Ironi PDIP: Sarang Koruptor, Tapi Jadi Pemenang Pemilu

By Mochamad Toha

Surabaya, FNN - Sejak KPK didirikan dan beroperasional, ratusan orang yang berafiliasi dengan partai banteng terseret dalam arus kasus korupsi. Terbaru, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah juga diciduk KPK, Sabtu (27/2/2021) dini hari.

Sebelumnya, mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara, Bendahara Umum DPP PDIP tercatat sebagai pesakitan kasus rasuah juga, terkait dana bansos.

Jika harus dikembangkan dengan mereka yang pernah disebutkan di dalam pengadilan kasus korupsi, maka jumlah politikus kandang banteng jauh lebih banyak.

Sebut saja nama Puan Maharani yang kini menjabat Ketua DPR RI dan Ganjar Pranowo yang menjabat Gubernur Jawa Tengah, juga disebut terpidana korupsi Setya Novanto pada kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Namun, ironinya, PDIP sejak masa reformasi tercatat menjadi 3 kali pemenang Pemilu dan mengantarkan 2 kadernya menjadi Presiden RI. Ironi inilah yang menjadi tanda tanya besar: Apakah rakyat Indonesia memang rakyat yang koruptif, atau rakyat Indonesia memang “buta dan bodoh” politik?

Dalam 6 bulan terakhir, setidaknya terdapat 5 politisi PDIP yang diciduk KPK terkait dengan tindak pidana korupsi. Terbaru adalah KPK menangkap Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Sabtu (27/3/2021) dini hari.

Nurdin adalah Gubernur Sulsel yang diusung PDIP dalam Pilkada 2018 lalu. Penangkapan Nurdin ini menambah deretan nama kader atau kepala daerah PDIP yang ditangkap KPK.

Sebelumnya, ada nama Andreu Misanta Pribadi. Mantan calon legislatif PDIP itu adalah eks Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Dia menyerahkan diri ke KPK karena diduga terlibat dalam praktik suap eksportasi benih lobster alias Benur.

Juga ada nama Wenny Bukamo, mantan Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Bupati dari PDIP itu ditangkap KPK kasus kasus suap terkait proyek di Kabupaten Banggai Laut.

Sebelumnya, KPK juga telah menangkap Walikota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna. Ajay adalah Ketua DPC PDIP Kota Cimahi, Jumat (27/11/2020). Pria kelahiran Bandung 1966 ini ditangkap KPK dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan pembangunan RS di Cimahi.

Selain Kepala Daerah, ada juga politisi PDIP, Juliari P Batubara. Mantan Menteri Sosial yang juga pejabat di DPP PDIP itu ditangkap karena melakukan korupsi pengadaan paket bantuan sosial alis bansos Covid-19.

Di Jawa Tengah, PDIP menjadi sorotan publik lantaran menjadi partai dengan Kepala Daerah tertangkap KPK terbanyak di Jateng. Hal itu menarik perhatian seorang Nahdatul Ulama (NU), Umar Hasibuan, atau yang akrab disapa Gus Umar.

Melansir dari Pikiran-Rakyat.com, Selasa (5 Januari 2021, 16:12 WIB), dalam akun Twitter-nya, Gus Umar membagikan infografis soal nama-nama Kepala Daerah yang tertangkap tangan KPK selama periode 2000 – 2018.

Dalam caption-nya, Gus Umar mengatakan, “Mantap jiwa PDIP. Kalian luar biasa,” tulisTwitter @UmarHasibuan75. Mantap jiwa PDIP. Kalian luar biasa? Haji Umar Chelsea (@UmarHasibuan75) Januari 4, 2021.

Gus Umar menyoroti hasil temuan bahwa PDIP menjadi partai yang kadernya terbanyak melakukan korupsi dan tertangkap tangan KPK. Dalam infografis itu disebutkan, kader PDIP yang tertangkap KPK dalam jabatannya sebagai Kepala Daerah sebanyak 15 orang.

Sedangkan untuk partai-partai lain hanya berkisar 1 sampai dua orang saja, misalnya dari partai Golkar tercatat 2 orang, dari PKB 1 orang, dari PPP 1 orang, dari Demokrat 1 orang, dan dari Gerindra 1 orang.

Dari hasil tersebut, bisa disimpulkan, di Jateng yang kerap dijuluki sebagai kandang banteng justru menjadi daerah dengan Kepala Daerah tertangkap KPK terbanyak. Netizen pun ramai menanggapi unggahan Gus Umar tersebut.

Sebagian besar dari mereka merasa heran kenapa di Jateng PDIP masih menjadi primadona. “Hebatnya rakyat Jateng masih saja memilih PDIP,” tulis akun bernama @syahputrazz.

“Gak habis pikir dengan orang2 Jateng, udah tau juara korupsi, tetep julukannya kandang banteng, atau memang begitulah mental masyarakat Indonesia, permisif terhadap korupsi,” kata akun bernama @kokoarif1.

Sepanjang tahun 2018, KPK menangkap 19 kepala daerah dalam OTT mulai 4 Januari hingga hingga 27 Oktober 2018.

OTT KPK pertama terjadi pada 4 Januari 2018. Saat itu KPK mengamankan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif, yang juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Berkarya Kalimantan Selatan.

Selanjutnya, KPK kembali melakukan OTT pada 3 Februari 2018. Dalam OTT saat itu, KPK mengamankan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, yang juga Ketua DPD Golkar Jawa Timur.

Dari 19 kepala daerah tersebut, sebanyak 7 orang berasal dari PDIP. Lima orang dari Golkar, 2 PAN, 1 NasDem, 1 Perindo, 1 Berkarya, 1 Partai Nanggroe Aceh, dan 1 usungan koalisi PDIP-PKB saat maju dalam pilkada.

Partai-partai tersebut pun telah mengambil tindakan tegas bagi para kadernya yang terkena OTT KPK. Tindakan tegas itu antara lain langsung memecat atau memberhentikan sementara kader yang terkena OTT.

Berikut ini daftar 19 kepala daerah yang kena OTT KPK hingga 27 Oktober 2018:

1. Pada 4 Januari 2018: Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif (Partai Berkarya); 2. Pada 3 Februari: Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko (Partai Golkar); 3. Pada 11 Februari: Bupati Ngada Marianus Sae (Diusung PDIP-PKB untuk maju sebagai cagub NTT);

4. Pada 13 Februari: Bupati Subang Imas Aryumningsih (Partai Golkar); 5. Pada 14 Februari: Bupati Lampung Tengah Mustafa (NasDem); 6. Pada 27 Februari 2018: Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra (PAN); 7. Pada 10 April: Bupati Bandung Barat Abu Bakar (PDIP);

8. Pada 15 Mei: Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud (Perindo); 9. Pada 23 Mei: Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat (PDIP); 10. Pada 4 Juni: Bupati Purbalingga Tasdi (PDIP); 11. Pada 6 Juni: Walikota Blitar M Samanhudi Anwar (PDIP);

12. Pada 6 Juni: Bupati Tulungagung Syahri Mulyo (PDIP); 13. Pada 3 Juli: Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (Partai Nanggroe Aceh); 14. Pada 3 Juli: Bupati Bener Meriah Ahmadi (Golkar); 15. Pada 17 Juli: Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap (PDIP);

16. Pada 27 Juli: Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan (PAN); 17. Pada 4 Oktober: Walikota Pasuruan Setiyono (Golkar); 18. Pada 14 Oktober: Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin (Golkar); 19. Pada 24 Oktober: Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra (PDIP).

Pada Kamis (25/2/2021), Tim penyidik KPK juga telah memeriksa Bupati Semarang Terpilih Ngesti Nugraha dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPC PDIP Kabupaten Semarang. Ngesti diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap pengadaan bansos Covid-19.

Ia diperiksa terkait suap bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara.

Keterangan politikus PDIP itu dibutuhkan penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso.

Ngesti Nugraha sebagai Ketua DPC PDIP Kabupaten Semarang diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Matheus Joko Santoso.

Sebagai “Juara Korupsi”, seperti ditulis Gresnews.com, Selasa (21/04/2015 14:45 WIB), ini bisa menjadi preseden buruk citra partai (PDIP). Itulah yang terjadi pada 2015 terkait dengan politisi yang terlibat korupsi.

Sekjen PDIP Hasto Kristyanto mengatakan, sesuai perintah Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, PDIP harus jadi yang terdepan dalam perang melawan korupsi. Kejahatan korupsi, sambung Hasto, membuat Indonesia tak bisa menerapkan Tri Sakti Bung Karno.

Sebelumnya seperti yang dilansir akun Twitter KPKwatch_RI, terdapat 466 politikus yang terjerat kasus korupsi. Ada sembilan partai politik yang kadernya melakukan tindak pidana korupsi.

PDIP memang penyumbang koruptor terbanyak yang melibatkan 157 kader. Disusul, Golkar dengan 113 kader. Partai Demokrat (49 kader). PAN (41 kader). PPP (22 kader). Juga, Partai Hanura (13 kader). PBB (9 kader). PKPI (5 kader). PKS (4 kader).

Jika menyimak fakta hukum seperti di atas, masihkah rakyat pada Pemilu dan Pilpres 2024 akan memilih “partai koruptor”?

***

Penulis wartawan senior FNN.co.id

1563

Related Post