Kasus Laskar FPI dan Abu Janda, Ujian Kesetiaan Kapolri Pada Presiden dan NKRI!
by Mochamad Toha
Surabaya, FNN - Ujian terbesar Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo saat ini memang tentang penuntasan pembunuhan 6 Laskar FPI. Jika Kapolri ini ingin namanya tercatat dengan tinta emas lembar sejarah bangsa, dia harus berani menyeret dalang di balik peristiwa ini ke meja hijau.
Tidak hanya sekadar menyeret, tetapi Kapolri harus transparan kepada publik dan memiliki alat bukti yang kuat. Hal ini harus dilakukan supaya ketika kasus disidangkan, publik tidak melihat permainan hukum semata, dengan “mengorbankan” kroco-kroco saja.
Pada sisi lain, kesungguh-sungguhan Jenderal Listyo untuk mengungkap tuntas kasus Laskar FPI ini dengan menyeret aktor intelektualnya akan menepis anggapan, Polri “bermusuhan” dengan kaum Muslim. Hal ini akan menjadi preseden baik di mata publik, mengingat bahwa Jenderal Listyo seorang beragama Kristen.
Selain itu, supaya Kapolri akan bisa menyelamatkan Presiden Joko Widodo dari “ancaman” lengser. Sebab, bukan tidak mungkin akan terjadi aksi massa untuk melengserkan Jokowi dengan menumpang sejumlah isu yang dirasa menyudutkan kaum muslim saat ini.
Harus diingat, indikator untuk pelengseran Jokowi dan upaya mempercepat pilpres sudah nyata terlihat di lapangan. Dan, isu untuk itu, salah satunya, muncul dari belum terlihatnya upaya nyata penuntasan kasus 6 Laskar FPI dan menyeret aktor intelektual di belakangnya.
Apalagi, lewat Menko Polhukam Mahfud MD, Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar kasus terbunuhnya enam 6 Laskar FPI diusut secara hukum dengan adil dan transparan. Ini bagus. Tapi pertanyaannya, bagaimana realisasinya di lapangan?
Perintah Presiden ini seharusnya mengunci Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Dia tidak punya pilihan lain, kecuali harus melaksanakan perintah atasannya. Mengabaikan perintah tersebut, sama artinya Kapolri melakukan insubordinasi. Kapolri jangan melawan Presiden!
Tidak hanya rakyat Indonesia, mata dunia pun sekarang tertuju pada upaya Kapolri untuk menuntaskan kasus tersebut. Bisa tuntas atau tidak? Atau, justru malah Jokowi yang ikut “terjungkal”.
Atau, ini jalan untuk mempercepat Pilpres. Jenderal Listyo bisa ikut menentukan arahnya. Karena, akhir-akhir ini fakta nyata telah ada upaya pemakzulan Presiden Jokowi. Undangan rencana demonstrasi itu mulai beredar di medsos dan WAG.
“Tindakan rezim Jokowi sangat jauh dari harapan rakyat, tidak amanah, penyalahgunaan jabatan, bahkan tidak berkeadilan hukum dalam banyak kasus yang terjadi,” tulis undangan atas nama Humas BEM Indonesia itu.
“Maka diminta untuk semua rakyat indonesia yang menginginkan perubahan kepemimpinan yang adil agar kiranya bisa merapat pada: Jumat, 12 Pebruari 2021, pukul 13:00 s/d lengserkan Jokowi – Ma’ruf Amin. Pantang pulang sebelum rakyat menang.”
“Kawal demokrasi, kawal keinginan rakyat yang berkeadilan, kawal konstitusi, kembalikan Pancasila dan UUD 45, Kembalikan Dwifungsi ABRI sebagai alat Pertahanan Keamanan Negara serta berpolitik, bubarkan kabinet dan parlemen, bentuk DPR/MPRS.”
Terlepas apakah benar yang mengungundang tersebut berasal dari Humas BEM Indonesia, setidaknya hal itu telah membuktikan adanya kegelisahan sebagaian masyarakat yang bisa melihat kondisi sosial-politik dan hukum yang terjadi akhir-akhir ini.
Lihat saja bagaimana perlakuan aparat penegak hukum kepada pegiat media sosial Permadi Arya atau Abu Janda yang saat ini menjadi sorotan sejumlah kalangan. Salah satunya, pakar telematika KRMT Roy Suryo.
Nama Abu Janda makin melejit karena dianggap “sakti” tak tersentuh oleh hukum. Padahal, beberapa kali dia dilaporkan atas berbagai kasus terkait ocehan yang menyinggung suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Seperti dilansir dari GenPI.co, Jum’at (05 Februari 2021 09:20), Roy Suryo menyimpulkan, perilaku Abu Janda di media sosial yang kerap menuai polemik dikarenakan dia dibayar oleh uang rakyat.
“Dari pengakuan si Abu Janda @permadiaktivis1 ini setidaknya ada dua fakta, (Pertama) Komisaris-komisaris BUMN adalah (bagi-bagi Jabatan) untuk yang berjuang di TKN,” cuit Roy Suryo dalam Twitter, Rabu (3/3/2021).
Sebelumnya, beredar video di mana Abu Janda mengatakan secara gamblang, dia direkrut oleh Jokowi untuk menjadi tim pemenang kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 2018.
Roy Suryo juga mengatakan bahwa Abu Janda dan juga Deni Siregar merupakan Influencer peliharaan yang dibayar menggunakan uang rakyat.
Sebelumnya, Abu Janda memang dikenal sebagai sosok yang membela Jokowi habis-habisan. Kendati begitu, Abu Janda menolak disebut buzzer. Ia mengaku ketiuka itu posisinya sebagai influencer atau orang yang memberikan pengaruh kepada masyarakat.
Dalam sebuah kesempatan Abu Janda pun membeberkan pendapatannya serta hasil menjadi infuencer presiden. “Kalau orang bisnis itu istilahnya jebol, ya pas direkrut sama Pak Jokowi tahun 2018,” ujarnya.
“Kami direkrut setahun sebelum Pilpres. Jadi aku lumayanlah, Alhamdulillah dapetnya (gaji) lumayan. Itu jackpot lah, sebelumnya bisa makan aja udah syukur,” beber Abu Janda, Selasa (2/2/2021).
Dia juga mengaku ketiban durian setelah menjadi Tim Sukses Jokowi. “Plus gara-gara jadi Timses Jokowi, aku ada peluang untuk itu (pergi ke luar negeri untuk menjadi pembicara). Alhamdulillah, rezekinya lumayan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Abu Janda juga bicara mengenai peluangnya menduduki kursi komisaris BUMN. Sebab, banyak pendukung Jokowi yang belakangan ramai mengisi jabatan tersebut.
Dia pun mengatakan tak pernah ditawari kursi komisaris lantaran dia sudah dibayar besar sebagai influencer.
“Kenapa ada yang dapat jabatan komisaris dan enggak? Karena, orang-orang yang dapat jabatan komisaris ini adalah orang-orang yang memang berjuang di TKN waktu itu. Kalau aku dan Denny Siregar adalah influencer yang dibayar, gede lagi,” jelas Abu Janda.
Benarkah pengakuan Abu Janda yang menyeret nama Presiden Jokowi tersebut, Jenderal Lisyo Sigit harus bisa menjawabnya dengan memproses hukum Abu Janda secara adil dan terbuka.
Sebab, pengakuan Abu Janda itu jelas sangat merugikan citra Presiden Jokowi. Jika proses hukum tak dilakukan pada Abu Janda yang jelas-jelas merusak nama baik Presiden Jokowi, jangan salahkan jika rakyat berbuat seperti polisi yang mengeksekusi 6 Laskar FPI.
Adanya perlakuan tidak adil yang dialami rakyat yang kritis ternyata juga menimpa tokoh nasional sekelas Kwik Kian Gie. Mantan Menko Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengaku saat ini sangat takut menyampaikan kritik.
Padahal pada masa Orde Baru sangat berkuasa, dia bebas mengritik melalui artikelnya yang dipublikasikan harian Kompas. Bukan hanya Kwik sebenarnya yang takut bicara. Ki Dalang mbeling Sujiwo Tedjo yang sangat kritis juga mengaku takut.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti belum ini juga menjadi korban bully karena bersikap kritis. Dia disebut sebagai Kadrun dan (maaf) Asu, karena dinilai membela Gubernur DKI Anies Baswedan.
Pembungkaman orang-orang kritis seperti mereka itu jelas tidak sehat, apapun alasannya. Ini justru berpotensi terjadinya ketidakstabilan politik dalam negeri. Semua itu juga berawal dari perlakuan “tidak adil” aparat penegak hukum seperti Polisi.
Makanya, beragam kasus yang kini ditangani Polri, termasuk pembunuhan 6 Laskar FPI dan kasus Abu Janda, merupakan “ujian” kesetiaan Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada Presiden dan NKRI.
Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.