IKN, Kota Ideologis
Oleh; Luthfi Pattimura | Wartawan Senior Majalah FORUM Keadilan
DUA bulan lagi pemerintahan Indonesia berganti; presiden dan wakil presiden. Pusat pemerintahan juga ikut perpindah, dari Jakarta ke lokasi ibukota negara yang baru; IKN Nusantara.
Pada saat ini, di lokasi IKN sedang ramai-raminya persiapan menjelang HUT RI ke-79, di mana akan hadir presiden Jokowi, para menteri kabinet Indonesia maju, dan tamu undangan.
Sementara itu, perbincangan publik yang juga tak kalah ramainya belakangan ini adalah soal IKN. Banyak sekali. Secara ideologis, wajar karena persoalan ibukota negara adalah persoalan ideologis.
Simbol pusat kekuasaan, pusat pemerintahan, pusat politik, pusat ekonomi, dan simbol pusat kegiatan lainnya, itu memang di ibukota negara. Jadi, bicara soal IKN berarti menyangkut semua simbol kegiatan yang berurusan dengan negara.
Ibukota negara itu ideologis, tetapi ideologis bukan ibukota negara. Mesin kerja negara, pusatnya di ibukota negara. Sedangkan pemberlakuan efek ideologis dari mesin kerja negara bagi rakyat, itu ideologis.
Bayangkan kepadatan penduduk, polusi udara, kemacetan lalulintas, kebisingan, yang mengusik kebahagiaan para penduduk, ambil contoh Jakarta, karena dikepung oleh berbagai peristiwa sosial.
Jika produk teknis kota fisik tidak cukup memadai untuk menjelaskan kesadaran pemberlakuan efek ideologis, Anda yang membaca tulisan ini tak bisa menolak pemindahan ibukota negara, jika itu bagian dari pemberlakuan efek ideologis.
Lihat, banyak warga yang bergerak lancar jaya, ketika ibukota negara akhirnya dipindahkan dari Jakarta. Kenapa? Karena nilai kesejahteraan, kebahagiaan, itu berjalan sejajar dengan ruang untuk tumbuh kembang.
Nilai melahirkan gagasan, dan gagasan para pendiri bangsa ditunjukkan oleh Presiden Soekarno pada 1957, untuk memindahan ibukota negara dari Jakarta ke pulau Kalimantan.
Bayangkan pula kita punya Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, yang terlalu luas untuk bernafas, untuk menerima permintaan baru, dan terlalu luas untuk menolak pembagian kue dari pulau Jawa.
Indonesia jelas bukan telur ceplok yang dagingnya di tengah tapi pinggir-pinggirnya seperti busah. Jika benar bagi masa depan bangsa, bagi seluruh rakyat Indonesia, maka pemindahan ibukota negara adalah bentuk pemberlakuan efek ideologis dari biopikir alenia keempat UUD 1945.
Sampai di sini, sambil duduk bersandar, kita ingat, saat 34 gubernur dari 34 provinsi di seluruh tanah air, membawa air dan tanah, kemudian digelar prosesi penyatuan di lokasi Titik 0 IKN Nusantara pada 14 Maret 2022.
Harus diakui, air dan tanah itu dulunya di bawah wilayah-wilayah yang masing-masing punya kepala suku, punya kepala adat, hingga kepala suku berhasil mengorganisir konfederasi suku menjadi sebuah negara.
Lalu masuk Gajah Mada dengan Sumpah Palapa pada tahun 1336. Kemudian Sumpah Pemuda 1928. Di sini jelas kita butuh waktu sekitar 600 tahun untuk bisa mengenal satu bahasa, satu tanah air, dan satu bangsa; Indonesia.
Jadi, prosesi penyatuan air dan tanah, bukan hanya karena air dan tanah itu dulunya dibagi-bagi menurut kesetiaan suku bangsa. Melainkan, karena berpuasa 600 tahun, sebelum bersatu bahasa, satu tanah air, dan satu bangsa.
Dengan melihat penggunaan nama ibukota negara “Nusantara,” sama dengan menggunakan tali pemikat kebangsaan. IKN dengan demikian adalah kota ideologis, yang akan menambah kemilauan simbol identias.
Gagasan IKN yang dibangkitkan oleh simbol identitas bangsa, dengan berbagai ornamen luar biasa di setiap bangunan, akan meyakinkan dunia bahwa Indonesia berada di lapangan artefak Nusantara.
Dengan begitu, yang namanya otoritas kebangsaan sebuah bangsa bernama Indonesia akan merupakan hal pertama dan yang utama di mata dunia. Itu ideologis, bukan?
Sambil bergerak menuju pengukuhan IKN sebagai kota dunia untuk semua, pemerintahan Jokowi sedang membelokkan layar pembangunan nasional demi tujuan Indonesia Sentris, lewat IKN.
Kalau masih ada komentar miring tentang IKN, itu jangan-jangan karena pemerintah mengalami hambatan soal cara meyakinkan rakyat Indonesia, tentang kebangkitan simbol identitas bangsa.
Seperti halnya sejarah mencatat Jakarta sebagai Kota Proklamasi Kemerdekaan RI, sejarah akan mengukuhkan IKN Nusantara sebagai pembuka horizon Kota Ideologis.
Sekalipun masih ada yang punya pengalaman buruk dengan janji manis Jokowi, harus diakui bahwa pembangunan IKN adalah tindakan penutup dalam babak gagas-menggagas pemindahan ibukota negara yang dimulai sejak tahun 1957.