Kasus di Kejagung Akan Berbelok Arah
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih
RAKYAT akan disuguhi cerita ketoprak sekadar hiburan sekalian mengecoh rakyat dengan skenario yang dimainkan para koruptor. Kasusnyapun akhirnya bisa menghilang ditelan bumi dengan aman tanpa bekas.
Rangkaian kasus korupsi di PT Timah yang merugikan negara Rp 271 Triliun itu, telah dipertontonlan dengan terjadinya teror di Kejaksaan Agung. Ini adalah kejadian jadi-jadian yang tidak masuk akal, awal cerita ketoprak dimulai.
Masyarakat luas meyakini skema korupsi 271 triliun hanya kecil dari keadaan korupsi di Indonesia yang sesungguhnya, terjadi di semua lini penyelenggara negara, tidak akan bisa di bongkar.
Korupsi yang sedang ditangani Kejagung pelakunya akan diubah dengan peran pengganti untuk dikorbankan demi keselamatan para pejabat pelaku koruptor kakap yang sesungguhnya.
Pelaku yang sesungguhnya terlibat tidak akan tinnggal diam. Fragmen awal dipanggillah Kepala Kejagung dan Kapolri oleh Presiden dan Memkopolhukam, patut diduga bukan untuk back up Kejagung menjalankan tugasnya, tetapu tidak lebih hanya nego agar kasusnya jangan melebar ke mana mana. Inilah yang ditakuti Presiden.
Hampir dipastikan ceritanya akan berbelok arah. Hampir tidak mungkin Kejagung berani melawan Presiden.
Kalau Kejagung berani menelusur pelaku yang sesunghuhnya siapa saja yang terlibat terutama para pelaku utama koruptornya, drama teror, tekanan dan ancaman akan membesar.
Skenario belok arah akan dipaksakan dan pendahuluan sudah mulai muncul.
Teror dan tekanan diduga diambilalih oleh Presiden dibantu Menkopolhukam. Kejagung diminta untuk tidak meneruskan penyidikan. Publik cukuplah dipuaskan dengan penangkapan pemeran lainnya.
Cerita ketoprak mulai mengolah skenarionya bahwa kasus ini hahya terkait dengan "upeti rutin" yang "wajib" disetorkan oleh PT Timah ke kantong jenderal B (kepala BIN) lewat perusahaan anaknya yang bernama Herviana Widyatama yang juga menjabat sebagai ketua BMI organ sayap PDIP (PDIP diseret ke dalam).
Mainkan Robert Bonosusatya sebagai pemain utama aliran korupsi tambang timah inilah sebenarnya yang diduga yang mengatur aliran dana berapa yang dipegang dan harus dipamerkan oleh HM, SD, HL sebagai aktor flexing agar disangka sebagai penerima paling banyak 271 T.
Dimunculkannya dokumen hasil penyelidikan Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri terhadap dugaan transaksi tak wajar milik Budi, disebutkan Herviano mengucurkan dana Rp 10 miliar itu pada 23 Mei 2007 dan 18 Desember 2007 melalui perusahaannya PT Mitra Abadi Berkatindo.
Disebutkan dana Rp 10 miliar yang disetor Herviano ke PT Sumber Jaya Indah itu bagian dari pinjaman Rp 57 miliar, yang diperoleh Herviano dari PT Pacific Blue International Limited saat ia berusia 19 tahun.
Saat diperiksa Tim Bareskrim pada 7 Juni 2010, Stefanus mengakui penyertaan modal oleh Herviano di PT Mitra Abadi berasal dari kredit Pacific Blue. Sebagai staf keuangan PT Sumber Jaya, pun menyebut dia pernah menerima setoran modal dari Herviano, karena saat itu ada kerja sama dengan PT Mitra Abadi.
Muncul cerita lain KPK sudah mencurigai adanya transaksi tak wajar selama 2006 itu. Transaksi tersebut, menurut KPK, tidak sesuai dengan profil Budi sebagai anggota Polri. KPK kepada Budi sehingga ia ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa, 13 Januari 2015. Penetapan ini hanya sehari sebelum Budi mengikuti uji kelayakan sebagai calon tunggal Kepala Polri di DPR.
Angka ecek-ecek mulai muncul bahwa dana Rp 57 miliar yang diperoleh Herviano dari Pacific Blue. Rencananya dipakai Herviano untuk mengembangkan bisnis perhotelan dan pertambangan timah.
Saat penyelidikan rekening milik Budi. "Dia (Herviano) belum sempurna menjadi pebisnis, belum matang. Semua transaksi saat itu dibantu oleh BG (Budi Gunawan). Lantaran masih 19 tahun dan menjadi direksi, maka Herviano dikawal dan dibantu oleh BG.
Semua cerita pengadilan korupsi akan berubah. Korupsi di Indonesia hanya bisa diatasi munculnya Presiden benar negarawan, jujur dan berani menghukum mati para koruptor. (*)