Kelompok Oligarki Hendak Melucuti Demokrasi

Oleh Yarifai Mappeaty - Pengamat Sosial Politik 

PADA 1 Oktober 2022, mestinya menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan kembali makna kesaktian Pancasila. Tetapi tidak. Kita malah dikejutkan oleh Koran Tempo yang menurunkan laporan bertajuk : Manuver Firli Menjegal Anies. Sontak heboh dari Sabang hingga Merauke.

Firli Bahuri, sang Ketua KPK itu, ngotot mentersangkakan Anies sebelum Parpol mendeklarasikannya sebagai Capres 2024, meski belum cukup bukti. Dalihnya  begitu naif: sudah ada pakar hukum yang menilai kasus Formula E merupakan pelanggaran pidana korupsi. Bandingkan hasil audit BPK, Juni lalu, yang menyatakan Formula E Jakarta layak dilaksanakan. 

Koran Tempo seolah hendak meyakinkan seluruh rakyat Indonesia, bahwa SBY benar-benar tidak asal bicara. Presiden RI ke- 6 itu mensinyalir adanya sebuah rencana jahat terkait Pilpres 2024, yang hanya akan diikuti dua pasangan Capres dan Cawapres. Publik lalu menduga kalau manuver Ketua KPK itu adalah bukti permulaan yang meyakinkan. 

Tampaknya, para oligark, penguasa negeri saat ini, sungguh tak ingin kehilangan kekuasaan. Bagi mereka, kehilangan kekuasaan seolah sebuah tragedi, bahkan mungkin seperti kematian. Agar kekuasaan tetap dalam genggaman, segala cara pun dilakukan. Termasuk melucuti demokrasi yang sejatinya milik rakyat, melalui  uang dan kekuasaan.

Dengan uang yang berlimpah, mereka mula-mula beternak sekelompok buzzer. BuzzerRp ini kemudian digunakan untuk menghancurkan citra baik sosok Capres potensial yang tak dikehendaki. 

Dengan uang pula, sejumlah lembaga survei digunakan untuk melakukan survei-framing. Tujuannya untuk meng-up grade sosok Capres yang diinginkan, sekaligus  men-down grade sosok Capres yang tak dikehendaki. Hal ini dilakukan secara berkala dan kontinyu. Setiap muncul rilis survei-framing, para buzzerRp pun bertugas melantangkannya guna meyakinkan publik. 

Tak ragu lagi bahwa sosok yang tak mereka kehendaki itu adalah Anies Baswedan. Lantaran Anies memilih berpihak pada rakyat, ketimbang ramah pada keserakahan para oligark. Bukti konkrit keberpihakan Anies adalah membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta pada masa awal memimpin Jakarta, yang membuat mereka benar-benar sakit gigi lagi gondok.

Akan tetapi, kerja keras para buzzerRp ternyata tak cukup berdaya menghancurkan  Anies. Demikian pula survei-framing, pun tak berhasil men-down grade-nya. Bahkan survei-surveian itu terbukti gagal menyembunyikan tingkat elektabilitas Anies yang sebenarnya.

Tingkat elektabilitas Anies yang jauh melampaui Prabowo dan Ganjar, terungkap pada polling yang dibuat Indonesia Lawyers Club (ILC) Tv One melalui akun twitter @YouTubeILC. Dari lebih 56 ribu peserta polling, 77% memilih Anies menjadi Presiden. 23% sisanya, dibagi oleh Ganjar dan Prabowo. 

Dengan niat jahat hendak mengolok-olok Anies, seperti yang dilakukan sebelum-sebelumnya, Ferdinand Hutahaean pun melakukan hal serupa di akun twitternya. Namun, hasilnya kurang lebih sama. Ferdinand pun dikecewakan oleh pollingnya sendiri.

Hasil polling tersebut di atas dikuatkan oleh Google Trends. Dalam seminggu terakhir, misalnya, hingga 02 Oktober pukul 18.00 wita, percakapkan netizen di seluruh tanah air, yang meminati Anies, rerata 46%, unggul jauh dari Ganjar dan Prabowo. Anies hanya kalah di 3 provinsi, yaitu, Jawa Tengah, Kep. Babel, dan Papua Barat. 

Di Jawa Tengah saja, misalnya, yang merupakan kandang Ganjar, Anies memang kalah dan hanya diminati 36% netizen, tetapi Ganjar juga hanya diminati 40%. Sementara di Jawa Timur, Anies malah diminati hingga 50%, unggul jauh  dari Ganjar dan Prabowo. Begitu pula di Jawa Barat dan Banten, Anies diminati hingga 54% dan 55%, jauh melampaui kedua pesaingnya

Kondisi realitas di atas, tentu membuat kelompok oligarki gelisah. Bahkan kemudian menjadi panik, terlebih setelah CSIS merilis surveinya. Ternyata, ketika diperhadapkan, baik dengan Ganjar maupun Prabowo, Anies tetap unggul secara telak. Kepanikan inilah tampaknya yang mempercepat skenario kedua dijalankan untuk menghentikan Anies: tersangkakan.

Kalau dipikir-pikir, saat ini, hanya dua cara untuk menghentikan Anies. Pertama, terungku. Jika Koran Tempo benar, maka, cara  ini sedang berproses, namun keburu terbongkar. Kendati begitu, para die-hard Anies jangan lega dulu. Sebab di negeri ini, apapun bisa terjadi. Memangnya ada yang mampu mencegah kalau Anies langsung diborgol, dipasangi rompi orange, lalu diterungku?

Sebaliknya, taruhlah bahwa dengan izin Allah, Anies dapat lolos dari jerat kriminalisasi itu, lalu berhasil menjadi salah satu kontestan Pilpres 2024. Tetapi, apakah KPU dapat tetap netral, jujur, dan adil? Pada situasi kritis, di sana bisa saja terjadi mati lampu secara tiba-tiba selama beberap detik. Setelah hidup kembali, semuanya telah berubah tidak menguntungkan.

Jika itu benar-benar terjadi, maka, jalan satu-satunya dan terkahir adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Syukur jika hakim-hakim MK masih punya integritas dan moral, maka, masih ada harapan. Tetapi jika tidak, maka di sana akan menjadi kuburan bagi asa dari jutaan rakyat Indonesia yang mendambakan munculnya sosok pemimpin terbaik. 

Cara kedua menghentikan Anies, justeru jauh lebih simple. Yaitu, tembak mati sekalian, lalu kita makamkan bersama dengan demokrasi yang turut mati bersamanya. Dengan cara ini, kelompok oligarki dijamin berkuasa tanpa ada lagi kegaduhan.

Mungkinkah mereka tega melakukan itu? Kenapa tidak. Bukankah kekuasaan itu adalah nikmat yang paling melenakan? Kurang lebih seperti yang diajarkan Tuan Guru Niccolo Machiavelli, bahwa demi nikmatnya kekuasaan, semua dapat dikorbankan untuk meraihnya di dalam genggaman.

Makassar, 02 Oktober 2022

467

Related Post