Kebijakan BPJS Semau-maunya

Oleh  M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

JUAL beli tanah harus dilengkapi kartu kepesertaan BPJS Kesehatan ? Ini namanya pemaksaan. Apa relevansi antara jual beli dengan asuransi kesehatan? Dokumen terpenting dari jual beli tanah adalah bukti kepemilikan tanah dan identitas para pihak, mungkin ditambah dengan bukti penunjang seperti persetujuan istri, PBB, NPWP atau pernyataan tidak sengketa. Dilakukan di kantor PPAT/Notaris. Semua itu jelas relevan. Menambah persyaratan BPJS Kesehatan sama sekali berlebihan dan tidak relevan. 

Berlakunya ketentuan melampirkan foto kopi kartu BPJS terhitung mulai tanggal 1 Maret 2022. Dasarnya adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 2022 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional dan ketentuan Kementrian ATR/BPN No. HR. O2/164-400/II/2022 yang ditandatangani Dirjen PHPT Kementrian ATR/BPN.

Ini namanya kebijakan semau-maunya. Promosi program BPJS yang "nebeng" ke urusan tanah. Mengindikasi ada lampu kuning atau merah dalam kepesertaan program BPJS Kesehatan sehingga perlu merambah ke ruang yang bukan bidangnya. Jangan jangan esok isi bensin juga harus menunjukkan kartu BPJS. Perlu diaudit kembali keadaan keuangan BPJS saat ini. 

Untuk aturan yang berdampak luas dan mengikat secara umum, Pemerintah tidak boleh membuat sembarang aturan atau kebijakan. Persoalan BPJS dan implikasi kepatuhan publik harus dibuat peraturan setingkat Undang-Undang. Artinya keterlibatan "wakil-wakil" rakyat harus ada. Negara yang berasas demokrasi dan menghormati hak-hak asasi selayaknya memaksimalkan keterlibatan rakyat dalam menentukan kebijakan. 

Optimalisasi harus sejalan dengan korelasi. Jika tidak, maka rakyat lagi yang akan dibuat sulit. Bahwa BPJS adalah program nasional jelas iya, akan tetapi memaksakannya tentu keliru. Pada pelayanan RS atau layanan kesehatan lain yang membagi dalam layanan umum dan BPJS saja telah menunjukkan bahwa pada program ini ada kebebasan untuk melakukan pilihan. Kebebasan ini menjadi hilang ketika BPJS menjadi faktor dependen pada transaksi lain. Jual beli tanah, izin usaha, dan mengurus SIM misalnya. 

Pemaksaan adalah khas rezim otoriter. Penindasan merupakan karakter penguasa kolonial. Tidak semua rakyat Indonesia mampu membayar iuran BPJS Kesehatan.Tapi ia akan selalu berhadapan dengan banyak layanan publik. Jika BPJS dipaksakan maka itu sama saja dengan penindasan atau pemerasan. Sebelumnya para pekerja juga mengalami "pemerasan" atau "penyanderaan" dengan Permenaker 2 tahun 2022 dimana dana JHT baru dapat diambil pada usia 56 tahun.

Inpres 1 tahun 2022 adalah kezaliman politik. Aturan ini juga merupakan kezaliman hukum. Rakyat yang memiliki "legal standing" dapat melakukan gugatan melalui Mahkamah Agung. Masalahnya adalah saat ini sudah terlalu banyak aturan rezim yang dibuat semau-maunya. Dan rezim itu sepertinya tidak peduli lagi dengan gugatan-gugatan. Baginya hukum telah menjadi mainan untuk memaksakan kepentingan. 

Jual beli tanah dan rumah yang harus dilengkapi dengan kartu BPJS adalah satu cambukan kepada rakyat. Nampak sedang disiapkan untuk melakukan banyak cambukan dari berbagai peraturan yang membuat rakyat akan semakin tidak berdaya.  Sekurangnya 30 Kementrian siap menjadi algojo. 

Rakyat ini bagai sedang berada di sebuah negara jajahan yang penjajahnya adalah bangsanya sendiri. Penjajah yang gemar dan nyaman untuk mengeksploitasi apapun yang dimiliki oleh rakyatnya itu. Tanpa rasa dosa dan bersalah. (*)

631

Related Post