Kelapa Bioavtur dan Kepala Ngelantur
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
DALAM Pameran Kelapa Internasional (Cocotech) ke-51 di Surabaya Jokowi menyatakan keinginannya agar kelapa diolah menjadi bioavtur atau bahan bakar pesawat terbang. Menurutnya Indonesia sebagai pengekspor kelapa terbesar kedua di dunia harus membuat kelapa lebih inovatif dan multi manfaat. "Coba buat pohon kelapa lebih pendek", katanya.
Jika sekedar ide atau keinginan ya boleh-boleh saja tapi harus berdasar dan berprospek rasional. Apa tidak hebat jika dunia berminat menggunakan bahan bakar pesawat terbang dari minyak kelapa Indonesia? Tentu hebat, tapi kumaha? Sudahlah yang realistis saja omong itu. Apalagi jika memprediksi ekonomi Indonesia akan meroket dikarenakan mampu memproduksi bahan bakar pesawat dari kelapa. Besok mungkin muncul keinginan pak Jokowi agar kelapa menjadi bahan bakar roket.
Omongan dan harapan Jokowi sering tak terbukti, omdo kata bahasa gaul mah. Dulu soal mobil Esemka mengagumkan warga sampai harus inden untuk mendapatkannya, eh yang terjadi malah es MK beku dan MK-90 yang jadi mainan untuk Gibran. Lalu ada anjuran untuk peningkatan pendapatan rakyat Indonesia dari usaha racun kalajengking. "Itu kalau mau kaya", kata Jokowi.
Memang baru campuran bioavtur yang mungkin digunakan, itupun dengan risiko rendah. Uji coba baru pada angka 2,4 % dan 97,6 % fosilfuel. Jadi masih jauh, konon untuk tahun 2030 baru bisa 5 % saja. Masih panjang waktu untuk angka 100 %. Jangankan kebutuhan ekspor untuk penggunaan domestik saja angka 2,4 % (SAF 2,4) belum bisa terealisasi. Isu hilirisi terus digemakan.
Jokowi hanya mimpi soal bahan bakar pesawat dari kelapa. Kita baru mencoba pada jenis biodisel itupun baru maksimum kadar 40 %. Perlu modal untuk mengolah kelapa menjadi biodiesel atau bioavtur yang dimulai dari penanaman. Jangan-jangan akan mengemis investasi dan impor petani dari China lagi. Ini artinya hilirisasi sama dengan Chinaisasi melalui Jokowisasi dan Luhutisasi.
Optimalkan dulu Kilang Pertamina Cilacap untuk melakukan uji coba bioavtur dengan prosentase tinggi, baru pak Jokowi gembar gembor soal hilirisasi dan kehebatan Indonesia dalam memproduksi minyak kelapa untuk pesawat terbang yang akan digunakan oleh berbagai maskapai penerbangan di dunia. BRIN sendiri kan baru melakukan riset dan uji coba pengolahan bioavtur dari kelapa non standar.
Persoalan pengelolaan perkebunan kelapa masih banyak problema, terutama bagi upaya peningkatan kesejahteraan petani. Masalah tingkat pendidikan, kesehatan, alih fungsi lahan, mafia bahkan korupsi masih kuat melekat. Baru-baru ini urusan kelapa sawit Direktur PT Duta Palma Group Surya Darmadi alias Apeng telah divonis 15 tahum karena korupsi merugikan uang negara sebesar 78 trilyun rupiah.
Petani kelapa sawit belum menjadi pihak yang diuntungkan. Apalagi dengan harga yang semakin menekan.
Jokowi perlu menyederhanakan manfaat dari kelapa. Urusan minyak goreng penting untuk diperhatikan secara serius. Agar harga tidak selalu meninggi dan tingkat ketersediaan yang kurang. Implementasi teknologi kelapa harus diorientasikan pada manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan segelintir pengusaha atau konglomerat.
Bioavtur memang bagian manfaat kelapa, tapi baiknya fokus pada biodiesel dulu yang kini terus meningkat penggunaannya. PT KAI akan mencoba biodiesel 40 % sebagai bahan bakar KA nya. Kampanye pemanfaatan bioavtur dengan porsi 2,4 % masih jauh dari sebutan bahan bakar alternatif ramah lingkungan.
Lagi pula sudah terlalu banyak kampanye "inovasi" Jokowi yang mimpi dan berujung gagal. Karenanya kaitan dengan multi guna kelapa sebagaimana dalam Konperensi dan Pameran Kelapa Internasional di Surabaya baiknya yang urgen dan rasional saja dahulukan, tak perlu melompat-lompat seperti kodok.
Kelapa bioavtur jangan sampai membuat kepala menjadi ngelantur. Pesawat American Airlines terbang dengan bahan bakar "minyak kelapa Indonesia".
Gara-gara batok kelapa, kepala jadi botak. Lalu pemuja Jokowi pun ikut batuk-batuk. (*)