Kejati Sulut Hentikan Penuntutan Tiga Perkara Pidana
Jakarta, FNN - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara menghentikan penuntutan tiga perkara tindak pidana umum (Pidum) dengan melaksanakan keadilan restoratif atau penyelesaian di luar pengadilan.
Tiga perkara pidana umum tersebut berasal dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepulauan Sitaro, dan dua perkara dari Kejari Minahasa.
"Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara telah melaksanakan keadilan restoratif terhadap tiga perkara umum," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Adapun tiga perkara tersebut yakni, pidana penganiayaan atas nama tersangka DTK alias Deni yang disangka melakukan perbuatan pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHPidana tentang Penganiayaan, ditangani Kejari Sitaro.
Kedua, perkara tindak pidana pengancaman terhadap anak atas nama tersangka FT alias Febrian yang disangka melakukan perbuatan pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Baca juga: Polisi utamakan keadilan restoratif perkara Atta Halilintar dan Savas
Selanjutnya perkara tindak pidana penganiayaan atas nama tersangka FA alias Fandi yang disangka melakukan perbuatan pidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
"Ketiga perkara tersebut dilakukan mekanisme "restorative justice" setelah dilakukan ekspose atau gelar perkara pada Senin (8/11) dan Kamis (11/11)," kata Leonard.
Pelaksanaan gelar perkara dihadiri Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara A Dita Pratwitaningsih didampingi Kepala Kejaksaan Negeri Kepulauan Sitaro Aditia Aelman Ali, Kepala Kejaksaan Negeri Minahasa Dicky Octavia serta Kepala Seksi Tindak Pidana Umum dan JPU masing-masing Kejari.
Dari ketiga perkara tindak pidana umum yang dilakukan ekspose/gelar perkara tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana memberikan persetujuan untuk dilakukan "restorative justice" dan selanjutnya akan dilakukan penghentian penuntutan oleh Kejaksaan Negeri yang bersangkutan.
"Perkara tindak pidana tersebut dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dikarenakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan "restorative justice," kata Leonard.
Penghentian tuntutan tersebut tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ada tiga syarat penghentian tuntutan dalam keadilan restoratif, yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan tersangka diancam pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan telah adanya kesepakatan perdamaian secara lisan dan tulisan didepan penuntut umum dan para saksi.
"Pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan restoratif di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara dilaksanakan dengan menerapkan secara ketat protokol kesehatan dengan memperhatikan 3M," kata Leonard.
Sebelumnya, dalam rapat kerja teknis (Rakernis) Bidang Tindak Pidana Umum Tahun 2021 di Gedung Kejaksaan Agung, Rabu (1/9), Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meminta agar jaksa menjadi penegak keadilan restoratif dan harus mampu menegakkan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat.
"Saya ingin Kejaksaan dikenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan penegak keadilan restoratif," kat Burhanuddin.
Berdasarkan laporan yang diterima oleh Jaksa Agung, hasil evaluasi sejak diberlakukan keadilan restoratif pada 22 Juli 2020 sampai dengan 1 Juni 2021, terdapat sebanyak 268 perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif.
Adapun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, pencurian dan lalu lintas. (sws, ant)