapi tidak terbatas pada kerumunan – dengan Terlapor HRS sangat ganjil.

Sebelumnya dalam tahap penyelidikan tidak ada pasal tersebut. “Penyidik dan/atau Penuntut Umum memiliki alasan untuk melakukan penahanan. Disebutkan demikian, oleh karena ancaman hukuman Pasal 160 KUHP selama enam tahun,” ujarnya.

“Pasal 21 Ayat (4) huruf a KUHAP menyebutkan bahwa penahanan terhadap Tersangka atau Terdakwa dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,” jelasnya.

Menurut Abdul Chair, terhadap HRS berpotensi dilakukan penahanan, ketika statusnya naik menjadi Tersangka dan/atau pada saat status Terdakwa. Ditegaskan kembali, tidak ada delik dalam PSBB dan Protokol Kesehatan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

“Sepanjang tidak ada pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan, maka Pasal 160 KUHP dan 216 KUHP telah kehilangan objeknya,” tegas Abdul Chair.

Penulis wartawan senior FNN.co.id


506

Related Post