Kekuasaan tanpa Rakyat

Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI 

Institusi negara secara masif dan berjamah telah dimanfatkan sebagai alat memperkaya diri sekaligus menjadi kekuatan represif. Rakyat yang telah memberikan kewenangan dan otoritas kepada aparatur pemerintahan,  terus menerus menjadi korban eksploitasi. Babak belur dan terniaya bahkan harus kehilangan nyawa secara tragis oleh pelbagai perilaku wakil-wakil dan petugas rakyat sendiri. Kematian HAM, Kematian demokrasi dan kematian konstitusi menjadi serba permisif di negeri yang  Pancasila digali dari buminya tempat berpijak.

Mungkin rakyat Indonesia sudah saatnya harus melakukan refleksi dan evaluasi total terhadap proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Koreksi menyeluruh terhadap apa yang disebut dengan konsensus nasional. Jujur ke dalam pada perjalanan sejarah dan mampu mengambil hikmah dari arus besar politik dan Ideologi yang mengakar pada entitas Indonesia. Memikul dan terpikul natur menggerakan revolusi sosial demi mencapai cita-ciia dan tujuan proklamasi kemerdekaan. Menjadi bangsa yang benar-benar  beradab, bersungguh-sungguh  mengupayakan kemakmuran dan keadilan di dalam negeri dan ikut menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia.

Boleh jadi ada yang salah  baik secara personifikasi maupun sistemik dari perjalanan kebangsaan Indonesia selama ini. Selain kuatnya hegemoni dan dominasi dari kapitalisme dan komunisme global, negara dan rakyat Indonesia semakin terpuruk karena ketiadaan karakter nasional bangsa. Budaya materialistis dan kebebasan tanpa ahlak menyebabkan Indonesia hanya menjadi negara dan bangsa pasar,  menjadi sekedar bahan baku dan komoditi dari pemain-pemain utama industri skala besar dunia. Ekonomi, politik dan budaya menjadi konsumsi impor dari bangsa asing yang kekayaannya justru didapat dari negerinya sendiri. Sejatinya Indonesia telah menjadi bangsa kerdil dalam kebesarannya, menjadi pecundang dari nasionalisme dan patriotisme  yang erat melekat dalam jatidirinya. Sebuah negara  yang rakyatnya hidup dan menjadi korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa.

Seperti kata salah satu pendiri bangsa dan sang proklamator, Indonesia tak ubahnya telah mewujud sebagai bangsa kuli di atas bangsa kuli. Negeri para bedebah dan bangsa yang tergolong hipokrit.

Miskinnya kehadiran pemimpin nasional yang berkarakter dan mencintai rakyatnya, menjadi faktor signifikan terjadinya kemiskinan bangsa. Sangat sulit menemukan pemimpin yang dapat diandalkan dalam mengemban amanat penderitaan rakyat. Hanya ada para pejabat yang kebanyakan bermental pengecut dan korup. Praktek-praktek KKN, kebijakan yang menindas rakyat dan penghianatan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan  NKRI. Telah dianggap sebagai kelaziman dan berlaku dalam keseharian. Kini, bukan hanya menggerus hak dan kewajiban,  kehidupan rakyat juga terancam keamanan dan keselamatan hidupnya. Tragedi mengintai kapan saja dan siapa saja, terlebih bagi mereka yang tergoling kelas bawah dan  hidupnya akrab dengan keterbatasan dan kekurangan. Rakyat jelata seperti itulah yang terus diintai kriminalsasi dan dibayangi maut oleh distorsi aparatur penyelenggara negara. Hukum telah menjadi alat penindasan bagi si miskin dan yang lemah, sementara orang kaya dan berpengaruh memainkannya sesuka hati.

Segelintir orang dan kalangan minoritas, secara perlahan telah menjadi tirani atas mayoritas. Sedikit orang telah mengatur dan menentukan nasib dan kehidupan rakyat banyak. Penguasaan hajat hidup orang banyak mulai dari tanah dan lahan produktif, kawasan hutan dan perkebunan, wilayah laut dan kepulauan tertentu, serta wilayah-wilayah yang menjadi sumber energi berupa pertamigas. Telah menjadi perampasan dan perampokan kekayaan alam dan aset negara yang dilegalkan atas nama konstitusi. Produk undang-undang dan kebijakan strategis lainnya, telah berubah sebagai kedok sekaligus alat perlindungan bagi  penjahat negara yang bersembunyi dibalik birokrasi, korporasi, politisi dan semua yang terafiliasi dengan kepemilikan modal besar. Negara pada esensi dan  substansinya, hanya berupa daerah jajahan bagi kolonialisme dan imperialisme modern dalam bentuk oligarki. Konspirasi jahat para pemilik modal dengan birokrasi dan partai politik serta ternak-ternak oligarki lainnya  yang telah membajak negara.

Pada akhirnya situasi yang demikian, telah menjadi realitas obyektif dan kenestapaan panjang bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Apa yang telah diperjuangkan dan dikorbankan rakyat dari generasi kegenerasi tak pernah mendatangkan kebahagian bagi rakyat. Negara bangsa Indonesia seperti mengalami mimpi abadi tentang kemakmuran dan keadilan. Tak pernah tersadar dan bangun untuk mewujudkannya. Alih-alih menghadirkan negara kesejahteraan, Indonesia kembali harus memeras keringat, meneteskan air mata dan menumpahkan darah rakyatnya sendiri karena bangsa asing dan segelintir bangsanya sendiri. 

Kesinambungan penderitaan rakyat dalam jangka panjang dan tanpa batas waktu, ketika negara hadir tanpa pemimpin dan hanya ada penguasa. Ketika banyak pemimpin yang begitu berjarak antara nilai-nilai  dan tindakannya. Negara yang terus memisahkan pemimpin dengan rakyatnya terasa seperti suasana tanpa pemerintahan dan ranpa negara. Saat di satu sisi feodalisme melahirkan pertentangan kelas sosial, di sisi lain liberalisasi  dan sekulerisasi mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Ketika itu rakyat akan terus menjadi korban dari kekuasaan yang euforia dan fatalistik. Sebuah wajah Kekuasaan tanpa rakyat.

Munjul-Cibubur, 28 Juli 2022

670

Related Post